Anda di halaman 1dari 3

1.

Industri Asuransi Syari’ah


Industri asuransi syari’ah kita ketahui sebagai industri baru jika
dibandingkan dengan industri asuransi konvensional. Namun tuntutan terhadap
industri asuransi syari’ah seperti layaknya tuntutan pada industri yang sudah
mapan. Ibarat seorang anak kecil yang diminta untuk bersikap dan bertindak dan
bertindak seperti orang dewasa. Di kalangan masyarakat sendiri, muncul tuntutan
bahwa asuransi syari’ah atau lembaga ekonomi syari’ah harus lebih dalam segala
hal dibandingkan dengan konvensional. Padahal, industri asuransi syari’ah masih
memerlukan waktu yang memandai agar memenuhi seluruh harapan masyarakat
tersebut.
Industri asuransi syari’ah dalam operasional belum sepenuhnya siap
untuk mengimbangi asuransi konvensional karena memang masih minimnya
permodalan yang dimiliki. Alhasil, hal hal yang berhubungan dengan promosi,
komunikasi marketing, dan ekspansi menjadi begitu terbatas. Keterbatasan ini
terkadang membuaat industri asuransi syari’ah terkesan begitu ekslusif, misalnya
untuk kalangan tertentu saja, padahal kenyataan ini disebabkan minimnya
sosialisasi kepada masyarakat. Konsekuensi dari hal tersebut juga berimbas pada
sistem dan teknologi yang belum dapat sepenuhnya bersaing dengan asuransi
konvensiaonal. Namun, ada beberapa unit usaha syari’ah yang berasal dari asuransi
konvensional dengan modal besar mempunyai sistem teknologi yang lebih mapan.
Dalam industri asuransi syari’ah, faktor yang juga menjadi kendala
adalah sumber daya insani yang terbatas dalam arti secara komprehensif
menguasai syari’ah dan juga menguasai teknis operasional. Apa yang terjadi
adalah adanya sumber daya insani yang menonjol dalam satu sisi saja sehingga
tidak seimbang antara pengetahuan atau keterampilan teknis asuransi dan
pemahaman syariah. Dengan demikian, diperlukan penyiapan tenaga-tenag
ekonomi syariah yang siap kerja sehingga terkadang industri juga harus
menginvestasikan dana untuk pendidikan unik seperti ini. Tentu hal ini perlu
menjadi perhatian peerguruan-perguruan tinggi di Indonesia, termasuk juga
pemerintah agar dapat menyiapkan sumber daya insani syari’ah yang menang layak
untuk mengembangkan industri keuangan syari’ah.
Industri asuransi syari’ah secara umum juga belum berbasis riset.
Hampir semua industri asuransi syari’ah adalah sebagai follower, bukan sebagai
pioneer. Alhasil hampir terjadi kesamaan antarindustri asuransi syari’ah sendiri
tanpa adanya referensiasi atau inovasi produk dan pelayanan yang unik.
Permasalahan ini juga terjadi di industri lain seperti perbankan atau pun
pembiayaan syariah.
Selain itu, industri asuransi syari’ah juag belum memiliki standardisasi
praktik bisnis. Hal ini juga menjadi masalah serius. Sebagai contoh kebijakan di
suatu perusahaan asuransi membolehkan Tetapi di perusahaan lain tidak
membolehkan. Sekedar contoh, dalam hal menentapkan objek asuransi, menjamin
patung di Asuransi Tafakul tidak di bolehkan, teatapi di asuransi syari’ah lain justru
dibolehkan. Dari sini, tampak bahwa asosiasi belum berperan secara maksimal
mengatur sebuah standarisasi yang secara disiplin serta dengan komitmen tinggi
dijalankan oleh para anggotaanya. Selain itu kebijakan-kebijakan direksi
perusaahaan asuransi syari’ah yang berasal dari perusahaan asuransi konvensional
juga turut memengaruhi kepeutusan yang diambil dengan latar belakang
pemahaman syari’ah yang belum memadai.

2. Regulator
Dari segi regulator dalam hal asuransi syari’ah juga terlihat belum adanya
arah atau visi ke depan yang jelas tentang industri ini akan seperti apa. Arsitektur
perbankan syariah sudah ada, tetapi arsitektur asuransi syari’ah tidak ada. Dengan
demikian, saat ini seolah industri asuransi syari’ah masih sekedar ada dulu dan
tidak menjadi sebuah industri perspektif yang perlu dibuatkan blue print serta
regulasi yang mendukung.
Kensekuensi dari tiadanya visi dan blue print maka perangkat undang-
undang yang berkenaan dengan asuransi syariah terkesan sangat minim. Padahal,
bisnis syariah ini sangat unik dan berbeda dibandingkan bisnis konvensional.
Alhasil, terkadang regulasi asuransi konvensional “dipaksakan” untuk diterapkan
didalam asuransi syariah. Tentu saja hal ini kurang tepat.
Pemerintah pun belum menganggarkan dana yang memadai untuk
pengembangan industri asuransi syariah, terutama dalam hal promosi serta
sosialisasi. Kondisi ini agak kontras dengan keadaan yang berlaku pada
peerbankan syariah. Bank Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam
pengembangan perbankan syariah dengan menggelontarkan sejumlah dana untuk
promosi dan sosialisasi perbankan syariah. Bank Indonesia pernah
menyelenggarakan Festival Ekonomi Syariah (FES) di tujuh provinsi di Indonesia
yang sepenuhnya disponsori BI. Acara ini merupakan agenda rutin yang disponsori
oleh BI dalam rangka sosialisasi perekonomian syariah.
Sisi lain yang tidak kalah penting diharapkan dari pemerintah adalah
penyiapan intrumen investasi syariah yang beragam. Saat ini kita ketahui begitu
minimnya intrumen investasi syariah yang tersedia sehingga mendorong asuransi
syariah menggunakan intstrumen desposito syariah yang kurang menarik.
Alhamdulillah saat ini sudah mulai dikembangkan SBSN (Surat Berharga Syariah
Negara) yang menjadi alterrnatif investasi bagi perusahaan asuransi syariah.
Terakhir, hal yang menyangkut regulator adalah ketiadaan proteksi dan
insentif bagi industri asuransi syariah yang baru lahir ini. Bayi yang baru lahir
harus sudah menghadapi tantangan yang luar biasa berat ibarat diajak berlomba lari
dengan sprinter yang sudah berpengalaman. Paling tidak insentif tersebut bisa
diberikan dalam bentuk proteksi bisnis atau insentif dalam bentuk lain, tetapi
kenyataannya belum ada. Hal ini sangat sangat berbeda dengan apa yang berlaku di
Malaysia. Ketika baru berdiri, industri asuransi syariah mendapatkan proteksi
selama sepuluh tahun, bahkan hingga saat ini untuk ekspansi bisnis tertentu
memperoleh insentif pajak.

Anda mungkin juga menyukai