Anda di halaman 1dari 124

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelangkaan energi pada waktu sekarang merupakan kekhawatiran yang

besar sebab energi adalah sumber daya yang sangat penting dalam kehidupan

manusia untuk memenuhi segenap aktifitas yang dibutuhkan. Pada sisi lain

gambaran tentang krisis energi sudah semakin nampak. Pernyataan tersebut telah

memuat secara jelas mengenai adanya permasalahan sumber daya energi yang akan

dihadapi manusia pada masa mendatang.

Energi listrik menjadi sebuah kebutuhan utama yang digunakan oleh

manusia. Secara nasional kebutuhan energi listrik terus meningkat seiring

dengan laju pertumbuhan penduduk, akan tetapi laju kebutuhan energi yang

sangat cepat tersebut tidak diimbangi dengan produksi riil sektor energi. Saat ini

energi nasional masih terfokus kepada energi fosil yaitu batubara, minyak bumi,

dan gas bumi. Dengan meningkatnya penggunaan energi tersebut, terutama

minyak bumi, maka di masa yang akan datang jumlahnya pun semakin terbatas,

cadangan energi fosil akan berkurang dan tidak akan dapat di andalkan untuk

mencukupi kebutuhan energi, karena sifatnya tidak terbarukan menuntut untuk

segera mengeksplorasi sumber energi terbarukan. Selain itu, alasan lainnya

adalah untuk mengurangi polusi yang ditimbulkan dari pemakaian bahan bakar

minyak, karena sumber polusi terbesar di dunia berasal dari gas buang atau emisi

bahan bakar minyak, maka dibutuhkan sebuah solusi untuk mengatasi masalah

tersebut, terarah pada energi alternatif yang cukup ketersediaannya di bumi dan
dapat diharapkan kelanjutannya. Pemanfaatan energi non fosil akan mendukung

terciptanya lingkungan yang bersih dan mencegah pemanasan global.

Pengembangan energi baru dan terbarukan merupakan upaya yang diharapkan

dapat mengatasi kebutuhan energi yang terus meningkat, energi terbarukan

adalah sumber energi yang ketersediaannya tidak terbatas dan dapat di

perbaharui.

Gambar 1.1. Penggunaan energi (Indonesia outlook 2010, pusdatin ESDM)

Potensi energi non fosil, seperti tenaga surya, panas bumi, tenaga air,

biomassa, dan tenaga angin, di Indonesia cukup melimpah, pemanfaatan energi

angin merupakan hal yang populer, penguasaan teknologi tentang konversi

energi angin juga diperlukan, di butuhkan sebuah teknologi yang bekerja

mengkonversi energi angin menjadi energi listrik, salah satunya menggunakan

turbin angin sebagai pembangkit listrik alternatif melalui Sistim Konversi Energi

Angin (SKEA). Energi kinetik yang dihasilkan angin kemudian memutarkan

sudu yang dirancang agar dapat menghasilkan kecepatan putaran, kemudian dari

putaran tersebut di teruskan oleh transmisi atau dengan sebuah mekanisme

tertentu menuju ke generator yang menghasilkan listrik. Desain sudu yang

banyak digunakan yaitu beberapa tipe dari NACA ( National Advisory

Committe for Aeronautics ) seperti 4412, 4415 (kusuman,1981) dengan


memvariasikan jumlah sudu diantaranya single blade, two blade, three blade

dan multi blade, maka dalam penulisan tugas akhir ini memilih turbin angin

dengan poros horisontal menggunakan airfoil NACA 4415 sebagai basis dalam

pembuatan sudu turbin angin, dengan jumlah sudu tiga. A i r f o i l NACA 4415

mempunyai beberapa keunggulan, yaitu dikenal sebagai airfoil yang ramping

dan kekuatan koefisien rata-ratanya lebih tinggi dari pada sudu lainnya sehingga

sesuai untuk dioprasikan pada kecepatan tinggi, serta mempunyai fakta bahwa

airfoil ini menunjukkan sifat yang baik untuk sudu turbin angin kecil, disamping

faktor pemilihan airfoil sebagai basis dalam pembuatan turbin angin (Ozgener,

2005).

Tolak ukur keberhasilan pembuatan sudu Turbin Angin ini didekati

dengan menggunakan pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan dimensional, dimana dalam pendekatan ini sudu rotor yang

telah dibuat diukur ulang dan diuji kesesuaiannya dengan desain airfoil

yang telah dibuat.

2. Kekuatan sudu turbin angin diuji secara simulasi dengan asumsi beban

maksimal yang ditentukan setara dengan beban yang dihasilkan oleh

energi angin dengan kecepatan 15 m/detik.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan penulisan laporan Tugas Akhir ini adalah

sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program

Studi Diploma III Teknik Mesin Teknologi Industri Sekolah Vokasi

Universitas Diponegoro.

2. Mempelajari tentang ilmu dan teknologi rancang bangun turbin angin

khususnya turbin angin dengan sumbu horizontal.

3. Menerapkan ilmu yang didapat dari perkuliahan serta ikut

mengembangkan konsep energi terbaharukan.

4. Mempelajari sistem dari turbin angin sumbu horizontal.

1.3 Manfaat Tugas Akhir

1. Mengetahui dan mengerti pembuatan turbin angin sumbu horizontal.

2. Menambah wawasan penyusun tentang turbin angin sumbu horizontal.

3. Memberikan sebuah solusi terhadap masalah penyediaan energi yang

ramah lingkungan.

