Anda di halaman 1dari 31

KARYA ILMIAH

MENJADI APOTEKER PROFESIONALISME DI INDUSTRI


FARMASI : APOTEKER SEBAGAI PENANGGUNG JAWAB
PEMASTIAN MUTU (QUALITY ASSURANCE)

Disusun Oleh :

Eneng Elda Ernawati


1504026035

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UHAMKA
2015

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 1


Eneng Elda Ernawati
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Meskipun namanya “Apoteker” (Apotek ditambah akhiran -er),


seorang apoteker bukan berarti hanya dapat bekerja di “Apotek”. Banyak
sebenarnya pekerjaan lain yang dapat dilakukan oleh seorang apoteker yang
mungkin tidak banyak diketahui oleh masyarakat awam, salah satunya adalah
di industri farmasi.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
245/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi Pasal 10, suatu industri farmasi obat
jadi dan bahan baku obat setidaknya harus mempekerjakan secara tetap
minimal tiga orang apoteker WNI sebagai manager atau penanggung jawab
produksi, pengawasan mutu (Quality Control/QC), dan pemastian mutu
(Quality Assurance/QA). Ketiga bagian ini (produksi, pengawasan mutu, dan
pemastian mutu) harus dipimpin oleh orang yang berbeda yang tidak saling
bertanggung jawab satu terhadap yang lain (indipenden) agar tidak terjadi
tumpang tindih tugas dan perannya. Dari peraturan tersebut, sudah jelas bahwa
apoteker diperlukan di industri farmasi, setidaknya untuk memimpin ketiga
bagian tersebut.
Baik manager produksi, QC, maupun QA, ketiganya haruslah
merupakan apoteker yang sudah berpengalaman di industri farmasi dan
memenuhi kualifikasi yang ditentukan. Oleh karena itu, seorang apoteker yang
bekerja di industri farmasi tidak serta merta dapat menduduki posisi-posisi
tersebut tetapi harus memulai karirnya dari bawah, misalnya dari level staff.
Produksi hendaknya dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang
telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan pedoman Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB). CPOB sendiri menjamin produk yang dihasilkan
memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 1


Eneng Elda Ernawati
izin edar (registrasi). Oleh karena itu, bagian produksi bertugas untuk
menjalankan proses produksi sesuai prosedur yang telah ditetapkan dan sesuai
dengan ketentuan CPOB. Bagian pengawasan mutu (QC) bertanggung jawab
penuh dalam seluruh tugas pengawasan mutu mulai dari bahan awal, produk
antara, produk ruahan, dan produk jadi. Sementara bagian pemastian mutu
(QA) bertugas untuk memverifikasi seluruh pelaksanaan proses produksi,
pemastian pemenuhan persyaratan seluruh sarana penunjang produksi, dan
pelulusan produk jadi. Dalam hal ini, pemastian mutu adalah suatu konsep
luas yang mencakup semua hal yang akan mempengaruhi mutu dari obat yang
dihasilkan, seperti personel, sanitasi dan higiene, bangunan, sarana penunjang,
dan lain-lain.

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 2


Eneng Elda Ernawati
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Industri Farmasi


Industri farmasi adalah industri yang meliputi industri obat jadi dan
industri bahan baku obat. Industri obat jadi adalah industri yang menghasilkan
suatu produk yang telah melalui seluruh tahap proses pembuatan, sedangkan
industri bahan baku obat adalah industri yang menghasilkan bahan baku yang
diperlukan pada proses pembuatan suatu obat jadi. Proses pembuatan
merupakan seluruh rangkaian kegiatan yang menghasilkan suatu obat yang
meliputi produksi dan pengawasan mutumulai dari pengadaan bahan awal,
proses pengolahan, pengemasan, sampai obat jadi untuk distribusi.
Industri farmasi ada dua bentuk, yaitu primary industry dan secondary
industry. Primary industryterfokus pada penemuan bahan-bahan obat baru
(new drug substances), sedangkan secondary industryterfokus pada usaha
pengelolaan bahan baku menjadi produk jadi. Saat ini,sebagian besar industri
farmasi di Indonesia adalah secondary industry. Hal ini berkaitan dengan nilai
investasi yang sangat tinggi, baik dalam bentuk biaya,fasilitas maupun waktu
yang panjang. Meskipun demikian, kedua industri tersebut bertanggung jawab
atas kualitas, keamanan dan khasiat obat yang diproduksinya. Hal ini terkait
dengan hukum dan peraturan yang mengatur industri farmasi untuk
melindungi konsumen melalui upaya pengadaan obat dengan kualitas,
keamanan dan khasiat yang sesuai dengan ketentuan standar yang berlaku.
2.1.1. Persyaratan Industri Farmasi
Semua industri farmasi wajib memiliki izin untuk usaha, izin
tersebut diperoleh dari Menteri Kesehatan melalui Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM). Berdasarkan SK Menkes RI
No.1191/Menkes/SK/IX/2002. Persyaratan yang harus dipenuhi industri
farmasi untuk medapatkan izin usaha, yaitu:
1. Dilakukan oleh perusahaan umum, badan hukum berbentuk Perseroan
Terbatas

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 3


Eneng Elda Ernawati
2. (PT) atau koperasi.
3. Memiliki Rencana Investasi.
4. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
5. Industri Farmasi Obat Jadi dan Bahan Baku Obat wajib memenuhi
persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
6. Industri Farmasi Obat Jadi dan Bahan Baku Obat wajib
mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
Apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing sebagai
penanggung jawab produksi dan penanggung jawab pengawasan mutu
sesuai dengan persyaratan CPOB.
7. Obat Jadi yang diproduksi oleh Perusahaan Industri Farmasi hanya
dapat diedarkan setelah memperoleh persetujuan sesuai dengan
ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Setelah memperoleh izin usaha, terdapat beberapa kewajiban lain
yang harus dilakukan oleh perusahaan yang telah memperoleh Izin Usaha
Industri Farmasi, yaitu:
1. Membuat laporan jumlah dan nilai produksinya sekali dalam 6 (enam)
bulan. Sedangkan untuk laporan lengkap wajib disampaikan sekali
dalam setahun.
2. Menyalurkan produksinya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian serta mencegah
pencemaran lingkungan.
4. Melaksanakan keamanan dan keselamatan alat, bahan baku, proses,
hasil produksi, pengangkutan dan keselamatan kerja.
5. Melakukan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) berupa Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL).
2.1.2. Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi
Hal-hal yang dapat membuat izin usaha industri farmasi dicabut
adalah:

