1
teknis, dalam satu periode tertentu (Amanah Githa Asuransi Jiwa Syariah, 2016).
Sedangkan kontribusi adalah jumlah bruto yang menjadi kewajiban peserta
asuransi
yang digunakan untuk membayar klaim atas risiko tertentu akibat musibah pada
jiwa,
badan, atau benda yang dialami oleh peserta yang berhak serta untuk membayar
ujrah. Kontribusi tersebut merupakan milik peserta secara kolektif, bukan
merupakan pendapatan entitas pengelola (PSAK 108 Akuntansi Asuransi Syariah,
2008).
Semakin tinggi surplus yang terdapat diperusahaan asuransi syariah
menunjukan semakin tinggi pula tingkat kinerja di perusahaan asuransi tersebut.
Surplus yang efektif tidak hanya akan membantu eksistensi perusahaan asuransi
syariah dalam jangka panjang, akan tetapi hal ini juga bisa menarik nasabah untuk
bisa
berasuransi diperusahaan asuransi syariah, sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan pangsa pasar asuransi syariah yang berdampak pada kinerja
keuangan
asuransi syariah yang semakin meningkat. (Mokhtar, Aziz, & Hilal, 2015).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan Perusahaan
Leverage utang diukur dengan rasio total utang terhadap ekuitas (debt/equity
ratio). Perusahaan yang sangat leverage mungkin berisiko kebangkrutan jika
mereka
tidak mampu melakukan pembayaran utang mereka juga tidak dapat menemukan
pemberi pinjaman baru di masa depan. Penelitian Mehari & Aemiro (2013)
menyebutkan bahwa perusahaan asuransi bisa makmur dengan mengambil risiko
leverage yang wajar atau bisa bangkrut jika risikonya diluar kendali.
Liquidity mengacu sejauh mana kewajiban utang yang jatuh tempo dalam 12
bulan ke depan bisa dibayar dari kas atau aset untuk kewajiban lancar (current
ratio).
Menurut Mehari & Aemiro (2013) perusahaan asuransi dengan aset yang lebih
likuid
cenderung untuk gagal lebih rendah karena mereka dapat mencairkan kas bahkan
dalam situasi yang sangat sulit. Oleh karena itu, perusahaan asuransi yang
memiliki
aset likuid yang lebih, akan bisa mengungguli perusahaan asuransi yang hanya
memiliki sedikit aset likuid.
Ukuran perusahaan mempengaruhi kinerja keuangan dalam banyak cara.
Perusahaan besar dapat memanfaatkan skala ekonomi dan ruang lingkup. Menurut
Mehari & Aemiro (2013) ukuran perusahaan berhubungan positif dengan kinerja
2
keuangan, disebabkan karena asuransi besar biasanya memiliki kapasitas yang
lebih
besar untuk menangani pasar yang merugikan fluktuasi perusahaan asuransi kecil.
Penelitian Mehari & Aemiro (2013) menyatakan bahwa aset tetap dalam jumlah
yang besar akan meningkatkan kinerja keuangan. Dengan kepemilikan aset tetap
dalam jumlah yang banyak akan lebih menguntungkan perusahaan asuransi
dibandingkan dengan kepemilikan aset yang lebih sedikit. Dalam penelitian
tersebut
disebutkan bahwa tangibility memiliki pengaruh positif terhadap financial
performance.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Malik (2011) menjelaskan bahwa volume
modal memiliki pengaruh signifikan dalam meningkatkan kinerja perusahaan
asuransi.
Volume of capital adalah volume modal yang diukur dari nilai buku ekuitas
perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Malik (2011), menjelaskan bahwa rasio yang
paling banyak digunakan untuk mengukur kinerja operasi adalah rasio kerugian
dan
rasio beban. Rasio kerugian (loss ratio) adalah persentase dari total dolar premium
yang dibayar untuk klaim pada jenis tertentu untuk jangka waktu yang panjang.
