Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

AGAMA : MUAMALAH

JUAL BELI YANG TERLARANG

DOSEN PENGAMPU : BURHANUDDIN

Disusun Oleh:

IMELDA FIBRIATIN

LAELA FITRIANI

MARIMAR

MIYA WAHIDAH MUTTAQIN

MERA SUSANTI

NAMIRA

NL. SITI ARYA NINGSIH

NOVITASARI KHOW

PROGRAM STUDI S1 KEPRAWATAN

PESANTREN STIKES SURYA GLOBAL

2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Penulis panjatkan puji syukur dengan berkat rahmat Allah SWT, yang telah
memudahkan Penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang diutus dengan membawa syari’ah
yang mudah, penuh rahmat, dan membawa keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Makalah berjudul “Jual Beli yang terlarang ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Agama: Muamalah. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang
ada agar makalah ini dapat tersusun sesuai harapan. Sesuai dengan fitrahnya, manusia diciptakan Allah
sebagai makhluk yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan, maka dalam makalah yang Penulis susun
ini belum mencapai tahap kesempurnaan.

Terakhir, Penulis mengucapkan Jazakumullah akhsanal jaza, kepada pihak-pihak yang turut
membantu dalam proses penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Bapak Burhanuddin yang telah
memberikan tugas dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat
memberikan manfaat untuk kita semua dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kritik dan saran sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

HALAMAN

JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

I.A Latar Belakang.....................................................................................

I.B Rumusan Masalah...............................................................................

I.C Tujuan.................................................................................................

BAB II LANDASAN TEORI

II.A Pengertian Jual Beli (secara umum, dan menurut islam)...................

II.B Hukum Jual Beli(secara islami).........................................................

II.C Rukun dan Syarat Jual Beli................................................................

II.D Jual Beli Terlarang dalam Islam.........................................................

BAB III PENUTUP

III.A Kesimpulan.........................................................................................

III.B Saran...................................................................................................

III. Daftar pustaka……………………………….


BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan
Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu
berdagang (al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah pintu-pintu rezeki akan dapat
dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya.

Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan, dengan catatan selama dilakukan
dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Jual beli adalah kegiatan tukar menukar
barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan namun kadang kala kita tidak
mengetahui apakah caranya sudah memenuhi syarat ataukah belum. Kita perlu mengetahui
bagaimana cara berjual beli menurut syariat.

Oleh karena itu, dalam makalah ini, sengaja kami bahas mengenai jual beli yang
terlarang, karena sangat kental dengan kehidupan masyarakat. Disini pula akan banyak dibahas
mulai dari tata cara jual beli yang benar sampai hal-hal yang diharamkan atau dilarang,
tujuannya untuk mempermudah praktek muamalah kita dalam kehidupan sehari-hari dan supaya
kita tidak mudah untuk terjerat dalam lingkaran kecurangan yang sangat meresahkan dan
merugikan masyarakat
I.B Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dibahas antara lain:

1. Apa pengertian, hukum, rukun dan syarat jual beli?

2. Apa sajakah yang termasuk jual beli terlarang dalam islam?

I.C Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan yang akan dicapai dalam
makalah ini antara lain:

1. Mahasiswa mampu memahami pengertian, hukum, rukun dan syarat jual beli
2. Mahasiswa mampu mengetahui apa saja hukum jual beli terlarang dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN

II.A Pengertian Jual Beli

Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain
dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang
lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Menurut
terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
1. Menurut ulama Hanafiyah : J u a l b e l i a d a l a h ” p e r t u k a r a n h a r t a ( b e n d a ) d e n g a n
h a r t a berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
2. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta
untuk kepemilikan.”
3. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni : Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta,
untuk saling menjadikan milik.” Pengertian lainnya jual beli ialah persetujuan saling mengikat
antara penjual ( yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) danpembeli (sebaga i
pihak yang membayar/membeli barang yang dijual). Pada masa Rasullallah SAW harga
barang itu dibayar dengan mata uangyang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang
terbuat dari perak(dirham).

II.B Hukum Jual Beli


hukum mengenai jual beli ini disyariatkanberdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan
Ijma’ Yakni :

1. Al Qur’an
Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu” (QS. An-Nisa : 29).
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah : 275).
2. Sunnah
Nabi, yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang
paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual
beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn
Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan
merugikan orang lain.

3. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang
lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist,
hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa
berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.

Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadisunnah, wajib,
haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah,m i s a l n ya d a l a m j u a l b e l i b a r a n g
y a n g h u k u m m e n g g u n a k a n b a r a n g yang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak
wangi. Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang
menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun
melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk
menjual beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga.
Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun sesuai
dengan ketentuan pemerintah. Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang tidak
memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung unsur penipuan.
Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan ituhukumnya makruh seperti
rokok.
II.C Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang
harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum islam).
Rukun Jual Beli:
 Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli
 Objek akad (barang dan harga)
 Ijab qabul (perjanjian/persetujuan)

a. Orang yang melaksanakan akad jual beli ( penjual dan pembeli )


Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah :
1. Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
2. Baligh, jual belinya anak kecil yang belum baligh dihukumi tidak sah. Akan tetapi,
jika anak itu sudah mumayyiz (mampu membedakan baik atau buruk), dibolehkan
melakukan jual beli terhadap barang-barang yang harganya murah seperti : permen,
kue, kerupuk, dll.
3. Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhakmenggunakan harta
milik orang yang sangat bodoh (idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah (
Q.S. An-Nisa’(4): 5):

b. Sigat atau Ucapan


Ijab dan Kabul. Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan
antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan
melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).

Adapun syarat-syarat ijab kabul adalah :


1. Orang yang mengucap ijab kabul telah akil baliqh.
2. Kabul harus sesuai dengan ijab.
3. Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majlis.
c. Barang Yang Diperjual Belikan
Barang yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara lain :
1. Barang yang diperjual-belikan itu halal.
2 . B a r a n g i t u a d a m a n f a a t n ya .
3. Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain.
4. Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.
5. Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pe mbelidengan jelas, baik
zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.

d. Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini berupa
uang).
Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah :
1. Harga jual disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2. Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum,
misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
3. Apabila jual beli dilakukan secara barte r atau Al-muqayadah(nilai tukar barang yang
dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang).

II.D Jual Beli Terlarang Dalam Islam

A.Jual beli di masjid

a.Dalil-dalil terlarangnya jual-beli di masjid:

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi


Wasallam bersabda:

‫ع أو يبي ُع من رأيتُم إذا‬


ُ ‫المسجد في يبتا‬، ‫ فقولوا‬: ‫ تجارتك للاُ أربح ال‬. ‫ فقولوا ضالة فيه ُُينشد من رأيتُم وإذا‬: ‫عليك للاُ رد ال‬

“Jika engkau melihat orang berjual-beli atau orang yang barangnya dibeli di masjid, maka
katakanlah kepada mereka: semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perdaganganmu.
Dan jika engkau melihat orang di masjid yang mengumumkan barangnya yang hilang, maka
katakanlah: semoga Allah tidak mengembalikan barangmu” (HR. At Tirmidzi no. 1321,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no. 573).

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan:

‫األشعار فيه تُنشد وأن المسجد في والبيع الشراء عن وسلم عليه للاُ صلى للا رسو ُل نهى‬
ُ ‫ُيوم الحلق وعن الضالةُ فيه تُنشد وأن‬
‫الصالة قبل الج ُمعة‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang melakukan jual-beli di masjid, dan melarang


melantunkan nasyid berupa sya’ir-sya’ir, dan melarang mengumumkan barang yang hilang, dan
melarang mengadakan halaqah sebelum shalat Jum’at” (HR. Ahmad 10/156, Ahmad Syakir
mengatakan: “sanadnya shahih”).

b.Hukum jual-beli di masjid

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum jual beli di masjid antara haram dan makruh.
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan:

‫ور فذهب والشرا ُء ْالب ْي ُع أما‬


ُ ‫الكراهة على محْ ُمول الن ْهي أن إلى ْالعُلماء ُج ْم ُه‬،
ْ ‫قاال ْلعراقي‬: ْ‫ُالعُلم أجْ مع وقد‬
ْ ‫م ْن عُقد ما أن على ا ُء‬
‫وز ال ْالمسْجد في ْالبيْع‬ ْ ‫ع ْن صارفة قرينة إلى يحْ تا ُج ْالكراهة على الن ْهي ح ْمل بأن خبير وأ ْنت‬
ُ ‫ن ْق‬، ‫الماو ْردي قال وهكذا‬.
ُ ‫ضهُ ي ُج‬
‫ع ُه ْم ْالحق وهُو التحْ ريم في حقيقة الن ْهي بأن ْالقائلين ع ْند التحْ ري ُم هُو الذي ْالحقيقي ْالم ْعنى‬
ُ ‫الن ْقض جواز ُعدم على وإجْ ما‬
‫ض وذهب ْالكراهة على الن ْهي لح ْمل ةُقرين ج ْعلُهُ يصح فال التحْ ريم وبيْن بيْنهُ ُمنافاة ال ْالع ْقد وصحة‬ ُ ‫صحاب ب ْع‬
ْ ‫إلى الشافعي أ‬
ُ‫يث ْالمسْجد في والشرا ُء ْالب ْي ُع يُ ْكرهُ ال أنه‬
ُ ‫عليْه ت ُرد و ْاألحاد‬