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 4


Eneng Elda Ernawati
1. Melakukan pemindahtanganan hak milik izin usaha industri farmasi, dan
perluasan bangunan (pabrik) tanpa memiliki izin.
2. Tidak menyampaikan informasi industri kepada BPOM secara berturut-
turut tiga kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak
benar.
3. Melakukan pemindahan lokasi usaha produksi tanpa persetujuan tertulis
terlebih dahulu dari Menteri Kesehatan RI.
4. Dengan sengaja memproduksi obatatau bahan baku obat yang tidak
memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku (obat palsu).
5. Tidak memenuhi ketentuan dalam izin usaha industri farmasi.

2.2.Peran, Fungsi dan Tugas Apoteker di Industri Farmasi


Peran apoteker di industri farmasi seperti yang disarankan oleh World
Health Organization (WHO), yaitu Eight Star of Pharmacist yang meliputi :
1. Care Giver, apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk informasi
obat, efek samping obat dan lain-lain kepada profesi kesehatan. Perlu ada
interaksi dengan individu/kelompok di dalam industri (regulatory, QA/QC,
produksi dll) dan individu/kelompok di luar industri.
2. Decision maker, apoteker sebagai pengambil keputusan yang tepat untuk
mengefisienkan dan mengefektifkan sumber daya yang ada di industri.
3. Communicator, apoteker harus memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun tulisan.
4. Leader, apoteker sebagai pemimpin yang berani mengambil keputusan
dalam mengatasi berbagaipermasalahan di industri dan memberikan
bimbingan ke bawahannya dalam mencapai sasaran industri.
5. Manager, apoteker sebagai pengelola seluruh sumber daya yang ada di
industri farmasi dan mampu mengakumulasikannya untuk meningkatkan
kinerja industri dariwaktu ke waktu.
6. Long-life learner, apoteker belajar terus menerus untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan.

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 5


Eneng Elda Ernawati
7. Teacher, bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan dan pelatihan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dunia industri kepada sejawat
apoteker atau lainnya.
8. Researcher, apoteker sebagai peneliti yang harus selalu melakukan riset
dan mengetahui perkembangan obat baru yang lebih baik dan bermanfaat
untuk kesehatan masyarakat.
Peran tersebut diterapkan di dalam fungsi-fungsi industrial yang
diperlukan, yaitu manajemen produksi, pemastian/manajemen mutu (Quality
Assurance), registrasi produk, pemasaran produk (Product Manager), dan
pengembangan produk (Research and Development).
2.2.1. Apoteker sebagai Penanggung Jawab Produksi
Penanggungjawab produksi (kepala bagian produksi/ manajer
produksi) hendaklah seorang apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi,
memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman praktis paling
sedikit 5 tahun bekerja di bagian produksi pabrik farmasi, memiliki
pengalaman dan pengetahuan di bagian pembuatan obat dan perencanaan
produksi, pengetahuan mengenai peralatan yang digunakan dalam
pembuatan obat, CPOB, penguasaan bahasa asing yang baik, serta
keterampilan dalam kepemimpinan yanag dibuktikan dengan sertifikasi
lembaga yang ditunjuk.
Manajer produksi bertanggungjawab atas terselenggaranya
pembuatan obat agar obat tersebut memenuhi persyaratan kualitas yang
ditetapkan dan dibuat dengan memperhatikan pelaksanaan CPOB, dalam
batas waktu dan biaya produksi yang ditetapkan.
Secara rinci, ruang lingkup tugas dan tanggung jawab seorang
penanggungjawab produksi adalah sebagai berikut:
1. Bertanggungjawab dalam memastikan bahwa obat diproduksi dan
disimpan sesuai prosedur sehinggamemenuhi persyaratan mutu yang
ditetapkan.

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 6


Eneng Elda Ernawati
2. Bertanggung jawab atas terlaksananya pembuatan obat dari perolehan
bahan, pengolahan, pengemasan, sampai pengiriman obat ke gudang
jadi.
3. Memberikan pengarahan teknis dan administratif untuk semua
pelaksanaan operasi di gudang, penimbangan, pengolahan, dan
pengemasan.
4. Bersama-sama dengan manajer perencanaan dan pengadaan bahan
menyusun rencana produksi.
5. Bertanggung jawab memeriksa catatan pengolahan bets dan catatan
pengemasan bets serta menjamin bahwa produksi dilaksanakan sesuai
dengan prosedur pengolahan bets dan prosedur pengemasan bets.
6. Berdiskusi dengan manajer pengawasan mutu jika ada kegagalan
7. Bertanggung jawab atas peralatan yang digunakan dalam proses
produksi, peralatan yang digunakan harus selalu dikualifikasi dan
divalidasi dengan benar.
8. Ikut membantu pelaksanaan inspeksi CPOB dan menjaga pelaksanaan
serta pematuhan terhadap peraturan CPOB.
9. Bertanggung jawab atas kebersihan di daerah produksi.
10. Bertanggung jawab untuk menjaga moral kerja yang tinggi,
kemampuan pengembangan, dan pelatihan serta melakukan evaluasi
tahunan atas semua karyawan yang dibawahinya.
11. Membuat laporan bulanan.
12. Membuat anggaran tahunan untuk bagian produksi.
13. Mengusahakan perbaikan biaya produksi.
14. Menjaga hubungan kerja yangbaik dengan Penanggungjawab
Pengawasan Mutu, Teknik dan Perencanaan dan Pengadaan Bahan
serta Pemasaran.
15. Berhubungan dengan pemerintah, dalam hal ini Pengawas Obat dan
Makanan berkaitan dengan kualitas obat.
Kepala Bagian Produksi hendaknya selalu menjaga hubungan kerja
yang baik dengan Manajer Pengawasan Mutu, Manajer Pemastian Mutu,

