Anda di halaman 1dari 18

SEMINAR LAPORAN KASUS ENDODONTIK

KARIES SEKUNDER PADA GIGI 47

Disusunkan oleh

LEENA LOSHEENEA/P VIJAYA KUMAR

Pembimbing

Dr.drg. Hendra Dian Adhita, Sp.KG. (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2019
BAB I

DATA PASIEN

1.0 Tanggal Pemeriksaan : 30/08/18

I. No Rekam Medis : 2014-03450

II. Nama :D

III. Jenis Kelamin : perempuan

IV. Alamat : Jakarta

V. Usia : 43

VI. Perkerjaan : Rumah tangga

VII. Status Perkahwinan : udah nikah

1.1 Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan gigi belakang kanan bawah bolong sejak 2

bulan yang lalu dan rasa tidak nyaman pada waktu makan. Gigi tesebut pernah di

tambal 10 tahun yang lalu. Pasien megeluh rasa ngilu saat waktu makan dan

minum yang dingin. Pasien tidak konsumsi obat untuk keluhan gigi tersebut.

Pasien ingin giginya dirawat.

1.2 Riwayat penyakit

Disangkal

1.2 Pemeriksaan Fizik

1. Test Vital

 Kondisi Umum : Baik

 Kesadaran : Compos mentis (CM)


 Suhu : Afrebis

 Tekanan Darah : 110/80 mmHg

 Respirasi : 18x/minute

 Nadi : 78x/minute

1.3 Test Vital

Gigi Dingin Perkusi Exploration Pressure Palpation Electric Mobility


pulp test
47 + - + - - - -

1.4 Diagnosis

: pulpitis reversible pada gigi 47 (karies sekunder)

Gambar 1: Pulpitis reversible pada gigi 47 (occlusal)


1.5 Perawatan

Pro pulp capping pada kavitas dan follow up dengan restorasi kelas 1

komposite pada gigi 47.


BAB II

PROSEDUR PERAWATAN

2.1 Kunjungan pertama (30/08/2018)

Pada kunjungan pertama, pemeriksaan ekstra dan intra oral dilakukan pada

pasien. Selama pemeriksaan intra-oral, karies sekunder ditemukan di bawah

restorasi Glass I pada gigi 47

Perawatan yang dilakukan pada pasien adalah menghilangkan restorasi kelas I

lama (GI) dan follow up dengan pulp capping dan restorasi komposit Kelas I pada

gigi 47. Sebelum prosedur invasif dilakukan, prosedur dan komplikasi perawatan

dijelaskan kepada pasien.

Sebelum mula, daerah kerja diisolasi dengan cotton roll. Teknik modified

tooth preparation dilakukan dimana teknik preparasi ini tidak mempunyai

spesifikasi bentuk dinding maupun kedalaman pulpa atau aksial. Restorasi GI

lama dibongkar dengan menggunakan high-speed handpiece dengan bur bundar,

dan karies sekunder dihilangkan dengan bur fisursehingga membentuk satu

kavitas besar. Setelah itu, margin enamel dibentuk bevel supaya perlekatan

komposit pada enamel rods menjadi lebih baik. Setelah jaringan karies

dibersihkan dan gigi dipreparasi, kavitas dibersihkan dan dikeringkan, kemudian,

diaplikasi selapis tipis kalsium hidroksida pada dasar kavitas. Selapis liner yaitu

glass ionomer cement (GIC) diaplikasikan untuk melindungi dentin dari residual

yang berdifusi dari restorasi atau cairan rongga mulut dan akhirnya, ditutup
dengan tambalan sementara. Pasien disarankan untuk kembali setelah dua minggu

untuk kontrol dan diminta waspada ketika mengunyah untuk mencegah keluarnya

semen sementara. Kalsium hidroksida dibiarkan dalam kavitas selama dua minggu

untuk merangsang pembentukan dentin reparatif.

Gambar 2: Pulpitis reversible pada Gambar 3: Preparasi kelas I (occlusal


gigi 47 (karies sekunder) view)

Gambar 4: Gigi 47 Pulp capping + tambalan sementara


2.2 Kunjungan kedua (06/09/2018)

Pasien kembali setelah dua minggu untuk kontrol pulp capping (perawatan

endodontik), Dari hasil anamnesa, pasien tidak ada keluhan. Pemeriksaan intraoral

menunjukkan tes dingin(+), sondasi (+), perkusi(-), palpasi(-), tekan (-),

mobilitas(-) dan jaringan sekitar(tidak ada kelainan).