“Adapun masalah jual-beli di masjid, jumhur ulama berpendapat bahwa larangan dalam hadits
di bawa kepada hukum makruh. Al Iraqi mengatakan: “Ulama ijma bahwa akad jual-beli yang
sudah terjadi di masjid tidak boleh dibatalkan”. Demikian juga yang dikatakan Al Marwadi.
Maka anda yang mengatakan bahwa larangan dalam hadits di bawa kepada hukum makruh,
maka ia butuh kepada qarinah yang memalingkan dari makna yang hakiki dari larangan yaitu
pengharaman. Dan ini merupakan pendapat sebagian ulama, yaitu bahwa larangan dalam
hadits dimaknai secara hakiki, yaitu pengharaman. Dan inilah pendapat yang tepat.
Adapun ijma ulama bahwasanya akad jual-beli tidak boleh dibatalkan dan akadnya tetap
sah maka ini tidak bertentangan dengan pengharaman. Maka tidak sah menjadikannya qarinah
untuk memalingkan larangan kepada hukum makruh. Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat
hukumnya tidak makruh (baca: boleh) berjual-beli di masjid, namun ini terbantah oleh hadits-
hadits yang ada” (Nailul Authar, 2/185-186).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

‫أجير والشرا ُء البي ُع‬


ُ ‫واالستئجار والت‬
ُ ْ ‫أجله من المساجد ُ بُني‬
‫المسجد في محرم‬، ‫ت ما ينافي ألنه‬

“Menjual, membeli, menyewakan, menawarkan sewaan, semuanya haram dilakukan di masjid,


karena ini menafikan tujuan masjid dibangun (yaitu untuk ibadah, pent.)” (Fatawa Nurun ‘alad
Darbi, 33/22)

Maka dari penjelasan ini semua bentuk jual beli dan yang terkait dengannya seperti
promosi, menawarkan barang, menyerahkan barang yang terutang pembayarannya, dan
semisalnya semua itu terlarang.

Dari penjelasan Asy Syaukani di atas juga kita ketahui bahwa ulama ijma bahwa jual-beli yang
dilakukan di masjid tetap sah akadnya, namun berdosa jika dilakukan dengan sengaja.

c. Alasan terlarangnya jual-beli di masjid

Jual-beli di masjid dilarang agar orang tidak sibuk dengan urusan dunia di masjid.
Sehingga ia lalai dari akhirat dan lalai dari dzikir kepada Allah di rumah Allah. Lihat bagaimana
sikap Atha’ bin Yasar (seorang ulama tabi’in) rahimahullah berikut ini:

ْ ُ‫( معك ما فسألهُ دعاه‬1) ‫يعهُُيب أ ْن يُريد ُ أنهُ أ ْخبرهُ فإ ْن تُريد ُ؟ وما‬، ‫قال‬: ‫عليْك‬
ُ ‫المسْجد في يبي ُع م ْن ب ْع‬،
‫ض عليْه مر إذا كان‬
ُ ‫الد ْنيا ب‬. ‫وق هذا فإنما‬
‫سوق‬ ُ ‫س‬ُ ‫اآلخرة‬

“Jika Atha bin Yasar melewati orang yang berjual-beli di masjid, ia memanggilnya dan
menanyakan apa yang ia bawa dan apa yang ia inginkan? Jika orang tersebut menjawab bahwa
ia ingin berjual beli maka Atha akan berkata: silakan anda pergi ke pasar dunia, karena di sini
adalah pasar akhirat” (Al Muwatha Imam Malik, no. 601).
Juga sebagaimana dijelaskan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, jual beli di
masjid terlarang karena tidak sesuai dengan tujuan dibangunnya
masjid.Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ْالقُ ْرآن وقراءة وتاصالة وجل عز للا لذ ْكر هي إنما‬

“Sesungguhnya masjid-masjid dibangun hanya untuk dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, untuk
shalat, dan membaca Al Qur’an” (HR. Muslim, no. 285).

d. Batasan area masjid yang dilarang jual-beli

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda dalam hadits di atas:

‫المسجد في يبتاع أو يبيع من رأيتم إذا‬

“Jika engkau melihat orang berjual-beli atau orang yang barangnya dibeli di masjid…”

Maka larangan berjual-beli di sini terkait dengan tempat yang disebut “masjid”. Sehingga
penting untuk mengetahui apa saja batasan area masjid, karena jika suatu area termasuk batasan
masjid maka berlakulah larangan berjual-beli di sana. Dalam kitab Fiqhul I’tikaf (hal. 128-134),
Syaikh Khalid Al Musyaiqih menjelaskan batasan-batasan masjid. Yang ringkasnya sebagai
berikut:

1. Semua tempat yang digunakan untuk shalat adalah termasuk masjid. Para ulama sepakat
akan hal ini.

2. Atap masjid. Jumhur ulama berpendapat atap masjid adalah bagian dari masjid dan
sahnya beri’tikaf di sana. Adapun Malikiyyah berpendapat atap masjid bukan bagian dari
masjid karena tidak sah shalat Jum’at di sana. Namun ini pendapat yang lemah.

