Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

CARSINOMA RECTI

DI SUSUN OLEH

Nadya Widiasari
70300116025
Keperawatan A

CI LAHAN CI INSTITUSI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHTAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2019
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Anatomi dan Fisiologi


Usus Besar (Kolon)

Usus besar atau Intestinum mayor panjangnya ± 1,5 m, lebarnya 5-6 cm.
Banyak bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa
bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri ini juga penting untuk
fungsi normal dari usus. Fungsi usus besar, terdiri dari :Menyerap air dari
makanan, tempat tinggal bakteri E.Coli, tempat feses. Usus besar (kolon), terdiri
atas:
1. Sekum
Sekum (bahasa latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah
suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar. Di bawah sekum terdapat appendiks vermiformis
yang berbentuk seperti cacing sehingga disebut juga umbai cacing,
panjangnya ± 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum mudah bergerak
walaupun tidak mempunyai mesentrium dan dapat diraba melalui dinding
abdomen pada orang yang masih hidup.
2. Kolon Asendens
Kolon assendens mempunyai panjang 13 cm, terletak di abdomen
bawah sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah
hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica, dilanjutkan
sebagai kolon transversum.
3. Kolon Transversum
Panjangnya ±38 cm membujur dari kolon asendens sampai ke kolon
desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura
hepatica dan sebelah kiri terdapaat fleksura lienalis.
4. Kolon Desendens
Panjangnya ±25 cm terletak di abdomen bawah bagian kiri membujur
dari atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri,
bersambung dengan kolon sigmoid.
5. Kolon Sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak
miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai S, ujung
bawahnya berhubungan dengan rektum
6. Rektum
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah
ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan
berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara
feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih
tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja
masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar
(BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di
dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan.
Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa
menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.

Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai


garis anorektal dengan panjang sekitar 12-13 cm (Sloane, 2004). Secara
fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan
sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi
oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Sfingter anal
internal otot polos (involunter) dan sfingter anal eksternal otot rangka
(volunter) mengitari anus (Sloane, 2004). Bagian ampula terbentang dari
sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Pada
orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa.
Mukosa saluran anal tersusun dari kolumna rektal (anal), yaitu lipatan-
lipatan vertikal yang masing-masing berisi arteri dan vena (Sloane, 2004).

B. Definisi Ca Recti
Karsinoma rekti merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas
saluran cerna, lebih 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektal
merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling
mematikan di dunia (Mutiara dkk, 2018).
Ca Kolorectal merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan
rektum yang khusus menyerang bagian rekti yang terjadi akibat gangguan
proliferasi sel epitel yang tidak terkendali. Kanker rekti adalah kanker yang
berasal dalam permukaan rektum/rectal. Umumnya kanker kolorektal berawal
dari pertumbuhan sel yang tidak ganas, terdapat adenoma atau berbentuk polip
(Black & Hawks, 2014).
Karsinogenesis dan onkogenesis merupakan nama lain dari perkembangan
kanker. Proses perubahan sel normal menjadi sel kanker disebut transformasi
maligna (Ignatavicius & Workman, 2006). Karsinogen adalah substansi yang
mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi sel menjadi sel yang
bersifat otonom dan maligna.Trasformasi maligna diduga mempunyai
sedikitnya tiga tahapan proses selular yaitu inisiasi, promosi, dan progresi,
yaitu:
1. Inisiasi (Carcinogen) ;Pada tahap ini terjadi perubahan dalam bahan
genetik sel yang memicu sel menjadi ganas. Perubahan ini disebabkan
oleh status karsinogen berupa bahan kimia, virus, radiasi atau sinar
matahari yang berperan sebagai inisiator dan bereaksi dengan DNA yang
menyebabkan DNA pecah dan mengalami hambatan perbaikan DNA.
Perubahan ini mungkin dipulihkan melalui mekanisme perbaikan DNA
atau dapat mengakibatkan mutasi selular permanen. Mutasi ini biasanya
tidak signifikan bagi sel-sel sampai terjadi karsinogenesis tahap kedua.
2. Promosi (Co-carcinogen) ;Pemajanan berulang terhadap agen
menyebabkan ekspresi informasi abnormal. Pada tahap ini suatu sel yang
telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas. Tahap promosi
merupakan hasil interaksi antara faktor kedua dengan sel yang terinisiasi
pada tahap sebelumnya. Faktor kedua sebagai agen penyebabnya disebut
complete carcinogen karena melengkapi tahap inisiasi dengan tahap
promosi. Agen promosi bekerja dengan mengubah informasi genetik
dalam sel, meningkatkan sintesis DNA, meningkatkan salinan pasangan
gen dan merubah pola komunikasi antarsel. Pada masa antara inisiasi dan
promosi merupakan kunci konsep dalam pencegahan kanker, karena bila
pada tahap ini dilakukan pencegahan pemaparan karsinogen ulang seperti
makanan berlemak, obesitas, rokok, dan alkohol akan dapat menurunkan
risiko terbentuknya formasi neoplastic.
3. Progresi (Complete Carcinogen ) ;Pada tahapan ini merupakan tahap akhir
dari terbentuknya sel kanker atau karsinogenesis. Sel-sel yang mengalami
perubahan bentuk selama inisiasi dan promosi kini melakukan perilaku
maligna. Sel-sel ini sekarang menampakkan suatu kecenderungan untuk
menginvasi jaringan yang berdekatan (bermetastasis) (Smeltzer, Burke,
Hinkle, & Cheever, 2010).