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 7


Eneng Elda Ernawati
Manajer Teknik, Manajer Perencanaan dan Pengadaan Bahan serta
Manajer Pemasaran. Berhubungan baik dengan pemerintah, dalam hal ini
Pengawas Obat dan Makanan sehubungan dengan kualitas obat.
2.2.2. Apoteker sebagai Penanggung Jawab Pengawasan Mutu (Quality
Control)
Pengawasan mutu merupakan bagianyang penting dari CPOB
untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai
mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Pengawasan mutu
hendaklah mencakup semua kegiatan analitik yang dilakukan di
laboratorium, termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian
bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini
juga mencakup uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian
yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal,
menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan, produk serta metode
pengujiaannya.
Bagian pengawasan mutu dalam suatu pabrik obat bertanggung
jawab untuk memastikan bahwa :
1. Bahan awal untuk produksi obat memenuhi spesifikasi yang ditetapkan
untuk identitas, kekuatan, kemurnian, kualitas, dan keamanannya;
2. Tahapan produksi obat telah dilaksanakan sesuai prosedur yang
ditetapkan dan telah divalidasi sebelumnya antara lain melalui
evaluasi, dokumentasi, produksi terlebih dahulu;
3. Semua pengawasan selama proses dan pemeriksaan laboratorium
terhadap suatu batch obat telah dilaksanakan dan batch tersebut
memenuhi spesifikasi yang ditetapkan sebelum didistribusikan;
4. Suatu batch obat memenuhi persyaratan mutunya selama waktu
peredaran yang ditetapkan.
Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian
pengawasan mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan
telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk
disetujui sebelum didistribusikan. Personil pengawasan mutu hendaklah

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 8


Eneng Elda Ernawati
memiliki akses ke area produksi untuk melakukan pengambilan sampeldan
penyelidikan bila diperlukan Seorang penanggung jawab pengawasan
mutu (Kepala Bagian Pengawasan Mutu / Manajer Pengawasan Mutu)
adalah seorang apoteker yang terkualifikasi, memperoleh pelatihan yang
sesuai, memiliki pengalaman praktis yang memadai dalam bidang
pembuatan obat dan keterampilan manajerial sehingga memungkinkan
untuk melaksanakan tugas secara profesional. Penanggung jawab
pengawasan mutu harus seorang apoteker dengan pengalaman praktis
minimal 2 tahun bekerja di bagian pengawasan mutu pabrik farmasi,
memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidang analisis kimia dan
mikrobiologi, pemeriksaanbahan pengemas, CPOB dan keterampilan
dalam kepemimpinan
Seorang penanggung jawab pengawasan mutu memiliki
kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam pengawasan mutu,
termasuk:
1. Menyetujui atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk
2. Memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah
dilaksanakan.
3. Memberi persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja pengambilan
contoh, metode pengujian dan prosedur pengawasan mutu lain.
4. Memberikan persetujuan dan memantau semua kontrak analisis.
5. Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di
bagian pengawasan mutu.
6. Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan.
7. Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi
personil di departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai
kebutuhan.
2.2.3. Apoteker sebagai Penanggung Jawab Pemastian Mutu (Quality
Assurance)
Seorang penanggung jawab Pemastian Mutu/Manajemen Mutu
(Quality Assurance) adalah seorang apoteker yang terdaftar dan

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 9


Eneng Elda Ernawati
terkualifikasi, memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman
praktis yang memadai dalam bidang pembuatan obat dan keterampilan
manajerial sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara
profesional.
Penanggung jawab Pemastian Mutu/Manajemen Mutu harus
seorang apoteker atau Magister Sains atau Doktor Sains dan memiliki
pengalaman paling sedikit 5 tahun sebagai apoteker dalam suatu
perusahaan farmasi, pengalaman praktek dalam analisis fisika dan kimia,
pengalaman dalam menggunakan metode dan peralatan laboratorium
modern, kemampuan untuk menguraikan metode analisis serta fasih
berbahasa inggris, kesanggupan dalam manajemen dan motivasi personalia
serta memiliki pengetahuan yang baik dalam proses pembuatan obat dan
CPOB baik nasional maupun internasional.
Penanggung jawab Pemastian Mutu memiliki kewenangan dan
tanggung jawab penuh dalam sistem mutu, termasuk:
1. Memastikan penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) sistem
mutu.
2. Ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan acuan mutu
perusahaan.
3. Memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala.
4. Melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian pengawasan mutu.
5. Memprakarsai dan mengawasi audit eksternal (audit terhadap
pemasok).
6. Memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi.
7. Memastikan pemenuhan persyaratan teknik atau peraturan Otoritas
Pengawasan Obat (OPO) yang berkaitan dengan mutu produk jadi.
8. Mengevaluasi/mengkaji catatan bets.
9. Meluluskan atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan
mempertimbangkan semua faktor terkait.

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 10


Eneng Elda Ernawati
10. Memantau kinerja sistem mutu dan prosedur serta menilai
efektifitasnya. Penekanan difokuskan pada pencegahan kerugian/cacat
dan realisasi peluang perbaikan yang berkesinambungan.
11. Menyiapkan prosedur dalam penerapan CPOB dalam pembuatan obat,
pengemasan, penyimpanan dan pengawasan mutu.
12. Memastikan pemenuhan peraturan pemerintahdan standar perusahaan.
13. Melaksanakan inspeksi diri dan menyelenggarakan pelatihan CPOB.
14. Menyusun prosedur tetap (Protap)dan mengelola sistem protap.
15. Melakukan penilaian terhadap keluhan teknik farmasi dan mengambil
keputusan serta tindakan atas hasil penilaian, bila perlu bekerja sama
dengan bagian lain.
16. Memastikan penyelanggaraan validasi proses pembuatan dan sistem
pelayanan.
17. Memantau penyimpangan bets.
18. Mengawasi sistem pengendalian perubahan dan menyetujui perubahan.
19. Menyetujui prosedur pengolahan induk dan prosedur pengemasan
induk.
20. Menyetujui atau menolak pasokan bahan baku.
21. Bertanggung jawab dalam pelulusan atau penolakan obat jadi sesuai
Protap terkait.
2.2.4. Apoteker dalam Proses Registrasi Obat dan Desain Kemasan
Unit ini dikepalai oleh seorang apoteker yang membawahi
Packaging Specialist and Documentation and Registration Officer. Unit ini
bertanggung jawab terhadap pengembangan kemasan (baik untuk produk
baru dan produk lama) serta menyiapkan dokumen-dokumen untuk
registrasi. Selain itu juga bertugas membuat spesifikasi dan prosedur
pemeriksaan bahan kemas, dan membuat Master batchbekerja sama
dengan kepala unit formulasi.
Sebuah obat harus memiliki Nomor Izin Edar (NIE) sebelum dapat
dipasarkan. Untuk memperoleh NIE sebuah industri farmasi harus
mendaftarkan produknya ke BPOM dan melalui prosedur registrasi yang