3. Halaman masjid. Dalam hal ini ada tiga pendapat berkaitan dengan apakah halaman
masjid termasuk masjid?

1. Jika bersambung dengan masjid dan dilingkupi oleh sesuatu seperti pagar, maka
termasuk masjid. Jika tidak bersambung atau tidak ada pagar, maka halaman
masjid tidak termasuk masjid, dan dianggap keluar masjid jika berada di sana. Ini
merupakan pendapat Syafi’iyyah, Imam Ahmad, sebagian Hanabilah.
2. Halaman masjid secara mutlak (tidak ada pembatasnya), maka tidak termasuk
masjid. Ini merupakan pendapat Malikiyyah dan pendapat pegangan mazhab
Hanabilah.

4. Menara masjid yang digunakan untuk adzan. Ada tiga keadaan:

1. Jika menara berada di dalam masjid, maka ia bagian dari masjid menurut jumhur
ulama. Namun Malikiyyah menyatakan tidak sah.

2. Jika menara berada di luar masjid, ada tiga pendapat:

1. Dianggap bagian masjid bagi muadzin tetap. Ini pendapat sebagian


Hanafiyyah, pendapat pegangan mazhab Syafi’iyyah, sebagian Hanabilah
dan Ibnu Hazm.

2. Bukan bagian dari masjid, ini pendapat mu’tamad mazhab Hanafiyyah,


dan sebagian Syafi’iyyah.

3. Merupakan bagian dari masjid. Ini pendapat sebagian Syafi’iyyah,


pendapat pegangan madzhab Malikiyyah dan Hanabilah. Pendapat
pertama yang lebih rajih, karena menara dibangun hanya untuk
kemaslahatan adzan masjid.

3. Jika berada di halaman masjid, hukumnya sebagaimana hukum halaman masjid.

Syaikh Abdul Aziz Alu Asy Syaikh juga mengatakan:

‫المسجد من فهو المسجد في له و ُمدخال شامال المسجد حائط كان ما‬، ‫المسجد خارج فهو المسجد محيط خارج كان وما‬

“Selama dinding (pagar) masjid itu sempurna mengelilingi masjid maka semua yang di
dalamnya termasuk masjid, dan semua yang di luarnya tidak termasuk masjid” (Majalah Al
Buhuts Al Islamiyah, 59/81).

Sebagaimana juga kaidah fikih:

‫له ُ حريم هُو ما ُح ْك ُم لهُ الحري ُم‬


“Lingkar luar dari sesuatu memiliki hukum yang sama dengan sesuatu tersebut” (Al Asybah
wan Nazhair, As Suyuthi, 1/125).

Kaidah ini didasari oleh hadits:

‫حمى ملك ل ُكل وإن أال‬، ‫محار ُمهُ للا حمى وإن أال‬

“Ketahuilah bahwa setiap raja itu memiliki daerah perbatasan, dan daerah perbatasan Allah
adalah yang Allah haramkan” (HR. Bukhari no. 52, Muslim no. 1599).

Ringkasnya, jika masjid memiliki pagar, maka tidak boleh berjual-beli di area dalam pagar.
Adapun jika masjid tidak memiliki pagar, maka batasan terlarangnya jual beli adalah area yang
dipakai untuk shalat, demikian juga semua bangunan yang bersambung dengan bangunan masjid.

d. Boleh hutang-piutang di masjid

Kita ketahui bersama, hutang-piutang berbeda dengan jual beli. Sehingga dibolehkan
dilakukan di masjid selama tidak berpanjang-panjang dan dan berlama-lama. Dalam Al
Mukhtashar karya Al Khalil Al Maliki rahimahullah di sebutkan:

‫قائلةُب ون ْوم ع ْقرب وقتْ ُل ديْن وقضا ُء نكاح وع ْقد ُ للعبادة تجرد لرجل سكنى بمسجد وجاز‬

“Hal-hal berikut ini boleh dilakukan di masjid: bertempat tinggal di masjid bagi lelaki yang
kesehariannya hanya beribadah, melakukan akad nikah, melunasi hutang, membunuh
kalajengking, dan tidur qailulah” (Mukhtashar Al Khalil,1/211).

Ibnu Naji At Tanukhi rahimahullah mengatakan:

‫والشراء البيع عن المساجد تنزه أن ينبغي‬، ‫يطل لم ما فيه الحق وكتب الدين قضاء البيان في واستخف‬

“Hendaknya masjid dibersihkan dari semua bentuk jual-beli, namun berdasarkan penjelasan
penulis, diberikan kelonggaran untuk melunasi hutang dan menulis hak-hak hutang, selama
tidak berpanjang-panjang” (Syarah Ibnu Naji At Tanukhi ‘ala Matnir Risalah, 2/482).

Ini menunjukkan bahwa boleh melakukan akad hutang-piutang di masjid, namun


hendaknya tidak menyibukkan diri dengannya.
B. jual beli kucing dan anjing

Bolehkah berjual-beli anjing dan kucing? Karena ada sebagian orang memperjual-belikan
kedua hewan tersebut. Mohon faidahnya, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Jawab:

Tidak boleh menjual anjing dan tidak boleh memakan harta hasil penjualannya. Karena hadits,

‫البغي ومهر الكاهن وحلوان الكلب ثمن عن نهى‬

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang memakan hasil penjualan anjing, bayaran dukun
dan upah pelacur” (HR. Al Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa hasil penjualan anjing itu haram. Karena
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarangnya dan menggandengkannya dengan upah dukun
dan upah al baghyu yaitu pelacur. Maka semua ini adalah penghasilan yang haram.

