Anda di halaman 1dari 48

Sari Pustaka

PENANGANAN INVERSIO UTERI

Oleh :
Endang Sri Widiyanti

Pembimbing :
dr. I Gede Mega Putra,SpOG(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF


ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN FK UNUD /
RS SANGLAH DENPASAR
2012
Lembar Persetujuan Pembimbing

Sari Pustaka

PENANGANAN INVERSIO UTERI

TELAH DISETUJUI
Pada Tanggal 5 Januari 2012

Pembimbing,

dr. I Gede Mega Putra,SpOG(K)


NIP.19671214 199703 1 004

i
PENANGANAN INVERSIO UTERI

Sari Pustaka ini telah dibacakan


pada tanggal 16 Januari 2012

Pembimbing,

dr. I Gede Mega Putra,SpOG(K) ___________________________


NIP.19671214 199703 1 004

Penguji :

1. dr.Ketut Putra Kemara, SpOG 1. ___________________________


NIP.19491111 198003 1 003

2. dr. I.B. Upadana Pemaron, SpOG 2. ___________________________


NIP.19520217 198211 1 002

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF


ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN FK UNUD /
RS SANGLAH DENPASAR 2012

ii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG......................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II INVERSIO UTERI .................................................................................... 2
2.1 Sejarah Inversio Uteri ...................................................................................... 2
2.2 Definisi Inversio Uteri...................................................................................... 2
2.3 Insiden Inversio Uteri ....................................................................................... 3
2.4 Klasifikasi Inversio Uteri ................................................................................. 3
2.5 Etiologi dan Faktor Risiko Inversio Uteri ........................................................ 5
2.6 Patofisiologi Inversio Uteri .............................................................................. 6
2.7 Diagnosis Inversio Uteri .................................................................................. 8
2.8 Komplikasi Inversio Uteri .............................................................................. 11
2.9 Risiko Inversio Uteri Pada Kehamilan Berikutnya ........................................ 12
BAB III PENANGANAN INVERSIO UTERI .................................................... 13
3.1 Prinsip Umum Penanganan Inversio Uteri ..................................................... 13
3.2 Penanganan Inversio Uteri Non-Bedah .......................................................... 15
3.2.1 Manuver Johnson atau reposisi manual .................................................. 15
3.2.2 Manuver Henderson dan Alles. ............................................................... 16
3.2.3 Penggunaan tokolitik ............................................................................... 17
3.2.4 Reposisi dengan tekanan hidrostatik ....................................................... 18
3.2.5 Penggunaan repositor .............................................................................. 20
3.3 Penanganan Inversio Uteri Melalui Pembedahan .......................................... 22
3.3.1 Prosedur pembedahan B-Lynch. ............................................................. 23
3.3.2 Prosedur pembedahan Huntington .......................................................... 25
3.3.3 Prosedur pembedahan Haultain .............................................................. 27
3.3.4 Prosedur pembedahan Spinelli ................................................................ 29
3.3.5 Prosedur pembedahan Kustner ................................................................ 31

iii
3.3.6 Histerektomi vagina cara Junizaf ............................................................ 31
3.3.7 Prosedur Laparoskopi. ............................................................................ 32
3.4 Penanganan Plasenta ...................................................................................... 32
3.5 Pemberian Uterotonik Paska Reposisi Inversio Uteri .................................... 33
3.6 Penanganan Inversio Uteri Ginekologi .......................................................... 33
BAB IV RINGKASAN ......................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36

iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman

2.1 Inversio uteri komplit pada wanita 42 tahun , P 4 -5 tahun dengan


diagnosis awal kanker serviks, durante operasi ditemukan inversio uteri
akibat nodul fibroid 4
2.2 Mioma dan inversio uterus dengan bagian nekrosis pada mioma dan
sebagian endometrium yang terinversi 7
2.3 Gambaran C T scan pelvis dengan kontras pada kasus inversio uteri
obstetrik derajat I yang dialami wanita 26 tahun, P1-0 hari 9
2.4 MRI inversio uteri akibat leiomioma uteri submukosa 10
2.5 Ultrasonogram inversio uteri akut , ditemukan 8 jam setelah prosedur
plasenta manual 10
2.6 Inversio uteri kronis yang terjadi pada kasus gambar 2.5 11
3.1 Penanganan inversio uteri akut 14
3.2 Reposisi manual inversio uteri 16
3.3 Metode O'Sullivan untuk reposisi inversio uteri 19
3.4 Metode Hidrostatik dengan mangkok vakum silastik 20
3.5 Repositor uterus 21
3.6 Gambaran inversio uteri intraoperatif 22
3.7 Skema pendekatan pembedahan melalui vagina pada kasus inversio
uteri 23
3.8 Prosedur B-Lynch 24
3.9 Ilustrasi manuver Huntington 26
3.10 Varian prosedur Huntington 26
3.11 Prosedur pembedahan Haultain 28
3.12 Operasi Spinelli untuk inversio uteri 30
3.13 Jahitan seperti rantai 32

v
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN
cm : Sentimeter
CT : Computed Tomografi
Dkk : Dan kawan-kawan
IU : Internasional Unit
IV : Intravena
L : Liter
mg : Miligram
MgSO4 : Magnesium Sulfat
O2 : Oksigen
MRI : Magnetic Resonance Imaging
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SC : Subcutan
SL : Sublingual
SM : Sebelum Masehi
μg : Mikrogram

LAMBANG
< : kurang dari
% : persen

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Inversio uteri adalah suatu kejadian terbaliknya uterus bagian dalam ke


arah luar, sehingga bagian fundus uteri dipaksa melalui serviks dan menonjol ke
1
dalam atau keluar dari vagina. Kejadian inversio dapat terjadi paska persalinan
atau disebut inversio uteri obstetri, maupun bukan paska persalinan yang lebih
dikenal dengan inversio uteri ginekologi, akibat proses primer di uterus seperti
2
fibroid, sarkoma dan kanker endometrium. Menurut durasinya, inversio paska
persalinan dapat dikelompokkan menjadi inversio uteri akut, subakut dan kronis.
Kejadian inversio uteri akut merupakan kegawatdaruratan di bidang Obstetri yang
3
jarang terjadi namun mengancam nyawa. Kadang sulit terdiagnosis, karena
4.5.6
kejadian yang sangat jarang (1/2.000 - 1/23.000).
Penelitian terkini di Kanada pada tahun 2002, dari tahun 1977 hingga 2000
ditemukan 40 kasus, dengan insiden 1 dalam 3737 persalinan pervaginam dan 1
7
dalam 1860 persalinan seksio sesarea. Di RSUP Sanglah jumlah persalinan pada
8
1 Agustus 2009 hingga 31 Juli 2010 sebanyak 1749. Artinya menurut
perhitungan, dalam satu tahun belum tentu ditemukan satu kasus inversio uteri
obstetri di RSUP Sanglah. Sedangkan kejadian inversio uteri ginekologi adalah 1
2
dari 6 kejadian inversio uteri. Jadi, diperkirakan dalam 6 tahun baru akan
ditemukan satu kasus inversio uteri kronis di RSUP Sanglah Denpasar.
Tanda dan gejala utama inversio uteri akut adalah perdarahan dan syok.
Ketepatan dan kecepatan diagnosa dan penanganan kasus akan mengurangi
3
morbiditas dan mortalitas akibat inversio uteri.
Sari pustaka "Penanganan Inversio Uteri" ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan kita sebagai praktisi dalam menangani kasus inversio uteri.

1
BAB II
INVERSIO UTERI

2.1 Sejarah Inversio Uteri


Dalam catatan sejarah, Das (1940) menyatakan bahwa dalam Ayurveda,
(2500-600 Sebelum Masehi) ada legenda yang menggambarkan inversio uteri.
Dalam Astanga Sangraha dituliskan bahwa untuk penanganan gangguan uterus
yang disebut Bibretta Yoni, (yoni adalah uterus dan seluruh organ genitalia
wanita), disebutkan bahwa yoni harus dibalikkan dahulu, kemudian dikembalikan
posisinya dan disumbat. Dari penanganan yang dibalikkan dahulu kemudian
dikembalikan posisinya, diperkirakan, istilah ini merupakan suatu inversio
KKK
uteri. Hal ini menandakan bahwa inversio uteri telah dikenal sejak jaman dulu
3
oleh masyarakat beragama Hindu. Hipokrates (460-370 SM) tercatat sebagai
orang pertama yang mengenali inversio uteri, dimana digambarkan suatu kasus
dengan uterus yang menggantung seperti skrotum dan cara Hipokrates
melepaskan plasenta. Namun dari bukti yang ada, tampaknya Soranus yang
mendeskripsikan inversio uteri secara jelas dan menyatakan bahwa hal ini dapat
3,9
terjadi akibat dari penarikan tali pusat.
Sesudah Masehi, tercatat Aretius (Abad II), Aetius dan Paulus Aegineta
(625-699) mengemukakan penemuannya tentang inversio uteri. Avicenna, seorang
dokter dari Arab (980-1037) adalah orang pertama yang mendeskripsikan
3,10
perbedaan inversio uteri dan prolaps uteri. Pada abad ke 16, Ambroise Pare
3
memperkenalkan kejadian inversio uteri sebagai suatu keadaan patologis.

