Anda di halaman 1dari 4

Target hasil profit-materi dan benefit-non materi artinya bahwa bisnis tidak hanya

untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi), tetapi juga
memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) non materi
kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti
terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial dan sebagainya.

Selain memperoleh profit dan benefit, bisnis dalam Islam juga memiliki
orientasi pertumbuhan, keberlangsungan, dan keberkahan. Artinya, bahwa
perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu meningkat,
dengan tetap berada dalam koridor syari’ah, bukan menghalalkan segala cara.

Apa yang sudah dicapainya tersebut harus terus dipertahankan


keberlangsungannya, sehingga perusahaan dapat exis dalam kurun waktu
yang lama. Pada akhirnya, apa yang sudah dicapainya tersebut juga harus
memunculkan keberkahan. Artinya, bisnis syari’ah menempatkan berkah
sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari diterimanya segala aktivitas
manusia.1

Etika ekonomi Islam, sebagaimana dirumuskan oleh para ahli ekonomi


Islam adalah suatu ilmu yang mempelajari aspek-aspek kemaslahatan dan
kemafsadatan dalam kegiatan ekonomi dengan memperhatikan amal perbuatan
manusia sejauhmana dapat diketahui menurut akal pikiran (rasio) dan
bimbingan wahyu (nash). Etika ekonomi dipandang sama dengan akhlak karena
keduanya sama-sama membahas tentang kebaikan dan keburukan pada tingkah
laku manusia.

Tujuan etika Islam menurut kerangka berpikir filsafat adalah memperoleh


suatu kesamaan ide bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang
ukuran tingkah laku baik dan buruk sejauhmana dapat dicapai dan diketahui
menurut akal pikiran manusia (An-nabhani, 1996: 52). Namun demikian,
1
ibid
untuk mencapai tujuan tersebut, etika ekonomi Islam mengalami kesulitan
karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini berbeda-beda perihal
standar normatif baik dan buruk. Masing-masing mempunyai ukuran dan
kriteria yang berbeda-beda pula. Sebagai cabang dari filsafat, ajaran etika
bertitik tolak dari akal pikiran dan tidak dari ajaran agama.

Adapun dalam Islam, ilmu akhlak dapat dipahami sebagai pengetahuan yang

mengajarkan tentang kebaikan dan keburukan berdasarkan ajaran Islam yang


bersumber kepada akal dan wahyu. Atas dasar itu, maka etika ekonomi yang
dikehendaki dalam Islam adalah perilaku sosial-ekonomi yang harus sesuai
dengan ketentuan wahyu serta fitrah dan akal pikiran manusia yang lurus.2

Berkenaan dengan hal itu, Islam sebagai ajaran yang universal memberikan
pedoman tentang kegiatan ekonomi berupa prinsip-prinsip dan asas-asas
muamalah.

Juhaya S. Praja (2000) menyebutkan terdapat beberapa prinsip hukum


ekonomi Islam antara lain sebagai berikut.

1. Prinsip la yakun dawlatan bayn al-agniya, yakni prinsip hokum ekonomi


yang menghendaki pemerataan dalam pendistribusian harta kekayaan.

2. Prinsip ’antaradin, yakni pemindahan hak kepemilikan atas harta yang


dilakukan secara sukarela.

3. Prinsip tabadul al-manafi’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan
kepasa azas manfaat.

4. Prinsip takaful al-ijtima’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan
kepada kepentingan solidaritas sosial.

5. Prinsip haq al-lah wa hal al-adami, yakni hak pengelolaan harta kekayaan
yang didasarkan kepada kepentingan milik bersama, di mana individu

2
ETIKA BISNIS PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Drs. H. Aris Baidowi, M.Ag.
Contact: 08122724817 Email: arisbaidowi@yahoo.com
maupun kelompok dapat saling berbagi keuntungan serta diatur dalam suatu
mekanisme ketatanegaraan di bidang kebijakan ekonomi.3

Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama: (1)

target hasil: profit-materi dan benefitnonmateri, (2) pertumbuhan, (3)

keberlangsungan, (4) keberkahan (Yusanto dan Karebet,2002 : 18).

Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri. Tujuan bisnis harus tidak


hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi-
tingginya, tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit
(keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi perusahaan
dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan,
kepedulian sosial dan sebagainya.

Kelima, prinsip ma’ad (hasil). Prinsip ini mengajarkan bahwa pada dasarnya
manusia diciptakan di dunia ini untuk berjuang dan bekerja. Dalam
perspektif Islam, dunia adalah ladang akhirat, maksudnya dunia merupakan
tempat bagi manusia untuk mencari bekal dengan bekerja, beraktivitas, dan
beramal baik. Pada prinsipnya perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan,
dan demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, ma’ad bermakna balasan,
imbalan, ganjaran. Menurut Imam Al-Gazhali implikasi konsep ma’ad dalam
kehidupan bisnis misalnya, mendapatkan profit/laba sebagai motivasi para
pelaku bisnis. Laba tersebut bisa didapatkan di dunia dan bisa juga kelak akan
diterima di akhirat. Karena itu konsep profit/laba mendapatkan legitimasi dalam
Islam.4
Pendapat lain mengutarakan bahwa prinsip dasar yang harus diadopsi oleh pelaku
bisnis dalam perspektif Islam adalah bahwa praktik bisnis tersebut harus
3
ibid
4
Prinsip-Prinsip Praktik Bisnis dalam Islam
bagi Pelaku Usaha Muslim
Abdurrahman Alfaqiih
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Jln. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta
abdurrahmanalfaqiih@gmail.com
mencerminkan karakter yang mengandung nilai-nilai rohaniah bahwa segala
sesuatu hanyalah ciptaan Allah; memiliki pemahaman bisnis yang halal dan
haram; dan berorientasi pada hasil dunia dan akhirat.
Selain itu, bisnis yang dijalankan harus menghindarkan praktik pemberian
hadiah atau komisi dalam lobi bisnis; tidak makan riba; tidak wanprestasi; tidak
suap; tidak menipu; tidak zalim dan input, proses serta output harus bebas dari
barang dan jasa yang haram.

Anda mungkin juga menyukai