Demikian juga kucing, tidak boleh diperjual-belikan*). Namun kucing boleh dipelihara di
dalam rumah, tapi tidak boleh diperjual-belikan.

Adapun anjing, tidak boleh dipelihara di dalam rumah, karena Malaikat itu tidak masuk
ke dalam rumah yang terdapat anjing dan gambar bernyawa (HR. Muslim). Dan tidak boleh juga
memperjual-belikannya.

Sumber: Majmu’ Fatawa Syaikh Shalih Al Fauzan 2/502, Asy Syamilah

*) Diantara dalilnya, hadits Abu Zubair Al Makki:

ُ‫ قال ؟ والسن ْور الكلب ثمن عن جابرا سألت‬: ‫ذلك عن وسلم عليه للاُ صلى النبي زجر‬

“aku bertanya kepada Jabir tentang hasil penjualan anjing dan kucing, beliau berkata bahwa
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang hal tersebut” (HR. Muslim no. 1569)
C.Menjual di Atas Jualan orang lain

Ada ilustrasi jual beli sebagai berikut:

Si penjual pertama menawarkan jualan, pembeli pun sudah membayar. Lalu datanglah penjual
kedua memberi tawaran lebih menarik, akhirnya si pembeli memutuskan membatalkan transaksi
pertama karena dapat tawaran yang menggiurkan. Ia pun memutuskan mengambil barang
dagangan yang ditawarkan pihak kedua daripada pihak pertama.

Lihatlah karena tawaran menarik dari penjual kedua, si pembeli akhirnya membatalkan transaksi.
Bagaimana perasaan Anda jika Anda berposisi sebagai penjual pertama? Amat sakit hati,
demikianlah adanya. Dari sinilah syariat Islam yang mulia ingin memutus agar tidak terjadi
masalah seperti ini sehingga dalam Islam dilarang jual beli atau transaksi di mana seseorang
menjual di atas jualan saudaranya. Contohnya adalah seperti di atas. Kita dapat melihat
penjelasan dalam kitab fiqih yang khusus membahas fiqih muamalah akan disinggung masalah
tersebut.

a.Dalil-dalil yang menerangkan hal ini:

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ُ‫طبَ ِة أ َ ِخي ِه ِإالَّ أَ ْن يَأْذَنَ لَه‬


ْ ‫طبْ َعلَى ِخ‬
ُ ‫الر ُج ُل َعلَى بَيْع أ َ ِخي ِه َوالَ َي ْخ‬
ِ َّ ِ‫الَ يَ ِبع‬

“Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Janganlah pula seseorang melamar
di atas khitbah saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu.” (HR. Muslim no. 1412)

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ض ُك ْم يبي ُع ال‬
ُ ‫أخيه بيْع على ب ْع‬

“Janganlah seseorang di antara kalian menjual di atas jualan saudaranya.” (HR. Bukhari no.
2139)
Yang dimaksud menjual di atas jualan saudaranya semisal seseorang yang telah membeli sesuatu
dan masih dalam tenggang khiyar (bisa memutuskan melanjutkan transaksi atau
membatalkannya), lantas transaksi ini dibatalkan. Si penjual kedua mengiming-imingi, “Mending
kamu batalkan saja transaksimu dengan penjual pertama tadi. Saya jual barang ini padamu (sama
dengan barang penjual pertama tadi), namun dengan harga lebih murah.” Si penjual intinya
mengiming-imingi dengan harga lebih menggiurkan atau semisal itu sehingga pembeli pertama
membatalkan transaksi. Jual beli semacam ini jelas haramnya berdasarkan dalil-dalil di atas
karena di dalamnya ada tindakan memudhorotkan saudara muslim lainnya.

Begitu pula diharamkan membeli di atas belian saudaranya. Contohnya si pembeli kedua berkata
pada si penjual yang masih berada dalam tenggang khiyar dengan pembeli pertama, “Mending
kamu batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi. Saya bisa beli dengan harga lebih
tinggi dari yang ia beli.” Si pembeli dalam kondisi ini berani membayar dengan harga lebih
tinggi sehingga penjual berani membatalkan transaksi dengan pembeli pertama.

Dua macam transaksi di atas adalah transaksi yang haram karena menimbulkan mudhorot dan
kerusakan bagi kaum muslimin lainnya.