2.2 Definisi Inversio Uteri


Inversio uteri adalah suatu kejadian terbaliknya uterus bagian dalam ke
arah luar, sehingga bagian fundus uteri dipaksa melalui serviks dan menonjol ke
1
dalam atau keluar dari vagina.

2
2.3 Insiden Inversio Uteri
Seperti insiden komplikasi obstetri yang lain, kemungkinan terjadinya
inversio uteri akut berbeda di berbagai daerah. Kejadiannya 3 kali lipat lebih
11
sering di India dibandingkan dengan di Amerika. Insiden inversio uteri
3-6,12
bervariasi dari 1/2000 hingga hingga 1/23.000. Penelitian terbaru oleh
Baskett, 2002, dari tahun 1977 hingga 2000 ditemukan 40 kasus, dengan insiden 1
dalam 3737 persalinan pervaginam dan 1 dalam 1860 persalinan seksio sesarea.
Setelah penerapan manajemen aktif kala III pada tahun 1988, kejadian inversio
7
uteri menurun 4,4 kali lipat. Kejadian inversio uteri ginekologi sebesar 1dari 6
2
kejadian inversio uteri.

2.4 Klasifikasi Inversio Uteri


Inversio Uteri dapat diklasifikasikan menurut beberapa kriteria, seperti :
3
berdasarkan hubungan dengan kehamilan, durasi, dan derajat inversio.
Pada tahun 1951, Jones mengklasifikasikan inversio uteri menurut
6,13
hubungan dengan kehamilan, menjadi :
1. Inversio uteri paska persalinan atau inversio uteri obstetri
Inversio uteri obstetri merupakan inversio uteri yang terjadi setelah
persalinan, keguguran, terminasi kehamilan, atau terjadi dalam 6 minggu
14
setelah persalinan maupun keguguran. Inversio uteri obstetri dapat
6
terjadi paska persalinan pervaginam maupun paska seksio sesaria.
Kejadian inversio uteri paska seksio sangat jarang, kurang dari 10 kasus
yang telah dilaporkan di literatur, walaupun mungkin banyak kasus yang
tidak dilaporkan. Dari sekian kasus yang dilaporkan, ada 2 kasus yang
15
disertai henti jantung.
Menurut durasi, inversio uteri paska persalinan diklasifikasikan
menjadi : 3,6,16,17
1. Inversio uteri akut
Inversio uteri akut merupakan inversio uteri yang terdiagnosa dalam 24
jam setelah persalinan, dapat dengan atau tanpa penyempitan serviks.

3
2. Inversio uteri subakut
Inversio uteri subakut merupakan inversio uteri yang terdiagnosa lebih
dari 24 jam namun kurang dari 4 minggu setelah persalinan; selalu
disertai dengan penyempitan serviks.
3. Inversio uteri kronis
Inversio uteri kronis merupakan inversio uteri yang telah terjadi selama
4 minggu atau lebih.
2. Inversio uteri bukan paska persalinan atau inversio uteri ginekologi
Merupakan inversio yang terjadi pada uterus non-gravid. Pada
umumnya terjadi akibat proses primer di uterus, seperti fibroid (sering
6,18 6,19,20
akibat mioma submukosa) , sarkoma dan kanker
2,6,21 22
endometrium namun bisa juga idiopatik. Seperti tampak pada
23
Gambar 2.1, salah satu kejadian inversio uteri akibat nodul fibroid.

Gambar 2.1 Inversio uteri komplit pada wanita 42 tahun, P4-5 tahun
dengan diagnosis awal kanker serviks, saat operasi
23
ditemukan inversio uteri akibat nodul fibroid

Menurut onset dan evolusinya, inversio uteri ginekologi dibedakan


23
menjadi :

4
1. Inversio uteri akut .
Tanda dan gejala klinis inversio uteri akut lebih jelas, yaitu berupa
nyeri berat dan perdarahan
2. Inversio uteri kronis
Inversio uteri kronis ditandai dengan rasa tidak nyaman di pelvis,
23
leukorea, perdarahan pervaginam, anemia dan nekrosis pada
5
jaringan uterus.

Menurut derajat inversio, beberapa peneliti membagi menjadi 3


12,14,24
kelompok , sementara peneliti yang lain membedakan menjadi 4 kelompok
3,5,11,25,26
sebagai berikut:
1. Inversio uteri derajat I (inkomplit)
Inversio uteri derajat I merupakan inversi uterus dimana korpus terbalik ke
arah serviks, namun belum mencapai cincin serviks
2. Inversio uteri derajat II (inkomplit)
Inversio uteri derajat II merupakan inversi uterus melewati cincin serviks,
namun belum mencapai perineum
3. Inversio uteri derajat III (komplit)
Inversio uteri derajat III merupakan inversio uterus komplit, dimana
inversi fundus uteri mencapai perineum.
4. Inversio uteri derajat IV (total)
Inversio uteri derajat IV merupakan inversi uterus disertai dengan inversi
vagina

2.5 Etiologi dan Faktor Risiko Inversio Uteri


Menejemen kala III yang salah (tarikan tali pusat yang terlalu dini dan
penekanan fundus sebelum plasenta terlepas) merupakan penyebab tersering inversio
6,11,17,27-31
uteri. Hal ini bisa terjadi bila persalinan dipimpin oleh petugas yang tidak
11,16
terlatih. Situasi ini sering ditemukan di negara berkembang.
Selain itu, faktor risiko terjadinya inversio uteri antara lain : primipara,
3,11,32,33 6,11 11
implantasi plasenta di fundus , plasenta adhesiva , atonia uteri , bayi

5
6 34 6,11
makrosomia, penggunaan MgSO4 , Nitroglycerin , partus presipitatus ,
5 ,
abnormalitas uterus , manual plasenta tali pusat pendek, plasenta previa,
11
gangguan jaringan ikat (Marfan sindrom, Ehlers-Danlos sindrom) , keadaan yang
meningkatkan tekanan intraabdominal secara tiba-tiba (seperti bersin, mual
14
muntah hebat).
Menurut Bentrand dkk, dari tahun 1887 hingga 2006, telah dilaporkan 150
kasus inversio ginekologi, dimana penyebabnya adalah: leiomioma submukosa
(71,6%), sarkoma (13,6%), kanker endometrium (6,8%) dan penyebab tidak
O
spesifik (8%). Tarikan oleh massa intrauterin seperti polip, mioma atau
keganasan pada wanita yang lebih tua dapat menyebabkan terjadinya inversio
14
uteri.
Namun lebih dari 50% kejadian inversio uteri, tidak ditemukan faktor
risiko dan tidak ada kesalahan dalam manajemen kala III. Sehingga inversio uteri
11
merupakan kejadian yang tidak dapat diprediksi.

