Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pancasila adalah ideologi yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Salah satu fungsinya yaitu sebagai sistem etika, dimana etika itu
sendiri merupakan gabungan dari tiga unsur, yaitu Nilai, Norma dan Moral.
Ketiga unsur tersebut saling berhubungan satu sama lain. Pada hakikatnya,
Pancasila bukan merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif
ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang
merupakan sumber norma.
Namun, pada kenyataannya di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam
prakteknya tidak lagi mewujudkan bagaimana bentuk Pancasila, dan tidak
memperlihatkan nilai etika yang baik. Akhir-akhir ini nilai dari Pancasila sudah
memudar, maksudnya hanya sedikit bangsa Indonesia yang masih menggunakan
nilai Pancasila sebagai pedoman kehidupannya.
Jangankan untuk menggunakan Pancasila, masih banyak masyarakat
Indonesia yang masih lupa dengan sila-sila Pancasila. Hal ini dikarenakan kurang
seringnya kita menyebutkan sila-sila Pancasila.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian nilai, norma dan moral dalam konteks Pancasila sebagai
Sistem etika?
2. Bagaimana konsep dari aliran besar etika?
3. Apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai Sistem Etika?
4. Apa urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika?

1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian dari nilai, norma dan moral dalam konteks
Pancasila sebagai Sistem Etika.
2. Dapat mengetahui beberapa aliran besar dari etika.

1
3. Dapat mengetahui peranan Pancasila sebagai Sistem Etika.
4. Dapat mengetahui urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Nilai


Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas
yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu
kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan.
Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak
berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu
pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu
unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna,
memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya.
Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan
(motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan
salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu,
Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
ada enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai
politik dan nilai religi. Sedangkan menurut Prof. Notonogoro membagi nilai
dalam tiga kategori, yaitu :
1. Nilai material, sesuatu yang berguna bagi manusia.
2. Nilai vital, segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk melakukan
aktivitas.
3. Nilai kerohanian, segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian dapat dirinci sebagai berikut :
a. Nilai kebenaran, yang bersumber pada unsur rasio manusia, budi dan cipta.
b. Nilai keindahan, bersumber pada unsur rasa atau intuisi.

3
c. Nilai moral, bersumber pada unsur kehendak manusia atau kemauan
(etika)
d. Nilai religi, bersumber pada keimanan manusia yang merupakan nilai
tertinggi.

2.2 Pengertian Norma


Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan
menumbuhkan kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal
yang seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal
(masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya). Norma adalah perwujudan martabat
manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu
kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh
karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma
filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki
kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.

2.3 Pengertian Moral


Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan,
tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang
menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat
kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya
yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-
prinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan,
kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara.

2.4 Pengertian Etika


Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang
artinya watak kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal
dari bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti

4
adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan arti,
dalam pemakaian sehari-hari dua kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau
moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan
etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada (Zubair, 1987: 13). Dalam
bahasa Arab, padanan kata etika adalah akhlak yang merupakan kata jamak
khuluk yang berarti perangai, tingkah laku atau tabiat (Zakky, 2008: 20.)

2.5 Aliran-aliran Besar Etik


2.5.1 Etika Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika
deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant
menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut
karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak
dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).
Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari
oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan
pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
2.5.2 Etika Teleologi
Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu
bahwa baik buruknya suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari
perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi, apabila etika
deontologi dihadapkan pada situasi konkrit atau ketika dihadapkan pada dua atau
lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan
oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat
baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain. Etika teleologi
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme.
a) Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar
kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan
dirinya sengsara dan dirugikan.

5
b) Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung
bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Etika utilitarianisme lebih bersifat
realistis, terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada
kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan banyak orang.
Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki kekurangan. Sonny
Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yaitu:
(1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian
masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme
membenarkan adanya ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi
yang kuantitas materialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material
seperti kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
(3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu
terkait dengan masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut
hal-hal yang ideal seperti nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misal
atas nama memasukkan investor asing aset-aset negara dijual kepada pihak asing,
atau atas nama meningkatkan devisa negara pengiriman TKW ditingkatkan. Hal
yang menimbulkan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama
untuk menyejahterakan masyarakat.
(4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam
jangka pendek, tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal, missal dalam
persoalan lingkungan, kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan
dampak negatif pada masa yang akan datang.
(5) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi
lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas
nama kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih
diutamakan kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat
atau kemanfaatan yang lebih banyak dirasakan banyak orang meskipun
kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam dua
tingkatan, yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka pertama,

6
setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan
norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus
ditolak meskipun memiliki kemanfaatan yang besar. Kedua, kemanfaatan harus
dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang non-fisik seperti
kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dsb. Ketiga, terhadap
masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi yang
memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.
2.5.3 Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga
mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral
universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan menjadi orang yang
baik. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan
baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun
melalui cerita, sejarah yang didalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar
dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika
terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan
panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat beragam pula,
dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan
keteladanan tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan
oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum
tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.
2.5.4 Etika Pancasila
Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk
pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak
bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai Pancasila merupakan
kristalisasi dari nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat
kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga
bersifat universal yang dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun. Etika