Selanjutnya, kavitas dibersihkan dengan ekskavator. Kavitas diisolasi

dengan cotton roll dan diaplikasikan etsa asam fosforik 37% dengan microbrush.

Enamel dietsa selama 30 detik dan 15 detik untuk dentin. Kavitas diirigasi dengan

air dan dikeringkan dengan cotton pellet. Kavitas harus lembap dan tidak terlalu

kering. Kavitas diaplikasikan bonding agent dan ditunggu selama 10 detik

sebelum light cure untuk bonding agent mengalir ke seluruh permukaan kavitas.

Komposit diinsersikan secara incremental dengan ketebalan 1-2mm sebelum light

cure untuk 20 detik. Tahap ini diulang sehingga seluruh kavitas ditambal.

Increment komposit yang terakhir dikontur anatominya sebelum light cure.

Setelah preparasi diisi dengan komposit, pemolesan dan penyelesaian dilakukan

dengan low speed handpiece dengan karet kuning dan biru untuk memastikan

kelebihan komposit dihilangkan , menghaluskan dan mengkilapkan restorasi

untuk mencegah retensi plak. Kertas artikulasi kemudian digunakan untuk

memeriksa oklusi restorasi dan memastikan tidak ada kontak prematur. Pasien

kemudian disarankan untuk kembali satu minggu kemudian untuk kontrol.


Gambar 5: Preparasi kelas 1 + composite filling

2.3 Kunjungan ketiga (13/09/2018)

Pasien kembali setelah hari ke 7, setelah pengisian selesai. Tidak ada

keluhan utama; senang dengan hasilnya, tidak ada rasa sakit ketika tes perkusi

dilakukan, tidak ada overhang, tidak ada gangguan dengan oklusi gigi yang

berlawanan, warna yang sama dengan gigi bersebelahan. Pemeriksaan intraoral

menunujukkan tes dingin(+), sondasi (+), perkusi(-), palpasi(-), tekan (-),

mobilitas(-) dan jaringan sekitar(tidak ada kelainan). Penambalan komposit

kemudian dipoles low speed handpiece dengan karet kuning dan biru.

Gambar 6: Kelas 1 komposite filling kontrol 1 minggu


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Karies Sekunder

Karies sekunder menurut Tarigan (1995) merupakan salah satu kegagalan

tumpatan yaitu timbulnya proses karies baru dipermukaan gigi, dinding kavitas, di

tepi dan di bawah tumpatan.

Sedangkan Tarigan Kidd dan Bechal (1991), karies sekunder adalah karies

yang tetap terjadi dijaringan sekitar tumpatan sehingga menggagalkan usaha

penumpatan tersebut. Karies sekunder biasa disebut karies rekuren.

3.2 Resin komposit (menyerupai warna gigi, penggunaan umum, kekuatan

rendah)

Campuran resin akrilik & partikel berbentuk seperti gelas menghasilkan

warna gigi.

1. Saran

Digunakan untuk tambalan, inlays & veneer, digunakan untuk mengganti

sebagian dari gigi yang patah. Penggunaan umum pada gigi depan dan

belakang, (Karies Kelas I, III, V), dan tidak sangat direkomendasikan untuk

restorasi molar tetapi karies kelas VI saat ini menggunakan resin komposit.

2. Kelebihannya.

1) Memiliki sifat estetika yang baik.


2) Mempunyai konduktivitas termal yang rendah.

3) Tidak terjadi reaksi galvanic.

4) Dapat dilakukan dalam sekali kunjungan.

5) Mudah untuk melakukan reparasi.

6) Ikatan resin akan memperkuat kekuatan gigi.

7) Preparasi gigi minimal terutama hanya pada jaringan keras

3. Kekurangan

1) Tidak mempunyai kemampuan menutup celah sekitar restorasi seperti

pada amalgam

2) Tidak dapat mengeluarkan fluor seperti semen glass ionomer

3) Sering terjadi kepatahan diantara bahan adhesive dengan gigi sehingga

menyebabkankebocoran dan terjadi karies sekunder4.

4) Memiliki sifat penyerapan airBahan resin komposit dapat mengalami

penuaan setelah diaplikasikan pada gigi danterpapar oleh lingkungan

rongga mulut yang agresif (Santerre dkk.,2001). Sifat meyerapair resin

komposit polimerisasi sinar tampak setelah satu minggu sebesar

1,8mg/cm²dengan kelarutan 0,2mg/cm² dan mulai terjadi degradasi

matriks resin (Craig dan Power,2002).