C. Klasifikasi Ca Rekti
Metode penahapan kanker yang digunakan adalah klasifikasi duke sebagai
berikut:
1. Klasifikasi Duke :
a. Stadium 0 (carcinoma in situ)
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau
rektum.
b. Stadium I
Kanker telah menembus membran basal hingga lapisan kedua atau ketiga
(submukosa/ muskularis propria) dari lapisan dinding kolon/ rektum
tetapi belum menyebar keluar dari dinding kolon/rektum (Duke A).
c. Stadium II
Kanker telah menembus jaringan serosa dan menyebar keluar dari
dinding usus kolon/rektum dan ke jaringan sekitar tetapi belum menyebar
pada kelenjar getah bening (Duke B).
d. Stadium III
Kanker telah menyebar pada kelenjar getah bening terdekat tetapi belum
pada organ tubuh lainnya (Duke C).
e. Stadium IV
Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya (Duke D).
2. Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
Stadium T N M Duke
0 Tis N0 M0 -
I T1 N0 M0 A
T2 N0 M0
II A T3 N0 M0 B
II B T4 N0 M0
III A T1-T2 N1 M0 C
III B T3-T4 N1 M0
III C Any T N2 M0
IV Any T Any N M1 D
Keterangan
T : Tumor primer
Tx : Tumor primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi pada
lamina propria
T1 : Tumor menyebar pada submukosa
T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria
T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam subserosa atau
ke dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai
peritoneal.
T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi
peritoneum viseral.
N : Kelenjar getah bening regional/node
Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai
N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening
N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional
N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening
M : Metastasis
Mx : Metastasis tidak dapat di nilai
M0 : Tidak terdapat metastasis
M1 : Terdapat metastasis (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010).

D. Etiologi
Penyebab kanker pada saluran cerna bagian bawah tidak diketahui secara pasti.
Polip dan ulserasi colitis kronis dapat berubah menjadi ganas tetapi dianggap
bukan sebagai penyebab langsung. Hipotesa penyebab yang lain adalah
meningkatnya penggunaan lemak yang bisa menyebabkan kanker kolorektal.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya kanker rectum sebagai berikut:
1. Diet rendah serat
Kebiasaan diet rendah serat adalah faktor penyebab utama, Bukitt (1971)
dalam Price & Wilson (2012) mengemukakan bahwa diet rendah serat dan
kaya karbohidrat refined mengakibatkan perubahan pada flora feses dan
perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan
lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah
serat juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam
feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu masa transisi feses meningkat,
akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus
bertambah lama (Price & Wilson 2012).
2. Lemak
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid
menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen.Bakteri dapat mengubah
asam empedu, yang dikeluarkan oleh tubuh untuk membantu pencernaan
lemak, menjadi suatu senyawa-senyawa yang dapat memicu kanker.
Senyawa-senyawa tersebut disebut sebagai asam empedu sekunder. Asam
empedu secara normal dikeluarkan oleh tubuh untuk mencerna lemak.
Semakin banyak lemak yang dikonsumsi, maka asam empedu yang
dikeluarkan oleh tubuh akan semakin banyak pula. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika beberapa bahan makanan yang banyak mengandung
lemak seperti daging merah, serta daging dan makanan olahan lain yang
berkadar lemak tinggi seperti keju, dapat meningkatkan risiko kanker usus
(Smeltzer, Burke, Hinkle, dan Cheever, 2010).
.