2.6 Patofisiologi Inversio Uteri


11
Ada 3 hal yang menjadi dasar terjadinya inversio uteri akut, yaitu :
1. Suatu bagian dinding uterus prolaps melalui serviks yang terbuka, atau
melipat ke depan
2. Relaksasi sebagian dinding uterus
3. Tarikan simultan ke arah bawah dari fundus uteri
Secara klinis, faktor penting yang mempermudah terjadinya inversio uteri
adalah implantasi plasenta di fundus, kelemahan miometrium di sekitar tempat
5,35
implantasi dan adanya serviks postpartum yang terbuka. Pada kasus tertentu,
tali pusat yang pendek atau kesalahan penanganan kala III dengan penarikan tali
pusat tidak terkendali mempermudah terjadinya inversio uteri. Bahkan inversio
uteri pada seksio sesarea dapat terjadi setelah pemberian tokolitik kuat, seperti
34
nitroglycerin. Pada sebagian besar kasus adanya kelemahan miometrium bagian
fundus uteri merupakan faktor penting. Jika uterus tetap lembek, segera setelah
persalinan ditambah dengan implantasi plasenta di fundus, terjadinya lekukan
fundus mudah terjadi. Dengan mekanisme yang unik, kelemahan miometrium ini

6
(ditambah dengan penarikan tali pusat tidak terkendali) menyebabkan fundus
melekuk dengan atau tanpa adanya plasenta yang masih melekat. Hal ini
5
menyebabkan terjadinya inversio uteri.
Untuk terjadinya inversio uteri, uterus harus terus berkontraksi pada saat
yang sama untuk mendorong fudus yang terinversi sebelumnya atau massa
fundus-plasenta ke arah bawah, sehingga makin masuk ke arah segmen bawah
uterus. Jika serviks terbuka dan kontraksi cukup kuat, massa myometrium-
plasenta dapat terperas ke dalam serviks, menyebabkan terjadinya inversio
komplit (inversio uteri derajat III). Pada keadaan yang lebih ringan, dinding
fundus uteri yang melekuk kedalam terperangkap secara spontan ke dalam kavum
5
uteri, menyebabkan terjadinya inversio inkomplit.
Pada inversio komplit, setelah fundus melewati serviks, jaringan serviks
berfungsi sebagai lingkaran konstriksi dan segera terjadi edema. Massa prolaps
kemudian membesar secara progresif dan menyumbat vena dan akhirnya aliran
darah arteri, menyebabkan terjadinya edema. Sehingga reposisi uterus menjadi
lebih sulit bila inversio terjadi makin lama. Pada kasus kronis, dapat terjadi
5
nekrosis (Gambar 2.2 ) dan bahkan dapat meninggalkan jaringan parut.

Gambar 2.2 Mioma dan inversio uterus dengan bagian nekrosis pada
36
mioma dan sebagian endometrium yang terinversi

Saat berpikir mengenai patofisiologi inversio uteri, peneliti harus kagum


mengapa kejadian ini sangat jarang terjadi, sementara kontraksi uterus postpartum

7
yang lembek, implantasi plasenta di fundus dan tarikan tali pusat merupakan hal
yang terjadi pada hampir setiap persalinan. Harus ada suatu hal yang terjadi secara
5
bersamaan, sehingga inversio uteri ini dapat terjadi.
Pengalaman dari penerapan manajemen aktif kala III menekankan
pentingnya tonus uteri segera setelah kelahiran bayi sebagai penyebab inversio
uteri. Hal ini ditunjang dengan adanya penurunan kejadian inversio uteri setelah
5,7
penerapan manajemen aktif kala III. Perbedaan penting manajemen aktif kala
III dibandingkan proses persalinan normal adalah pemberian oksitosin segera
setelah kelahiran bayi, sebelum tampak tanda-tanda pelepasan plasenta.
Penggunaan oksitosin, sepertinya menjaga tonus miometrium dan efek inilah yang
5
mungkin menurunkan kejadian inversio uteri.

2.7 Diagnosis Inversio Uteri


Diagnosis inversio uteri ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis,
kecuali pada kasus inversio kronis yang sangat jarang, mungkin diperlukan
11
pemeriksaan penujang tambahan seperti ultrasonografi, CT scan maupun MRI.
6,7,11
Tanda utama inversio uteri akut adalah perdarahan (65-94%) dan
3
komplikasi yang tersering adalah syok (40%). Harus dipahami bahwa pada fase
awal, syok yang terjadi bersifat neurogenik yang ditandai dengan bradikardia dan
hipotensi, namun sejalan dengan berjalannya waktu, akan terjadi perdarahan
11
postpartum yang menyebabkan syok hipovolemik. Pada inversio uteri subakut,
keluhan yang ditemukan berupa lochia yang banyak dan lama atau leukorhea,
37
retensio urin dan konstipasi. Pada kasus kronis, biasanya tidak berkaitan dengan
kehamilan, gejala klinisnya tidak khas, berupa perdarahan uterus abnormal,
6 6,14
disuria, nyeri pelvis, leukorea dan perdarahan paska koitus yang berulang.
Dari pemeriksaan fisik tidak teraba fundus uteri dari pemeriksaan
abdominal, ditemukan massa di dalam vagina yang sebenarnya adalah fundus
6
uteri dan tidak teraba serviks uteri. Pada 60-70% kasus, plasenta masih melekat
5
pada uterus.

8
Literatur lama menuliskan bahwa derajat syok yang terjadi tidak sesuai
38
dengan jumlah perdarahan , namun penelitian terkini tidak mendukung
6,12
pernyataan ini.
Syok neurogenik pada inversio uteri akut terjadi akibat stimulasi vagal
(reflek parasimpastis) akibat penarikan ligamentum penyangga uterus maupun
akibat penekanan ovarium yang masuk ke dalam uterus yang terinversi sehingga
5,6
dapat disertai bradikardia.
5
Diagnosa banding inversio uteri akut adalah :
1. Prolaps tumor uterus atau polip serviks yang besar
2. Kelahiran bayi kembar kedua yang tidak diprediksi sebelumnya,
lobus suksenturiata
3. Penyakit trofoblas gestasional
4. Laserasi jalan lahir dengan atonia uteri
5. Atonia uteri
6. Ruptur Uteri
Untuk membedakan atonia uteri dengan inversio uteri partial, kadang sulit,
terutama bila pasien datang dalam keadaan syok hemoragik. Dalam hal ini,
pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi, CT scan bahkan MRI akan sangat
39
membantu. (Gambar 2.3 hingga 2.6)

Gambar 2.3 Gambaran CT scan pelvis dengan kontras pada kasus inversio uteri
39
obstetrik derajat I yang dialami wanita 26 tahun, P1-0 hari.

9
18
Gambar 2.4 MRI inversio uteri akibat leiomioma uteri submukosa.

Gambar 2.5 Ultrasonogram inversio uteri akut, ditemukan 8 jam setelah


40
prosedur plasenta manual.

10
Gambar 2.6 Inversio uteri kronis yang terjadi pada kasus gambar 2.5.
40
Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan 8 minggu paska persalinan.

2.8 Komplikasi Inversio Uteri

Komplikasi jangka pendek inversio uteri adalah berupa perdarahan


postpartum, namun, endomiometritis sering menyertai inversio uteri. Usus dan
jaringan sekitar uterus dapat terluka akibat terperangkap dalam fundus yang
terinversi. Bahkan dapat terjadi kematian akibat inversio uteri. Namun dengan
deteksi dini, terapi definitif dan resusitasi yang adekuat, angka kematian menjadi
17
cukup rendah.

11
2.9 Risiko Inversio Uteri Pada Kehamilan Berikutnya
Risiko inversio uteri berulang pada kehamilan berikutnya belum dapat
disimpulkan. Pada satu penelitian terhadap 40 kasus inversio uteri akut, tidak
6,7
terjadi inversio uteri ulangan pada 26 persalinan berikutnya. Pasien harus
diinformasikan bahwa kejadian ini mungkin berulang dan karena itu persalinan
11,41
berikutnya harus dilakukan di rumah sakit. Fertilitas dan bayi tidak terganggu
11
setelah dilakukan prosedur pembedahan.

12
BAB III
PENANGANAN INVERSIO UTERI

3.1 Prinsip Umum Penanganan Inversio Uteri


Pada prinsipnya ada dua tujuan penanganan inversio uteri akut, yaitu reposisi
uterus dan penanganan syok yang terjadi. Kunci keberhasilan penanganan adalah
kerjasama team sebab keduanya harus dilakukan secara berkesinambungan. dan
6,11,24,42
kadang syok tidak akan teratasi sebelum reposisi uterus.
Keberhasilan reposisi inversio uteri sangat tergantung pada kecepatan
deteksi dini. Semakin lama uterus terinversi akan semakin sulit melakukan
reposisi. Penanganan hipovolemia dilakukan dengan pemasangan jalur intravena
dengan jarum besar (ukuran 18 gauge atau yang lebih besar) dan penggantian
3
cairan , sedangkan cara untuk menangani syok neurogenik adalah dengan reposisi
11
uterus . Penggantian volume darah dilakukan dengan cairan kristaloid sebanyak
3 kali jumlah perdarahan. Bila diperlukan dapat dipasang jalur intravena
tambahan. Personil yang kompeten juga diperlukan dalam penanganan inversio
uteri, seperti dokter anesthesia, personil ruang operasi dan asisten pembedahan.
Lebih baik waspada untuk bertindak lebih awal daripada terlambat bertindak.
Pemeriksaan darah lengkap dan waktu pembekuan harus dilakukan dan persediaan
darah untuk transfusi harus ada. Tanda vital pasien harus dipantau secara ketat dan
3
kateter urin harus terpasang untuk memonitor produksi urin.
Pemberian oksitosin ditunda dan usaha reposisi uterus melalui vagina
harus segera dilakukan. Para peneliti menganjurkan dilakukan dahulu reposisi
uterus secara manual, sebelum dilakukan usaha untuk melepaskan plasenta dan
reposisi secara operatif. Jika plasenta dilepaskan sebelum reposisi uterus, risiko
penderita untuk kehilangan darah dan syok akan sangat tinggi. Setelah reposisi,
3
biasanya plasenta akan dengan mudah terlepas.
Secara singkat, alur penanganan inversio uteri akut digambarkan pada
Gambar 3.1.

