Anda di halaman 1dari 32

BIOLOGI MOLEKULER SEL KANKER

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah IBM IV

Oleh:
Riki Indra Kusuma
160121150001

Pembimbing:
Prof. DR. Harmas Yazid Yusuf, drg., Sp.BM.(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
BIOLOGI MOLEKULER SEL KANKER

PENDAHULUAN

Penelitian biologi molekuler dan seluler kanker telah memberi kita


wawasan yang luar biasa ke dalam dasar molekul neoplasia, seperti proliferasi sel
yang tidak teratur, terganggunya diferensiasi, dan perubahan kelangsungan hidup
sel serta gangguan jaringan normal, invasi, dan metastasis. Kanker manusia
sebagian besar hasil dari mutasi gen pada sel asalnya yang memberikan
keuntungan biologis untuk sel-sel ini.1

Pada mekanisme sel tumbuh dan berdiferensiasi, ada unsur genetik yang
diaktifkan (switched on) dan yang lain di-inaktifkan (switched off). Gen-gen inilah
yang termasuk sistem regulasi atau dikenal sebagai “mesin siklus sel” yang
merupakan sistem utama bagi berlangsungnya faal sel-sel normal. Dalam
perkembangannya sel berdiferensiasi dan membentuk berbagai jenis jaringan
dengan fungsi yang berbeda-beda. Walaupun demikian setiap sel memiliki
informasi genetik yang sama yang disandi dalam DNA-nya. Dalam keadaan
normal pertumbuhan sel diatur secara ketat oleh sistem regulasi tersebut untuk
memenuhi kebutuhan organisme. Sebaliknya sel-sel kanker tumbuh autonom
tidak terkendali, kemudian menginvasi jaringan organ di sekitarnya yang
berakibat fungsi organ bersangkutan terganggu. Transformasi sel normal menjadi
sel kanker terjadi sebagai akibat terganggunya sistem regulasi di atas yang
berakibat sel-sel kanker mampu membelah diri menjadi lebih banyak. Unsur
penting dalam gangguan sistem regulasi pertumbuhan sel adalah onkogen. Konsep
onkogen pertama kali dikemukakan setelah ditemukannya unsur-unsur genetik
virus (khususnya retrovirus) yang bertanggung jawab atas kemampuan virus
bersangkutan untuk mentransformasi sel. Kelainan yang timbul dalam
pertumbuhan sel kanker adalah kelainan yang diturunkan pada tingkat seluler
yang berarti kelainan sel induk akan diwariskan kepada sel-sel turunannya secara
genetik.2
Dewasa ini pengetahuan tentang mekanisme molekuler karsinogenesis
telah menjadi jauh lebih dari sekedar percobaan biologi. Penanda molekuler
sekarang tersedia untuk meningkatkan diagnosis kanker dan klasifikasi. Pada
tingkat terapi, identifikasi jalur penyimpangan molekuler pada sel kanker
memberikan dasar untuk terapi target molekuler. Oleh karena itu, penting bagi
klinisi yang merawat pasien kanker untuk memahami dasar molekul dan selular
neoplasia.1

TINJAUAN PUSTAKA

Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan rusaknya mekanisme


pengaturan dasar perilaku sel, khususnya mekanisme pertumbuhan dan
diferensiasi sel. Gambaran khas dari kanker adalah adanya pertumbuhan sel yang
tidak terkontrol, ditandai dengan terlihatnya disorganisasi pertumbuhan jaringan,
terganggunya fungsi organ dan mengancam kehidupan organisme.2

Perkembangan sel normal menjadi kanker secara eksperimental dikenal


sebagai proses yang bertingkat ganda (multistep process) yaitu inisiasi, promosi,
progresi dan konversi keganasan. Perubahan yang terjadi meliputi perubahan sifat
pertumbuhan (transformasi), pertumbuhan yang berlebihan dan tidak terbatas
(immortal) serta pertumbuhan melampaui batas pertumbuhan setempat,
menerobos ke jaringan sekitarnya (invasi), menyebar dan tumbuh di tempat yang
jauh (metastasis).3

Faktor lingkungan berperanan penting pada karsinogenesis. Termasuk ke


dalam faktor lingkungan adalah berbagai jenis virus, bahan kimia dan radiasi
pengion dan ultraviolet. Sebagian besar dari faktor lingkungan tersebut memiliki
sifat biologis yang sama yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA.
Kesamaan sifat ini menimbulkan dugaan bahwa DNA sel merupakan sasaran
utama semua bahan karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan perubahan sel
DNA.
DNA yang merupakan sasaran lesi onkogenik dan mempunyai fungsi
biologis penting bagi pertumbuhan sel. Terdapat 2 jalur virus dapat menyebabkan
transformasi, yaitu pertama dengan cara menghambat fungsi berbagai tumor
suppressor gene seperti retinoblastoma (Rb) dan protein 53 (p53) dan
menghambat salah satu keluarga Bcl2 yang pro-apoptotik yaitu bax, sedangkan
jalur kedua dengan cara menghasilkan produk onkogen virus yang menginduksi
translokasi kromosom atau mutasi gen lain dan berakhir dengan transformasi sel
(gambar 1).2

Gambar 1. Dua jalur transformasi oleh DNA2

Dalam gambar 1 diperlihatkan transformasi sel oleh virus DNA melalui


inaktivasi produk tumor suppressor gene pRb dan p53 serta bax (jalur bawah).
Fungsi protein-protein ini juga sering terganggu pada karsinogenesis yang tidak
berkaitan dengan virus. Jalur transformasi yang lain (jalur atas) menunjukkan
mekanisme transformasi oleh virus melalui produk virus yang menginduksi
translokasi kromosom dan ekspresi onkoprotein (oncogenic fusion protein). Salah
satu produk virus (viral oncogene) yang sudah lama dikenal adalah E1A
adenovirus yang menginduksi translokasi.
Walaupun demikian, infeksi virus tidak selalu berakhir dengan
transformasi. Banyak virus dapat berada dalam tubuh dalam keadaan laten untuk
waktu yang lama dalam bentuk kriptik dan mengawali tumorigenesis, tetapi untuk
berlanjut menjadi kanker diperlukan berbagai ko-faktor. Penelitian lebih lanjut
mengenai hal ini dapat mengidentifikasi berbagai gen virus (viral oncogenes)
yang bertanggung jawab atas terjadinya transformasi dan hasil penelitian tersebut
merupakan dasar untuk pemahaman kita tentang onkogen-onkogen penting pada
kanker yang diinduksi maupun tidak diinduksi oleh virus.2

BIOLOGI SEL KANKER

Sebagian besar sel normal yang terdapat dalam tubuh sudah mengalami
diferensiasi yang berarti sel-sel tersebut telah mengalami berbagai perubahan
demikian rupa sehingga menunjukkan morfologi dan fungsi spesifik. Selama
proses diferensiasi, sel normal umumnya tidak memiliki kemampuan untuk
berproliferasi, tetapi di lain pihak banyak sel-sel jaringan tubuh mengalami proses
renewal untuk mengganti sel-sel yang hilang karena rusak atau menua, dengan
sel-sel prekursor baru (stem-cells), yang kemudian diikuti oleh proliferasi selsel
keturunannya. Diduga bahwa sebagian besar sel kanker berasal dari sel-sel
progenitor ini. Kehilangan kemampuan berdiferensiasi menyebabkan maturation
arrest yang berakhir dengan peningkatan proliferasi sel dan perkembangan tumor
(gambar 2).2

Pada umumnya diperlukan 2 perubahan penting untuk transformasi ganas.