3. Polip diusus (colorectal polyps)


Polip adalah pertumbuhan sel pada dinding dalam kolon atau rektum, dan
sering terjadi pada orang berusia 50 tahun ke atas.Sebagian besar polip
bersifat jinak (bukan kanker), tapi beberapa polip (adenoma) dapat menjadi
kanker (Smeltzer, Burke, Hinkle, dan Cheever, 2010).
4. Inflamatory Bowel Disease
Orang dengan kondisi yang menyebabkan peradangan pada kolon (misalnya
colitis ulcerativa atau penyakit Crohn) selama bertahun-tahun memiliki risiko
yang lebih besar (Smeltzer, Burke, Hinkle, dan Cheever, 2010).
5. Riwayat kanker pribadi
Orang yang sudah pernah terkena kanker colorectal dapat terkena kanker
colorectal untuk kedua kalinya. Selain itu, wanita dengan riwayat kanker di
indung telur, uterus (endometrium), atau payudara mempunyai tingkat risiko
yang lebih tinggi untuk terkena kanker rectal(Smeltzer, Burke, Hinkle, dan
Cheever, 2010)..
6. Riwayat kanker rektal pada keluarga
Jika mempunyai riwayat kanker rekti pada keluarga, maka kemungkinan
terkena penyakit ini lebih besar, khususnya jika terkena kanker pada usia
muda (Smeltzer, Burke, Hinkle, dan Cheever, 2010).
7. Faktor gaya hidup
Konsumsi alkohol juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker usus
seperti halnya makanan yang kaya akan gula. Orang yang merokok, atau
menjalani pola makan yang tinggi lemak dan sedikit buah-buahan dan
sayuran memiliki tingkat risiko yang lebih besar terkena kanker colorectal
serta kebiasaan sering menahan tinja atau defekasi yang sering (Smeltzer,
Burke, Hinkle, dan Cheever, 2010).
8. Usia di atas 50
Kanker rekti biasa terjadi pada mereka yang berusia lebih tua. Lebih dari 90
persen orang yang menderita penyakit ini didiagnosis setelah usia 50 tahun ke
atas (Smeltzer, Burke, Hinkle, dan Cheever, 2010).
E. Patofisiologi
Patologi kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel yang
tidak ganas atau disebut adenoma, yang dalam stadium awal membentuk polip
(sel yang tumbuh sangat cepat). Pada stadium awal, polip dapat diangkat
dengan mudah. Tetapi, seringkali pada stadium awal adenoma tidak
menampakkan gejala apapun sehingga tidak terdeteksi dalam waktu yang
relatif lama dan pada kondisi tertentu berpotensi menjadi kanker yang dapat
terjadi pada semua bagian dari usus besar(Smeltzer, Burke, Hinkle, dan
Cheever, 2010).
Polip jinak dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan
normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas
dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling sering ke
hati). Kanker kolorektal dapat menyebar melalui beberapa cara yaitu secara
infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung
kemih; melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon;
melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirakan darah ke
sistem portal; penyebaran secara transperitoneal; penyebaran ke luka jahitan,
insisi abdomen atau lokasi drain. Pertumbuhan kanker menghasilkan efek
sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi
pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan
perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain(Smeltzer,
Burke, Hinkle, dan Cheever, 2010).
Polip adenoma