13
Panggil Bantuan

Segera Lakukan Reposisi Manual dan


Resusitasi secara simultan

Berhasil Tidak Berhasil Tidak Berhasil

Pasien Tidak Pasien Syok


Lepaskan
plasenta, Syok
massase, berikan
uterotonika,
antibiotik General
Penggunaan
tokolitik Anestesi

Cara Manual
atau dengan
Tekanan
Hidrostatik

Tidak Berhasil

Jika semua usaha gagal, lakukan Laparotomi (<3%)

11
Gambar 3.1 Penanganan inversio uteri akut

Pada sepertiga kasus, reposisi berhasil dilakukan secara manual, tanpa


3
memerlukan tokolitik. Kurang dari 3 % kasus yang memerlukan tindakan
11,43
pembedahan untuk reposisi uterus.

14
3.2 Penanganan Inversio Uteri Non-Bedah
Terdapat beberapa tehnik non-bedah untuk reposisi inversio uteri, antara
lain: manuver Johnson, manuver Henderson dan Alles, penggunaan tokolitik, dan
reposisi dengan tekanan hidrostatik. Selain itu juga penggunaan repositor yang
saat ini sudah ditinggalkan.

3.2.1 Manuver Johnson atau reposisi manual


Setelah diperkenalkan pertama kali pada tahun 1949, manuver ini menjadi
3
sangat populer untuk reposisi inversio uteri secara manual. Prinsip manuver ini
adalah uterus didorong ke dalam cavum abdomen hingga di atas umbilikus agar
terjadi reposisi. Diperkirakan bahwa aktivitas pasif dari ligamentum uterus akan
11
mereposisi uterus. Kemungkinan reduksi spontan adalah 43-88%.
Menurut Johnson, manuver ini dilakukan dengan memasukkan seluruh
11
tangan hingga dua per tiga lengan bawah ke dalam vagina. Bagian uterus yang
4
keluar terakhir, harus terlebih dulu dimasukkan. Dengan memegang fundus uteri
dengan telapak tangan dan ujung-ujung jari diletakkan pada utero-servikal
junction, fundus uteri didorong hingga di atas umbilikus. Diperlukan tekanan jari-
6
jari secara konstan selama beberapa menit (minimal 5 menit). Hal ini akan
menegangkan ligamentum uterus, dan akibatnya cincin servikalis akan relaks dan
melebar, sehingga mempermudah pergerakan fundus melalui cincin tersebut.
Sehingga inversio uteri terkoreksi. Jika reposisi dilakukan sebelum terbentuknya
11
cincin servikalis, prosedur ini relatif mudah dilakukan.
Metode ini mengurangi jumlah lapisan uterus yang harus melalui serviks
3,32
pada saat yang sama. Setelah uterus direposisi, tangan operator tetap berada di
dalam cavum uteri hingga terjadi kontraksi dan hingga diberikan oksitosin
3
intravena.

15
44
Gambar 3.2 Reposisi manual inversio uteri

Masalah utama penerapan manuver Johnson adalah karena kasus inversio


uteri akut sangat jarang, sulit bagi penolong persalinan untuk mendapatkan
kompetensi dalam melakukan prosedur ini. Oleh karena itu, perlu diadakan
3
pelatihan simulasi.

3.2.2 Manuver Henderson dan Alles.


Manuver ini dilakukan dengan cara memegang cincin serviks dengan ring
10
forseps, kemudian fundus uterus didorong ke arah atas atau anterior. Manuver
3
ini dilakukan bila dengan cara manual, reposisi belum berhasil.

16
3.2.3 Penggunaan tokolitik
Dengan adanya cincin konstriksi, reposisi inversio uteri akan sangat sulit.
Tokolitik berperan untuk merelaksasikan uterus, sebelum reposisi manual maupun
11
sebelum penggunaan tekanan hidrostatik. Namun perlu diperhatikan bahwa efek
samping penggunaan tokolitik adalah perdarahan postpartum akan semakin
banyak, yang tentu sangat tidak diharapkan terjadi pada pasien yang telah syok
sebelumnya. Dengan perkiraan perdarahan postpartum ditemukan pada 94% kasus
3,45
inversio uteri, maka peran tokolitik ini masih sangat kontrovesial.
Beberapa tokolitik yang sering dipakai adalah :
1. Nitroglycerin
Dosis awal 150-200 mcg IV, selanjutnya bila relaksasi uterus belum
cukup, dapat ditambahkan 100-150mcg IV selang beberapa menit hingga
tercapai efek yang diinginkan atau hingga tercapai dosis maksimal
C
500mcg. Onset relaksasi uterus dicapai dalam 90 detik setelah pemberian
SL. Keunggulan penggunaan nitroglycerin: menimbulkan relaksasi uterus
3
sesaat. Efek samping utama adalah hipotensi sesaat. Pemberiannya harus
lebih hati-hati pada kasus perdarahan hebat, terutama pada kasus yang
4
disertai dengan preeklampsia atau hipertensi kronis.
2. Terbutaline.
Dosis yang digunakan adalah 0,125-0,25mg terbutaline IV atau SC. Angka
3
keberhasilan sebesar 88,9%. Onset timbul relaksasi uterus adalah 2
11
menit. Abouleish dkk merekomendasikan terbutaline sebagai lini utama,
karena onset cepat, waktu paruh pendek, mudah digunakan, tersedia di
46
ruang pesalinan, dan lebih dikenal di kalangan ahli kebidanan.
3. Magnesium Sulfat (MgSO4)
Dosis yang digunakan adalah 2-6 gram bolus MgSO4 IV dalam 5-20
11
menit. Onset timbulnya relaksasi 10 menit. Pada pasien yang hipotensi
dan syok, sebaiknya digunakan MgSO4 daripada vasodilator seperti β-
3,4,11
agonis dan nitroglycerin.

17
4. Amyl Nitrate
Amyl nitrate diberikan dengan membuka ampul dan dihirup melalui
3
pernapasan.
5. Ritrodine
3
Dosis yang direkomendasikan adalah 0,15mg ritrodine IV.
6. General anesthesi.
Keunggulan penggunaan general anestesia adalah selain sebagai
penghilang nyeri, juga menimbulkan relaksasi uterus. Dahulu, penggunaan
H,N
halothane dengan konsentrasi 2% atau lebih direkomendasikan. Namun
dengan tersedianya obat-obat anestesi yang lebih aman dan risiko
terjadinya hipotensi berat akibat penggunaan halothane, kini
11
penggunaannya sudah tidak direkomendasikan lagi.

3.2.4 Reposisi dengan tekanan hidrostatik


Penggunaan tekanan hidrostatik untuk reposisi uterus pertama kali
diperkenalkan oleh O'Sullivan pada tahun 1945. Kemudian, tehnik ini
dimodifikasi oleh Ogueh dan Ayida dengan penggunaan mangkok silastik alat
6,47
vakum. World health Organization merekomendasikan bahwa bila dengan
11,48
reposisi manual tidak berhasil, metode hidrostatik harus dicoba.
Sebelum mencoba metode ini, harus dipastikan tidak terjadi ruptur uteri.
11
Prosedur dilakukan di kamar operasi dalam posisi litotomi maupun reverse
49
trendelenburg. Cairan saline hangat dialirkan ke dalam introitus vagina (2
50 51
hingga 10 liter) , dari posisi yang 100-200cm lebih tinggi dari vagina
kemudian introitus vulva ditutup oleh tangan dokter (Gambar 3.3) atau
dihubungkan dengan mangkuk vakum silastik (Gambar 3.4) untuk menahan
cairan di vagina dan menciptakan tekanan hidrostatik. Tekanan ini akan
6
mendorong fundus yang terinversi kembali ke posisi anatomis. Tekanan
52
dipertahankan selama 30 menit. Dalam metode ini diperlukan cairan saline
dalam jumlah yang cukup banyak dan harus dihitung jumlah cairan yang
6
dimasukkan dan yang keluar dari introitus vagina.