Pertama adanya kemampuan untuk tumbuh dan berkembang tanpa stimulasi dari
luar (autocrine), baik melalui produksi regulator, aktivasi reseptor secara terus
menerus atau transduksi sinyal yang abnormal dalam jalur transduksi mulai dari
reseptor hingga gen relevan dalam nukleus. Kelainan yang kedua adalah
kesalahan intrinsik dalam komitmen diferensiasi dari sel-sel yang memberikan
respons terhadap stimulasi di atas sehingga, karena tidak ada komitmen
diferensiasi, yang terbentuk adalah sel-sel yang sama dengan induknya dan bukan
sel-sel prognitor yang memiliki komitmen untuk diferensiasi terminal.
Gambar 2. Produksi sel normal dan proliferasi sel yang tidak terkontrol.2
A: Jalur normal untuk memproduksi sel yang berdiferensiasi
B: Stem-cell gagal memproduksi sel anak non-stem-cell pada setiap
pembelahan kemudian berproliferasi membentuk kanker
C: Sel anak gagal berdiferensiasi normal dan berproliferasi membentuk
kanker8

Pertumbuhan sel normal diatur oleh protein terlarut yang disebut faktor
pertumbuhan atau sitokin. Salah satu jenis protein yang diketahui bersifat sebagai
faktor pertumbuhan adalah hormon yang juga merupakan molekul penerus sinyal.
Hormon disimpan dalam kelenjar endokrin dan disekresikan ke dalam sirkulasi
apabila diperlukan. Stimulasi berlebihan oleh faktor pertumbuhan saja pada
umumnya hanya menyebabkan hiperplasia dan bukan transformasi ganas. Untuk
menjadi ganas diperlukan kelainan intrinsik lain misalnya inaktivasi tumor
suppressor genes.
Perkembangan dan pertumbuhan sel normal membutuhkan koordinasi
intraseluler maupun interaksi antar sel yang terkendali dalam organisme
bersangkutan. Proliferasi sel normal berlangsung melalui suatu siklus sel yang
terdiri atas 4 fase yang ditentukan oleh waktu sintesis DNA, yaitu fase G1, fase S,
fase G2 dan fase M (gambar 3). Berbeda dengan bakteria yang mensintesis DNA
secara terus menerus selama siklus pembelahan sel, sel-sel mamalia mengalami
siklus sel yang lebih kompleks. Setelah mitosis, sel memasuki fase G1, yaitu fase
di mana sel sangat aktif tetapi tidak mensintesis DNA. Pada fase ini kandungan
DNA sel adalah 2N (diploid), Siklus sel kemudian berlanjut ke fase S di mana
terjadi sintesis DNA dan kandungan DNA berubah menjadi 4N. Fase selanjutnya
adalah fase G2 sebelum memasuki fase M di mana sel membelah diri menjadi 2
sel diploid. Waktu yang diperlukan untuk satu siklus bergantung pada jenis sel,
dan perbedaan waktu itu terutama terjadi di fase G1, di mana bila diperlukan
siklus sel berhenti pada fase ini (G1 arrest) atau pada interphase G1/S.

Gambar 3. Siklus sel, M=mitosis; G1=gap 1;S=sintesis DNA; G2=gap 2

Dalam keadaan normal, pertumbuhan sel diatur oleh proliferasi dan


diferensiasi, selain itu juga dikendalikan oleh mekanisme kematian sel terprogram
(apoptosis) dengan tujuan menyingkirkan sel-sel yang tidak berguna atau tidak
dikehendaki, yang pada umumnya adalah sel-sel dengan lesi DNA.
Semua fase dalam siklus sel diatur oleh suatu rangkaian reaksi biokimia
yaitu melalui pembentukan kompleks siklin-cdk (cyclin-dependent kinase) dan
inhibitor-nya. Setiap cdk dapat berikatan dengan siklin yang lain. Bila siklus
melaju pada fase G1 dan mencapai restriction point, maka sel akan masuk ke fase
S untuk bereplikasi. 4,5
Dalam siklus sel terdapat checkpoint yaitu saat-saat terjadinya pemantauan
ketepatan duplikasi DNA dan pemisahan kromosom. Dua checkpoint utama
terdapat pada perbatasan G2/M dan G1/S. Sel-sel ragi normal yang terpapar zat
perusak DNA akan berhenti pada fase G2, untuk memberi kesempatan perbaikan
DNA sebelum terjadinya pemisahan kromosom. Paparan radiasi ionisasi atau
sinar ultraviolet dan zat-zat sitotoksik anti kanker menginduksi protein p53
normal sehingga terjadi cell-cycle arrest pada batas G1/S yang memberi
kesempatan untuk melakukan DNA repair sebelum masuk ke dalam fase S dan
replikasi DNA dan bila kerusakan ini tidak dapat diperbaiki maka sel akan
mengalami apoptosis. Defek pada salah satu proses ini mengakibatkan
ketidakstabilan kromosom dan genetik seperti yang terjadi pada sel-sel kanker 2
Pertumbuhan kanker menunjukkan kegagalan mekanisme kontrol tersebut
sehingga sel-sel kanker tumbuh tak terkendali dan itulah yang merupakan ciri
utama sel ganas. Pertumbuhan tak terkendali dapat terjadi karena sel-sel kanker
tidak memberikan respons terhadap sinyal kontrol, mungkin karena adanya lesi
DNA atau adanya produk onkogen.
Salah satu sifat penting sel kanker dalam kultur adalah masa hidupnya
dengan kemampuan berproliferasi yang tidak terbatas, yang sering disebut dengan
istilah “immortal” dan diferensiasi abnormal. Diferensiasi abnormal itu berkaitan
dengan proliferasi karena sel normal yang telah berdiferensiasi lengkap akan
berhenti berproliferasi atau hanya berproliferasi lambat, tetapi sel-sel ganas akan
berhenti berdiferensiasi konsisten dengan kemampuan berproliferasi aktif tanpa
batas. Di samping itu, sel ganas seringkali tidak mampu menjalani apoptosis
padahal ini merupakan program diferensiasi banyak jenis sel yang memiliki
ketahanan hidup terbatas. Sifat sel ganas in vitro ternyata mirip dengan beberapa
sifat sel ganas in vivo.