5) Keausan permukaan dibawah tekanan kunyah besar.

6) Kekuatan untuk menahan patah rendah.

7) Sensitif teknik cukup tinggi.

8) Pengerutan saat polimerisasi menyebabkan masuknya bakteri.


9) Debu dari saat pemolesan berpotensi bahaya bagi pasien dan staf klinik

dokter gigi.

3.3 Etiologi Karies Sekunder.

Bagian gigi yang menghadap kepermukaan tumpatan merupakan

daerah yang paling mudah terserang karies. Hal ini disebabkan oleh karena

celah yang terdapat pertemuan kedua permukaan ini merupakan tempat yang

baik untuk berkumpulnya kuman, cairan ludah, dan molekul atau ion (Tarigan,

1995).

Pemeriksaan histologik lesi dini karies sekunder memberikan beberapa

indikasi tentang bagaimana lesi dibentuk. Bila tumpatan telah di letakkan,

email disekitar tumpatan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu email

permukaan dan email pada dinding kavitas. Oleh karena itu lesi karies

sekunder terdiri dari dua bagian ( Lihat gambar 2.1). Suatu ”lesi luar” yang

dibentuk pada permukaan gigi sebagai akibat dari karies pertama dan kavitas

„ lesi dinding‟ yang hanya akan terlihat bila ada bakteri, cairan, molekul, atau

ion hidrogen diantara tumpatan dan dinding kavitas. Celah di sekitar tepi

tumpatan yang tidak terdeteksi ini secara klinik dikenal dengan “celah mikro”.

Banyak metode yang dibuat selama 25 tahun ini untuk menguji sifat

kebocoran tepi bahan tumpatan baik pada pemeriksaan laboratorium atau

langsung di dalam mulut. Pemeriksaan dilakukan dengan beberapa cara

termasuk dengan cara pewarnaan, isotop radioaktif, scaning electron

microscopy, dan karies buatan. Dari semua percobaan ini menyimpulkan

bahwa semua yang ada saat ini bocor. Hal ini berarti bahwa timbulnya karies
berjalan terus, pada akhirnya semua tumpatan akan mengakibabkan

kegagalan. (Kidd dan Bechal 1991).

3.4 Penegakan Diagnosa Karies Sekunder.

Karies sekunder merupakan karies yang umumnya ditandai dengan

diskolorisasi pada tepi tumpatan. Perubahan warna ini juga dapat disebabkan

oleh korosi dari amalgam atau pantulan cahaya dari amalgam melalui email

yang relative transparan. Perubahan warna pada daerah sekitar tumpatan

dapat juga menunjukkan proses demineralisasi. Umumnya berwarna putih

atau kecokelatan (Fadhilah Tuti, 2010 ).

Mengingat sulitnya mendiagnosa karies sekunder, maka karies baru

yang berupa lesi di sekitar tumpatan dapat di lihat dengan ketajaman mata

dengan ketentuan gigi bersih dan kering. Namun lesi pada tepi ginggiva

memerlukan suatu fotograf bite-wing (Kidd and Beckhal, 1991).

Mengenai validitas pemeriksaan radiografi bite-wing pada karies

sekunder restorasi amalgam, dapat disimpulkan pemeriksaan radiografi bite-

wing cukup valid digunakan untuk menegakkan diagnosis sekunder karies

restorasi amalgam, validitas pemeriksaan radiografis akan lebih tinggi bila

ditunjang oleh pemeriksaan/tanda klinis seperti terjadinya diskolorasi luas

pada restorasi amalgam yang kecil, tepi tumpatan yang pecah, fissure yang

dalam (parit) pada tepi restorasi, serta grey discoloration mempunyai

sentivitas 50% dan spesifikasi 91% dalam mendeteksi karies sekunder

(Adam Malik, 2007)

3.5 Pencegahan dan Penanganan Karies Sekunder


Sangat penting pemberitahuan kepada pasien bahwa penumpatan tidak

menyebabkan jaringan gigi sekitar tumpatan menjadi imun terhadap karies.

Bila tumpatan bocor maka penyebaran demineralisasi terjadi di sepanjang

kavitas. Menurut Kidd dan Bechal (1991) ada beberapa cara tentang cara

pencegahan karies senkunder, diantaranya adalah :

3.6 Pengendalian Plak dan Teknik Penumpatan

Telah kita ketahui bahwa karies terbentuk diantara penumpukan plak.

Batas antara tumpatan dan gigi merupakan daerah yang yang potensial

terhadap kumungkinan terjadinya plak, sehingga beberapa aspek dalam

preparasi kavitas sangat relevan dengan usaha pencegahan karies sekunder.