18
Kesulitan yang mungkin dialami dalam penerapan metode ini adalah saat
menjaga agar tidak terjadi kebocoran setelah cairan dialirkan ke vagina. Hal ini
dapat diatasi dengan penggunaan mangkok vakum silastik, walaupun tetap
diperlukan tangan untuk mencegah kebocoran. Mangkok harus diarahkan ke
11
forniks posterior agar terjadi distensi vagina. Bila menggunakan vakum dan
masih keluar cairan dari vagina, mangkok vakum dapat dikeluarkan sedikit,
mendekati introitus vagina hingga cekungan mangkok vakum menempel pada
51
bagian dalam introitus vagina.

14
Gambar 3.3 Metode O'Sullivan untuk reposisi inversio uteri

Komplikasi akibat metode hidrostatik ini antara lain : infeksi, kegagalan


reposisi, dan secara teori bisa terjadi emboli saline. Walaupun telah
direkomendasikan penggunaan cairan sebanyak 2-10 liter, namun belum pernah
11
ada laporan kasus emboli saline maupun edema paru.

19
11
Gambar 3.4 Metode Hidrostatik dengan mangkok vakum silastik

3.2.5 Penggunaan repositor


Pada Abad ke 18, alat yang digunakan untuk mereposisi inversio uteri
disebut repositor. Ada berbagai bentuk repositor, seperti repositor sigmoid,
repositor lurus dan repositor kurva pelvis (Gambar 3.5) Diantara berbagai bentuk
repositor tersebut, yang paling terkenal adalah repositor sigmoid Aveling (1879).
53
Alat ini digunakan selama 40 jam atau lebih. Efek samping penggunaan
52
repositor ini adalah nyeri dan keputihan.
Cara penggunaannya : pertama dilakukan pengukuran fundus yang
terinversi, kemudian dipilih repositor dengan ukuran mangkok yang sedikit lebih
kecil dari ukuran fundus uteri. Kemudian gunakan sabuk melingkari pinggang dan
menyilang bahu, kemudian kencangkan ikat pinggang. Pasang mangkok repositor
pada fundus uteri dan fiksasi dengan 2 ring di depan dan 2 ring di belakang yang
diikat pada ikat pinggang tersebut. Tarikan dapat dikencangkan ataupun
dilonggarkan. Bila pasien kesakitan, dapat diberikan morfin. Bila pasien kesulitan
buang air kecil, digunakan kateter untuk mengeluarkan urin. Reposisi tercapai
53
setelah penggunaan rata-rata 42 jam.

20
B
A

E D

Gambar 3.5. Repositor uterus.


A. Arah Tekanan yang ditimbulkan oleh Repositor Lurus, Kurva dan
Sigmoid. B. Repositor Sigmoid yang telah terpasang, dengan garis
53
tekanan (A) dan garis tarikan dari elastic band (B,C) . C. Repositor
54
Avelings . D. Repositor Avelings yang terpasang pada ikat
55 56
pinggang . E. Repositor lurus.

21
Kelemahan alat ini adalah setelah berhasil reposisi uterus, kadang
mangkok repositor terjebak dalam cavum uteri dengan serviks yang sudah
mengecil, sehingga operator mengalami kesulitan untuk mengeluarkan alat ini
55
dari cavum uteri.
Kini penggunaan alat ini sudah ditinggalkan, karena keberhasilan untuk
52
mereposisi inversio uteri diragukan.

3.3 Penanganan Inversio Uteri Melalui Pembedahan


Prosedur pembedahan untuk reposisi inversio uteri dapat dilakukan melalui
vagina maupun abdominal, dari cara laparotomi hingga penggunaan laparoskopi
6
(Gambar 3.6). Namun yang direkomendasikan saat ini adalah prosedur
pembedahan melalui abdominal, yaitu Prosedur Huntington, dengan laparotomi-
reposisi melalui abdominal dan Prosedur Haultain, dengan laparotomi-insisi cincin
5,26
servikalis-reposisi melalui abdominal.

20
Gambar 3.6 Gambaran inversio uteri intraoperatif

Prosedur reposisi melalui vagina tidak direkomendasikan, karena


tingginya risiko perluasan insisi hingga ke vesika urinaria, ureter dan pembuluh
darah besar di sekitarnya. Selain itu, pasien ini berisiko mengalami inkompetensi
4
serviks pada kehamilan berikutnya. Dalam prosedur ini, cavum abdomen dibuka

22
melalui kolpotomi anterior (Prosedur Spinelli) maupun kolpotomi posterior
57
(Prosedur Kustner), seperti tampak pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7 Skema pendekatan pembedahan melalui vagina pada kasus inversio
uteri. Kavum abdomen dibuka melalui kolpotomi anterior maupun
57
posterior.

3.3.1 Prosedur pembedahan B-Lynch.


Prosedur ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 2005 oleh B-Lynch.
Laparotomi dengan insisi midline, kemudian setelah menembus peritoneum, usus
dilindungi dan dijauhkan dari uterus. Operator meletakkan tangannya di bagian
anterior dan posterior segmen bawah uterus, dengan ujung jari berada diantara dan
dibawah fundus uteri yang terinversi. Dengan penekanan kuat pada ujung jari
kedua tangan yang mendorong ke atas secara simultan, lekukan interna akan
16
bergeser secara progresif sejalan dengan kembalinya fundus uteri (Gambar 3.8).

23
A B

C D

Gambar 3.8 Prosedur B-Lynch. A. Inversio uteri akut. B. Ujung jari operator
diletakkan dibawah fundus uteri untuk membatu reposisi. C.
Reposisi berhasil secara progresif dengan beberapa bagian iskemia.
16
D. Vaskularisasi mulai kembali. E. Reposisi berhasil.

24
3.3.2 Prosedur pembedahan Huntington
Prosedur Huntington pertama kali diperkenalkan pada tahun 1921.
Pertama dilakukan general anestesia dalam dengan obat yang membuat uterus
5 4
rileks. Insisi kulit dilakukan secara midline atau pfanensteil.
Pada inversio uteri, adneksa (ovarium, tuba fallopii, ligamentum
rotundum) pada umumnya tertarik ke dalam fundus uteri yang terinversi. Dengan
menggunakan klem Allis atau Babcock, kedua ligamentum rotundum yang masuk
30
ke dalam inversio uteri diklem sedalam 2 cm dari lekukan inversio. Kemudian
secara lembut dilakukan tarikan berlawanan arah dengan inversi fundus. Klem dan
6
tarikan dilakukan berulang-ulang hingga inversio terkoreksi (Gambar 3.9.). Bila
mengalami kesulitan dalam reposisi, dapat dibuat jahitan figure of eight dengan
benang vicryl atau chromic 1.0 pada bagian tengah fundus, jika bagian ini masih
4
terlihat. Bila memungkinkan, operator kedua dengan tangan di vagina,
memberikan dorongan ke atas pada fundus, sehingga membantu prosedur
5,6
reposisi.
Varian dari prosedur ini adalah dengan memasang vakum pada fundus
6,47
yang terinversi. Prosedur ini merupakan modifikasi oleh Antonelli dkk (2006).
Mangkok silastik vakum dipasang pada fundus uteri yang terinversi melalui
abdomen, kemudian sambungkan dengan selang suction sehingga terbentuk
tekanan negatif. Tarikan dilakukan secara perlahan dan lembut hingga reposisi
uterus berhasil (Gambar 3.10.) Keuntungan dari tehnik ini adalah menghindari
perlu dilakukannya insisi uterus dan memudahkan tarikan pada fundus, daripada
menarik ligamentum rotundum yang memiliki tendensi robek. Mangkok silastik
bersifat lunak, sehingga mudah melewati cincin konstriksi, untuk dipasang pada
47
fundus uteri yang terinversi.

25
3
Gambar 3.9 Ilustrasi Manuver Huntington.