Tabel 1. Pertumbuhan sel fibroblast normal dan fibroblast neoplastik.2

Salah satu sifat lain dari sel ganas adalah memiliki kemampaun untuk
menembus jaringan sekitarnya dan menyebar melalui pembuluh darah atau
pembuluh getah bening ke tempat jauh (metastasis). Penyebaran sel-sel kanker
memerlukan perubahan genetik yang memungkinkan sel-sel tersebut mampu
bermigrasi dari organ asalnya ke organ yang letaknya berjauhan. Tetapi migrasi
sel kanker saja tidak cukup untuk tumbuhnya metastasis di lokasi baru. Untuk ini
diperlukan ketersediaan nutrisi yang cukup yang diperoleh melalui vaskularisasi
(angiogenesis).2

REGULATOR PERTUMBUHAN
Seperti telah disebut di atas, sel secara terus menerus dihadapkan pada
pengambilan keputusan untuk membelah, diferensiasi atau menjalani proses
apoptosis. Ketiganya memberi dampak pada jumlah sel sehingga jalur di mana
proses pembelahan, diferensiasi dan apoptosis berlangsung merupakan sasaran
aktivitas onkogen dan tumor suppressor genes. Golongan gen lain yang juga
merupakan sasaran aktivitas onkogenik adalah gen-gen yang berfungsi dalam
perbaikan DNA.
Onkogen

Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan dan diferensiasi


sel diatur oleh gen yang disebut proto-onkogen. Proto-onkogen dapat menjadi
onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena
memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara patologis.6

Onkogen atau gen yang mengakibatkan terjadinya kanker terjadi melalui


mutasi somatik proto-onkogen, counterpart-nya yang tidak memiliki kemampuan
transformasi merupakan gen-gen yang memegang peran kunci pada proses
pertumbuhan dan diferensiasi sel. Dalam sel normal ekspresi proto-onkogen ini
diperlukan untuk perkembangan dan pertumbuhan sel normal sehingga tidak
mengakibatkan keganasan karena aktivitasnya dikontrol secara ketat. 7

Aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen dapat terjadi melalui perubahan


struktural dalam gen, translokasi kromosom, amplifikasi gen atau mutasi dalam
berbagai elemen yang dalam keadaan normal berfungsi mengontrol ekspresi gen
bersangkutan. Mutasi proto-onkogen relatif sering terjadi dalam sel yang
berproliferasi aktif, namun perubahan ke arah ganas dapat dicegah dengan
bantuan ekspresi berbagai gen supresor (tumor suppressor genes atau anti-
onkogen) yang berperan menginduksi terhentinya siklus sel atau menginduksi
proses apoptosis. Apabila fungsi gen-gen yang berperan dalam surveillance ini
terganggu akibat mutasi atau hilang (deletion), sel bersangkutan menjadi rentan
terhadap transformasi ganas (Gambar 4).7 Namun demikian, terbukti pula bahwa
kanker terjadi melalui proses bertahap dalam jangka waktu panjang, sehingga
diduga bahwa keganasan terjadi apabila ada akumulasi kelainan berbagai gen
yang saling melengkapi satu dengan lain berinteraksi untuk menghasilkan fenotip
ganas.6
Gambar 4. Skema basis molekuler kanker 7

Faktor pertumbuhan (GF) dan reseptor faktor pertumbuhan (GFR)

Sebagian dari proses proliferasi dan diferensiasi sel normal diatur oleh
faktor-faktor ekstraseluler, termasuk di antaranya berbagai jenis faktor
pertumbuhan (GF) berbentuk polipeptida yang menginduksi proliferasi sel-sel
sasaran yang tepat. Platelet derived growth factor (PDGF) adalah faktor
pertumbuhan utama bagi fibroblast. PDGF yang aktif terdiri atas 2 jenis peptida
dengan 40% susunan amino identik; masing-masing dengan rantai alfa dan rantai
beta. Gen yang menyandi kedua jenis peptida terletak pada kromosom yang
berbeda. Molekul PDGF yang aktif merupakan suatu dimer yang dihubungkan
satu dengan lain melalui ikatan di-sulfida; dimer ini dapat terdiri atas rantai alfa
dan beta (heterodimer). Beberapa penelitian membuktikan bahwa hanya sel yang
responsif terhadap PDGF-â dan sekaligus mengekspressikan reseptor PDGF pada
permukaannya mudah mengalami transformasi. Golongan GF lain adalah
fibroblast growth factor (FGF) yang terdiri atas acidic FGF (FGF1), basic FGF
(FGF2), produk int2 (FGF3), produk hst (FGF4) dan FGF5. Ke dalam golongan
ini juga termasuk FGF6 dan keratinocyte growth factor (KGF) yang merupakan
mitogen bagi sel-sel epitel. Epidermal growth factor (EGF) merangsang
proliferasi dari berbagai jenis sel. Faktor pertumbuhan lain yang mirip EGF juga
telah diketahui, di antaranya transforming growth factor-alfa (TGF-α), dan
amphiregulin. Kelompok GF ini adalah salah satu contoh GF yang menancap pada
membran sel. TGF-α dan EGF memiliki kemampuan untuk men-transformasikan
sel, dan ekspresi berlebihan dari GF ini dapat menyebabkan pertumbuhan tumor.
Proliferasi dan diferensiasi sel hemopoetik juga dikendalikan oleh serangkaian
polipeptida yang menimbulkan dampak spesifik pada jenis sel yang berbeda.
Empat di antara berbagai jenis GF hemopoetik itu dikenal sebagai onkogen, yaitu
IL2 (T cell growth factor), IL3 (multipotential colony stimulating factor), GM-
CSF dan CSF-1. CSF1 juga dikenal sebagai macrophage colony stimulating
factor (M-CSF) disintesis oleh monosit teraktivasi dan makrofag maupun
fibroblast. 3

Perubahan Proto-onkogen menjadi Onkogen

Proto-onkogen dapat dikonversikan menjadi onkogen sehingga


memperoleh kemampuan untuk mentransformasikan sel menjadi ganas. Berbagai
proses dapat merusak gen yang bertanggung jawab atas perubahan proto-onkogen
menjadi onkogen, di antaranya sebagai berikut:

1. Aktivasi akibat reduplikasi, transduksi dan penyisipan retrovirus (insertional


mutagenesis)

Sebagai contoh gen c-myc dapat diaktivasi apabila terjadi reduplikasi DNA
secara abnormal atau amplifikasi, atau apabila terjadi translokasi c-myc ke lokasi
di kromosom lain berdekatan dengan gen yang memiliki kemampuan
meningkatkan fungsi, misalnya translokasi c-myc dari kromosom 8 ke kromosom
14 dekat lokasi gen Ig. Peningkatan aktivitas c-myc juga dapat terjadi akibat
penyisipan DNA virus, atau akibat transduksi retrovirus. Penyisipan dan
transduksi menyebabkan perubahan fungsi proto-onkogen yang letaknya
berdekatan sehingga menjadi onkogenik.