1.4 Pembatasan Masalah

Permasalahan yang akan dijawab melalui perancangan ini yang diuraikan

melalui penjelasan pada bagian Latar Belakang, yaitu turbin angin dengan poros

horisontal menggunakan desain airfoil NACA 4415, Rancang bangun turbin angin

ini dilengkapi dengan “automatic pitch blade control”, jumlah 3 sudu berdiameter

10 m jika putaran rotor 40 rpm pada kecepatan angin 5 m/det maka di dapatkan vtip

sebesar 20 m/det. Perbandingan Kecepatan Ujung Sudu (vtip) dengan kecepatan

angin (λo) ?
Perancang perlu melakukan pembatasan permasalahan yang dirancang

terhadap beberapa pokok permasalahan , yaitu :

a. Konvertor angin yang diteliti adalah jenis turbin angin poros horizontal.

b. Jumlah sudu 3 buah.

c. Diameter sudu yang direncanakan 10 meter.

d. Menggunakan automatic pitch blade control.

e. Pembuatan Rotor Blade.

f. Analisa Konstruksi Turbin Angin Sumbu Horizontal.

1.5 Sistematika Penyusunan Laporan

Untuk memperoleh gambaran tentang isi dari tugas akhir ini maka akan

dikemukakan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang permasalahan, pembatasan masalah, tujuan

penulisan Tugas Akhir, metodologi penyusunan dan sistematika

penyusunan.

BAB II LANDASAN TEORI

Berisi tentang pendekatan teoritis baik yang bersumber dari acuan pustaka

maupun analisis penulis sendiri, dan disertai pertimbangan pemilihan bahan.

BAB III METODOLOGI

Berisi tentang proses awal pembuatan alat secara mekanik, proses


pembuatan blade, sampai pada proses balancing.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Berisi tentang hasil dan pembahasan tentang pengujian alat.

BAB V PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Kenaikan harga BBM mendorong ilmuwan untuk mencari alternatif sumber

energi baru yang murah dan mudah didapat untuk dikonfersikan menjadi tenaga

listrik. Tenaga angin merupakan sumber energi terbarukan yang murah dan mudah

didapat. Pada wilayah pantai di Indonesia, seperti diketahui Indonesia memiliki

panjang pantai mencapai 54.716 km dan merupakan Negara ke-2 yang mempunyai

pantai terpanjang di dunia, potensi energi angin di Indonesia bisa dimanfaatkan

untuk tenaga penggerak generator listrik sehingga menghasilkan arus listrik.

(Sumber : http://ilmupengetahuanumum.com/10-negara-dengan-garis-pantai-

terpanjang-di-dunia/,2017).

Beberapa peneliti dari Indonesia telah melakukan penelitian rancang

bangun menyangkut tentang turbin angin, antara lain:

Soelaiman (dkk) 2007 melakukan beberapa penelitian tentang beberapa macam

blade, yaitu savonius dengan blade tipe U dan savonius dengan blade tipe L. Dari

penelitian mereka menyimpulkan bahwa blade savonius tipe L menghasilkan unjuk

kerja yang paling baik dibandingkan dengan tipe yang lain.

Hendra A. (2012), dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Jumlah Sudu

Terhadap Unjuk Kerja Turbin Angin Savonius. Menggunakan metode penelitian

pengamatan dengan variasi jumlah sudu: 2, 3 dan 4 buah dengan variabel bebas

kecepatan angin pada wind tunnel dari kecepatan 3 m/s sampai 7 m/s. Didapatkan
hasil analisis bahwa turbin angina dengan jumlah sudu 3 buah memiliki unjuk kerja

yang tinggi dibandingkan dengan jumlah sudu yang lain. Hal ini terjadi karena pada

turbin dengan jumlah sudu 3 buah mempunyai jarak antara sudu yang satu dengan

lainnya terhadap poros sudu turbin mempunyai kerenggangan menjadikan aliran

dapat mengalir dan menerpa sudu dibelakang poros dan ini akan meningkatkan

gaya momen serta mengurangi gaya hambat negatif pada sudu sehingga aliran

turbulensi yang terdapat pada turbin tersebut relatif kecil.

Bayu Mahendra, Rudy Soenoko, Djoko Sutikno (2012), dalam penelitian

Pengaruh Jumlah Sudu Terhadap Unjuk Kerja Turbin Angin Savonius Type L di

dapat kesimpulan bahwa jumlah sudu berpengaruh pada unjuk kerja turbin angin

savonius type L. Unjuk kerja paling tinggi didapat pada turbin dengan jumlah sudu

3. Pada kecepatan angin 7 m/s diperoleh BHP 0.267 watt, torsi 0.00398 Nm, dan

efisiensi 10.20 %. Hal ini dikarenakan pada turbin savonius type L sudu 3

mempunyai jarak antara sudu yang satu dengan lainnya terhadap poros sudu turbin

mempunyai kerenggangan yang menjadikan aliran dapat mengalir dan menerpa

sudu dibelakang poros dan ini akan meningkatkan gaya momen serta mengurangi

gaya hambat negatif pada sudu sehingga aliran turbulensi yang terdapat pada turbin

tersebut relatif kecil. Unjuk kerja paling rendah didapat pada turbin dengan jumlah

sudu 4. Pada kecepatan angin 7 m/s diperoleh BHP 0.191 watt, torsi 0.00320 Nm,

dan efisiensi 4.95 %. Hal ini dikarenakan pada turbin savonius type L sudu 4

mempunyai nilai daya poros terendah dibanding jumlah sudu yang lain hal ini

dikerakan dengan bertambahnya jumlah sudu berat dari turbin juga akan bertambah

sehingga membutuhkan gaya dorong yang lebih besar. (Sumber :

http://referensimesin16.blogspot.co.id/2015/11/penelitian-turbin-angin.html)
2.1.1 Definisi Energi Angin

Angin adalah udara yang bergerak yang diakibatkan oleh rotasi bumi dan

juga karena adanya perbedaan tekanan udara disekitarnya. Angin bergerak dari

tempat bertekanan udara tinggi ke bertekanan udara rendah. Apabila dipanaskan,

udara memuai. Udara yang telah memuai menjadi lebih ringan sehingga naik.