Batas antara gigi dan tumpatan harus dapat dibersihkan dengan mudah.

Dahulu dikatakan bahwa batas tepi kavitas harus terletak diantara yang bisa

bersih sendiri (self cleaning area) akan tetapi sekarang ini diketahui bahwa

cara ini tidak dapat diandalkan dalam upaya pengendalian plak. Karena itu,

tepi kavitas biasanya harus dapat dilalui oleh serabut sikat gigi, benang gigi

dan lain-lain. Hal ini berarti pada permukaan oklusal tepi kavitas tidak

berakhir pada bagian fisur yang dalam di mana plak cenderung untuk

berkumpul kecuali fisur yang sudah tertutup.

Tepi bukoaxial dan bukolingual daerah proksimal kavitas klas II tidak

boleh berada pada dititik kontak tetapi harus ditarik ke embrasur sehingga

mudah dibersihkan dengan sikat gigi. Pada pasien dengan menggunakan

benang gigi tumpatan tidak perlu diperluas sampai ke embrasur.


Pelekatan tepi kavitas di daerah yang dapat dibersihkan mempunyai

keuntungan tambahan yaitu dokter gigi dapat memproleh jalan masuk yang

baik pada waktu meletakkan tumpatan dan pada kunjungan berikutnya

pemeriksaan kembali ada tidaknya karies sekunder dapat dengan mudah

dilakukan.

Tumpatan berparit merupakan masalah yang biasa pada tumpatan

amalgam dan merupakan predisposisi bagi retensi plak dan dapat

mengakibatkan karies sekunder. Pada tahun 1892 G.V Black sudah menaruh

perhatian pada tumpatan berparit ini dan mengatakan bahwa kerusakan ini

disebabkan oleh tekanan pengunyahan. Selain itu timbulnya amalgam

berparit ini dapat mungkin dapat dikurangi dengan lebih memperhatikan

beberapa detil preparasi kavitas. Sudut tepi amalgam misalnya, harus dibuat

lebih besar 70 derajat karena jika kurang dapat mengakibatkan tumpatan

mudah pecah.

Walaupun parit pada tepi tumpatan merupakan predisposisi bagi

akumulai plak dan dapat menyebutkan karies sekunder, tumpatan berparit

tidak perlu diganti. Penelitian menunjukkan bahwa penggantian tumpatan

sering menimbulkan kegagalan yang sama seperti tumpatan sebelumnya.

Oleh karena itu pada tepi tumpatan berparit yang luas mungkin lebih

tepatnya diperbaiki saja. Bisa juga tumpatan berparit ini dibiarkan saja akan

tetapi harus diamati dengan baik sehingga masih bisa berfungsi sedikit lama

lagi dan tentu saja hal ini dilakukan hanya pada pasien dengan kondisi

kebersihan mulut baik atau tidak mudah terserang karies.


Pengawasan plak lebih mudah dilakukan pada tumpatan yang halus.

Porselen yang halus dan mengkilap merupakan permukaan yang tidak

mudah ditempati plak. Tumpatan logam harus dipoles untuk mumudahkan

pembersihan plak.

3.7 Penanganan Karies Sekunder

Masalah yang biasa timbul pada tumpatan amalgam adalah kerusakan

atau pecahnya daerah tepi yang biasa disebut tumpatan berparit (ditching).

Walaupun menyebabkan plak mudah melekat dan menimbulkan karies

sekunder amalgam tidak harus diganti. Bila tidak terlihat adanya karies

maka lesi harus diawasi atau diperbaiki bagian yang pecahnya saja. Jika

kemudian ditemukan karies sekunder maka seluruh tumpatan dibuang dan

diganti dengan tumpatan baru.


BAB IV

PEMBAHASAN

Karena karies sekunder adalah salah satu alasan utama untuk penggantian

restorasi, sejumlah besar dokter gigi klinis dan ilmuwan telah memberikan

penekanan besar pada pencegahan atau memperlambat presesi lesi karies sekunder

dari banyak aspek.

Jadi berdasarkan kasus ini, seorang pasien wanita datang ke klinik dan

mengeluh memiliki lubang pada gigi yang penuh di belakang gigi kanan bawah

dan merasa tidak nyaman setelah makan. Melalui pemeriksaan yang jelas,

subyektif dan obyektif dari kondisi mulut pasien, disimpulkan bahwa pasien

mengalami restorasi lama (GI) dan karies sekunder yang sedang direstorasi. Ini

adalah pulpitis reversibel pada gigi 47.