Mutagenesis akibat penyisipan virus ini mengubah proto-onkogen menjadi


onkogen terutama karena onkogen itu dikendalikan oleh genom virus yang
memiliki kemampuan kuat untuk mengekspresikan gen bersangkutan. Hasilnya
adalah bahwa gen yang semula “silent” menjadi aktif atau diekspresikan secara
berlebihan. Dengan kata lain, penyisipan DNA virus dapat menyebabkan
peningkatan produksi RNA dan protein oleh proto-onkogen secara berlebihan.
Pada umumnya penyisipan genom virus juga menyebabkan kerusakan pada
domain sandi sehingga menghasilkan produk protein yang abnormal. Fungsi
transkripsi onkogen myc berada di bawah kendali virus, mengalami fusi dengan
gen struktural virus membentuk hibrid yang menghasilkan protein hibrid yang
abnormal, dan mengalami mutasi.

2. Aktivasi akibat translokasi kromosom

Translokasi dapat mempengaruhi proto-onkogen melalui 2 cara. Cara


pertama menyebabkan berpindahnya gen ke pusat kendali transkripsi yang kuat
sehingga ekspresi gen meningkat. Prototip kelainan ini dijumpai pada limfoma
Burkitt dimana gen myc pindah ke tempat berdekatan dengan pusat kontrol
transkripsi gen imunoglobulin (Ig). Cara kedua adalah apabila potongan-potongan
gen yang berpindah tempat melakukan fusi dan menghasilkan protein hibrid,
mirip dengan pembentukan hibrid potongan gen seluler dengan gen struktural
virus.

Dalam melakukan fusi tidak selalu kedua bagian gen hibrid itu
memberikan kontribusi pada aktivitas biokimiawi protein hibrid, salah satu bagian
mungkin saja merupakan bagian yang pasif, misalnya hanya mengganggu fungsi
atau menggantikan domain yang fungsional. Translokasi tidak selalu
menghasilkan fusion gene, tetapi mengakibatkan ekspresi gen bersangkutan
meningkat karena diaktivasi oleh proto-onkogen yang berdekatan dan fungsinya
meningkatkan ekspresi gen. Contoh yang baik adalah translokasi gen c-myc dari
kromosom 8 ke kromosom 14 pada limfoma Burkitt (Gambar 5), atau translokasi
gen bcl2 dari kromosom 18 ke kromosom 14 dekat lokasi gen IgH pada limfoma
folikuler.6,8

Gambar 5. Translokasi kromosom pada limfoma Burkitt 8

3. Aktivasi akibat amplifikasi gen

Amplifikasi proto-onkogen meningkatkan jumlah template yang


diperlukan untuk transkripsi mRNA sehingga dengan demikian meningkatkan
jumlah produk yang dihasilkan oleh sel. Karena amplifikasi bisa sampai lebih dari
100 kali, produk gen yang dihasilkan juga menjadi banyak. Di samping itu,
beberapa alel yang diamplifikasi biasanya mengalami mutasi pada domain sandi
sebelum terjadi amplifikasi, sehingga mutasi tersebut juga turut diamplifikasi.6

4. Aktivasi akibat point mutation

Banyak tumor pada manusia mengandung gen ras yang mengalami point
mutation yang mengubah satu residu asam amino, biasanya pada residu 12, 13
atau 61. Point mutation ini telah terbukti bertanggung jawab atas terjadinya
transformasi dengan kemampuan lebih dari 100 kali lipat. Aktivasi gen ras akibat
mutasi ini sering dijumpai pada kanker. Proto-onkogen ret merupakan contoh lain
tentang bagaimana point mutations dapat mengaktifkan onkogen. Ret menyandi
reseptor permukaan yang memiliki domain intrasitoplasmik dan domain
ekstraseluler. Domain intrasitoplasmik reseptor ini merupakan protein kinase yang
dapat diaktifkan dengan pengikatan domain ekstrasel oleh ligand-nya. Mutasi gen
ret mengakibatkan domain ekstrasel hilang dan domain intrasel berada dalam
keadaan aktif terus menerus; di samping itu domain ini kehilangan spesifisitas
kinase, sehingga dapat dianggap sebagai salah satu contoh perubahan kualitatif
6
gen akibat mutasi. Mutasi ret dikaitkan dengan tumor endokrin herediter
(Gambar 6).

Gambar 6. Mekanisme aktivasi proto-onkogen. 9

Gen Penekan Tumor

Berbeda dengan onkogen yang produk proteinnya berperan dalam


meneruskan sinyal-sinyal pertumbuhan sel pada semua tahap, produk gen
supresor pada umumnya memberikan sinyal untuk menghambat pertumbuhan.
Setiap gen supresor menyandi signal transducing protein yang membawa pesan
menghambat pertumbuhan (growth inhibition) dari bagian sel yang satu ke bagian
sel yang lain melalui suatu signaling cascade dan disampaikan kepada responder
protein. Bila salah satu protein supresor hilang atau tidak berfungsi, maka salah
satu mata rantai sinyal hilang sehingga pesan yang dibawanya tidak sampai ke
tujuan. Hingga saat ini telah dapat diidentifikasi belasan jenis gen supresor,
namun sifat-sifatnya masih belum terungkap seluruhnya. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa produk gen supresor secara langsung atau tidak langsung
berinteraksi dengan produk onkogen, sehingga fungsi produk onkogen tersebut
dihambat.2

Di tingkat molekuler semua proses yang terjadi dalam siklus sel


dikendalikan oleh pembentukan dan aktivitas sejumlah kompleks protein kinase
yang terdiri atas sub-unit katalitik yang disebut cyclin dependent kinase (Cdk) dan
sub-unit protein regulator yang disebut cyclin. Pada saat-saat tertentu dalam siklus
sel, kompleks cyclin-Cdk diaktifkan, kemudian kompleks ini memfosforilasi
molekul-molekul tertentu lalu di-nonaktifkan. Kompleks cyclin-Cdk merupakan
inti dari mesin pengatur siklus sel.11 Dari berbagai penelitian terungkap bahwa
beberapa gen dengan produknya yang mempunyai fungsi penting dalam cell cycle
checkpoints, yaitu gen Rb dan gen p53.