Apabila hal ini terjadi, tekanan udara turun karena udaranya berkurang. Udara

dingin disekitarnya mengalir ke tempat yang bertekanan rendah tadi. Udara

menyusut menjadi lebih berat dan turun ke tanah. Diatas tanah udara menjadi panas

lagi dan naik kembali. Aliran naiknya udara panas dan turunnya udara dingin ini

dikarenakan konveksi.

Tenaga angin menunjuk kepada pengumpulan energi yang berguna dari

angin. Pada tahun 2005, kapasitas energi generator tenaga angin adalah 58.982

MW, hasil tersebut kurang dari 1% pengguna listrik dunia. Meskipun masih berupa

sumber energi listrik minor dikebanyakan Negara, penghasil tenaga angin lebih dari

empat kali lipat antara 1999 dan 2005.

Gambar 2.1 Panas Bumi di Indonesia

Kebanyakan tenaga angin modern dihasilkan dalam bentuk listrik dengan

mengubah rotasi dari pisau turbin menjadi arus listrik dengan menggunakan
generator listrik. Pada kincir angin energi angin digunakan untuk memutar

peralatan mekanik untuk melakukan kerja fisik, seperti menggiling atau memompa

air. Tenaga angin banyak jumlahnya, jumlahnya tidak terbatas (dapat diperbaharui),

tersebar luas dan bersih.

2.1.2 Pengukuran Energi Angin

Semua energi yang dapat diperbaharui dan bahkan energi pada bahan bakar

fosil, kecuali energi pasang surut dan panas bumi berasal dari matahari. Matahari

meradiasi 1,74 x 1.014 Kilowatt jam energi ke Bumi setiap jam. dengan kata lain,

bumi ini menerima daya 1,74 x 1.017 watt. Sekitar 1-2% dari energi tersebut diubah

menjadi energi angin. Jadi, energi angin berjumlah 50-100 kali lebih banyak

daripada energi yang diubah menjadi biomassa oleh seluruh tumbuhanyang ada di

muka bumi. Sebagaimana diketahui, pada dasarnya angin terjadi karena ada

perbedaan temperatur antara udara panas dan udara dingin. Daerah sekitar

khatulistiwa, yaitu pada busur 0°, adalah daerah yang mengalami pemanasan lebih

banyak dari matahari dibanding daerah lainnya di Bumi. Daerah panas ditunjukkan

dengan warna merah, oranye, dan kuning pada gambar inframerah dari temperatur

permukaan laut yang diambil dari satelit NOAA-7 pada juli 1984. Udara panas lebih

ringan daripada udara dingin dan akan naik ke atas sampai mencapai ketinggian

sekitar 10 kilometer dan akan tersebar kearah utara dan selatan. Jika bumi tidak

berotasi pada sumbunya, maka udara akan tiba dikutub utara dan kutub selatan,

turun ke permukaan lalu kembali ke khatulistiwa. Udara yang bergerak inilah yang

merupakan energi yang dapat diperbaharui, yang dapat digunakan untuk memutar

turbin dan akhirnya menghasilkan listrik. (Sumber :

www.eprints.undip.ac.id/41638/16/BAB_II.pdf)
Tabel 2.1 Kecepatan Angin Pada Berbagai Wilayah di Indonesia
ANNUAL SPECIFIC
No SITE YEAR
ENERGI/ (ESP)

1 TERNATE 1978 227.1


2 SUMBAWA BESAR 1977 190.2
3 DENPASAR 1977 320.6
4 KALIANGET 1977 247.5
5 BAWEAN 1977 140.5
6 KUPANG 1977 1126.3
7 CILACAP 1978 306.8
8 RANAI 1978 785.7
9 CILAUT EUREUN 1977 841.9
10 ISWAHYUDI 1973-1979 493.2
11 MAUMERE 1977 389.9
12 JAKARTA 1978 228.3
13 REMBIGA 1978 255.1
14 SURABAYA 1978 149.0
15 KAIMANA 1977-1979 389.8
16 KIJANG 1976-1979 181.7
17 TAREMPA 1977 407.1

Sumber : Harijono Djojodiharjo & Darwin Sebayang, 1981

2.1.3 Deskripsi Turbin Angin Poros Harisontal

Turbin angin adalah kincir angin yang digunakan untuk membangkitkan

tenaga listrik. Turbin angin ini pada awalnya dibuat untuk mengakomodasi

kebutuhan para petani dalam melakukan penggilingan padi, keperluan irigasi, dll.

Turbin angin terdahulu banyak digunakan di Denmark, Belanda, dan Negara-negara

Eropa lainnya dan lebih dikenal dengan windmill. Kini turbin angin lebih banyak

digunakan untuk mengakomodasi kebutuhan listrik masyarakat, dengan

menggunakan prinsip konversi energi dan menggunakan sumber daya alam yang
dapat diperbaharui yaitu angin. Walaupun sampai saat ini penggunaan turbin angin

masih belum dapat menyaingi pembangkit listrik konvensional (contoh: PLTD,

PLTU, dll), turbin angin masih lebih dikembangkan oleh para ilmuan karena dalam

waktu dekat manusia akan dihadapkan dengan masalah kekurangan sumber daya

alam tak terbaharui (contoh: batubara dan minyak bumi) sebagai bahan dasar untuk

membangkitkan listrik.Angin adalah salah satu bentuk energi yang tersedia dialam,

pembangkit Listrik Tenaga Angin mengkonversikan energi angin menjadi nergi

listrik dengan menggunakan turbin angin atau kincir angin. Cara kerjanya cukup

sederhana, energi angin yang memutar turbin angin, diteruskan untuk memutar

rotor pada generator dibelakang bagian turbin angin, sehingga akan menghasilkan

energi listrik. Energi listrik ini biasanya akan disimpan kedalam baterai sebelum

dapat dimanfaatkan. Secara sederhana sketsa kincir angin adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2 Sketsa Sederhaana Turbin Angin

(Sumber : https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Wind_turbine_int.svg#filehistory)

Keterangan :

1. Foundation
2. Connection to electric grid
3. Tower
4. Access ladder
5. Wind orientation control
6. Nacelle
7. Generator
8. Anemometer
9. Brake
10. Gearbox
11. Rotor blade
12. Blade pitch control
13. Rotor hub
Turbin angin pada prinsipnya dapat dibedakan atas dua jenis turbin

berdasarkan arah putarannya. Turbin angin yang berputar pada poros horisontal

disebut dengan turbin angin poros horisontal atau Horizontal Axis Wind Turbine

(HAWT), sementara yang berputar pada poros vertikal disebut dengan turbin angin

poros vertikal atau Vertical Axis Wind Turbine (VAWT).