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 11


Eneng Elda Ernawati
berlaku. Dalam hal inilah seorang apoteker sebagai seseorang yang
kompeten di bidang obat berperan penting. Selain itu, apoteker sebagai
seseorang yang mengetahui peraturan mengenai kemasan dan label harus
mampu dalam mengatur desain kemasan yang benar. Uraian tugas dan
tanggung jawab bagian registrasi dan desain kemasan:
1. Bertanggung jawab dalam melakukan semua kegiatan yang
berhubungan dengan kegiatan pendaftaran semua produk / obat. Baik
pendaftaran produk baru, atau pendaftaran ulang suatu produk.
2. Bertanggung jawab dalam melengkapi dokumen registrasi dengan data
valid dan data yang sebenarnya.
3. Bertanggung jawab dalam melakukan desain kemasan yang sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
2.2.5. Apoteker sebagai Tenaga Pemasaran
Dalam pelaksanaan peran apoteker sebagai tenaga pemasaran / ritel
perlu diakukan studi kelayakan terlebih dahulu. Studi kelayakan
merupakan suatu kajian sebagai bagian dari perencanaan yang dilakukan
menyeluruh mengenai suatu usaha dalam proses pengambilan keputusan
investasi yang mengawali resiko yang belum jelas. Melalui studi
kelayakan berbagai hal yang diperkirakan dapat menyebabkan kegagalan,
dapat diantisipasi lebih awal.
Ritel adalah keseluruhan aktivitas bisnis yang terkait dengan
penjualan dan pemberian layanan kepada konsumen untuk penggunaan
yang sifatnya individu sebagai pribadi maupun keluarga. Agar sukses di
dunia ritel maka ritel harus dapat menawarkan produk yang tepat, dengan
harga yang tepat, di tempat yang tepat, dan waktu yang tepat.
Fungsi Ritel adalah sebagai berikut :
1. Menyediakan berbagai jenis produk dan jasa
Konsumen selalu mempunyai pilihan sendiri terhadap bebagai
jenis produk dan jasa. Untuk itu, dalam fungsinya sebagai peritel,
mereka menyediakan beraneka ragan produk dan jasa yang dibutuhkan
konsumen.

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 12


Eneng Elda Ernawati
2. Memecah
Memecah beberapa ukuran produk menjadi lebih kecil, yang
akhirnya menguntungkan produsen dan konsumen. Jika produsen
memproduksi barang dan jasa dalam ukuran besar, maka harga barang
dan jasa tersebut menjadi tinggi. Sementara konsumen juga
membutuhkan barang dan jasa tersebut dalam ukuran yang lebih kecil
dan harga yang lebih rendah. Kemudian peritel menawarkan produk-
produk tersebut dalam jumlah kecil yang disesuaikan dengan pola
konsumsi para konsumen secara individual.
3. Penyimpanan Persediaan
Peritel juga dapat berposisi sebagai perusahaan yang
menyimpan persediaan dengan ukuran yang lebih kecil. Dalam hal ini,
pelanggan akan diuntungkan karena terdapat jaminan ketersediaan
barang dan jasa yang disimpan peritel.
4. Penyedia Jasa
Dengan adanya ritel, maka konsumen akan mendapatkan
kemudahan dalam mengonsumsi produk-produk yang dihasilkan
produsen. Selain itu, ritel juga dapat mengantar hingga dekat ke tempat
konsumen, menyediakan jasa yang memudahkan konsumen dalam
membeli dan menggunakan produk dengan segera dan membayar
belakangan.
5. Meningkatkan Nilai Produk dan Jasa
Dengan adanya beberapa jenis produk dan jasa, maka untuk
suatu aktivitas pelanggan mungkin memerlukan beberapabarang.
Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut, peritel dapat berinteraksi
dengan konsumen akhir dengan memberikan nilai tambah bagi produk
atau barang. Kemajuan industri farmasi sangat ditentukan oleh strategi
dan tenaga pemasaran yang dimiliki perusahaan. Apoteker sebagai
seorang yang kompeten di bidang obat dapat berperan sebagai Product
Manager. Apoteker sangat potensial dalam memperkenalkan
produkindustri pada masyarakat (obat bebas/OTC) atau pada para

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 13


Eneng Elda Ernawati
dokter (obat ethical) karena ilmu kefarmasian dan managemen yang
dikuasainya.
2.2.6. Apoteker dalam Riset dan Pengembangan Produk
Seorang penanggung jawab riset dan pengembangan produk harus
seorang apoteker yang memiliki pengetahuan memadai mengenai zat aktif
dan berbagai zat pembantu yang akan digunakan dalam pengembangan
formula. Uraian tugas dan tanggung jawab penanggung jawab riset dan
pengembangan produk adalah:
1. Bertanggung jawab dalam pengembangan produk baru sesuai dengan
permintaan marketing.
2. Bertanggung jawab untuk melakukan efisiensi biaya produksi dengan
membuat formulasi bahan yang memerlukan biaya rendah tetapi tetap
menjaga kualitas.
3. Bertanggung jawab untuk memperbaiki formula obat jika ditemukan
permasalahan dalam produksi.
4. Bertanggung jawab untuk pengembangan sarana penunjang yang
dibutuhkan untuk kelancaran produksi (seperti sistem tata udara,
sistem pengolahan air, sistem pengolahan limbah, dan lain-lain).