(http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/akuntabilitas DOI: 10.15408/akt.v9i1.3590
diakses 29/09/18)
3
yang berhubungan dengan promosi, komunikasi marketing, dan
ekspansi menjadi begitu terbatas. Keterbatasan ini terkadang membuaat
industri asuransi syari’ah terkesan begitu ekslusif, misalnya untuk
kalangan tertentu saja, padahal kenyataan ini disebabkan minimnya
sosialisasi kepada masyarakat. Konsekuensi dari hal tersebut juga
berimbas pada sistem dan teknologi yang belum dapat sepenuhnya
bersaing dengan asuransi konvensional. Namun, ada beberapa unit
usaha syari’ah yang berasal dari asuransi konvensional dengan modal
besar mempunyai sistem teknologi yang lebih mapan.
Dalam industri asuransi syari’ah, faktor yang juga menjadi
kendala adalah sumber daya insani yang terbatas dalam arti secara
komprehensif menguasai syari’ah dan juga menguasai teknis
operasional. Apa yang terjadi adalah adanya sumber daya insani yang
menonjol dalam satu sisi saja sehingga tidak seimbang antara
pengetahuan atau keterampilan teknis asuransi dan pemahaman syariah.
Dengan demikian, diperlukan penyiapan tenaga-tenaga ekonomi syariah
yang siap kerja sehingga terkadang industri juga harus
menginvestasikan dana untuk pendidikan unik seperti ini. Tentu hal ini
perlu menjadi perhatian peerguruan-perguruan tinggi di Indonesia,
termasuk juga pemerintah agar dapat menyiapkan sumber daya insani
syari’ah yang memang layak untuk mengembangkan industri keuangan
syari’ah.
Industri asuransi syari’ah secara umum juga belum berbasis
riset.
Hampir semua industri asuransi syari’ah adalah sebagai follower, bukan
sebagai pioneer. Alhasil hampir terjadi kesamaan antarindustri asuransi
syari’ah sendiri tanpa adanya referensiasi atau inovasi produk dan
pelayanan yang unik. Permasalahan ini juga terjadi di industri lain
seperti perbankan atau pun pembiayaan syariah.
Selain itu, industri asuransi syari’ah juga belum memiliki
standardisasi praktik bisnis. Hal ini juga menjadi masalah serius.
Sebagai contoh kebijakan di suatu perusahaan asuransi membolehkan
Tetapi di perusahaan lain tidak membolehkan. Sekedar contoh, dalam
hal menentapkan objek asuransi, menjamin patung di Asuransi Tafakul
tidak di bolehkan, tetapi di asuransi syari’ah lain justru dibolehkan. Dari
sini, tampak bahwa asosiasi belum berperan secara maksimal mengatur
sebuah standarisasi yang secara disiplin serta dengan komitmen tinggi
dijalankan oleh para anggotanya. Selain itu kebijakan-kebijakan direksi
perusaahaan asuransi syari’ah yang berasal dari perusahaan asuransi
konvensional juga turut memengaruhi keputusan yang diambil dengan
latar belakang pemahaman syari’ah yang belum memadai.
4
1. Regulator
Dari segi regulator dalam hal asuransi syari’ah juga terlihat
belum adanya arah atau visi ke depan yang jelas tentang industri ini
akan seperti apa. Arsitektur perbankan syariah sudah ada, tetapi
arsitektur asuransi syari’ah tidak ada. Dengan demikian, saat ini seolah
industri asuransi syari’ah masih sekedar ada dulu dan tidak menjadi
sebuah industri perspektif yang perlu dibuatkan blue print serta regulasi
yang mendukung.
Kensekuensi dari tiadanya visi dan blue print maka perangkat
undang-undang yang berkenaan dengan asuransi syariah terkesan sangat
minim. Padahal, bisnis syariah ini sangat unik dan berbeda
dibandingkan bisnis konvensional. Alhasil, terkadang regulasi asuransi
konvensional “dipaksakan” untuk diterapkan didalam asuransi syariah.