Turbin angin horisontal adalah model umum yang sering kita lihat pada

turbin angin. Designnya mirip dengan kincir angin, memiliki blade yang mirip

propeller dan berputar pada sumbu vertikal.

Gambar 2.3 Turbin Horisonal (www.poweredbymothernature.com)

Turbin angin horisontal memiliki shaft rotor dan generator pada puncak

tower dan harus diarahkan ke arah angin bertiup. Turbin-turbin kecil mengarah ke

angin dengan menggunakan winde plane yang diletakkan dirotor, sementara untuk

turbin yang lebih besar dilengkapi dengan sensor yang terhubung dengan motor

servo yang mengarahkan blade sesuai dengan arah angin. Sebagian besar turbin

yang besar memiliki gearbox yang merubah kecepatan putar rotor yang ditransfer

ke generator menjadi lebih cepat.

Karena tower menghasilkan turbulensi di belakangnya maka turbin

biasanya mengarah ke arah angin dari depan. Blade turbin dibuat kaku untuk
mencegah terdorong ke tower oleh angin yang kencang. Disamping itu, blade di

tempatkan pada jarak yang mencukupi didepan tower dan kadang melengkung

kedepan.

Downwind turbine atau turbin dengan arah angin dari belakang juga dibuat,

meskipun adanya masalah turbunlensi, karena turbin ini tidak membutuhkan

mekanisme yang mengharuskan searah dengan dengan angin. Disamping itu dalam

keadaan angin kencang blade dibolehkan untuk melengkung yang mnurunkan area

sapuan dan resistansi angin. Namun dikarenakan turbulensi dapat menyebabkan

fatigue, dan keandalan sangat dibutuhkan maka sebagian besar turbin angin

horisonal menggunakan jenis upwinnd.

Kelebihan Turbin Angin Horisontal

1. Towernya yang tinggi memunkikan untuk mendapatkan angin dengan kekuatan

yang lebih besar. Pada beberapa area, setiap 10 meter ada kenaikan tambahan

kekuatan angin 20% dan peningkatan daya 34%.

2. Efisiensi lebih tinggi, karena blades selalu bergerak tegak lurus terhadap arah

angin, menerima daya sepanjag putaran. Sebaliknya pada turbin

vertikal, melibatkan gaya timbal balik yang membutuhkan permukaan airfoil

untuk mundur melawan angin sebagian bagian dari siklus . Backtracking

melawan angin menyebabkan efisiensi lebih rendah.

Kekurangan Turbin Angin Horisontal

1. Dibutuhkan konstruksi tower yang besar untuk mensupport beban blade, gear

box dan generator.

2. Komponen-komponen dari turbin angin horisontal (blade, gear box dan

generator) harus diangkat ke posisinya pada saat pemasangan.


3. Karena tinggi, maka turbin ini bisa terlihat pada jarak yang jauh, banyak

penduduk lokal yang menolak adanya pemandangan ini.

4. Membutuhkan kontrol ya sebagai mekanisme untuk mengarahkan blade ke arah

angin

5. Pada umumnya membutuhkan sistem pengereman atau peralatan yaw pada angin

yang kencang untuk mencegah turbin mengalami kerusahakan.

(Sumber : http://www.satuenergi.com/2015/10/jenis-jenis-turbin-angin-serta.html)

Komponen-komponen turbin angin

Berikut dibawah ini akan dijelaskan mengenai bagian – bagian penyusun dari

turbin angin :

Gambar 2.4 Komponen Turbin

Penjelasan:
1. Anemometer: Mengukur kecepatan angin dan mengirim data angin ke Alat

Pengontrol.

2. Blades (Bilah Kipas): Kebanyakan turbin angin mempunyai 2 atau 3 bilah

kipas. Angin yang menghembus menyebabkan turbin tersebut berputar.

3. Brake (Rem): Suatu rem cakram yang dapat digerakkan secara mekanis

dengan bantuan tenaga listrik atau hidrolik untuk menghentikan rotor atau

saat keadaan darurat.

4. Controller (Alat Pengontrol): Alat Pengontrol ini men-start turbin pada

kecepatan angin kira-kira 12-25 km/jam, dan kemudian mematikannya pada

kecepatan 90 km/jam. Turbin tidak beroperasi di atas 90 km/jam. Hal ini

dikarenakan tiupan angin yang terlalu kencang dapat merusakkannya.

5. Gear box (Roda Gigi): Roda gigi menaikkan putaran dari 30-60 rpm

menjadi sekitar 1000-1800 rpm. Ini merupakan tingkat putaran standar yang

disyaratkan untuk memutar generator listrik.

6. Generator: Generator pembangkit listrik, biasanya sekarang disebut

alternator arus bolak-balik.

7. High-speed shaft (Poros Putaran Tinggi): Berfungsi untuk menggerakkan

generator.

8. Low-speed shaft (Poros Puutaran Rendah): Poros turbin yang berputar kira-

kira 30-60 rpm.

9. Nacelle (Rumah Mesin): Rumah mesin ini terletak di atas menara. Di

dalamnya berisi gearbox, poros putaran tinggi / rendah, generator, alat

pengontrol, dan alat pengereman.