Polip maligna

Menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur
sekitarnya

Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang
lain
F. Manifestasi Klinis
Kebanyakan orang asimtomatis dalam jangka waktu lama dan mencari
bantuan kesehatan hanya bila mereka menemukan perubahan pada kebiasaan
defekasi atau perdarahan rectal. Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker,
tahap penyakit, dan fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi. Gejala yang
paling menonjol adalah:
1. Perubahan kebiasaan defekasi
2. Pasase darah dalam feses adalah gejala paling umum kedua
3. Gejala anemi tanpa diketahui penyebabnya
4. Anoreksia
5. Penurunan berat badan tanpa alasan
6. Keletihan
7. Mual dan muntah-muntah
8. Usus besar terasa tidak kososng seluruhnya setelah BAB
9. Feses menjadi lebih sempit (seperti pita)
10. Perut sering terasa kembung atau keram perut
11. Gejala yang dihubungkan dengan lesi rectal adalah: evakuasi feses yang
tidak lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian (umumnya
konstipasi), serta feses berdarah.
12. keletihan hampir selalu ada akibat anemia defisiensi besi primer, nyeri
abdomen, obstruksi, tenesmus, dan perdarahan rectal (Smeltzer, Burke,
Hinkle, & Cheever, 2010).
13. Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai radiks saraf,
pembuluh limfe, atau vena menimbulkan gejala gejala pada tungkai atau
perineum, hemoroid, nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi,
atau sering berkemih dapat timbul sebagai akibat tekanan pada alat-alat
tersebut. Semua karsinoma kolorektal dapat menyebabkan ulserasi,
perdarahan, obstruksi bila membesar atau invasi menembus dinding usus
dan kelenjar-kelenjar regional, terkadang bisa terjadi perforasi dan
menimbulkan abses peritoneum (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever,
2010).
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Fecal occult blood test, pemeriksaan darah samar feses di bawah mikroskop
2. Colok dubur (rectal toucher) ditemukan darah dan lendir, tonus sfingter ani
keras/lembek, mukosa kasar, kaku biasanya dapat digeser, ampula rectum
kolaps/kembung terisi feses atau tumor yang dapat teraba atau tidak.
3. Barium enema, pemeriksaan serial sinar x pada saluran cerna bagian bawah,
sebelumnya pasien diberikan cairan barium ke dalam rektum
4. Endoskopi (protoskopi, sigmoidoscopy atau colonoscopy), dengan
menggunakan teropong, melihat gambaran rektum dan sigmoid adanya polip
atau daerah abnormal lainnya dalam layar monitor. Protoskopi untuk
mendeteksi kelainan 8-10 cm dari anus (polip rekti, hemoroid, karsinoma
rektum).Sigmoidoskopi atau kolonoskopi adalah test diagnostik utama
digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor dan biopsy jaringan.
Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi 50 % sampai 65 % (20-25 cm dari
anus) dari kanker kolorektal. Pemeriksaan enndoskopi dari kolonoskopi
direkomendasikan untuk mengetahui lokasi dan biopsy lesi pada klien dengan
perdarahan rektum. Bila kolonoskopi dilakukan dan visualisasi sekum, barium
enema mungkin tidak dibutuhkan. Tumor dapat tampak membesar, merah,
ulseratif sentral, seperti penyakit divertikula, ulseratif kolitis
5. Biopsi, tindakan pengambilan sel atau jaringan abnormal dan dilakukan
pemeriksaan di bawah mikroskop untuk mengidentifikasi matastase dan
menilai reseklabilitas.
6. Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia. Anemia mikrositik, ditandai
dengan sel-sel darah merah yang kecil, tanpa terlihat penyebab adalah indikasi
umum untuk test diagnostik selanjutnya untuk menemukan kepastian kanker
kolorektal.
7. Test Guaiac pada feces untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feces, karena
semua kanker kolorektal mengalami perdarahan intermitten.
8. CEA (carcinoembryogenic antigen) adalah ditemukannya glikoprotein di
membran sel pada banyak jaringan, termasuk kanker kolorektal. Antigen ini
dapat dideteksi oleh radioimmunoassay dari serum atau cairan tubuh lainnya
dan sekresi. Test ini tidak spesifik bagi kanker kolorektal dan positif pada
lebih dari separuh klien dengan lokalisasi penyakit, ini tidak termasuk dalam
skreening atau test diagnostik dalam pengobatan penyakit. CEA digunakan
sebagai prediktor pada prognsis postoperative dan untuk deteksi kekambuhan
mengikuti pemotongan pembedahan.
9. Digital rectal examination (DRE)
Dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal .Kurang lebih 75%
karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal. Pemeriksaan
digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor
akan teraba keras dan menggaung.
Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat
meninggi, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya meliputi
serum protein, kalsium, dan kreatinin.
10. Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada tidaknya
dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium dimasukkan kedalam
usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa mengisi lumen usus,
konstriksi, atau gangguan pengisian. Dinding usus terfiksir oleh tumor, dan
pola mukosa normal hilang. Meskipun pemeriksaan ini berguna untuk tumor
kolon, sinar-X tidak nyata dalam mendeteksi rektum
11. X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru
12. CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI), atau
pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah sudah
mengenai organ lain melalui perluasan langsung atau dari metastase tumor.
13. Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan diagnostik
yang paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal rekuren (yang timbul
kembali).
14. Pemeriksaan DNA Tinja (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010).
H. Komplikasi