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 14


Eneng Elda Ernawati
BAB III
APOTEKER SEBAGAI PENANGGUNG JAWAB PEMASTIAN MUTU
(QUALITY ASSURANCE)

3.1. Quality Assurance


Industri farmasi bertujuan untuk menghasilkan obat yang harus
memenuhi persyaratan khasiat (efficacy), keamanan (safety) dan mutu
(quality). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Pasal 9 Ayat 1 yang
menyatakan bahwa, ”industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker
sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu,
produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi”.
Quality Assurance (QA) menurut WHO (2004) dan juga diadopsi oleh
CPOB 2006 didefinisikan sebagai : “Semua aspek yang secara kolektif
maupun individual mempengaruhi mutu produk, dari konsep design hingga
produk tersebut ditangan konsumen”.
Quality Assurance merupakan keseluruhan sistem yang dibuat dengan
tujuan agar seluruh produk industri farmasi yang dihasilkan memenuhi
persyaratan mutu yang telah ditetapkan. Quality Assurance tidak saja
mencakup pelaksanaan Cara Pembuatan Obat yang Baik (Good
Manufacturing Practices/GMP) melainkan juga Cara Berlaboratorium yang
Baik (Good Laboratory Practices/GLP) dan Cara Uji Klinis yang Baik (Good
Clinical Practices/GCP) serta Cara Distribusi yang Baik (Good Distribution
Practices/GDP).
Departemen QA memiliki kewenangan dan bertanggung jawab untuk
menyusun kebijakan mutu perusahaan yang dapat menjamin mutu obat yang
dihasilkan agar sesuai dengan persyaratan mutu yang telah ditetapkan dan
memastikan bahwa seluruh bagian yang terlibat dalam proses pembuatan obat,
melaksanakan kebijakan tersebut.

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 15


Eneng Elda Ernawati
3.2. Tujuan Quality Assurance
Tujuan Qualiy Assurance adalah untuk memastikan bahwa obat
dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Dalam
pedoman pelaksanaan CPOB disebutkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi mutu produk antara lain adalah :
1. Kualitas dari bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan
2. Proses pembuatan dan pengawasan mutu
3. Bangunan dan peralatan
4. Personalia yang terlibat dalam pembuatan obat

3.3. Persyaratan Dasar


Sistem Pemastian Mutu yang benar dan tepat bagi industri farmasi
hendaknya memastikan bahwa :
1. Design dan pengembangan obat dilakukan dengan cara yang
memerhatikan persyaratan CPOB dan Cara Berlaboratorium yang Baik.
2. Semua langkah produksi dan pengendalian diuraikan secara jelas dan
CPOB diterapkan
3. Tanggung jawab manajerial diuraikan dengan jelas dalam uraian jabatan
4. Pengaturan disiapkan untuk pembuatan, pasokan dan penggunaan bahan
awal dan pengemas yang benar
5. Semua pengawasan terhadap produk antara dan pengawasan-selama-
proses (in-process controls) lain serta validasi yang diperlukan dilakukan
6. Pengkajian terhadap semua dokumen yang terkait dengan proses,
pengemasan dan pengujian bets, dilakukan sebelum memberikan
pengesahan pelulusan untuk distribusi. Penilaian hendaklah meliputi
semua faktor yang relevan termasuk kondisi pembuatan, hasil pengujian
dan/atau pengawasan-selama-proses, pengkajian dokumen produksi
termasuk pengemasan, pengkajian penyimpangan dari prosedur yang tela
ditetapkan, pemenuhan persyaratan dari Spesifikasi Produk Jadi dan
pemeriksaan produk dalam kemasan akhir

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 16


Eneng Elda Ernawati
7. Obat tidak dijual atau dipasok sebelum kepala bagian Manajemen Mutu
(Pemastian Mutu) menyatakan bahwa tiap bets produksi dibuat dan
dikendalikan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam izin edar
dan peraturan lain yang berkaitan dngan aspek produksi, pengawasan
mutu dan pelulusan produk
8. Tersedia pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa, sedapat
mungkin, produk disimpan, didistribusikan dan selanjutnya ditangani
sedemikian rupa agar mutu tetap dijaga selama masa edar/simpan obat
9. Tersedia prosedur inspeksi diri dan/atau audit mutu yang secara berkala
mengevaluasi efektivitas da penerapan Sistem Pemastian Mutu
10. Pemasok bahan awal dan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk
memenuhi spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan
11. Penyimpangan dilaporkan, diselidiki dan dicatat
12. Tersedia sistem persetujuan terhadap perubahan yang berdampak pada
mutu produk
13. Prosedur pengolahan ulang dievaluasi dan disetujui
14. Evaluasi mutu produk berkala dilakukan untuk verifikasi konsistensi
proses dan memastikan perbaikan proses yang berkesinambungan

3.4. Ruang Lingkup


1. Personalia
Personalia adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam
suatu industri farmasi. Oleh sebab itu industri farmasi bertanggung jawab
untuk menyediakan personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang
memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap personil mampu
memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat. Seluruh personil
mampu memahami prinsip CPOB dan memperoleh pelatihan awal dan
berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan
dengan pekerjaan. Selain itu, seluruh karyawan juga harus memiliki
kesehatan fisik dan mental yang baik sehingga mampu melaksanakan
tugas secara profesional.