10. Pitch (Sudut Bilah Kipas): Bilah kipas dapat diatur sudutnya sesuai dengan

kecepatan rotor yang dikehendaki. Tergantung kondisi angin yang terlalu

rendah atau terlalu kencang.

11. Rotor: Bilah kipas bersama porosnya dinamakan rotor.

12. Tower (Menara): Menara bisa dibuat dari pipa baja, beton, ataupun rangka

besi. Karena kencangnya angin bertambah dengan seiring dengan

bertambahnya ketinggian, maka makin tinggi menara makin besar tenaga

angin yang didapat.

13. Wind direction (Arah Angin): Adalah turbin yang menghadap angin. Desain

turbin lain ada yang mendapat hembusan angin dari belakang.

14. Wind vane (Tebeng Angin): Mengukur arah angin, berhubungan dengan

penggerak arah yang memutar arah turbin disesuaikan dengan arah angin.

15. Yaw drive (Penggerak Arah): Penggerak arah memutar turbin ke arah angin

untuk desain turbin yang menghadap angin. Untuk desain turbin yang

mendapat hembusan angin dari belakang tak memerlukan alat ini.

16. Yaw motor (Motor Penggerak Arah): Motor listrik yang menggerakkan yaw

drive.

(Sumber : http://catatankecilanaknegeri.blogspot.co.id/2015/02/turbin-angin-

horizontal-horizontal-axis.html)

2.2 Parameter Desain Rotor Blade

Pengaruh dari parameter desain pada konfigurasi rotor digambarkan melalui

terminologi sebagai berikut ini :


1. Average Free Air Velocity, (Vo)

Nilai rata-rata kecepatan angin anual pada suatu lokasi harus

dipertimbangkan paling awal dalam kaitannya dengan distribusi kecepatan angin

dan kelayakan out-put energi angin pada wilayah tersebut dimana biasanya

sangat didominasi oleh kondisi iklim lokal. Frekuensi hujan, debu, erosi pasir,

air asin akan mengenai permukaan rotor dan menurunkan kualitas rotor sehingga

berakibat terhadap karakteristik aerodinamik.

2. Tip Speed, (U)

Tip speed adalah kecepatan ujung dari rotor blade dalam arah gerak

tangensial ( gerak melingkar). High tip speed akan menyebabkan kebisingan dan

akan menyebabkan benturan udara yang lebih besar terhadap rotor blade, akan

tetapi juga mempunyai keuntungan yaitu efisiensi aerodinamik akan meningkat,

lebih-lebih bila ketebalan airfoil kecil.

3. Tip Speed Ratio, (λ)

Perbandingan kecepatan ujung rotor blade dengan kecepatan angin (tip

speed ratio) bila terlalu besar maka akan menurunkan kecepatan agular rotor,

menurunkan perbandingan transmisi, menurunkan dimensi dan berat transmisi

sehingga menurunkan harga turbin angin. Akan tetapi juga berakibat

meningkatkan drag effects, dengan demikian tip speed ratio yang tinggi akan

mempengaruhi coefficient of power.

4. Airfoil Section

Perbandingan antara lift dengan drag adalah kriteria kunci dalam

membandingkan kualitas dari sebuah airfoil. Dari beberapa penelitian


menunjukkan bahwa bila nilai L/D meningkat maka coefficient of power akan

meningkat pula secara berurutan. Pada pengoperasian yang berkelanjutan nilai

L/D hanya memiliki deviasi yang kecil yaitu terjadi pada kondisi bila gaya lift

terlalu besar. Untuk alasan struktur desain ketebalan airfoil dikehendaki

dikarenakan perlu dipasangkan struktur penguat didalam blade.

5. Roughness( Kekasaran )

Kekasaran permukaan blade akan berpengaruh pada aspek aerodinamik

dan tenaga rotor. Peningkatan kekasaran bisa disebabkan oleh : air hujan yang

terkontaminasi debu, kristalisasi air garam, korosi, serangan impact dari erosi

pasir yang beterbangan. Turbin angin yang dipasangang pada daerah pantai atau

gurun akan lebih sering mmenerima serangan impact dan erosi akibat pasir

sehingga permukaan sudunya akan menjadi lebih kasar.

6. Number of Blade ( jumlah sudu )

Peningkatan jumlah sudu dapat meningkatkan coefficient of power

tetapi menurunkan putaran dan selanjutnya lebih menguntungkan bila

dioperasikan untuk putaran rendah. Berat rotor yang besar juga berakibat

terhadap peningkatan biaya dan peningkatan getaran. Pemilihan jumlah sudu

yang tepat akan memberikan keuntungan yang lebih baik.

7. Blade Geometri

Performa maksimal suatu rotor membutuhkan konfigurasi sudu

meliputi variasi radial dari chord dan twist agle, dimana tergantung utamanya

pada hasil lokal dari lift coefficient dan flow angle. Desain blade haruslah

dikompromikan terhadap aspek-aspek meliputi airfoil, kekuatan struktur,

pembatasan getaran dan pertimbangan nilai ekonomis.


8. Blade Chord Distribution

Performa maksimal suatu rotor blade menghendaki sisi chord dengan

bentuk hiperbol. Biasanya hal ini dihindari dengan tujuan untuk mempermudah

dalam menyusun disain serta dalam pembuatannya sehingga menjadi berbentuk

trapezoidal. Perubahan yang dilakukan menyebabkan penurunan coefficient of

power akan tetapi tidak begitu besar seolah-olah merupakan deviasi dari nilai

maksimum yang didapatkan dari performa rotor blade.

9. Blade Thickness Distribution

Distribusi tebal blade secara kuat sangat dipengaruhi oleh kebutuhan

kekuatan struktur, untuk mengantisipasi gaya-gaya yang bekerja pada blade

yaitu momen bengkok akibat dari drag maupun lift force, gaya centrifugal akibat

putaran.