Kanker kolorektal dapat menimbulkan komplikasi berupa obstruksi oleh
tumor, perforasi kolon dan perdarahan saluran cerna bagian bawah. Risiko
komplikasi berhubungan dengan peningkatan usia pasien dan proses penyakit
yang sudah lanjut. Kondisi diatas merupakan kegawatdaruratan yang
memerlukan tindakan bedah (Menkes, 2018).
1. Obstruksi Akibat Kanker Kolorektal; Mayoritas kanker kolorektal pada
stadium awal tidak bergejala (asimtomatik) atau pauci simtomatik. Seiring
dengan perkembangan kanker dan perjalanan waktu akan menimbulkan
gejala akibat adanya komplikasi, salah satunya adalah obstruksi. Ileus
obstruktif merupakan kegawatan yang paling tersering di jumpai pada kasus
kanker kolorektal. Ileus obstruksi merupakan suatu penyumbatan mekanis
baik total atau parsial pada usus yang akan menganggu atau menghambat
pasase cairan, gas maupun makanan. Penyumbatan ini dapat terjadi pada
setiap titik sepanjang traktus gastrointestinal dan gejala klinis yang muncul
tergantung pada tingkat obstruksi yang terjadi. Obstruksi menyebabkan
dilatasi usus bagian proksimal dan kolapsnya usus bagian distal. Obstruksi
yang disebabkan oleh tumor umumnya adalah obstruksi sederhana yang
jarang menyebabkan strangulasi. Total angka kejadian obstruksi dari kanker
kolorektal terjadi 8-10%, 60% terjadi pada usia tua. 2/3 kejadian terjadi
pada kolon kiri dan sepertiga di kolon kanan (Menkes, 2018).
2. Perdarahan Kanker Kolorektal; Perdarahan kanker kolorektal ditandai
dengan adanya melena yang berasal dari kolon kanan atau rectorrhagia
berupa darah segar, khususnya berasal dari rectosigmoid (Menkes, 2018).
3. Perforasi dari Kanker Kolorektal; Insiden terjadinya perforasi kanker
kolorektal 2,3-2,5%, ditandai dengan adanya peritonitis. Perforasi kolon
merupakan kegawatdaruratan dimana terjadi kebocoran kolon sehingga isi
kolon masuk ke rongga peritoneum dan menimbulkan peritonitis baik lokal
maupun difus (Menkes, 2018).
I. Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam
stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan
ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektal
dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan
kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy,
dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada
stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan,
meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi,
beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah
pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal (Anderson,
2006). Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur
pembedahan pilihan adalah sebagai berikut:
a) Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi
usus pada sisi pertumbuhan pembuluh darah, dan nodus limfatik)
b) Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen
(pengangkatan tumor dan prosi sigmoid dan semua rectum serta sfingkter
anal)
c) Kolostomi sementara diikuti reanastomosis reseksi segmental dan
anastomisis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan
dekompresi usus awal dan persiapan usus sebelum reseksi)
d) Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi
yang tidak dapat direseksi)
Sebelum pembedahan, dilakukan radioterapi untuk mencegah sel maligna
bermetastasis dan mengurangi ukuran tumor serta membuatnya lebih
mudah direseksi. Intervensi lokal terhadap tumor setelah pembedahan
adalah implantasi isotop (radium, cesium, dan kobalt) ke dalam area
tumor dan elektrokoagulasi(Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010).
2. Kemoterapi
Kemoterapi bertujuan untuk menurunkan metastasis dan mengontrol
manifestasi. Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti
memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),
dipertimbangkan pada pasien dengan tumor yang menembus sangat dalam
atau tumor lokal yang bergerombol (stadium II lanjut dan stadium III).Terapi
standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan
leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU
merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya,
levamisole untuk meningkatkan sistem imun dan dapat menjadi substitusi
bagi leucovorin.
a. 5 hari Fu (Flouro-Uracil 13,5mg/kg BB/hari)
b. 5 Fu dan Ca Folinat (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010).
3. Radioterapi
Pada Ca stadium II dan III lanjut, radiasi dapat mengecilkan ukuran tumor
sebelum dilakukan pembedahan. Radioterapi dapat menjadi terapi tambahan
untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui
pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama
ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang
digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan risiko
kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%.
Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek
lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya
digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal
yang unresectable(Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010).
4. Dukungan Nutrisi
Syarat pasien kanker yang membutuhkan tatalaksana nutrisi adalah
skrining gisi dilakukan untuk mendeteksi gangguan nutrisi, gangguan asupan
nutrisi, serta penurunan BB dan IMT sedini mungkin, skrining gizi dimulai
sejak pasien didiagnosis kanker dan dilang sesuai dengan kondisi klinis
pasien. Pada pasien dengan hasil skrining abnormal, perlu dilakukan
penilaian objektif dan kuantitaif asupan nutrisi, kapasitas fungsional, dan
derajat inflamasi sistemik dan disarankan untuk melakukan srining rutin pada
semua pasien kanker lanjut, baik yang menerima maupun tidak menerima
terapi antikanker, untuk menilai asupan nutrisi yang tidak adekuat, penurunan
berat dan IMT yang rendah, dan apabila berisiko maka dilanjutkan dengan
pemeriksaan gizi(Menkes, 2018).