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 17


Eneng Elda Ernawati
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam masalah personalia, antara
lain :
a. Kesehatan personil
Pada saat perekrutan sebaiknya dipastikan bahwa semua calon
karyawan (mulai dari petugas pembersihan, pemasangan dan
perawatan peralatan, personil produksi dan pengawasan hingga
personil tingkat manajerial) memiliki kesehatan fisik dan mental yang
baik sehingga tidak akan berdampak pada mutu produk yang akan
dibuat. Untuk masing-masing karyawan sebaiknya ada catatan tentang
kesehatan mental dan fisiknya.
b. Unit Produksi, unit Pengawasan Mutu dan unit Pemastian Mutu
dikepalai oleh Apoteker yang berbeda dan bertanggung jawab terhadap
unitnya masing-masing serta memiliki pengalaman dan mampu
membawahi para Supervisor pada setiap tingkat pekerjaan yang
dilakukan.
c. Kualifikasi dan pengalaman personil
Kualifikasi personalia harus tercantum dalam suatu Prosedur
Tetap (protap) Kualifikasi Karyawan yang harus mendapat persetujuan
dari QA Manager dan Direksi Perusahaan. Selain itu, sebagai pedoman
pelaksanaan tugas tersebut maka setiap karyawan harus memiliki
Uraian Tugas yang disusun oleh bagian Personalia dengan persetujuan
QA Manager
d. Jumlah personil
Kekurangan jumlah personil cenderung memengaruhi kualitas
obat, karena tugas akan dilakukan secara tergesa-gesa dengan segala
akibatnya. Di samping itu kekurangan jumlah karyawan biasanya
mengakibatkan kerja lembur sering dilakukan yang dapat
menimbulkan kelelahan fisik dan mental baik bagi operator maupun
supervisor atau malahan bagi personil pada tingkat lebih atas/yang
melakukan evaluasi dan/atau mengambil keputusan.

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 18


Eneng Elda Ernawati
e. Sarana dan lingkungan tempat kerja, pakaian kerja serta
peralatan/perlengkapan penanganan yang memadai perlu disediakan
agar produk maupun orangnya bebas dari resiko kontaminasi
Untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan CPOB maka
pada setiap karyawan yang bekerja pada industri farmasi wajib untuk
diberikan pelatihan.
Pelatihan dapat diberikan oleh seorang yang cakap dan ahli
dibidangnya atau oleh atasan yang bersangkutan. Pelatihan mengenai
CPOB harus dilakukan secara berkesinambungan dan dengan frekuensi
yang memadai untuk menjamin supaya karyawan terbiasa dengan
persyaratan CPOB yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya
masing-masing. Pada setiap pelatihan yang diberikan harus dibuat
“Catatan Pelatihan” pada masing-masing karyawan. Catatan pelatihan ini
harus disimpan dan efektivitas program perlatihan dievaluasi (dinilai)
secara berkala.
Program pelatihan sebaiknya mencakup antara lain :
a. Materi umum yang harus diberikan kepada semua personil pada hari
pertama kerjanya
b. CPOB dasar (termasuk mikrobiologi dan higiene perorangan) kepada
semua personil
c. CPOB spesifik kepada personil berkaitan, misal bagi mereka yang
menangani pembuatan produk steril, menangani pembuatan produk
toksik atau berpotensi tinggi dan/atau bersifat sensitisasi
d. Pemahaman semua Protap, metode analisis dan prosedur lain bagi
personil berkaitan
e. Pengetahuan mengenai sifat bahan/produk, cara pengolahan dan
pengemasan
Kepala bagian Pemastian Mutu hendaknya seorang Apoteker yang
terdaftar dan terkualifikasi, memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki
pengalaman praktis yang memadai dan keterampilan manajerial sehingga
memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara profesional.

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 19


Eneng Elda Ernawati
Wewenang dan tanggung jawab kepala bagian Pemastian Mutu
termasuk :
 Memastikan penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) sistem mutu
 Ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan acuan mutu
perusahaan
 Memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala
 Melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian Pengawasan Mutu
 Memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal
(audit terhadap pemasok)
 Memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi
 Memastikan pemenuhan persyaratan teknik atau peraturan Otoritas
Pengawasan Obat (OPO) yang berkaitan dengan mutu produk jadi
 Mengevaluasi/mengkaji catatan bets
 Meluluskan atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan
mempertimbangkan semua faktor terkait
2. Peralatan
3. Sanitasi dan Higiene
4. Produksi
5. Inspeksi Diri dan Audit Mutu
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua
aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi
ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Program inspeksi diri
dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan
untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Dengan
melakukan inspeksi diri dapat diketahui kekurangan atas pemenuhan
CPOB, baik yang kritis, berdampak besar maupun yang berdampak kecil.
Penilaian terhadap kekurangan atas pemenuhan CPOB sebagai berikut :

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 20


Eneng Elda Ernawati
Tingkat Kekritisan Terdiri dari antara lain
Kritis (C)  Pencemaran silang bahan baku atau
Adalah kekurangan yang produk.
memengaruhi mutu obat dan dapat  Produk steril diletakkan terbuka di
mengakibatkan reaksi fatal terhadap daerah non-aseptis.
kesehatan konsumen sampai  Air Murni atau Air untuk injeksi
kematian. tercemar.
 Salah penandaan.
 Karyawan yang belum terlatih
bekerja di daerah pengisian
steril/aseptis.
Berdampak Besar (M)  Peralatan ukur utama tidak
Adalah kekurangan yang dikalibrasi atau di luar batas
memengaruhi mutu obat tetapi tidak kalibrasi.
berdampak fatal terhadap kesehatan  Penyimpangan dalam proses tidak
konsumen. didokumentasi dengan benar.
 Ketidaklengkapan pengisisan
catatan bets.
 Tidak dilakukan inspeksi terhadap
perusahaan penerima kontrak.
Berdampak Kecil (m)  Pembersihan gudang tidak sesuai
Adalah kekurangan yang kecil jadwal.
pengaruhnya terhadap mutu obat dan  Permukaan dinding retak.
tidak berdampak terhadap kesehatan  Catatan ditulis dengan pinsil.
konsumen.  Seragam kerja tidak dipakai secara
benar.