Gen Retinoblastoma (Rb)

Gen Rb terletak pada kromosom 13 band q14, produknya yaitu protein Rb


besarnya 105-110 kDa bergantung pada jenis spesies. Protein ini merupakan
protein nukleus yang terlibat dalam proses siklus sel. Dalam sel yang beristirahat
(fase Go dan G1) protein Rb dapat ditemukan dalam bentuk kompleks dengan
faktor transkripsi seluler yang disebut E2F. Protein Rb sendiri berfungsi sebagai
regulator transkripsi, walaupun ia sendiri tidak berikatan langsung dengan sekuen
DNA sasaran. E2F memperantarai aktivitas transkripsi beberapa gen seluler yang
terlibat dalam proliferasi sel dan sintesis DNA termasuk gen yang menyandi
timidin-kinase dan DNA polimerase. Selama fase Go dan awal fase G1 protein Rb
tidak terfosforilasi, tetapi pada akhir fase G1 atau awal fase S terjadi fosforilasi
protein Rb secara progresif pada berbagai sisi protein Rb. Kinase yang
menyebabkan reaksi fosforilasi ini adalah Cdk yang diaktifkan oleh cyclin dan
mengatur siklus sel. Tingkat fosforilasi protein Rb tetap tinggi sampai fase akhir
mitosis pada saat enzim fosfatase memecah kompleks ini (defosforilasi) dan
siklus sel masuk ke fase Go/G1. Dengan demikian diduga bahwa fosforilasi
protein Rb merupakan mekanisme yang mengatur aktivitas Rb dan interaksinya
dengan protein lain. Jadi fungsi Rb dalam siklus sel adalah berinteraksi dengan
faktor transkripsi dan mengatur fungsi gen lain yang diperlukan untuk memasuki
fase S. 2

Aktivitas Rb diatur melalui fosforilasi oleh kinase dan aktivitas Cdk


sehingga terjadi interaksi antara Rb dengan proses lain dalam siklus sel. Tampak
bahwa pada fase awal G1 protein Rb tidak difosforilasi, tetapi pada akhir fase G1
protein Rb difosforilasi secara ekstensif pada semua sisi dan tetap terfosforilasi
hingga akhir fase mitotik, di mana segera terjadi defosforilasi. Faktor transkripsi
E2F lebih suka berikatan dengan Rb pada saat Rb tidak terfosforilasi pada fase
G1. E2F adalah suatu faktor transkripsi positif bila ia tidak terikat pada protein
Rb, tetapi menjadi elemen negatif bila ia terikat pada Rb. Kompleks E2F dengan
Rb merupakan kompleks stabil yang menghambat kemampuan E2F untuk
mengaktivasi berbagai gen promoter untuk sintesis DNA. Kompleks Rb-E2F
menghambat gen yang mengatur sel keluar dari fase G1. Fosforilasi Rb maupun
E2F oleh cyclin D-Cdk4 dan cyclin D-Cdk2 pada fase akhir G1 menyebabkan
E2F terlepas sehingga ia bisa berinteraksi dengan gen promoter yang diperlukan
untuk masuk dalam fase S. Ekspresi berlebihan dari E2F dapat menstimulasi
proliferasi sedangkan aktivitas Rb sebagai gen supresor berkorelasi dengan
pengikatannya dengan E2F, sehingga disimpulkan bahwa salah satu fungsi Rb
adalah menghambat fungsi E2F sebagai transkriptor. Fungsi regulasi lain dari Rb
masih harus diteliti (Gambar 7). 7
Gambar 7. Peranan protein Rb dalam siklus sel.7

Gen p53.

Gen p53 adalah gen regulator yang banyak ditemukan di sel manusia.
Apabila diaktifkan, gen ini menyebabkan pembentukan suatu faktor transkripsi
yang melekat ke DNA sel dan bekerja seperti tombol untuk mencetuskan
transkripsi (replikasi) DNA.

Dahulu diduga bahwa p53 merupakan suatu onkogen karena ia ditemukan


secara berlebihan dalam sel-sel yang mengalami transformasi. Dugaan ini muncul
karena pada beberapa penelitian telah diisolasi beberapa klon p53 yang terbukti
mampu mempertahankan sel dalam kultur hidup terus (imortal) dan dengan
bekerja sama dengan onkogen ras, p53 meningkatkan terjadinya transformasi sel
dalam kultur. Tetapi kemudian diketahui bahwa p53 yang terdapat dalam sel-sel
yang mengalami transformasi tersebut merupakan bentuk mutan dari p53. Dari
penelitian-penelitian berikutnya terungkap bahwa p53 normal (wild type) mampu
menekan transformasi sel yang disebabkan onkogen dalam kultur dan dapat
menghambat potensi tumorigenik sel pada binatang percobaan sehingga p53
kemudian digolongkan sebagai gen supresor. Gen p53 pada manusia terletak pada
lengan p kromosom 17, diekspresikan pada hampir semua jaringan tubuh. Dalam
keadaan normal p53 terdiri atas suatu tetramer; ini berarti bahwa 4 copy yang
identik dirakit untuk membentuk molekul p53 yang aktif. Konsekuensinya adalah
bahwa defek pada salah satu di antara 4 subunit, misalnya akibat substitusi asam
amino atau defek struktural, akan melemahkan fungsi protein p53 dan bila satu sel
mempunyai 1 alel wild type dan alel yang lainnya defek, maka sebagian besar
fungsi p53 akan terganggu. Ini berarti bahwa p53 hanya akan berfungsi baik bila
ke-4 subunitnya normal. Hal ini berbeda dengan gen supresor yang lain, yang
biasanya berada dalam bentuk molekul tunggal yang bebas. Pada umumnya defek
pada p53 adalah point mutation, terutama substitusi asam amino, dan walaupun
unit-unit lain dalam tetramer itu normal, fungsinya akan terganggu, bahkan
biasanya alel yang lain akan mengalami delesi.2

Walaupun mekanisme kerja p53 belum diketahui pasti, ada indikasi bahwa
p53 bekerja untuk menghambat pertumbuhan sel. Ada beberapa hipotesis
mengenai mekanisme kerja p53, yaitu:

1. p53 mengenali dan kemudian mengikatkan diri pada suatu “specific sequence”
pada DNA yang diduga merupakan bagian tertentu yang berfungsi sebagai
regulator.

2. p53 menginduksi aktivitas RNA polimerase, jadi bertindak sebagai faktor


transkripsi.