J. Prognosis
Kanker kolorektal memiliki risiko kekambuhan pasca terapi. Kekambuhan
dapat terjadi ditempat anastomosis kolon atau rektum, hati, paru-paru atau di
tempat lain. Selain kekambuhan dapat pula ditemukan tumor baru di usus
besar, yang disebut sebagai “metachronous cancer” atau “metachronous
polip” yang merupakan bentuk prakanker. Penemuan dini kekambuhan,
terlebih sebelum munculnya gejala dan tanda, atau “metachronous tumor”
yang ditindaklanjuti dengan tindakan penatalaksanaan yang tepat diharapkan
akan memperbaiki ketahanan hidup dan kualitas hidup pasien (Menkes, 2018).
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan atau keletihan.
Sirkulasi
Gejala : Palpitasi, nyeri dada pada pengerahan kerja.
Tanda : Perubahan pada TD.
Integritas Ego
Gejala : Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak
mampu, tidak bermakna, rasa bersalah, kehilangan kontrol, depresi.
Tanda : Menyangkal, menarik diri, marah.
Eliminasi
Gejala : Perubahan pada pola defekasi, darah pada feses, nyeri pada
defekasi. Perubahan eliminasi urinarius, nyeri saat berkemih,
hematuria,sering berkemih.
Tanda : Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.
Makanan/Cairan
Gejala : Kebiasaan diet buruk (rendah serat, tinggi lemak). Anoreksia,
mual/muntah. Intoleransi makanan. Perubahan pada berat badan,
berkurangnya massa otot.
Tanda : Perubahan pada kelembaban/turgor kulit, edema.
Neurosensori
Gejala : Pusing.
Pernapasan
Gejala : Merokok (hidup dengan seseorang yang merokok). Pemajanan
abses.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri bervariasi.
Keamanan
Gejala : Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen. Pemajanan matahari
yang lama.
Tanda : Demam, ruam kulit, ulserasi.
Seksualitas
Gejala : Masalah seksual, dampak pada hubungan, perubahan tingkat
kepuasan.
Interaksi Sosial
Gejala : Ketidakadekuatan/kelemahan sistim pendukung.
Riwayat perkawinan, masalah tentang fungsi/tanggung jawab peran.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat kanker pada keluarga.
Riwayat pengobatan: pengobatan sebelumnya dan pengobatan yang
diberikan.