Gambar 3.10 Varian prosedur Huntington. A. Vakum terpasang pada fundus


47
uteri. B. Reposisi uterus setelah penarikan dengan vakum.

26
3.3.3 Prosedur pembedahan Haultain
Tehnik ini diperkenalkan pertama kali oleh Haultain pada tahun 1901.
Pada tehnik operasi ini, dilakukan insisi cincin serviks secara longitudinal pada
14,41
bagian posterior uterus, sekitar 4-6 cm. Langkah berikutnya sama dengan
metode Huntington, dilakukan tarikan ke atas pada ligamentum rotundum hingga
uterus berhasil dilakukan reposisi (Gambar 3.11.) Kemudian seluruh bekas insisi
di serviks, uterus dan vagina dijahit dengan jahitan interuptus, lapis demi lapis (2-
11
3 lapis). Kemudian diberikan uterotonik untuk membuat uterus berkontraksi.
Keuntungan Tehnik Haultain adalah insisi posterior mencegah trauma
terhadap kandung kencing yang mungkin ikut tertarik pada saat terjadi inversio
uteri pada bagian anterior. Kedua, insisi dapat dilihat dengan jelas dan bila terjadi
perluasan lebih mudah diperbaiki, karena tarikan pada fundus yang kongesti
6
memudahkan terjadinya robekan.
Jika reposisi dilakukan dengan metode ini, pasien harus diberikan
konseling mengenai risiko ruptur uteri pada kehamilan berikutnya. Secara teori,
insisi miometrium ada segmen bawah uterus memiliki risiko ruptur yang sama
dengan insisi histerotomi anterior vertikal pada seksio sesarea. Risiko ruptur yang
5,41
sebenarnya tidak diketahui karena belum ada data.

27
Gambar 3.11 Prosedur pembedahan Haultain. A. Uterus mengalami inversio uteri
komplit dengan kedua tuba dan ligamentum rotundum tertarik ke bawah
melalui lingkaran konstriksi. Retraktor fleksibel diletakkan pada vagina
posterior, dimana bagian ujungnya berada diantara bibir serviks
posterior dan dinding uterus yang terinversi, di tempat dimana
pemotongan akan dilakukan. B. Rektosigmoid terlindungi saat
dilakukan insisi dinding uterus, pada titik dimana konstriksi paling
hebat. Panjang insisi bervariasi, namun harus cukup agar dapat dilalui
fundus. Jika insisi dilakukan di atas retraktor fleksibel yang telah
dipasang sebelumnya, hanya uterus yang akan terpotong dan struktur
vagina tidak akan terluka. C. Reposisi fundus dilakukan dengan tarikan
kombinasi pada dinding uterus dari atas oleh operator dan dari bawah
oleh asisten. Setelah berhasil direposisi, bekas insisi dijahit dengan
3
benang chromic secara interuptus.

28
3.3.4 Prosedur pembedahan Spinelli

Prosedur Spinelli merupakan prosedur pembedahan transvagina.


25
Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1899. Menurut prosedur ini, pertama
dilakukan kolpotomi dinding vagina anterior, kemudian dilakukan insisi serviks,
diikuti dengan insisi segmen bawah uterus. Uterus kemudian disisihkan dengan
4
penekanan ke atas dan bekas insisi dijahit lapis demi lapis.
Setelah puncak vagina anterior dibuka melalui insisi transversal dan
kemudian dengan diseksi secara tumpul untuk memisahkan jaringan hingga
perbatasan peritoneum, kemudian bibir serviks anterior dan segmen bawah uterus
dipotong (Gambar 3.12). Usaha untuk reposisi uterus harus dicoba, sebelum
tindakan berikutnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mulai memberikan tekanan
ke atas melawan korpus uteri yang terinversi, pada sudut atas insisi serviks dan
segmen bawah uterus. Jika usaha ini gagal setelah menggunakan tenaga yang
adekuat selama beberapa waktu, usaha berikutnya, cavum peritoneum harus
dibuka dan insisi diperpanjang hingga korpus uteri, dengan cara membalik arah
gunting: namun setiap kali dilakukan perpanjangan insisi, harus dilakukan usaha
untuk mereposisi uterus. Kadang diperlukan insisi sepanjang seluruh permukaan
anterior uterus untuk mempermudah reposisi. Setelah reposisi berhasil, bekas
insisi dijahit 2 lapis dengan benang catgut pada miometrium, kemudian jahitan
jelujur pada perimetrium. cavum peritoneum yang terbuka kemudian ditutup dan
puncak vagina disatukan dengan jahitan interuptus. Tidak diperlukan pemasangan
58
drain.
Kerugian dari metode ini adalah kemungkinan trauma terhadap kandung
10
kemih lebih besar dibandingkan dengan prosedur Kustner. Untuk kasus inversio
uteri ginekologi, tehnik ini dapat dimodifikasi dengan prosedur histerektomi
23
transvagina , maupun dengan bilateral tubektomi pada kasus yang tidak
58
memerlukan fungsi reproduksi lagi.

29
A
B C

D E F

Gambar 3.12 Operasi Spinelli untuk inversio uteri. A.Insisi transversal vagina di atas
serviks. B.Insisi berbentuk T untuk memperluas. C.Mulai dilakukan insisi
cincin serviks. D. Jika diperlukan dilakukan pemotongan dinding uterus. E.
Uterus telah direposisi dan luka dijahit. F. Membran mukosa telah
58
disatukan.

30
3.3.5 Prosedur pembedahan Kustner

Prosedur Kustner menggunakan pendekatan melalui vagina, sama seperti


Prosedur Spinelli, hanya saja pada prosedur ini, kolpotomi posterior dilakukan
untuk menembus kavum abdomen. Dilakukan insisi posterior melalui serviks dan
segmen bawah uterus dan kemudian dilakukan reposisi uterus, dan diakhiri
4
dengan penjahitan luka bekas insisi.

3.3.6 Histerektomi vagina cara Junizaf


Prosedur histerektomi dikerjakan pada kasus dimana uterus tidak dapat
dipertahankan lagi, seperti pada inversio yang terinfeksi berat, atau inversio akut
dengan keadaan umum jelek, seperti kadar hemoglobin rendah dan tidak tersedia
darah, serta inversio uteri yang disebabkan oleh tumor uterus. Dengan
histerektomi, fokus infeksi dan sumber perdarahan dapat dihilangkan sehingga
10
penderita dapat diselamatkan.
Prosedur ini dilakukan dalam posisi litotomi. Setelah dilakukan
pembiusan, dilakukan antiseptik pada uterus yang telah keluar dari introitus
vagina, termasuk tumor yang keluar bersamaan dengan inversio uteri, serta alat
genital di sekitarnya. Satu sentimeter di depan introitus vagina, dibuat jahitan
melingkar seperti rantai dengan mempergunakan jarum hepatis dan benang atau
vicryl No.2 atau lebih (Gambar 3.13.), kemudian uterus dipotong hati-hati dengan
pisau sampai lapisan serosa. Setelah kelihatan tuba, ligamentum rotundum dijepit,
dipotong dan diikat. Bagian uterus yang masih tertinggal, dijahit dan diikat
sehingga tunggul uterus yang tertinggal tidak berdarah dan uterus telah tertutup.
Uterus yang tertinggal dimasukkan ke dalam vagina. Setelah 40 hari, pada
pemeriksaan ginekologi, puncak vagina yang rusak telah masuk ke dalam uterus
dan porsio. Pemeriksaan pada 3 bulan berikutnya, uterus dan serviks uteri teraba
kecil dan biasanya penderita tidak ada keluhan. Penderita kadang-kadang dapat
haid setiap bulan secara teratur. Pada pasien yang uterusnya lebih banyak
10
terangkat, ada kemungkinan tidak haid lagi.

31
10
Gambar 3.13 Jahitan seperti rantai.

3.3.7 Prosedur Laparoskopi.


Pertimbangan penggunaan laparoskopi untuk reposisi kasus akut adalah
harus diperhatikan status hemodinamik pasien dan kemungkinan bisa terjadi
11
pneumoperitoneum. Namun untuk kasus inversio ginekologi, prosedur ini dapat
59
dipertimbangkan.