Inspeksi diri dilakukan secara independen (ditunjuk secara tertulis


dan tidak dipengaruhi oleh atasan) dan rinci oleh petugas yang kompeten
dari perusahaan, yaitu yang terkualifikasi dan mempunyai pengalaman
yang memadai dalam melakukan inspeksi diri. Ada manfaatnya bila juga
menggunakan auditor luar yang independen. Inspeksi diri dilakukan secara
rutin dan pada situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan
kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang.
Dalam pelaksanaannya, inspeksi diri dapat dilakukan per bagian
sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Namun program inspeksi diri yang
menyeluruh dilaksanakan sekurang-kurangnya sekali setahun oleh sebuah
tim inspeksi diri yang diketahui oleh QA Manager. Tim ini harus mampu
menilai secara objektif pelaksanaan CPOB terkini pada semua bagian yang

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 21


Eneng Elda Ernawati
terkait dengan pembuatan obat, termasuk berbagai dokumen yang terkait
dengan bagian yang diinspeksi, seperti protap, dokumen
validasi/kualifikasi, catatan bets, dan lain-lain. Frekuensi inspeksi diri
tertulis dalam prosedur tetap inspeksi diri dan catatan hasil inspeksi harus
disimpan dan didokumentasikan. Setelah pelaksanaan inspeksi diri,
disusun laporan inspeksi diri serta dibuat Rencana Aksi Perbaikan
(Corrective Action Plan/CAP) dan laporan dari hasil inspeksi diri yang
telah dilakukan, mencakup :
 Hasil inspeksi diri
 Evaluasi serta kesimpulan
 Saran tindakan perbaikan
Untuk memperoleh standar inspeksi diri dibuat daftar periksa
inspeksi diri selengkap mungkin yang menyajikan standar minimal dan
seragam. Daftar periksa meliputi semua aspek yang disertai sejumlah
pertanyaan yang bersifat umum untuk masing-masing kategori yang
mencakup antara lain :
 Personalia
 Bangunan termasuk fasilitas untuk personil
 Perawatan bangunan dan peralatan
 Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi
 Peralatan
 Pengolahan dan In Process Control (IPC)
 Pengawasan mutu
 Dokumentasi
 Sanitasi dan hygiene
 Program validasi dan re-validasi
 Kalibrasi alat atau sistem pengukuran
 Prosedur penarikan kembali obat jadi
 Penanganan keluhan
 Pengawasan label
 Hasil inspeksi diri sebelumnya dan tindak lanjut/tindakan perbaiakan

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 22


Eneng Elda Ernawati
Daftar periksa diperbaharui secara berkala agar selalu mengikuti
dan meliputi perubahan, peraturan pemerintah dan kebijakan perusahaan.
Daftar periksa disusun sedemikian rupa sesuai dengan program pembuatan
obat yang ada di industri farmasi agar mudah digunakan oleh tim inspeksi
diri.
Tim inspeksi diri dibentuk oleh Manajemen perusahaan terdiri dari
minimal 3 orang yang kompeten dan berpengalaman dalam bidangnya
masing-masing dan memahami CPOB, diketuai oleh QA Manager.
6. Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk
dan Produk Kembalian
7. Dokumentasi
Dokumentasi bagian dari sistem informasi manajemen dan
dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian
mutu. Dokumentasi merupakan hal yang sangat penting dalam industri
farmasi untuk memastikan bahwa setiap petugas (karyawan) mendapat
instruksi yang jelas dan rinci mengenai bidang tugas yang harus
dilaksanakannya sehingga memperkecil resiko terjadinya salah tafsir dan
kekeliruan yang biasanya timbul apabila hanya mengandalkan instruksi
lisan. Selain itu, dengan dokumentasi yang baik juga akan memungkinkan
ketelurusan kembali proses produksi yang telah dilakukan apabila terdapat
kesalahan selama produk tersebut dipasarkan.
Dokumentasi dalam industri farmasi merupakan bagian dari
informasi manajemen yang meliputi antara lain :
a. Prosedur tetap (Standard Opertaing Procedure/SOP)
b. Spesifikasi (bahan baku, pengemas, produk jadi)
c. Catatan Pengolahan Batch/Catatan Pengemasan Batch (batch
processing records)
d. Identifikasi (kode/penomoran protap, peralatan, batch)
e. Penandaan (status ruangan, mesin, label bahan baku, karantina ,
rejected)
f. Protokol dan Laporan Kualifikasi/Validasi

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 23


Eneng Elda Ernawati
g. Dokumen registrasi
h. Catatan Kalibrasi, Pemantauan kondisi lingkungan ruang produksi, dan
lain-lain
Kriteria Dokumentasi meliputi :
 Dokumen didesain, disiapkan, dikaji dan didistribusikan dengan
cermat.
 Dokumen disetujui, ditandatangani dan diberi tanggal oleh personil
yang sesuai dan diberi wewenang.
 Isi dokumen tidak berarti ganda; judul, sifat dan tujuannya dinyatakan
dengan jelas. Penampilan dokumen dibuat rapi dan mudah dicek.
Dokumen hasil reproduksi jelas dan terbaca. Reproduksi dokumen
kerja dari dokumen induk tidak boleh menimbulkan kekeliruan yang
disebabkan proses reproduksi.
 Dokumen dikaji ulang secara berkala dan dijaga agar selalu up-to-date.
Bila suatu dokumen direvisi, sebaiknya dijalankan suatu sistem untuk
menghindarkan penggunaan dokumen yang sudah tidak berlaku secara
tidak sengaja.
 Dokumen tidak ditulis tangan; namun, bila dokumen memerlukan
pencatatan data, maka pencatatan ini ditulis tangan dengan jelas,
terbaca, dan tidak dapat dihapus. Sebaiknya disediakan ruang yang
cukup untuk mencatat data.
 Semua perubahan yang dilakukan terhadap pencatatan pada dokumen
ditandatangani dan diberi tanggal; perubahan memungkinkan
pembacaan informasi semula. Jika perlu, alasan perubahan dicatat.
Pencatatan dibuat atau dilengkapi pada tiap langkah yang dilakukan
dan sedemikian rupa sehingga semua aktivitas yang signifikan
mengenai pembuatan obat dapat ditelusuri. Catatan pembuatan
disimpan selama paling sedikit satu tahun setelah tanggal daluwarsa
produk jadi.
 Data dapat dicatat dengan menggunakan sistem pengolahan data
elektronis, cara fotografis atau cara lain yang dapat diandalkan, namun