Ibnu Hajar katakan bahwa dua macam transaksi di atas haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan
para ulama). Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

‫ حرام ْالبيْع على ْالب ْي ُع‬، ‫ الشراء على الشراء وكذلك‬، ‫ ْالخيار زمن في س ْلعة ا ْشترى م ْنُل يقُول أ ْن وهُو‬: ‫أبيعكُل ا ْفس ْخ‬
‫ بأ ْنقص‬، ‫ بأ ْزيد م ْنك أل ْشتري ا ْفس ْخ ل ْلبائع ي ُقول أ ْو‬، ‫ليْهُع ُمجْ مع وهُو‬

“Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian orang lain, hukumnya
haram. Bentuknya adalah seperti seseorang membeli suatu barang dari pembeli pertema dan
masih pada masa khiyar, lalu penjual kedua mengatakan, “Batalkan saja transaksimu tadi, ini
saya jual dengan harga lebih murah.” Atau bentuknya adalah seorang pembeli mengatakan
pada penjual, “Batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih
dari yang ia tawarkan. Jual beli semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama.”[1]

Konsekuensi dari transaksi ini menunjukkan akan tidak sahnya[2]. Jual beli macam ini jelas
sekali menimbulkan saling benci, saling hasad (iri) dan saling omong-omongan yang tidak baik
antara satu dan lainnya. Oleh karena itu terlarang.
Ada juga bentuk serupa yang terlarang yang diistilahkan dengan “saum”. Bentuknya adalah ada
dua orang yang tawar menawar, penjual menawarkan barangnya dengan harga tertentu dan
pembeli pertama sudah ridho dengan harga tersebut kemudian datanglah pembeli kedua, ia pun
melakukan tawaran. Akhirnya, pembeli kedua yang diberi barang dengan harga lebih atau
dengan harga yang sama seperti pembeli pertama. Lantas kenapa pembeli kedua yang diberi?
Karena pembeli kedua adalah orang terpandang. Sehingga ini yang membuat si penjual
menjualkan barangnya pada pembeli kedua karena ia lebih terpandang.[3]

Dalam keterangan lain dari An Nawawi rahimahullah,

‫ أَنَا أَ ْشت َِريه‬: ِ‫ فَيَقُول ْاْلخَر ِل ْلبَائِع‬، ُ‫الرا ِغب فِي َها َعلَى ْالبَيْع َولَ ْم يَ ْع ِقدَاه‬
َّ ‫س ْوم أ َ ِخي ِه فَ ُه َو أ َ ْن يَ ُكون قَدْ اِتَّفَقَ َما ِلك الس ِْلعَة َو‬
َ ‫أ َ َّما الس َّْوم َعلَى‬
‫ْس بِ َح َرام‬َ ‫ َوأ َ َّما الس َّْوم فِي الس ِْلعَة الَّتِي تُبَاع فِي َم ْن يَ ِزيد فَلَي‬. ‫َو َهذَا َح َرام بَ ْعد اِ ْستِ ْق َرار الث َّ َمن‬

“Melakukan saum di atas saum saudaranya, bentuknya adalah penjual dan pembeli telah sepakat
dan sudah penjual sudah mau menjual barangnya, namun belum terjadi akad, kemudian
datanglah pembeli lainnya dengan berkata, “Saya beli barang itu yah.” An Nawawi mengatakan
bahwa tindakan seperti ini haram karena sudah ditetapkan harga saat itu. Adapun penawaran
terhadap barang yang telah dijual dengan sistem lelang, maka itu tidaklah haram.”[4] Dalam
keterangan An Nawawi ini menunjukkan bahwa si penjual fix melakukan akad dengan pembeli
yang tidak mesti orang terpandang, artinya di sini lebih umum pada siapa saja.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ ‫طبْ َعلَى ِخ‬


‫طبَتِ ِه‬ َ ‫س ِم ْال ُم ْس ِل ُم َعلَى‬
ُ ‫س ْو ِم أ َ ِخي ِه َوالَ يَ ْخ‬ ُ َ‫الَ ي‬

“Janganlah melakukan saum (penawaran) di atas saum (penawaran) saudaranya. Jangan pula
melakukan khitbah di atas khitbah saudaranya.” (HR. Muslim no. 1413)

D. Jual Beli Barang Terpaksa

Manusia tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri. Banyak barang yang
dibutuhkan dimiliki oleh orang lain. Misalnya, seorang petani yang memiliki bahan pangan juga
membutuhkan pakaian, sehingga dia harus menukar sebagian hasil panennya dengan uang dan
membeli pakaian dengan uang tersebut; begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, dia harus
berinteraksi dengan orang lain untuk menutupi kebutuhannya.

Interaksi seseorang dengan pihak lainnya untuk bertukar barang/jasa diatur oleh Islam
dalam fikih muamalat. Islam menjelaskan syarat-syarat sahnya sebuah muamalat yang bila tidak
terpenuhi maka perpindahan barang dan alat tukar (uang) menjadi haram.

Di antara syarat sahnya jual-beli yaitu harus dilakukan oleh kedua belah pihak dengan
saling ridha (suka sama suka), tanpa ada unsur keterpaksaan.

Seorang yang terpaksa yaitu orang yang berada di bawah ancaman fisik pihak lain yang
mampu melakukan ancaman tersebut, bila pihak yang dipaksa tidak mau melakukan jual-beli.