3.4 Penanganan Plasenta


Pada kasus dimana plasenta masih melekat, inversi harus direposisi
60
sebelum melepaskan plasenta, untuk mengurangi jumlah darah yang hilang.
Setelah reposisi berhasil, cara paling aman adalah menunggu hingga plasenta
terlepas sendiri. Selain itu, dapat dilakukan manual plasenta, namun pastikan
bahwa pasien mendapatkan analgetik yang cukup dan hemodinamik stabil.
Manual plasenta harus dilakukan di ruang operasi sehingga intervensi bedah dapat
segera dilakukan bila terjadi komplikasi. Tangan dimasukkan ke dalam vagina,
melalui serviks kemudian masuk ke dalam cavum uteri. Operator kemudian
mencoba memisahkan plasenta dengan dinding uterus. Jika hal ini tidak dapat
dilakukan dengan mudah, atau perdarahan makin banyak, usaha berikutnya adalah
dengan kuretase (sponge-stick curettage) atau suction curettage. Jika plasenta
masih melekat, harus dipertimbangkan kemungkinan plasenta akreta. Eksplorasi
kavum uterus harus dilakukan untuk menilai perforasi uterus atau plasenta
adhesiva. Kemudian, evaluasi laserasi vagina. Setelah reposisi, berikan
6
uterotonika secara optimal.

32
Penggunaan antibiotika profilaksis diharuskan oleh beberapa peneliti,
17,26,48
sebelum prosedur reposisi uterus.

3.5 Pemberian Uterotonik Paska Reposisi Inversio Uteri


Setelah reposisi uterus berhasil, harus diberikan uterotonik selama minimal
17
24 jam setelah reposisi , agar tidak terjadi inversio uteri berulang. Uterotonik
11
yang dapat dipergunakan antara lain :
1. Methyl ergonovine maleat (Methergine) 0,2 mg IM setiap 30 menit, dapat
diulang 3 kali
2. Oksitosin 40-60 IU/L dalam cairan isotonik (seperti Ringer Laktat)
diberikan IV dalam tetes kontinyu.
3. Prostaglandin 15-methyl F2 alpha (Carboprost tromethamine, Hemabate)
0,25mg IM, dapat diulang setiap 30 menit sebanyak 3 kali
4. Misoprostol 0,4mg per oral atau SL setiap 2 jam , atau 0,8-1,0mg per
rektal dosis tunggal.
Jika dalam proses reposisi dengan MgSO4 dapat diberikan kalsium
5
parenteral untuk menetralisir efek tokolitik MgSO4.
Untuk mencegah terjadinya inversio uteri berulang setelah reposisi, dapat
digunakan balon SOS Bakri yang dikembungkan dengan 300 ml cairan saline,
61
kemudian dikempiskan secara bertahap.

3.6 Penanganan Inversio Uteri Ginekologi


Inversio uteri jarang ditemukan pada wanita tidak hamil. Bila hal ini
terjadi, pada umumnya disebabkan oleh adanya leiomioma submukosa yang
5
bertangkai, maupun keganasan uterus lain yang terjadi di fundus uteri.
Proses terjadinya inversio uteri, diperkirakan sama dengan yang terjadi
pada uterus paska persalinan, walaupun interval terjadinya inversio dalam jangka
waktu lama. Tumor atau massa turun ke dalam segmen bawah uterus. Kemudian
uterus berespon dengan kontraksi berulang. Hal ini makin mendorong massa ke
5
bawah dan kadang-kadang hingga melewati serviks.

33
Terapi definitif inversio uteri ginekologi sangat bervariasi, tergantung hasil
62
biopsi tumor penyebab inversio. Jika memungkinkan, dilakukan eksisi tumor
dan uterus direposisi sambil menunggu hasil pemeriksaan histologis tumor
tersebut. Antibiotika diberikan untuk mengurangi proses inflamasi dan prosedur
definitif dilakukan kemudian. Bila ditemukan nekrosis, edema dan tanda-tanda
infeksi, tindakan definitif harus segera dilakukan, meliputi vaginal
5,64 59
histerektomi dan kombinasi prosedur abdomino-vaginal. Karena diagnosis
jaringan sangat bervariasi, maka pada kasus ini diperlukan penanganan khusus
secara individual. Emboli paru berhubungan dengan kasus kronis, kemungkinan
akibat edema dan infeksi sekunder. Jadi pada kasus tersebut perlu
6
dipertimbangkan pemberian obat profilaksis trombosis.

34
BAB IV
RINGKASAN

Inversio uteri merupakan kejadian kegawatdaruratan yang tidak dapat


diprediksi. Dengan diagnosis dan penanganan yang tepat, akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat inversio uteri. Prinsip penanganan inversio uteri
adalah reposisi uterus dan penanganan syok. Reposisi dicoba dengan cara manual
sesegera mungkin setelah diagnosa inversio uteri ditegakkan. Bila cara ini belum
berhasil, gunakan relaksan uterus sambil mencoba reposisi manual. Bila belum
juga berhasil digunakan metode tekanan hidrostatik. Cara terakhir adalah dengan
prosedur pembedahan melalui pendekatan abdomen, yaitu dengan tehnik
Huntington dan Haultain.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson DM, Dorland WAN. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 28th


ed. USA: Elsevier Health Sciences;1994.
2. Tuckett JD, Yeung A, Timmons G, Hughes T. Non-puerperal Uterine Inversion
Secondary to Uterine Sarcoma And Ascites Demonstrated on CT and MRI.
European Journal Of Radiology Extra 2010;75:e119-23.
3. Kochenour NK. Diagnosis and Management Of Uterine Inversion. In: Gilstrap
LC, Cunningham FG, Vandorsten JP, editors. Operative Obstetrics. 2nd ed.
USA: McGraw-Hill Companies;2002.
4. Bayer-Zwirello LA. The Third Stage. In: Grady JP, Gimovsky ML, Bayer-
Zwirello LA, Giordano K, editors. Operative Obstetrics. 2nd ed. USA:
Cambridge University Press; 2008.
5. Grady JP. Malposition Of The Uterus. Medscape Reference. 2011. Available
from: http://www.emedicine.medscape.com/article/272497. Accessed :
December 3, 2011.
6. Alias M. Management Of Acute Uterine Inversion. O&G Magazine
2011;13(1):56-7.
7. Baskett TF. Acute Uterine Inversion: A Review of 40 Cases. J Obstet
Gynaecol Can. 2002 Dec;24(12):953-6.
8. Anonim. Register Persalinan Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar Periode 1
Agustus 2009 hingga 31 Juli 2010. Denpasar : 2010
9. Das P. Inversion if the Uterus. BJOG:An International Journal of Obstetrics &
Gynaecology 1940;47:525-48.
10. Junizaf. Inversio Uteri. Dalam: Junizaf, Santoso BI, editors. Buku Ajar
Uroginekologi Indonesia. Jakarta: Himpunan Uroginekologi Indonesia; 2011.
11. Bhalla R, Wuntakal R, Odejinmi F, Khan RU. Review Acute Inversion Of The
Uterus. The Obstetrician & Gynaecologist 2009; 11:13-8.
12. Mirza FG, Gaddipati S. Obstetric Emergencies. Seminars In Perinatology
2009; 33:97-103.

36
13. Chen YL, Chen CA, Cheng WF, Huang CY, Chang CY, Lee CN, et all.
Submucous Myoma Induces Uterine Inversion. Taiwanese Journal Obstetrics
and Gynecology 2006;45(2):159-61.
14. Irani S, Jordan J. Management Of Uterine Inversion Operative Techniques.
Current Obstetrics & Gynaecology 1997;7:232-5.
15. Marshall NB, Catling S. Cardiac Arrest Due To Uterine Inversion During
Cesarean Section. International Journal Of Obstetric Anesthesia 2009; 10:231-
4.
16. Evans DG, Lynch CB. Obstetric Trauma. In : Lynch CB, Keynes M, Keith LG,
Lalonde AB, Karoshi M, editors. A Textbook of Postpartum Hemorrhage, A
comprehensive guide to evaluation, management and surgical intervention.
UK: Sapiens Publishing; 2006.
17. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current Diagnosis and
Treatments in Obstetrics & Gynecology. 10th ed. USA: McGraw-Hill
Companies; 2007.
18. Bertrand S, Randriamarolahy A, Cucchi JM, Brunner P, Bruneton JN. Uterine
Inversion Caused By A Submucous Leiomyoma. Clinical Imaging
2011;35:478-9.
19. Case AS, Kirby TO, Conner MG, Huh WK. A Case Report Of
Rhabdomyosarcoma Of The Uterus Associated With Uterine Inversion.
Gynecologic Oncology 2005;96:850-3.
20. Gemer O, Anteby E, Lavie O. Uterine Inversion Associated With Uterine
Sarcoma. JIJGO 2007:195-6.
21. Gowri V. Uterine inversion and corpus malignancies: a historical review.
Obstet Gynecol Surv. 2000 Nov;55(11):703-7.
22. Adaji SE, Randawa AJ, Shittu OS. Idiopathic Chronic Uterine Inversion In A
Nulligravida. International Journal Of Gynecology and Obstetrics 2005;89:
61-2.
23. Fofie CO, Baffoe P. Non-puerperal Uterine Inversion : A Case Report. Ghana
Medical Journal 2010;44(2):79-81.