10. Blade Twist Distribution

Yang dimaksud dengan distribusi blade twist adalah perubahan sudut

kemiringan airfoil mulai dari ujung blade hingga pada bagian pangkal.

Perubahan ini dilakukan untuk mendapatkan nilai maksimum dari kerja rotor.

Pada umumnya twist angle pada bagian ujung mempunyai nilai kecil dan

selanjutnya akan semakin besar bila mendekati pangkal.

2.2.1 Airfoil NACA 4415

National Advisorry Cometee for Aeronautics (NACA) adalah sebuah badan

yang membidangi kedirgantaraan di negara Amerika. Unit ini merupakan agen

federal yang dimiliki pemerintah Amerika, dimana didirikan pada 3 Maret 1915.
NACA mempunyai beberapa produk diantaranya adalah (Frank Bertagnolio,dkk,

2001) :

1. NACA duct, berupa produk riset dan pengembangan.

2. NACA Cowling, yaitu product intake manifold yang digunakan untuk

kebutuhan otomotif.

3. NACA airfoil, yaitu produk kedirgantaraan dalam bidang airfoil dan

dikembangkan lebih lanjut untuk turbin angin.

Salah satu produk airfoil yang dihasilkan adalah NACA 4415 yaitu airfoil

empat digit yang lazim digunakan dalam pengembangan sudu turbin angin. NACA

4415 ini memuat kode terhadap airfoil yaitu bahwa airfoil dengan berpedoman pada

seri ini akan :

a. Mempunyai sumbu memanjang dengan jarak terhadap leading edge sebesar

40% dari panjang chamber.

b. Mempunyai maximum thickness sebesar 15% dari panjang chamber.

c. Mempunyai angle of attack sebesar 40.

Untuk memperjelas uraian di atas berikut ini dicantumkan gambar airfoil

NACA 4415, yaitu sebagai berikut :

Gambar 2.5 Ketentuan Dimensi Airfoil NACA 4415

Sumber : http://www.accessscience.com
2.2.2 Dasar perhitungan sudu turbin

Penentuan diameter rotor dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa

parameter diantaranya besar daya yang ingin dihasilkan, rated wind speed, cut-in

speed, dan pertimbangan lain yang berkaitan dengan keindahan, ketersediaan lahan,

dan lainnya :

1. Kebutuhan Energi Listrik KWH/tahun

kebutuhan energy per tahun dari masing – masing rumah berbeda, Untuk

itu dicari kebutuhan energy rumah rata-rata dengan melakukan estimasi kebutuhan

tiap rumah. Estimasi kebutuhan tiap rumah dapat dihitung pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.2 Estimasi Kebutuhan Energi Tiap Rumah

No Barang Power (Watt) Jumlah Pemakaian Total Energi

(Hours) (kWH/day)

1 Lampu 10 3 5 0,15

2 Lampu 7 2 5 0,070

3 Tv 30 1 5 0,15

Total 0,370

Dari tabel diatas, diperoleh 0,370 kWH/day untuk setiap satu rumah. Penentuan

kebutuhan energi tiap rumah akan mempengaruhi perhitungan diameter turbin

angin.
2. Perhitungan Kebutuhan Energi Per tahun

Turbin angin ini dapat menghasilkan energy untuk beberapa rumah. Maka total

kebutuhan energy yang diperoleh adalah :

Kebutuhan energi tiap rumah kWH/day x jumlah rumah (rumah)

Jika dibutuhkan total kebutuhan energy untuk 1 tahun. Maka dapat dihitung :

Kebutuhan Energi keseluruhan x 365 (1 Tahun)

Sedangkan energy yang tersedia per tahun dapat diperoleh (Sugiarmaji,1981) :

𝟏
P = 𝟐 x Cp x ρ x v3

Keterangan :

P = Energi yang tersedia (Watt)

Cp = Koefisien daya rotor (Coefficient of Power)

ρ = Massa jenis udara (kg/m3)

v = kecepatan angin yang dihitung selama 1 tahun berdasarkan survei

(m/s)

Jika energi yang tersedia masih dalam satuan Watt/m2, untuk menjadi

kWH/m2.year maka :

P x 24 x 365 = … kWH/m2
3. Energi yang Tersedia KWH/m2

Kecepatan angin rata-rata di Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan di

Amerika maupun Eropa. Oleh karena itu kecepatan angin rancangan rotor turbin

angin diharapkan lebih kecil dari 12 m/s. Penentuan kecepatan angin rancangan

untuk rotor turbin angin Indonesia juga masih dipengaruhi oleh tempat atau daerah

dimana turbin angin akan dipasang. Secara umum daerah pemasangan turbin angin

dapat dibagi menjadi 2, yaitu daerah daratan dan daerah pantai. Pada umumnya

daerah pantai mempunyai kecepatan angin rata-rata lebih tinggi dibandingkan

daerah daratan. Rotor turbin angin yang akan dipasang di daerah pantai Indonesia

dapat dirancang pada kecepatan angin rancangan 3 m/s s.d. 6 m/s. Data kecepatan

angin wilayah ditunjukkan pada gambar di bawah ini (Harijono Djojodihardjo &

Darwin Sebayang,1981) :

Tabel 2.2 Values Of k,c, ṽweibull and ṽcalc.


