Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

RHINITIS ALERGI PADA ANESTESI UMUM

Penguji :
dr. Aflah Eddin, Sp.An

Disusun oleh :
Chairunnisa Rifka W. (1102012044)

KEPANITERAAN ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO
PERIODE 29 MEI – 16 JUNI 2017
1.1 Definisi Rhiitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien atopi yang terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala
bersin-bersin, rhinore, rasa gatal dan tersumbat.

1.2 Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung, 2) dorsum nasi,
3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).
Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis, 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari.1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), 3) beberapa pasang
kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago septum.
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
hidung licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka
yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang
terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter.
Di antara konka-konka dan dinding laterla hidung terdapat rongga sepit yang
disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus media, dan
meatus superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimaris, pada meatus media terdapat muara sinus frontalis, sinus
maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Sedangkan pada meatus superior bermuara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

1.2.1 Pendarahan Hidung


Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah hidung),
a. fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang a.

2
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang
disebut pleksus Kieselbach.

1.2.2. Persyarafan Hidung


Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid
anterior (cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung lainnya
saraf sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion
sfenopalatinum.

Gambar 1: Anatomi External Hidung

Gambar 2: Anatomi Dinding Lateral Hidung

3
Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa
pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel
skuamosa.

1.3 Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1.Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan,
serta jamur.
2.Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3.Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
dan sengatan lebah.
4.Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

1.4 Rhinitis Alergi pada Anestesi Umum

Pada anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan


ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat
obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon
rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnyarespon terhadap
rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya
kesadaran (unconsciousness). Obat obatan tersebut juga dapat menyebabkan
vasodilatasi cerebral, meningkatkan aliran darah pada otak, menyebabkan depresi
pernafasan, menurunkan tonus simpatik, dll.

4
Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian,
sebagai penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli
anatomisnya berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran
napas terdepan, hidung berfungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring
udara sebagai organ penciuman dan konservasi uap air dan panas terhadap udara
lingkungan. Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini pada
dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah terhadap pengaruh udara
dingin, kering maupun udara kotor karena polusi.
Bila hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian
bawah akan terkena dampaknya. Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem
saraf di sekitar rongga hidung sehingga mudah melebar dan menyempit.
Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter saluran napas. Obstruksi
saluran napas dapat terjadi karena vasodilatasi,edema jaringan, sumbat mucus dan
kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini
terbukti bila diberi obat golongan alfa-adrenergik, obstruksi hidung akan segera
berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma,
yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis
beta. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak mengancam
jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut.
Pada rinitis alergi, belum nampak gejala asma. Namun, bila dilakukan
pemeriksaan pada pasien rinitis alergi ternyata pada beberapa pasien menunjukkan
adanya peningkatan dari reaktivitas bronkus. Hipereaktivitas saluran napas erat
kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan salah satu kriteria diagnosis.
Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan udara
dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap diudara. Umumnya terdapat
hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma. Banyak
penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa disertai
asma secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus.

Pada pasien rhinitis alergi dengan anestesi umum juga harus diperhatikan
penggunaan obat obat yang mempunyai cara kerja histamine release. Histamin
merupakan mediator penting yang dihasilkan dari degranulasi sel mast,

5
merupakan penyebab lebih dari 50% gejala rhinitis alergi. Reseptor istamin H1
terdapat pada sel endotel, yang apabila diinduksi dapat menyebabkan kenaikan
permeabilitas kapiler, dan juga akan menyebabkan sel mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi yang akan meningkatkan resiko gangguan pada jalan
nafas.
Anak dengan rhinitis alergi kronis dapat menderita sinusitis purulen kronis
atau kondisi bukan seperti alergi lagi yang akan membahayakan pada saat general
anestesi. Beberapa penelitian menjelaskan terdapat peningkatan resiko komplikasi
pulmonal walaupun tidak signifikan. Manajemen jalan nafas kadang menjadi
tantangan karena banyak pada pasien anak ini bernafas menggunakan mulut.
Pada pasien dewasa rhinitis alergi dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya masalah pernafasan intra-bedah maupun pasca bedah, karena pada
penderita-penderita ini sering terjadi kesulitan jalan nafas ringan. Komplikasi
yang paling dikhawatirkan adalah resiko bronkospasme intraoperatif, kejadian ini
meningkat pada pasien atopi, rhinitis alergi dan kondisi lain dengan peradangan
kronis.

DAFTAR PUSTAKA

Girish VV, Cleveland MM, Raghubir KM et al. Allergic rhinitis and asthma
severity. Journal of the World Allergy Organization; Jan/Feb.2004; 16 (1):
15-9
Lockey R.F,ed. Rhinitis Medicamentosa and Stuffy Nose, Allergy Clinical
Immunology Journal, Volume 118, 2006 : 1017-1018.
Michael J, Burton S. Rhinitis, Allergy Clinical Immunology Journal, Volume 108
Number 5, 2006 : S171- S196
Ramer J.T, Bailen E, Lockey R.F. Rhinitis Medikamentosa, Allergy Clinical
Immunology Journal, Volume 16(3), 2006 : 148-155.

6
Said A. Latief, Kartini A Suryadi, M. Ruswan Dachlan. Petunjuk
PraktisAnestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anstesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2001.
Halaman 107-112

Anda mungkin juga menyukai