Berdasarkan penelitian, penggunaan semen glass ionomer dapat memiliki

keterbatasan dalam keadaan yang sangat spesifik. Keterbatasan utama dari semen

glass ionomer adalah relatif lemahnya kekuatan dan resistansi rendah terhadap

abrasi dan keausan. Beberapa semen glass cermet cements bisa dibilang lebih kuat

dari material konvensional tetapi ketahanan frakturnya tetap rendah.

Restorasi glass ionomer sulit untuk dimanipulasi karena mereka sensitif

terhadap penyerapan kelembaban selama reaksi pengaturan awal dan pengeringan

karena bahan mulai mengeras. Penelitian telah menunjukkan bahwa sifat material

berubah secara nyata dengan paparan kelembaban. Hal ini diperlukan untuk
menempatkan tutup pelindung pada restorasi glass ionomer yang dimodifikasi

resin masih kontroversial.

Sebagian besar uji klinis yang menyelidiki umur panjang restorasi glass

ionomer adalah molar primer tetapi bukan molar permanen, dan sebagian besar

studi jangka pendek kurang dari 3 tahun. Tingkat kelangsungan hidup terpanjang

untuk restorasi glass ionomer adalah di area dengan tekanan rendah seperti

restorasi Kelas III dan Kelas V.

Ostlund dan restorasi Kelas II yang dibandingkan lainnya dari resin

komposit dan semen glass ionomer pada molar primer dan melaporkan tingkat

kegagalan yang tinggi untuk semen glass ionomer 60% setelah 1 tahun. Fuks dan

lainnya menemukan bahwa hanya 9 dari 101 restorasi glass ionomer yang

memenuhi semua kriteria kualitas setelah 1 tahun.

Studi klinis jangka pendek telah menunjukkan bahwa kinerja glass

ionomer lebih buruk daripada bahan restorasi lainnya. Dalam hal ini, di mana gigi

47 adalah beban oklusal tinggi diharapkan, alternatif lain seperti mahkota

komposit atau stainless steel harus dipertimbangkan.

Dalam laporan kasus ini, alasan mengapa komposit kelas I diisi adalah

karena pertama, adalah karena lokasi karies di daerah oklusi (klasifikasi GV Black)

dan kedua mengapa material komposit adalah karena efek estetika gigi, dan

permintaan pasien ingin warna yang cocok dari gigi yang ada, dan dengan bahan

komposit itu cukup untuk menahan tekanan mengunyah moderat dan retensi yang

baik dibandingkan dengan GIC.


BAB V

KESIMPULAN

Rencana perawatan yang dapat dikelola dengan baik hanya dapat

dihasilkan dari penilaian pasien secara menyeluruh yang harus mencakup

anamnesis, pemeriksaan klinis, tes khusus yang relevan dan akhirnya, diagnosis

harus akurat. Setelah itu, variasi atau perubahan pilihan perawatan dan

pencegahan dibuat berdasarkan diagnosis pasien, restorasi gigi, pertimbangan

periodontal, kondisi sistemik pasien, kesulitan kasus, pertimbangan keuangan dan

yang terakhir tentu saja adalah persetujuan pasien untuk melakukan pengobatan

pilihan.

Dalam hal ini, restorasi GI tidak boleh dipilih karena restorasi untuk gigi

permanen karena gigi 47 adalah beban oklusal yang tinggi, alternatif lain seperti

mahkota komposit atau stainless steel harus dipertimbangkan.


DAFTAR PUSTAKA

Asgar S, et al, (2010). Replacement of Resin-Based Composite Restoration in

Permanent Teeth. Journal of the College of Physicians and Surgeons

Pakistan. 20(10), pp. 639-643

Ijaimi Z, et al, (2015). Assessment of the Quality of Composite Resin

Restorations. Open Journal of Stomatology. 5, pp. 19-25

Kuno S, et al, (2011). Factors associated with the longevity of resin composite

restorations. Dental Materials Journal. 30(3), pp. 374-383

Ritter A, et al, (2006). Longetivty of anterior composite restorations. Journal of

Esthetics and Restorative Dentistry. (18)6, pp. 310-311

Soares A & Cavelheiro A, (2010). A Review of Amalgam and Composite

Longetivity of Posterior Restorations. RevPortEstomatol Med Dent Cir

Maxillofac. 51, pp. 155-164

Porto I, (2012). Post-operative sensitivity in direct resin composite restorations:

clinical practice guidelines.

Anda mungkin juga menyukai