Seperti jual-beli yang terjadi di sebagian tempat di beberapa kota di Indonesia; pada saat
calon pembeli menawar harga sebuah barang maka dia dipaksa dengan berbagai cara untuk
membeli, terkadang dengan ancaman dan gertakan bernada tinggi.

a. Hukum jual-beli ini tidak sah dan status uang serta barang adalah haram. Berdasarkan
firman Allah,

‫ۚ م ْن ُك ْم تراض ع ْن تجارة ت ُكون أ ْن إال ب ْالباطل بيْن ُك ْم أ ْموال ُك ْم تأْ ُكلُوا ال آمنُوا الذين أيها يا‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu.” (QS. An-Nisa’: 29).

***

Disalin dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm. 23-24, karya Dr. Erwandi
Tarmizi, M.A., Penerbit Berkat Mulia Insani.

E. Dijual Murah Karena Terpaksa


Sering kali, kita jumpai tanah atau rumah yang dijual murah, di bawah harga pasar,
disebabkan pemilik sedang dalam kondisi kepepet; ada anaknya yang opname di rumah sakit,
atau untuk biaya anak yang sedang mendaftar di suatu sekolah, misalnya.

Bolehkah kita membeli tanah atau rumah tersebut dalam kondisi sebagaimana di atas?
Apakah kita termasuk orang yang memanfaatkan penderitaan orang lain?

a.Ada beberapa pendapat ulama dalam masalah ini:

Pertama, para ulama Mazhab Hanbali, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah


berpendapat makruhnya membeli barang dari orang yang kepepet karena menimbang
beberapa alasan.

Di antaranya, mereka menilai bahwa jual beli yang terjadi tidaklah atas dasar saling rela. Pemilik
barang, sebenarnya, merasa berat hati untuk melepas harta miliknya.

‫س ِعيدٍ أَ َبي عن‬


َ ٍ‫سو ٍُل قَا ٍَل َيقُو ٍُل ا ْل ُخد ِْرى‬ ٍ -‫وسلم عليه هللا صلى‬- « ‫َن ا ْل َب ْي ٍُع ا ََ ِإنم‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ ٍْ ‫» تَ َراضٍ ع‬.

Dari Abu Said al Khudri, Rasulullah bersabda, “Jual beli yang sah itu hanyalah jika atas dasar
saling rela.” (H.R. Ibnu Majah, no. 2185; dinilai sahih oleh Al-Albani)

‫َامرٍ أَبُي عن‬ ِ ‫شيْخٍ حَدث َ َنا ا ْل ُم َزنِىٍ ع‬


ٍَ ‫ن‬ َ ‫ع ِلىٍ َقا ٍَل قَا ٍَل أَ ٍْو‬
ٍْ ‫ع ِلىٍ َخ َطبَ َنا قَا ٍَل تَ ِميمٍ بَنِى ِم‬ َ ‫علَى يَأْتِى‬ َ ‫اس‬ ٍ ِ ‫عضُوضٍ َز َمانٍ الن‬ َ ‫عَضٍ ََي‬
‫س ٍُر‬ َ ‫ّللاُ قَا ٍَل ِبذَ ِلكٍَ يُؤْ َم ٍْر َولَ ٍْم َقا ٍَل – يَ َد ْي ٍِه فِى َما‬
ِ ‫علَى ا ْل ُمو‬ ٍ ٍ‫س ُوا َولٍَ( ٍَوجَلٍ عَز‬ َ ‫ض ٍَل ت َ ْن‬ ٍُ ‫ستَذَلٍ األَش ٍَْر‬
ْ َ‫ار ٍَويَ ْن َه ٍُد )بَ ْينَ ُك ٍْم ا ْلف‬ ٍُ َ‫األ َ ْخي‬
ْ ُ‫ار َوي‬
ٍ‫ض َطرونٍَ َويُبَا ِي ُع‬ ْ ‫ َقا ٍَل – ا ْل ُم‬- ‫سو ٍُل َنهَى َوقَ ٍْد‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ ٍْ ‫ض َط ِرينٍَ بَي ٍِْع ع‬
ٍ -‫وسلم عليه هللا صلى‬- ‫َن‬ ْ ‫َن ا ْل ُم‬
ٍْ ‫ََوع ا ْلغَ َر ٍِر َبي ٍِْع َوع‬
َ ‫ن‬ ٍْ ‫الث َم َر ٍِة بَي ٍِْع‬
ٍْ َ‫تُد ِْركٍَ أ‬.
‫ن َق ْب ٍَل‬