Gen p53 menyandi protein dengan nama sama (p53) yang berfungsi
sebagai aktivator transkripsi, yaitu menginduksi transkripsi gen yang menyandi
protein 21kd atau p21 yang berinteraksi dan menghambat berbagai kompleks
cyclin-Cdk. Di antara kompleks yang dihambat adalah kompleks yang
mengandung Cdk2 dan Cdk4, yaitu kompleks kinase yang bertanggung jawab atas
fosforilasi dan inaktivasi Rb. Dengan demikian, paling tidak salah satu
mekanisme kerja p53 dalam menghentikan siklus sel pada G1 adalah dengan
mempertahankan Rb dalam bentuk/konfigurasi “underphosphorylated”. Bila oleh
salah satu hal terjadi kerusakan DNA, ekspresi p53 dalam sel meningkat yang
menyebabkan peningkatan transkripsi p21 serta hambatan pada kompleks cyclin-
Cdk. Telah terungkap juga bahwa p53 menghambat ekspresi atau fungsi gen c-
myc dan ras. Karena checkpoints dimana p53 bekerja adalah pada fase G1 dan
G2/M, hal itu menyebabkan pertumbuhan sel terhenti pada fase G1 untuk
memberi kesempatan pada DNA repair genes untuk memperbaiki DNA sebelum
siklus berlanjut ke fase S untuk sintesis DNA, atau pada fase G2/M sebelum
terjadi mitosis. Dengan demikian dapat dihindarkan terbentuknya sel yang
mengandung DNA yang rusak, karena itu p53 disebut sebagai regulator negatif
pertumbuhan dan pembelahan sel. p53 juga membantu dalam proses induksi
transkripsi GADD45 (Growth Arrest and DNA Damage), suatu protein yang
terlibat dalam perbaikan DNA. GADD45 membantu menghentikan fase G1
dengan mekanisme yang belum diketahui. Sel yang mengalami defek p53 tidak
mampu menghentikan fase G1 maupun G2/M. Akibatnya adalah tidak ada
kesempatan bagi DNA repair genes untuk memperbaiki DNA, sehingga DNA
yang rusak diwariskan pada sel-sel turunannya. Hal ini menyebabkan
ketidakstabilan genetik dan peningkatan mutagenesis, misalnya peningkatan
mutation rate, amplifikasi onkogen, defek kromosom dan lain-lain sehingga
kemungkinan transformasi ganas menjadi lebih besar. Di samping memberikan
respons terhadap kerusakan DNA, p53 sendiri mempunyai peran aktif dan mampu
mendeteksi kerusakan DNA dan mampu menginduksi DNA repair (Gambar
8).7,10

Selain berfungsi menekan pertumbuhan sel yang mengalami transformasi,


p53 juga berfungsi menginduksi atau meningkatkan apoptosis pada beberapa jenis
sel. Sel limfoid dan sel mieloid dengan cepat mengalami apoptosis setelah
kemoterapi atau radiasi, tetapi pada jenis sel lain diperlukan ekspresi gen-gen lain
untuk membantu apoptosis, di antaranya bcl2 dan bax. Dari observasi itu jelas
bahwa aktivasi p53 menghasilkan respons protektif seperti “cell arrest” dan “DNA
repair” di satu pihak dan di lain pihak meningkatkan apoptosis sel-sel yang
mengandung DNA yang rusak.2,7

Gambar 8. Peranan p53 dalam integritas sel.7

Apoptosis
Seperti telah disebut di atas salah satu proses yang memberi dampak pada
jumlah sel dalam jaringan termasuk jaringan tumor adalah apoptosis. Apoptosis
adalah kematian sel terprogram yang merupakan proses penting dalam pengaturan
homeostasis normal. Proses ini menghasilkan keseimbangan dalam jumlah sel
jaringan tertentu melalui eliminasi sel yang rusak dan proliferasi fisiologis dan
dengan demikian memelihara agar fungsi jaringan normal. Deregulasi apoptosis
mengakibatkan keadaan patologis, termasuk proliferasi sel secara tidak terkontrol
seperti dijumpai pada kanker. Ada berbagai bukti yang menyatakan control
apoptosis dikaitkan dengan gen yang mengatur berlangsungnya siklus sel, di
antaranya gen p53, Rb, Myc, E1A dan keluarga Bcl2. Gangguan regulasi
proliferasi sel baik akibat aktivitas onkogen dominan maupun inaktivasi tumor
suppressor genes ada hubungannya dengan kontrol apoptosis.

Gambar 9. Kerentanan terhadap apoptosis2

Gen – gen perbaikan DNA


Penyebab kerusakan DNA mencakup radiasi, bahan kimia, sinar
ultraviolet dan kesalahan acak dalam replikasi DNA. Gen perbaikan DNA
mengkode untuk protein (funsi normal untuk mengoreksi kesalahan yang timbul
ketika sel menduplikasi DNA-nya sebelum pembelahan sel). Mutasi dalam gen
perbaikan DNA dapat menyebabkan kegagalan perbaikan DNA, yang pada
gilirannya memungkinkan mutasi selanjutnya pada gen supressor tumor dan
protoonkogen menumpuk. Gen perbaikan DNA terdapat dalam pasangan
kromosom homolog, dan keduanya harus tidak berfungsi sebelum fungsi
perbaikan yang diregulasi oleh gen terganggu.
Individu yang lahir dengan mutasi herediter gen perbaikan DNA memiliki
resiko yang lebih tinggi untuk menderita kanker karena jika terjadi suatu mutasi
spontal pada alel normal lainnya, sel yang terkena tidak mampu memperbaiki
kesalahan replikasi DNA. Misalnya, kanker kolon nonpoliposis herediter terjadi
akibat ketidakcocokan gen perbaikan DNA yang bermutasi.
KARSINOGENESIS
Sekalipun tampaknya sederhana, pada hakekatnya tumorigenesis pada
manusia tetap merupakan suatu proses kompleks yang berlangsung melalui
berbagai tahapan (multistep/multistage process). Bahwa kanker terjadi melalui
proses multistep dibuktikan dengan berbagai penelitian, di antaranya bukti tidak
langsung yang diperoleh dari studi epidemiologi. Salah satu bukti epidemiologis
adalah bahwa insidens kanker meningkat sesuai peningkatan usia. Mekanisme
karsinogenesis baik biokimiawi maupun molekuler berbeda antara satu karsinogen
dengan yang lain, bergantung pada struktur dan sumber karsinogen masing-
masing, tetapi pada dasarnya sasaran karsinogen adalah menimbulkan lesi pada
untaian DNA yang mengandung berbagai jenis gen.
Kanker tumbuh setelah periode waktu yang lama dan perawatan multipel
karsinogen lebih efektif dibandingkan aplikasi tunggal. Eksperimen yang
dilakukan pada kulit tikus oleh Berenblum (1994) mengindikasikan bahwa paling
sedikit meliputi keterlibatan tiga tahap. Tahap pertama disebut inisiasi dan telah
ditemukan melibatkan pengaruh mutagenik karsinogen pada sel stem kulit. Tahap
kedua, dimana dapat disebabkan oleh berbagai agen yang bukan karsinogenik
secara langsung pada dirinya sendiri disebut promosi. Melalui suatu perawatan
yang kronis pada permulaan karsinogen kulit tikus dengan agen promosi,
munculnya papilloma. Efek yang besar pada promoters tampak pada kemampuan
mereka untuk menaikkan akspansi clonal pada permulaan sel. Akhirnya pada
tahap ketiga, progresi, beberapa dari tumor jinak secara spontan atau mengikuti
perawatan tambahan karsinogen, mengarah ke tumor invasif. 11
Gambar 10. Perkembangan tumor menunjukkan progresi dari normal ke tumor
invasif melalui akumulasi dari perubahan sifat setelah waktu yang
lama. Kecepatan perubahan tersebut dipengaruhi oleh respon host dan
lingkungan eksposure. 11