B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c. Resiko kerusakan integritas kulit

C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


Keperawatan
1. Nyeri (Akut) Kriteria Evaluasi : 1. Kaji nyeri, 1. Membantu
berhubungan 1. Menyatakan catat lokasi, mengevaluasi
dgn : nyeri hilang karakteristik, derajat
Biologis;aktivi atau terkontrol. intensitas ketidaknyaman
tas (skala 0-10). an dan
2. Menunjukkan
prosespenyakit keefektifan
nyeri hilang,
(kanker,trauma analgesik.
mampu
) 2. Berikan 2. Mencegah
tidur/istirahat
tindakan pengeringan
dengan tepat.
kenyamanan, mukosa oral
3. Menunjukkan mis., dan
penggunaan perawtan ketidaknyaman
keterampilan mulut, pijatan an.
relaksasi dan punggung, Menurunkan
kenyamanan ubah posisi. tegangan otot
umum sesuai dan
indikasi situasi meningkatkan
pasien. relaksasi.
3. Dorong 3. Membantu
penggunaan pasien untuk
tehnik istirahat lebih
relaksasi, efektif dan
mis., memfokuskan
bimbingan kembali
imajinasi,visu perhatian,
alisasi. sehingga
menurunkan
nyeri dan
ketidaknyaman
an.
4. Bantu 4. Menurunkan
melakukan kekakuan otot
latihan atau sendi.
rentang gerak Ambulasi
dan dorong mengembalikan
ambulasi dini. organ ke posisi
Hindari posisi normal dan
duduk lama. meningkatkan
kembalinya
fungsi
ketingkat
normal.
5. Selidiki dan 5. Diduga
laporkan inflamasi
adanya peritoneal, yang
kekakuan otot memerlukan
abdominal intervensi
dan nyeri medik cepat.
tekan
6. Kolaborasi 6. Menurunkan
:Berikan obat nyeri,
sesuai meningkatkan
indikasi, mis., kenyamanan.
narkotik,
analgesik. 7. Menurunkan
7. Berikan ketidaknyaman
rendam an lokal.
duduk. Menurunkan
edema dan
meningkatkan
penyembuhan
luka perineal.
2. Perubahan 1. Lakukan/pant 1. Perangsang
Kriteria Evaluasi :
nutrisi kurang 1. Mempertahanka au efek unit kutaneus dapat
dari kebutuhan n berat TENS. digunakan
tubuh badan/menunju untuk
berhubungan kkan menghambat
dengan : peningkatan transmisi
Anoreksia berat badan rangsangan
lama/gangguan bertahap sesuai nyeri.
masukan saat tujuan dengan 2. Lakukan 2. Mengidentifika
praoperasi dan nilai pengkajian si
Adanya laboratorium nutrisi kekurangan/keb
diare/ganggua normal. dengan utuhan untuk
nabsorpsi. seksama. membantu
2. Merencanakan
memilih
diet untuk
intervensi.
memenuhi
3. Auskultasi 3. Kembalinya
kebutuhan
Bising usus. fungsi usus
nutrisi.
menunjukkan
kesiapan untuk
memulai makan
lagi.
4. Mulai dengan 4. Menurunkan
makan cairan insiden kram
perlahan. abdomen, mual.
5. Identifikasi 5. Sensitivitas
bau yang terhadap
ditimbulkan makanan
oleh makanan tertentu tidak
(mis., kol, umum setelah
ikan, kacang- bedah usus.
kacangan) Pasien dapat
dan mencoba
sementara berbagai
batasi diet. makanan
sebelum
menentukan
apakah ini
membuat
masalah.
6. Anjurkan 6. Dapat
pasien menurunkan
meningkatkan pembentukan
penggunaan bau.
yogurt dan
mentega susu.
7. Diskusikan 7. Minum melalui
mekanisme sedotan,
menelan mengorok,
udara sebagai ansietas,
factor merokok, sakit
pembentukan gigi, dan
flatus. meneguk
makanan
meningkatkan
produksi flatus.
Terlalu banyak
flatus dapat
menjadi factor
penyebab
kebocoran dari
banyaknya
tekanan dalam
kantong.
8. Kolaborasi : 8. Membantu
Konsultasi mengkaji
dengan ahli diet. kebutuhan
nutrisi pasien
dalam
perubahan
pencernaan dan
fungsi usus.
9. Tingkatkan 9. Diet rendah sisa
diet dari dapat
cairan dipertahankan
sampai selama 6-8
makanan minggu
rendah pertama untuk
residu bila memberikan
masukan waktu yang
oral dimulai. adekuat untuk
penyembuhan
usus.