Dari Abu ‘Amir Al-Muzani dari seorang Syekh dari Bani Tamim, beliau bercerita bahwa Ali
menyampaikan khotbah–atau Ali mengatakan–, “Akan datang masa pelit. Itulah masa ketika
orang yang kaya menggigit hartanya (baca: tidak mau berinfak). Padahal, mereka tidaklah
diperintahkan demikian. Allah berfirman (yang artinya), ’Janganlah kalian melupakan kebaikan
orang lain.’ (Q.S. Al-Baqarah:237). Para penjahat dimuliakan, sedangkan orang-orang saleh
dihinakan. Transaksi jual beli diadakan dengan orang-orang yang sedang kepepet. Padahal,
Rasulullah melarang melakukan transaksi jual beli dengan orang yang kepepet. Jual
beli gharar dilakukan, dan hasil pertanian yang belum layak dikomsumsi (baca: ijon) juga
diperdagangkan.” (H.R. Ahmad, no. 937; sanadnya dinilai lemah oleh Syekh Syuaib Al-Arnauth)

Hadis ini adalah riwayat tegas yang menunjukkan terlarangnya jual beli dengan orang yang
kepepet. Akan tetapi, karena sanadnya lemah maka riwayat ini tidak bisa dijadikan dalil
dalam masalah ini.

Kedua, sedangkan ulama Mazhab Hanafiyyah dan Imam Ahmad (dalam salah satu
pendapatnya) menyatakan haram dan batalnya jual beli dengan orang yang kepepet.

Alasannya adalah hadis dari Ali bin Abi Thalib di atas. Jika memang jual beli dengan orang
kepepet itu dilarang oleh Nabi maka larangan itu menghasilkan hukum haram dan tidak sahnya
transaksi yang dilakukan.

Namun, setelah kita mengetahui bahwa hadis di atas adalah hadis yang lemah maka alasan ini
merupakan alasan yang tidak bisa diterima.

Ketiga, Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bolehnya transaksi jual beli dengan
orang kepepet. (Majmu’ Fatawa, 29:249)

Alasannya, transaksi dengan orang yang kepepet itu sah karena tidak ada pemaksaan untuk
melakukan transaksi; transaksi itu terjadi dengan kerelaan dan keinginan penjual. Hanya saja,
orang tersebut melakukan transaksi tersebut karena terpaksa menjual barangnya untuk
menghilangkan posisi sulit yang dia alami. Sebenarnya, menjual barang bukanlah pilihan satu-
satunya untuk dirinya. Bisa saja, orang tersebut mencari pinjaman uang untuk menghilangkan
posisi sulitnya.

Alasan lain yang menunjukkan bolehnya transaksi dengan orang yang kepepet adalah bahwa
membeli barang orang yang dalam kondisi kepepet adalah bentuk berbuat baik kepadanya dan
menghilangkan kesusahannya.

Jadi, jual beli dalam keadaan kepepet itu ada dua macam:
1. Kepepet untuk mengadakan transaksi karena ada pihak yang memaksanya untuk mengadakan
transaksi. Inilah transaksi jual beli yang tidak sah.
2. Kepepet karena penjual terlilit banyak utang atau harus mengeluarkan biaya yang sangat
besar. Akhirnya, orang tersebut terpaksa menjual sebagian barangnya dengan harga sangat
murah, karena kondisi darurat. Idealnya, kita tidak mengadakan transaksi jual beli dengan orang
semacam ini, namun yang hendaknya kita lakukan adalah memberinya pinjaman uang sampai
dia mampu melunasinya.
BAB III

PENUTUP

III.A Kesimpulan

Hukum jual beli pada dasarnya diperbolehkan oleh ajaran islam. Kebolehan ini
didasarkan kepada kepada firman Allah yang terjemahannya sebagai berikut :‘’ janganlah kamu
memakan harta diantara kamu dengan jalan batal melainkan dengan jalan jual beli, suka sama
suka...”(Q.S An-Nisa’ : 29) Dan Hadist Nabi SAW, yang artinya sebagai berikut : “ Bahwa nabi
SAW ditanya tentang, mata pencaharian apakah yang paling baik ? jawabnya : seseorang yang
bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih”.(H.R. Al-Bazzar) Dalam pada
itu ulama sepakat mengenai kebolehan berjual beli ini sebagai salah satu usaha yang telah
dipraktekkan semenjak masa Nabi SAW hingga saat sekarang ini

Keharaman memperjualbelikan barang-barang tersebut didasarkan kepada hadist nabi


SAW, yang artinya sebagai berikut: “dan sesungguhnya allah, apabila mengharamkan makan
sesuatu kapada suatu kaum, maka mengharamkan pula harganya.

III.B Saran

Demikianlah makalah ini, kami sebagai penulis sadar bahwa makalah yang disusun ini
jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun untuk kelanjutan makalah yang akan datang.
Daftar pustaka

https://muslim.or.id/35692-transaksi-jual-beli-di-masjid.html

https://muslim.or.id/24003-fatwa-ulama-hukum-jual-beli-anjing-dan-kucing.html

https://rumaysho.com/1677-menjual-di-atas-jualan-saudaranya.html

https://muslimah.or.id/7796-jual-beli-barang-terpaksa.html

https://pengusahamuslim.com/578-dijual-murah-karena-terpaksa.html

Anda mungkin juga menyukai