Gambar 11. Sasaran genetik karsinogenesis2

Sasaran utama lesi genetik oleh karsinogen adalah DNA, dan apabila yang
terkena lesi adalah gen yang mengatur siklus dan pertumbuhan sel akan terjadi
disfungsi gen-gen bersangkutan dengan akibat transformasi. Salah satu jenis gen
yang sering mengalami lesi / mutasi adalah gen supresor tumor p53. Seperti telah
diketahui, p53 menghasilkan produk yang berfungsi sebagai aktivator transkripsi
yang berperan pada pengaturan siklus sel pada checkpoint tertentu, khususnya fase
G1 dan G2M. Sebagian besar mutasi gen p53 terletak antara codon 120 dan 290
pada exon 5-9. Bagian ini disebut “hot-spot” mutasi p53. Dalam perannya sebagai
aktivator transkripsi, protein p53 akan mengikat DNA secara spesifik sesuai
sekuennya (sequence specific). Mutasi pada p53 menyebabkan sifat sequence
specific ini hilang, sehingga p53 tidak berfungsi. Apapun penyebabnya, sudah
diterima secara luas bahwa perkembangan kanker secara umum terjadi melalui
beberapa tahap (multistep), yaitu inisiasi, promosi dan progresi. Walaupun ada
beberapa modifikasi sesuai dengan jenis karsinogen, di tingkat molekuler efek
biokimia dari berbagai jenis karsinogen adalah sama, yaitu pada umumnya
menyebabkan perubahan proto-onkogen menjadi onkogen melalui aktivasi
onkogen (activating mutation) atau inaktivasi gen supresor (inactivating
mutation). 2

Karsinogenesis oleh virus


Beberapa jenis virus diketahui ada hubungannya dengan pertumbuhan
kanker. Walaupun mekanisme pertumbuhan kanker oleh virus bermacam-macam,
pada umumnya infeksi virus mengakibatkan 2 hal, yaitu bahwa pada sebagian
besar virus infeksi hanya menimbulkan kelainan jinak, sedangkan kelainan yang
ganas biasanya disebabkan infeksi kronis dan keganasan umumnya baru terjadi
bertahun-tahun kemudian. Karena itu diduga bahwa ada faktor-faktor lain yang
turut berperan selain infeksi untuk menghasilkan keganasan, di antaranya adalah
bahwa infeksi virus tersebut harus diikuti atau disertai mutasi gen tertentu atau
pembentukan onkoprotein yang disandi oleh onkogen virus. Ada dua kelompok
virus yang dihubungkan dengan kanker yaitu virus yang mengandung DNA dan
virus yang mengandung RNA (retrovirus) Transformasi sel yang disebabkan virus
ini terjadi karena integrasi antara seluruh bagian DNA virus atau antara DNA copy
dari RNA retrovirus dengan gen sel pejamu. Integrasi ini merupakan tahap
penting dalam proses transformasi karena DNA/RNA virus yang terintegrasi akan
direplikasi bersamaan dengan DNA sel pada waktu pembelahan sel; dengan
demikian genom virus juga akan diperbanyak. Menetapnya DNA virus dalam sel
menghasilkan produk virus yang berkelanjutan yang diperlukan agar status
transformasi menetap. Integrasi DNA ini menyebabkan : 1) aktivasi gen yang
terlibat dalam pengaturan pertumbuhan sel sehingga terjadi proliferasi tidak
terkendali, 2) disrupsi berbagai gen sel pejamu . Golongan virus lain yang
berpotensi onkogenik adalah virus RNA atau retrovirus. Ciri khas dari retrovirus
adalah bahwa virus melakukan replikasi di dalam sel terinfeksi melalui DNA
intermediate yang disebut provirus yang berintegrasi dengan DNA pejamu.
Di dalam sel pejamu RNA virus di-copy menjadi DNA dengan bantuan
enzim reverse transkriptase yang terdapat dalam partikel virus. DNA provirus
direplikasi bersama dengan DNA sel pejamu, dan disamping itu DNA provirus
juga ditranskripsi oleh RNA polimerase pejamu untuk menghasilkan gen RNA
virus yang kemudian akan menjadi protein virus baru.

Gambar 12. Siklus replikasi dan transformasi sel oleh RSV 2

Karsinogenesis oleh bahan kimia


Berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa berbagai jenis bahan
kimia dalam bentuknya yang aktif merupakan mutagen yang poten dan dapat
menginduksi kanker, walaupun sebagian besar kanker yang diinduksinya baru
timbul setelah waktu laten yang panjang. Waktu laten yang panjang
mengindikasikan bahwa diperlukan lebih dari satu jenis perubahan (multipel)
sebelum sel ditransformasi menjadi fenotip yang ganas melalui proses bertahap.
Bahan-bahan kimia yang mutagenik dapat berada di lingkungan sekitar, baik yang
sintetik maupun yang alami; sebagian besar di antaranya masuk ke dalam tubuh
dalam bentuk “pro-karsinogen/pro-mutagen”, dan baru menjadi reaktif setelah
mengalami metabolisme dalam tubuh. Perbedaan genetik dalam metabolisme
sangat mempengaruhi kecepatan karsinogenesis atau mutagenesis.
Dari berbagai penelitian juga terungkap bahwa sasaran utama karsinogen
adalah DNA, dan mutasi DNA dapat terjadi pada berbagai situs sepanjang DNA
bersangkutan. Tetapi akhir-akhir ini dapat diketahui bahwa ada hubungan antara
jenis karsinogen dan kanker tertentu, dan bahwa ada korelasi antara beberapa jenis
kanker tertentu dengan jenis gen yang mutasi. Selain itu juga diketahui bahwa
untuk kanker tertentu dan karsinogen tertentu mutasi terjadi pada situs yang sama
(reproducible). Periode di antara kontak pertama dengan karsinogen dan
timbulnya kanker disebut periode laten, yang lamanya bergantung pada dosis
karsinogen (dose dependent). Potensi karsinogenik suatu bahan kimia dipengaruhi
oleh berbagai faktor, misalnya jenis spesies, organ, usia dan lain-lain.
Periode antara kontak dengan karsinogen dan timbulnya kanker dibagai
dalam beberapa fase. Fase pertama dimulai pada saat kontak pertama dengan
karsinogen dan disebut fase inisiasi. Inisiasi merupakan proses yang ireversibel,
biasanya berlangsung cepat dan karsinogen mengakibatkan lesi DNA permanen.
Namun perlu diingat bahwa beberapa bentuk lesi DNA dapat diperbaiki melalui
berbagai jenis enzim seluler dengan bantuan DNA repair gene. Pada fase ke-2
yang disebut fase promosi terjadi proses di mana sel-sel yang mengalami inisiasi
berubah menjadi sel-sel preneoplastik. Berbeda dengan inisiasi, pada fase promosi
yang biasanya berlangsung lama (periode laten) terjadi berbagai perubahan pada
sel atau jaringan misalnya perubahan sintesis fosfolipid, perubahan sintesis DNA
dan RNA, penglepasan prostaglandin, perubahan morfologi dan lain-lain.
Fase ini umumnya reversibel, sebelum terbentuk sel pertama yang tumbuh
secara autonom menjadi sel preneoplastik. Fase ke-3 adalah fase progresi di mana
terjadi evolusi sel pre-neoplastik menjadi sel neoplastik. Gambar 10
memperlihatkan skema umum mekanisme karsinogenesis oleh bahan kimia.
Bahan kimia dapat dimetabolisme oleh enzim-enzim tertentu menjadi bahan
hidrofilik yang mudah diekskresi, tetapi aktivitas enzim ini juga dapat
menghasilkan produk oksidan reaktif yang dapat menyebabkan lesi atau mutasi
DNA yang berakibat aktivasi onkogen dan atau inaktivasi gen supresor dan
berakhir dengan transformasi sel. 2