NO. SITE METHOD* k C (m/sec) ṽweibull (m/sec) ṽcalc. (m/sec)

1 SUMBAWA BARAT 1 2.85 3.40 3.77 3.42

2 1.55 3.80

3 1.75 3.1

2 CILAUT- EUREUN 1 2.1 4.34 5.82 3.82

2 1.92 4.32

3 1.7 6.1

3 PENFUI 1 1.44 5.72 5.06 5.19

2 1.49 5.7

3 1.49 5.6

4 DENPASAR 1 1.6 4.46 3.42 3.99

2 1.7 4.48

3 1.57 3.8

5 MADIUN 1 1.7 4.83 5.47 4.30


2 1.7 4.82

3 1.6 4.5

6 KALIANGET 1 1.8 3.69 3.07 3.28

2 1.35 3.57

3 1.7 3.4

Berdasarkan gambar diatas, kecepatan angin rancangan dipilih pada kota

madiun dikarenakan lebih dekat dari kota semarang. Kecepatan rancangan angin di

madiun 4,30 m/s akan membutuhkan diameter rotor yang jauh lebih besar. Dengan

demikian, pemilihan rancangan 4,30 m/s untuk daerah daratan Indonesia dianggap

cukup masuk akal. Ketersediaan per tahun juga diperlukan dalam pembuatan rotor

turbin angin. Energy yang diperlukan dapat dilihat pada gambar dibawah (Harijono

Djojodihardjo & Darwin Sebayang,1981) :

Tabel 2.3 Annual Specipic Energi At Selected Sites In Indonesia, In KWH/m2


No SITE YEAR ANNUAL SPECIFIC
ENERGI/ (ESP)
1 TERNATE 1978 227.1
2 SUMBAWA BESAR 1977 190.2
3 DENPASAR 1977 320.6
4 KALIANGET 1977 247.5
5 BAWEAN 1977 140.5
6 KUPANG 1977 1126.3
7 CILACAP 1978 306.8
8 RANAI 1978 785.7
9 CILAUT EUREUN 1977 841.9
10 ISWAHYUDI 1973-1979 493.2
11 MAUMERE 1977 389.9
12 JAKARTA 1978 228.3
13 REMBIGA 1978 255.1
14 SURABAYA 1978 149.0
15 KAIMANA 1977-1979 389.8
16 KIJANG 1976-1979 181.7
17 TAREMPA 1977 407.1

Berdasarkan gambar diatas, Pemilihan kebutuhan energy tersedia yang

paling tepat adalah pada kota Jakarta. Pemilihan energy yang tesedi di Jakarta

sangat tepat dikarenakan pantai Jakarta berhadapan langsung dengan pantai

semarang. Kebutuhan energy di Jakarta adalaah 228,3 kWH/m2.

4. Perhitungan Diameter

Dari persamaan diatas, maka luas rotor dapat dihitung (Sugiarmaji,1981) :

𝒌𝒆𝒃𝒖𝒕𝒖𝒉𝒂𝒏 𝒆𝒏𝒆𝒓𝒈𝒊 𝒑𝒆𝒓 𝒌𝑾𝑯/𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏


𝐀=
𝒆𝒏𝒆𝒓𝒈𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒅𝒊𝒂 𝒑𝒆𝒓 𝒌𝑾𝑯/𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏. 𝒎𝟐

Dalam kasus rotor sumbu horizontal, diameter rotor menjadi:

𝟒
𝑫 = √𝝅 A

2.3 Pembuatan Rotor

Pembuatan rotor dimulai dari menentukan diameter rotor blade. Perhitungan

diameter rotor blade dicantumkan pada bab III. Setelah diameter rotor sudu, tahap

selanjutnya adalah pembuatan desain airfoil. Setelah desain terbentuk, dilakukan

rencana pembuatan cetakan dan melakukan pengecoran. Tahap pembuatan cetakan

dibahas pada pembahasan dibawah:


2.3.1 Pembuatan Cetakan

Proses pembuatan cetakan dimulai dari proses pembuatan cetakan

awal sampai dengan pencucian blade. Semua proses pembuatan cetakan akan

dibahas lebih lanjut dibawah ini:

1. Pembuatan Adonan Semen

Pembuatan cetakanblade pertama membuat susunan kayu yang di

bentuk persegi panjang sebagai wadah untuk pembuatan cetakanblade.

Setelah Inti cetakan disusun dengan penyanggah kayu untuk posisi tengah

pada balok kayu tersebut, lakukan pengisian pasir pada setengah bagian dari

kayu, lapisan selanjutnya menggunakan adonan pasir dan semen yang

berfungsi untuk penahan cetakan bawah agar posisi Inti cetakan tidak

bergeser dan sebagai landasan cetakan bagian bawah. Selanjutnya digunakan

kelereng sebagai nok yang berguna agar pada saat pembuatan pada sisi blade

yang sebenarnya tidak bergeser dan posisi tepat.

2. Pembuatan Cetakan Bagian Bawah

Setelah itu, pembuatan cetakan bawah dengan langkah awal yaitu

pelapisan pertama dengan menggunakan Wax.Wax yang digunakan

merupakan Wax khusus untuk cetakan komposit yaitu mirror glaze buatan

Amerika. Wax berfungsi agar pada saat pelepasan cetakan lebih mudah dan

tidak lengket.Selanjutnya pelapisan menggunakan resin Resin BQTN 157

yang dicampur dengan pewarna kuning yang fungsinya agar dapat dibedakan

antara cetakan dengan blade yang akan di buat.

Selanjutnya pelapisan menggunakan 8 lapisan yaitu lapisan dengan

menggunakan resin Resin BQTN 157 yang dicampur dengan katalis, katalis
berfungsi sebagai pengeras lapisan yang akan dicampur dengan resin BQTN

157. Proses selanjutnya didiamkan sampai kering hingga cetakan terbentuk

sempurna.

Selanjutnya dilakukan pembongkaran pada balok kayu untuk

mengangkat cetakan bawah, agar proses selanjutnya dapat dilakukan

dengan mudah.

3. Pembuatan Cetakan Bagian Atas

Selanjutnya adalah pembuatan cetakan atas, prosesnya sama dengan

proses poembuatan cetakan bawah dengan menggunakan 8 lapisan komposit

dengan menggunakan bahan dan alat yang sama pada proses pembuatan

cetakan bawah.