10. Berikan 10. Pada
makanan kelemahan/tida
enteral/ k toleran
parenteral terhadap
bila makanan per
diindikasika oral.
n.
3. Resiko tinggi Kriteria Evaluasi : 1. Lihat 1. Memantau
terhadap 1. Mempertahan stoma/area proses
kerusakan kan Integritas kulit penyembuhan/k
integritas kulit kulit. peristomal eefektifan alat
berhubungan pada tiap dan
2. Mengidentifik
dengan : penggantian mengidentifikas
asi faktor
Karakter/aliran kantong. i masalah pada
resiko
feses dan area.
individu.
flatus dari
stoma.
3. Menunjukkan 2. Bersihkan 2. Mempertahank
dengan air an
perilaku/tekni
dan kebersihan/men
k peningkatan
keringkan. geringkan area
penyembuhan
Catat iritasi, untuk
/mencegah
kemerahan membantu
kerusakan
(warna pencegahan
kulit.
gelap, kerusakan kulit.
kebiru- Identifikasi dini
biruan). nekrosis
stoma/iskemia
atau infeksi
jamur
memberikan
intervensi tepat
waktu untuk
mencegah
komplikasi
serius.
3. Ukur stoma 3. Sesuai dengan
secara penyembuhan
periodik, edema
mis,, tiap pascaoperasi
perubahan (selama 6
kantong minggu
selama 6 pertama)
minggu ukuran kantong
pertama. yang dipakai
Kemudian harus tepat
sekali sehingga feses
sebulan terkumpul
selama 6 sesuai aliran
bulan. dari ostomi dan
kontak dengan
kulit dicegah.
4. Berikan 4. Melindungi
pelindung kulit dari
kulit yang perekat
efektif, mis., kantong,
wafer meningkatkan
stomahesive, perekat kantong
karaya gum, dan
Realiseal memudahkan
(Davol) atau pengangkatan
produk kantong bila
semacamnya perlu.
5. Kosongkan, 5. Penggantian
irigasi dan kantong yang
bersihkan sering
kantong mengiritasi
ostomi kulit dan harus
dengan rutin. dihindari.
6. Sokong kulit 6. Mencegah
sekitar bila iritasi
mengangkat jaringan/kerusa
kantong kan
dengan sehubungan
perlahan. dengan
“penarikan”
kantong.
7. Selidiki 7. Indikasi
keluhan rasa kebocoran feses
terbakar/gata dengan iritasi
l/melepuh periostomal,
disekitar atau
stoma. kemungkinan
infeksi kandida
yang
memerlukan
intervensi.
8. Kolaborasi 8. Membantu
:Konsul pemilihan
dengan ahli produk yang
terapi/entero tepat untuk
stomal. kebutuhan
penyembuhan
pasien,
termasuk tipe
ostomi, status
fisik/mental
dan sumber
finansial.
9. Berikan 9. Membantu
sprei aerosol penyembuhan
kortikosteroi bila terjadi
d dan bedak iritasi
nistatin peristomal/infe
sesuai ksi jamur.
indikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8.


Singapore: Elsevier
Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013).
Nursing Interventions Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby
Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman
untuk perancanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8.
Jakarta : EGC
Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses:
definitions & classification 2015–2017(10th Ed.). Oxford: Wiley Blackwell
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC): Measurement of health outcomes (5th Ed.).
Missouri: Elsevier Mosby
Mutiara dkk. 2018. Karakteristik Pasien Kanker Kolorektal Di Bagian Patologi
Anatomi Rumah Sakit Al-Islam Bandung Januari 2012-Desember 2017. Bandung.
ISSN: 2460-657X
Price & Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit
volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC
Sloane, E. (2004). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner &
Suddarth’s textbook of medical surgical nursing. (12th Ed). Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins.
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.01.07/MENKES/406/2018

Anda mungkin juga menyukai