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 24


Eneng Elda Ernawati
prosedur rinci berkaitan dengan sistem yang digunakan tersedia, dan
akurasi catatan dicek. Apabila dokumentasi dikelola dengan
menggunakan metode pengolahan data elektronis, hanya personil yang
diberi wewenang boleh mengentri atau memodifikasi data dalam
komputer dan perubahan dan penghapusannya dicatat; akses dibatasi
dengan menggunakan kata sandi (password) atau dengan cara lain, dan
hasil entri dari data kritis dicek secara independen. Catatan bets yang
disimpan secara elektronis sebaiknya dilindungi dengan transfer
pendukung menggunakan pita magnet, mikrofilm, kertas atau cara lain.
Secara garis besar, dokumen pembuatan obat dapat
dikelompokkan berdasarkan jenisnya, sebagai berikut :
a. Spesifikasi
1) Spesifikasi bahan baku
mencakup :
 Deskripsi bahan, termasuk :
 Nama yang ditentukan dan kode referen (kode produk) internal
 Rujukan monografi farmakope, bila ada
 Pemasok yang disetujui dan, bila mungkin, produsen bahan
 Standar mikrobiologis, bila ada
 Petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur rujukan
 Persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas penerimaan
 Kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan
 Batas waktu penyimpanan sebelum dilakukan pengujian kembali
2) Spesifikasi bahan pengemas
 Deskripsi bahan, termasuk :
 Nama yang ditentukan dan kode referen (kode produk) internal
 Rujukan monografi farmakope, bila ada
 Pemasok yang disetujui dan, bila mungkin, produsen bahan
 Standar mikrobiologis, bila ada
 Spesimen bahan pengemas cetak, termasuk zat warna
 Petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur rujukan
Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 25
Eneng Elda Ernawati
 Persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas penerimaan
 Kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan
 Batas waktu penyimpanan sebelum dilakukan pengujian kembali
3) Spesifikasi produk antara dan produk ruahan
Spesifikasi produk antara dan produk ruahan tersedia, apabila produk
tersebut dibeli atau dikirim, atau apabila data dari produk antara
digunakan untuk mengevaluasi produk jadi. Spesifikasi mirip dengan
spesifikasi bahan awal atau produk jadi, sesuai keperluan.
4) Spesifikasi produk jadi
mencakup :
 Nama produk yang ditentukan dan kode referen (kode produk)
 Formula/komposisi atau rujukan
 Deskripsi bentuk sediaan dan uraian mengenai kemasan, termasuk
ukuran kemasan
 Petunjuk pengambilan sampel dan pengujian atau prosedur rujukan
 Persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas penerimaan
 Kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan khusus, bila
diperlukan
 Masa edar/simpan
b. Dokumen Produksi
a) Dokumen Produksi Induk yang berisi formula produksi dari suatu
produk dalam bentuk sediaan dan kekuatan tertentu, tidak tergantung
dari ukuran bets
b) Prosedur Produksi Induk, terdiri dari Prosedur Pengolahan Induk dan
Prosedur Pengemasan Induk, yang masing-masing berisi prosedur
pengolahan dan prosedur pengemasan yang rinci untuk suatu produk
dengan bentuk sediaan, kekuatan dan ukuran bets spesifik. Prosedur
Produksi Induk dipersyaratkan divalidasi sebelum mendapat
pengesahan untuk digunakan
c) Catatan Produksi Bets, terdiri dari Catatan Pengolahan Bets dan
Catatan Pengemasan Bets, yang merupakan reproduksi dari masing-

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 26


Eneng Elda Ernawati
masing Prosedur Pengolahan Induk dan Prosedur Pengemasan Induk,
dan berisi semua data dan informasi yang berkaitan dengan
pelaksanaan produksi dari suatu bets produk.
c. Dokumen Pengawasan Mutu
d. Dokumen penyimpanan dan distribusi
e. Dokumen pemeliharaan, pembersihan dan pemantauan kondisi ruang
dan peralatan
f. Dokumen penanganan keluhan, obat kembalian dan penarikan obat
jadi
g. Prosedur dan catatan inspeksi diri
h. Pedoman dan catatan pelatihan CPOB bagi karyawan
8. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
9. Kualifikasi dan Validasi

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 27


Eneng Elda Ernawati
BAB IV
PENUTUP

4.1.Kesimpulan
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
245/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi Pasal 10, suatu industri farmasi obat
jadi dan bahan baku obat setidaknya harus mempekerjakan secara tetap
minimal tiga orang apoteker WNI sebagai manager atau penanggung jawab
produksi, pengawasan mutu (Quality Control/QC), dan pemastian mutu
(Quality Assurance/QA). Ketiga bagian ini (produksi, pengawasan mutu, dan
pemastian mutu) harus dipimpin oleh orang yang berbeda yang tidak saling
bertanggung jawab satu terhadap yang lain (indipenden) agar tidak terjadi
tumpang tindih tugas dan perannya. Dari peraturan tersebut, sudah jelas bahwa
apoteker diperlukan di industri farmasi, setidaknya untuk memimpin ketiga
bagian tersebut.
Quality Assurance (QA) menurut WHO (2004) dan juga diadopsi oleh
CPOB 2006 didefinisikan sebagai : “Semua aspek yang secara kolektif
maupun individual mempengaruhi mutu produk, dari konsep design hingga
produk tersebut ditangan konsumen”. Quality Assurance merupakan
keseluruhan sistem yang dibuat dengan tujuan agar seluruh produk industri
farmasi yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan.
Quality Assurance tidak saja mencakup pelaksanaan Cara Pembuatan Obat
yang Baik (Good Manufacturing Practices/GMP) melainkan juga Cara
Berlaboratorium yang Baik (Good Laboratory Practices/GLP) dan Cara Uji
Klinis yang Baik (Good Clinical Practices/GCP) serta Cara Distribusi yang
Baik (Good Distribution Practices/GDP).

4.2.Saran
Diharapkan peningkatan mutu apoteker professional di industri farmasi
secara terus menerus serta memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 28


Eneng Elda Ernawati
kesehatan masyarakat. Akhirnya akan menjadi langkah progresif terhadap
perkembangan industri farmasi di Indonesia.

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 29


Eneng Elda Ernawati
DAFTAR PUSTAKA

Badan POM. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 245/Menkes/ SK/V/1990


tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha
Industri Farmasi. Jakarta

Menjadi Apoteker Profesionalisme Di Industri Farmasi 30


Eneng Elda Ernawati

Anda mungkin juga menyukai