Gambar 13. Skema umum karsinogenesis oleh bahan kimia2

Namun demikian, interaksi karsinogen dengan DNA saja tidak selalu


menghasilkan sel yang ter”inisiasi” dengan lesi DNA permanen, karena lesi DNA
dapat diperbaiki dengan bantuan gen DNA repair. Kerusakan DNA yang
diwariskan kepada sel-sel turunannya terjadi bila replikasi DNA berlangsung
sebelum proses perbaikan DNA. Karena itu untuk terjadinya inisiasi, sel yang
berinteraksi dengan karsinogen harus mengalami siklus sel sebelum proses
perbaikan sehingga lesi DNA menjadi permanen. Perkembangan klonal dari sel
ter”inisiasi” ini untuk menghasilkan sel-sel preneoplastik memerlukan promosi
oleh promoting agents, termasuk kemungkinan promosi oleh karsinogen itu
sendiri.; dalam hal ini karsinogen berfungsi sebagai inisiator sekaligus promoter
dan disebut karsinogen komplit. Sebagain dari lesi itu mengalami regresi, tetapi
sebagian lagi berlanjut dan menghasilkan sel kanker.

Karsinogenesis akibat radiasi


Radiasi peng-ion dan radiasi UV sebenarnya merupakan komponen
normal di lingkungan kita.. Radiasi kadar rendah dapat berasal dari bumi dan
angkasa luar, sedangkan radiasi UV gelombang panjang berasal dari matahari.
Penggunaan radiasi peng-ion atau UV untuk keperluan diagnosis dan terapi,
maupun peningkatan penggunaan energi nuklir dan senjata nuklir menyebabkan
kita harus lebih memperhatikan dampak jangka pendek maupun jangka panjang
radiasi. Dampak jangka panjang yang paling penting adalah kerusakan DNA yang
dapat diwariskan kepada generasi berikut dan kemungkinan terjadinya kanker.
Lesi DNA yang terjadi pada awal proses karsinogenesis dapat bermacam-macam.
Sebagian dapat direparasi, tetapi sebagian lagi dapat berlanjut dan menyebabkan
perubahan biologis. Lesi DNA akibat radiasi yang tidak dapat diperbaiki, dapat
mengakibatkan kematian sel, mutasi gen tertentu atau karsinogenesis.
Gambar 14. Dampak Radiasi 2

Dari gambar 14 dapat dilihat bahwa lesi DNA oleh radiasi dapat menghasilkan
berbagai akibat biologis, tergantung pada densitas radiasi (linear energy transfer,
LET), dosis radiasi, interaksi radiasi dengan molekul sasaran, sensitifitas sel atau
jaringan yang terkena radiasi dan lain-lain. Lesi DNA dapat merangsang gen p53
untuk mentranskripsi p21 yang merupakan inhibitor cdk dan menyebabkan siklus
sel berhenti pada fase G1 (G1 arrest). Hal ini dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada gen DNA repair memperbaiki DNA yang rusak. Kerusakan
DNA juga dapat mengakibatkan kematian sel terprogram (apoptosis) atau
menyebabkan instabilitas genetik dan menginduksi mutasi onkogenik yang lain.
Di samping itu radiasi juga dapat merusak DNA sel-sel sistem imun sehingga
berakibat imunitas menurun. 2

KESIMPULAN

Dalam perkembangannya sel berdiferensiasi dan membentuk berbagai


jenis jaringan dengan fungsi yang berbeda-beda. Walaupun demikian setiap sel
memiliki informasi genetik yang sama yang disandi dalam DNA-nya. Dalam
keadaan normal pertumbuhan sel diatur secara ketat oleh sistem regulasi tersebut
untuk memenuhi kebutuhan organisme. Sebaliknya sel-sel kanker tumbuh
autonom tidak terkendali, kemudian menginvasi jaringan organ di sekitarnya yang
berakibat fungsi organ bersangkutan terganggu. Transformasi sel normal menjadi
sel kanker terjadi sebagai akibat terganggunya sistem regulasi di atas yang
berakibat sel-sel kanker mampu membelah diri menjadi lebih banyak.

Kanker merupakan refleksi faktor lingkungan dan genetik. Bahwa faktor


lingkungan berperanan penting pada karsinogenesis. Termasuk ke dalam faktor
lingkungan adalah berbagai jenis virus, bahan kimia dan radiasi pengion dan
ultraviolet. Sebagian besar dari faktor lingkungan tersebut memiliki sifat biologis
yang sama yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cavalli F., Kaye S.B. 2009. Textbook of Medical Oncology. Informa


Healthcare. United Kingdom. 1-26
2. Kresno S.B., 2001. Ilmu Dasar Onkologi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1-50

3. Cornain S. Perangai Biologik Sel Kanker. Dalam: Course and Workshop The
5th Basic Science in Oncology; 29 - 31 Juli 2002; Jakarta, FKUI; 2002.
p.1-16

4. Kastan, M.B. Molecular Biology of Cancer: The Cell Cycle. In De Vita Jr.
Principles and Practice of Oncology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Raven Pub; 1997

5. Watson, D.J., Baker, T.A., Bell, S.P. Molecular Biology of the Gene. Benjamin
Cummings. United States of America; 2004.

6. Smets LA. Molecular Basis of Childhood Cancer. In: Voute PA, Kalifa C,
Barrett A, editors. Cancer in Children Clinical Management. 4thed. Great
Britain: Oxford University Press; 1998. p.31- 42.

7. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Robbins Pathologic Basic of Disease. 6thed.


Philadelphia: WB.Sounders.Co.; 1999. p.277-94

8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Basic Pathology. 6thed. Philadelphia: WB.
Sounders Co.; 1997. p.146-54

9. MacSween RNM. Textbook of Pathology. 13thed. London: Edward Arnold;


1992. p.355-403

10. Daly JM, Bertagnolli M, DeCosse JJ, Morton DL. Oncology. In: Schwartz SI,
et al. Principles of Surgery. Volume 1 7thed. New York: McGraw Hill;
1999. p.307-28

11. Knowles M.A., 2005. Oncogenes and Tumor Suppressor Gene. In : Knowles
M.A., Selby P.J., Introduction to The Cellular and Molecular Biology of
Cancer. Oxford University Press.; 117 – 150

12. Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Internapublishing.

Anda mungkin juga menyukai