7
Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang mendasar dalam kehidupan manusia.
Nilai-nilai itu antara lain:
1. Nilai yang pertama adalah ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa
dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut
nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan
diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum
Tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan
bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah dan hukum Tuhan,
baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti
akan berdampak buruk. Misalnya pelanggaran akan kaidah Tuhan tentang
menjalin hubungan kasih sayang antarsesama akan menghasilkan konflik
dan permusuhan. Pelanggaran kaidah Tuhan untuk melestarikan alam akan
menghasilkan bencana alam, dan lain-lain.
2. Nilai yang kedua adalah kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai
kemanusiaan Pancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilan
mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani dan rohani,
individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang
terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan
manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan,
dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep
keadilan dan keadaban.
3. Nilai yang ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan
menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang
memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan
mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1),
namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan
maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan
baik.

8
4. Nilai yang keempat adalah kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan
ini terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai
hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan
berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi.
Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah
dibanding mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa
penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian
besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan
kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan
realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas ‘dimenangkan’ atas
pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik
apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu
baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep
hikmah/kebijaksanaan.
5. Nilai yang kelima adalah keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan
kata adil, maka kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku
individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada
konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan
prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37),
keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat.
Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama
derajatnya dengan orang lain.
Sebagai sistem etika Pancasila memiliki nilai yang mendasar, realistis dan
aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai
mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang
sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas
kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah Notonagoro merupakan nilai yang
bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai yang melingkupi realitas
kemanusiaan di manapun, kapanpun dan merupakan dasar bagi setiap tindakan
dan munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai ketuhanan akan
menghasilkan nilai spritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai kemanusiaan,
menghasilkan nilai kesusilaan, tolong-menolong, penghargaan, penghormatan,

9
kerjasama, dan lain-lain. Nilai persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air,
pengorbanan dll. Nilai kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan,
kesetaraan, dll. Nilai keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran
ekonomi, kemajuan bersama dll.

2.6 Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika


2.6.1 Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai
berikut: Pertama, hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa
Indonesia bahwa Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap
perilaku warga negara harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber
pada norma agama. Setiap prinsip moral yang berlandaskan pada norma agama,
maka prinsip tersebut memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan oleh
pengikut-pengikutnya.
Kedua, hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu
tindakan manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang
dibedakan dengan actus homini, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan
kemanusiaan yang mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara dan
sikap yang adil dan beradab sehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan
antarmakhluk yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu
kebajikan dan kearifan.
Ketiga, hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama
sebagai warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan
individu atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada semangat
kebersamaan, solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi
penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.
Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk
mufakat. Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang
lain.
Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
merupakan perwujudan dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban
semata (deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih

10
menonjolkan keutamaan (virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan itu
sendirii.
2.6.2 Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika
Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem yang
dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut. Pertama, banyaknya kasus korupsi
yang melanda Negara Indonesia sehingga dapat melemahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, masih terjadinya aksi terorisme yang
mengatasnamakan agama sehingga dapat merusak semangat toleransi dalam
kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau
mengancam disintegrasi bangsa. Ketiga, masih terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara, seperti: kasus penyerbuan Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, pada tahun 2013 yang lalu.
Keempat, kesenjangan antara kelompok masyarakat yang kaya dan miskin
masih menandai kehidupan masyarakat Indonesia. Kelima, ketidakadilan hukum
yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia, seperti putusan bebas
bersyarat atas pengedar narkoba asal Australia Schapell Corby. Keenam,
banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan benar, seperti
kasus penggelapan uang pajak oleh perusahaan, kasus panama papers yang
menghindari atau mengurangi pembayaran pajak. Kesemuaannya itu
memperlihatkan pentingnya dan mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila
sebagai sistem etika karena dapat menjadi tuntutan atau sebagai Leading Principle
bagi warga neegara untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Jadi
etika Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebab
berisikan tuntunan nilai-nilai moral yang hidup.

11
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pancasila adalah ideologi yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Nilai-nilai Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai yang hidup dalam
realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia. Nilai-nilai
Pancasila bersifat universal yang bearti dapat diterima oleh siapapun dan
kapanpun. Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang mendasar dalam
kehidupan manusia, antara lain: nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan.

3.2 Saran
Pemahaman mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila
perlu ditingkatkan. Pancasila harus senantiasa diaktualisasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia sehingga ciri kekeluargaan dan gotong
royong senantiasa dapat terwujud dalam kehidupan di Indonesia. Implementasi
pancasila harus senantiasa tertuang dalam setiap kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

12

Anda mungkin juga menyukai