Tentu saja hal ini kurang tepat.
Pemerintah pun belum menganggarkan dana yang memadai
untuk pengembangan industri asuransi syariah, terutama dalam hal
promosi serta sosialisasi. Kondisi ini agak kontras dengan keadaan
yang berlaku pada perbankan syariah. Bank Indonesia telah
menunjukkan komitmennya dalam pengembangan perbankan syariah
dengan menggelontarkan sejumlah dana untuk promosi dan sosialisasi
perbankan syariah. Bank Indonesia pernah menyelenggarakan Festival
Ekonomi Syariah (FES) di tujuh provinsi di Indonesia yang sepenuhnya
disponsori BI. Acara ini merupakan agenda rutin yang disponsori oleh
BI dalam rangka sosialisasi perekonomian syariah.
Sisi lain yang tidak kalah penting diharapkan dari pemerintah
adalah penyiapan intrumen investasi syariah yang beragam. Saat ini kita
ketahui begitu minimnya intrumen investasi syariah yang tersedia
sehingga mendorong asuransi syariah menggunakan instrumen deposito
syariah yang kurang menarik. Alhamdulillah saat ini sudah mulai
dikembangkan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) yang menjadi
alternatif investasi bagi perusahaan asuransi syariah.
Terakhir, hal yang menyangkut regulator adalah ketiadaan
proteksi dan insentif bagi industri asuransi syariah yang baru lahir ini.
Bayi yang baru lahir harus sudah menghadapi tantangan yang luar biasa
berat ibarat diajak berlomba lari dengan sprinter yang sudah
berpengalaman. Paling tidak insentif tersebut bisa diberikan dalam
bentuk proteksi bisnis atau insentif dalam bentuk lain, tetapi
kenyataannya belum ada. Hal ini sangat sangat berbeda dengan apa
yang berlaku di Malaysia. Ketika baru berdiri, industri asuransi syariah
mendapatkan proteksi selama sepuluh tahun, bahkan hingga saat ini
untuk ekspansi bisnis tertentu memperoleh insentif pajak.
5
6
1. Lembaga Asuransi Syariah
Lembaga
Lembaga lebih dari organisasi. Lembaga tidak selalu memiliki kantor, orang dan
peraturan. Lembaga di dalam masyarakat merupakan kumpulan dari hukum-
hukum atau aturan yang ditaati oleh masyarakat demi mencapai suatu tujuan
tertentu yang merupakan kepentingan masyarakat.
Asuransi Syariah
Dalam bahasa arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan kata at-ta’min
yang secara bahasa berarti tuma’niatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya jiwa
dan
hilangnya rasa takut. Maksudnya, orang yang ikut dalam kegiatan asuransi,
jiwanya
akan tenang dan tidak ada rasa takut ataupun was-was dalam menjalani
kehidupan,
karena ada pihak yang memberikan jaminan atau pertanggungan (Hosen, Ali, &
Muhtasib, 2008).
Pengertian asuransi syariah menurut Fatwa DSN MUI (2001), yang lebih
dikenal dengan ta’min, takaful, atau tadhamun adalah usaha saling melindungi
dan
tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam
bentuk
aset dan atau dana tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi
risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah. Asuransi berdasarkan
prinsip
syariah menurut PMK No. 18 dan No. 10 (2010) adalah usaha saling tolong
menolong (ta’awuni) dan melindungi (takafuli) diantara para peserta melalui
pembentukan kumpulan dana (dana tabarru’) yang dikelola sesuai prinsip syariah
untuk menghadapi risiko tertentu.
7
Lembaga Asuransi Syariah dapat diartikan badan (organisasi) yang memiliki
tujan usaha dalam bentuk asuransi yang memiliki prinsip sesuai dengan syariah.
8
9