37
24. Lago JD. Presentation Of Acute Uterine Inversion In The Emergency
Department. American Journal Of Emergency Medicine 1991;9(3):239-42.
25. Turrentine, J.E. Clinical Protocols in Obstetrics and Gynecology. 3rd ed.
India: Informa Health Care; 2008.
26. Guidelines for the Management of Acute Inversion of the Uterus. The Queen
Mothers Hospital. 2007.
27. Francois K. Postpartum Hemorrhage. In : Foley MR, Strong TH, Garite TJ,
editors. Obstetric Intensive Care Manual. 3rd ed. USA: McGraw- Hill
Companies; 2011.
28. Dim CC. Acute Uterine Inversion In A Rural African Woman: A Rare
Consequence Of Child Birth. Woman and Birth 2009;22:25-7.
29. Ripley DL. Uterine emergencies. Atony, inversion, and rupture. Obstet
Gynecol Clin North Am. 1999 Sep;26(3):419-34.
30. Francois KE, Foley MR. Antepartum and Postpartum Hemorrhage. In : Gabbe
SG, Niebyl JR, Simpson JL, Galan H, Goetzl L, Jauniaux ERM, editors.
Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. 5th ed. China: Churchill
Livingstone; 2007.
31. Obstetrical Hemorrhage. In: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth
JC, Rouse DJ, Spong CY, et al, editors. Williams Obstetrics. 23rd ed. USA:
The McGraw-Hill Companies; 2010.
32. Stafford I, Belfort MA, Dildy GA. Etiology and Management of Hemorrhage.
In : Belfort MA, Saade G, Foley M, Phelan J and Dildy G, editors. Critical
Care Obstetrics. 5th ed. Singapore: Blackwell Publishing; 2010.
33. Sarna MC, Hess P, Takoudes TC, and Chaudhury AK. Postpartum
Hemorrhage. In: Datta S, Hepner DL, editors. Anesthetic and Obstetric
Management of High-Risk Pregnancy. 3rd ed. USA: Springer-Verlag, 2004.
34. Weiss H, Diaz FR. Uterine Inversion After Nitroglycerin Use During Cesarean
Delivery. International Journal Of Obstetric Anesthesia 1996;5:269-71.

38
35. Thorp JM. Clinical Aspects of Normal and Abnormal Labor. In : Creasy RK,
Resnick R, Iams JD, Lockwood CJ, Moore TR, editors. Creasy & Resnik's
Maternal Fetal Medicine Principles And Practices. 6th ed. China: Saunders
Elsevier; 2009.
36. Kilpatrick CC, Chohan L, Maier RC. Chronic Nonpuerperal Uterine Inversion
and Necrosis : A Case Report. Journal Of Medical Case Report 2010; 4:381.
37. Silver DF, Heyl PS, Linfert JB. Delayed Uterine Re-Inversion : A Unique
Symptom Complex. American Journal Of Obstetrics and Gynecology
2004;191:378-9.
38. Pitkin J, Peattle AB, Magowan BA. Obstetrics and Gynaecology An Illustrated
Colour Text. China: Elsevier Science Limited; 2003.
39. Goshima S, Kanematsu M, Kondo H, Watanabe H, Tsuge Y, Furui T, et all. CT
Angiography Of Postpartum Uterine Inversion : Intra-Uterine thread and
Streak Sign. European Journal Of Radiology Extra 2009;72:e21-3.
40. Momin AA, Shenaz GA, Pethani NR, Mitha SH. Sonography Of Postpartum
Uterine Inversion From Acute to Chronic State. Journal Of Clinical
Ultrasound 2009;37(1):53-56.
41. Oboro VO, Akinola SE, Apantaku BD. Surgical Management Of Subacute
Puerperal Uterine Inversion. International Journal Of Gynecology and
Obstetrics 2006;94:126-7.
42. Beringer RM, Patteril M. Puerperal Uterine Inversion and Shock. British
Journal Of Anesthesia 2004;92(3):439-41.
43. Brown SP. Obstetric Emergencies. In : Edmonds DK, editor. Dewhurst's
Textbook of Obstetrics & Gynaecology. 7th ed. India: Blackwell Publishing;
2007.
44. Anderson JM, Etches D. Prevention and Management of Postpartum
Hemorrhage. the American Academy of Family Physicians 2007;75(6):875-82
45. Cugini U, Duri D, Olivuzzi M, Frate GD. Acute Postpartum Uterine Inversion:
Report Of Two Cases. International Journal Of Obstetrics Anesthesia
2008;17:83-5.

39
46. Abouleish E, Ali V, Joumaa B, Lopez M, Gupta D. Anaesthetic Management
Of Acute Puerperal Uterine Inversion. British Journal Of Anaesthesia
1995;75:486-7.
47. Antonelli E, Irion O, Tolck P, Morales M. Subacute Uterine Inversion :
Description of A Novel Replacement Technique Using the Obstetric Ventouse.
British Journal Of Obstetrics and Gynaecology 2006;113:846-7.
48. Department of Reproductive Health and Research (RHR), World Health
Organization. Managing Complication in Pregnancy and Childbirth A Guide
for midwives and doctors. 2011. Ahttp://hetv.org/resources/reproductive-
health/impac/ Procedures/Correcting_P91_P94.html. (5 Desember 2011).
49. Obstetrics and Gynaecology Clinical Care Unit. King Edward Memorial
Hospital Obstetrics & Gynaecology Clinical Guidelines. Avaulable at
http://www.kemh.health.wa.gov.au/development/manuals/O&G_guidelines/se
ctionb/9/5292.pdf. Accessed : February 26, 2012.
50. Hanretty KP. Obstetrics Illustrated. 6th ed. China: Churchill Livingstone;
2004.
51. Tan KH, Luddin NSY. Hydrostatic Reduction of Acute Uterine Inversion.
International Journal Of Gynecology and Obstetrics 2005;91:63-4.
52. Plaut GS. Chronic Puerperal Inversion Of The Uterus. Postgraduate Medical
Journal 1961;37:164-6.
53. Aveling JH. A Lecture On Inversion Of The Uterus. The British Medical
Journal 1866:475-81.
54. Accoucheur's Antique Obstetrical and Gynecological Instrument. Available at:
http://www.fcgapultoscollection.com/midbooks.html. Accessed : December
29,2011.
55. Edis AW. Reposition Of Complete Inversion Of Uterus After Five Years
Duration. The British Medical Journal 1883:561-2.
56. Atthill L. Remark on Inversion of the Uterus. The British Medical Journal.
1879:357-8.
57. Hirsch HA, Kaser O, Ilke FA. Atlas Of Gynecologic Surgery. 3rd edition.
Germany: Thieme; 1997.

40
58. Hirst BC. Atlas Of Operative Gynaecology. USA: J.B.Lippincott Company;
1919.
59. Auber M, Darwish B, Lefebure A, Ness J, Roman H. Management Of
Nonpuerperal Uterine Inversion Using A Combined Laparoscopic And Vaginal
Approach. American Journal Of Obstetrics & Gynecology June 2011:e7-9.
60. Cumming DC, Taylor PJ. Puerperal Uterine Inversion : report of nine cases .
CMA Journal 1978;118:1268-1270.
61. Majd HS, Pilsniak A, Reginald PW. Recurrent Uterine Inversion : A Novel
Treatment Approach Using SOS Bakri Balloon. British Journal Of Obstetrics
and Gynaecology 2009;116:999-1001.
62. Mwinyoglee J, Simelela N, Marivate M. Non-puerperal uterine inversions. A
two case report and review of literature. Cent Afr J Med. 1997;43(9):268-71.
63. Adesiyun AG. Septic Postpartum Uterine Inversion. Singapore Medical
Journal 2007;48(10):943-5.

41

Anda mungkin juga menyukai