4. Pembongkaran dan Pengeboran Cetakan Bagian Atas dengan Bawah

Selanjutnya, proses pembongkaran cetakan atas dan bawah, lalu

kedua cetakan tersebut dijemur terlebih dahulu agar mudah dilepas antar

keduanya. Setelah dijemur kemudian cetakan di pisahkan yang kemudian

akan dicuci dengan sabun agar PVA (Polyvinyyl Alcohol) yang melekat pada

cetakan mudah hilang. Selanjutnya proses perataan sisi pada cetakan agar

tidak berbahaya pada saat pembuatan blade karena komposit tersebut sangat

tajam. Selanjutnya adalah pengeboran pada sisi cetkakan yang digunakan

untuk penyatuan cetakan atas dan bawah pada saat pembuatan blade.

5. Pencucian Cetakan Blade


Pencucian dilakukan dengan cara membersihkan bagian cetakan atas dan cetakan

bawah, pencucian menggunakan air dengan sabun cuci hingga bersih agar saat

pembuatan rotor blade lebih mudah dilakukan.

2.3.2 Rencana Pengecoran

Setelah cetakan blade terbentuk, langkah selanjutnya adalah adalah

melakukan rencana pengecoran. Beberapa langkah dalam melakukan rencana

pengecoran adalah:

1. Pemilihan Bahan

Proses awal dari rencana pengecoran adalah pemilihan bahan dan cara

pengolahan bahan tersebut. Bentuk rotor yang akan dibuat menggunakan bahan

dasar fiber. Bahan yang diperlukan meliputi: resin BQTN, woven roving, mat,

Dept OZ, katalis, talk, dan bahan tambahan lain. Penjelasan proses pemilihan

bahan dijelaskan pada gambar dibawah:

Gambar 2.6 Pemilihan Bahan


2. Rencana Pemasangan Inti Pada Rotor Blade

Pemasangan inti pada rotor blade hanya dilakukan ¾ bagian dari rotor

sudu. Pemasangan inti blade dijelaskan pada gambar dibawah :

Gambar 2.7 Rencana Pemasangan Inti Blade

3. Rencana Pemasangan Serat pada Rotor Blade

Perencanaan serat pada rotor blade berfungsi untuk mengetahu jarak dan

berapa lapis serat yang akan dipasang. Rencana pemasangan serat pada rotor

blade dijelaskan pada gambar dibawah:

Gambar 2.8 Rencana Pemasangan serat


2.3.3 Pengecoran Rotor Blade

Proses pengecoran rotor blade dimulai dari proses pemberian wax pada

cetakan sampai proses finishing. Urutan proses pengecoran rotor blade

berdasarkan pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.9 Urutan Proses Pengecoran

Sudu yang digunakan adalah airfoil NACCA 4415. Adapun bentuk airfoil

nacca 4415 adalah sebagai berikut:

Gambar 2.10 Bentuk Airfoil NACCA 4415

Setelah langkah pemberian wax, langkah selanjutnya adalah pelapisan

serat pengecoran. Serat yang digunakan adalah Dept OZ, woven roving, dan matt.

Sedangkan sebagai bahan pengikatnya adalah dengan menggunakan resin dan


katalis dengan perbandingan 1000 ml : 25 ml. langakah pengecoran adalah

sebagai berikut :

1. Pemasangan Serat Cetakan Atas Bawah

Gambar 2.11 Pemasangan Serat Pada Cetakan

2. Pemberian Resin dan Katalis

Gambar 2.12 Pemberian Resin dan Katalis


3. Pemasangan Flanges Hub

Gambar 2.13 Pemasangan Flangges Hub

4. Penyeratan Kembali

Gambar 2.14 Penyeratan Kembali

5. Penggabungan cetakan

Gambar 2.15 Penggabungan Cetakan


6. Pelepasan Cetakan dan Finishing

Gambar 2.16 Pelepasan Cetakan dan Finising


BAB III

METODOLOGI

3.1 Desain Airfoil

3.1.1 Perhitungan Desain Rotor Blade

Dalam bab ini akan dibahas tahap–tahap pembuatam rotor blade. Untuk

menentukan rancangan pembuatan rotor blade ini harus dilakukan pembuatan

desain rotor blade terlebih dahulu. Desain rotor blade yang digunakan adalah

airfoil NACCA 4415 dan bersumbu horizontal. Setiap desain rotor mempunyai

kelebihan dan kekurangan. Kelebihan jenis turbin ini, yaitu dilengkapi dengan

“automatic pitch blade control”, kekurangannya, yaitu memiliki desain yang rumit.

Tahap pertama dari menentukan perhitungan desain rotor blade adalah menentukan

diameter rotor blade dan perhitungan dimensi sudu. Perhitungan desain rotor blade

tersebut akan dijelaskan pada langkah-langkah dibawah ini

3.1.1.1 Penentuan Diameter Rotor Blade

Penentuan diameter rotor dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa

parameter diantaranya besar daya yang ingin dihasilkan, rated wind speed, cut-in

speed, dan pertimbangan lain yang berkaitan dengan keindahan, ketersediaan

lahan, dan lainnya

Luas rotor memiliki rumus:

A= kebutuhan energi per kWh/tahun


energi yang tersedia per kWh/tahun x m2

Prakiraan kebutuhan energi listrik yang dikonsumsi per tahun dimisalkan

untuk 250 rumah dengan beban berupa 3 buah lampu 35 watt, 4 buah lampu 20
watt dan 1 buah TV 114 watt, kebutuhan ini hanya sebagai perkiraan kebutuhan

listrik untuk data perhitungan, berikut data kebutuhan listrik di tempat terpencil

ditunjukkan pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Estimasi Kebutuhan Energi Tiap Rumah

Pemakaian Total Energi


No Barang Power (Watt) Jumlah
(Hours) (kWH)

1 Lampu 35 3 6 0,63

2 Lampu 20 4 12 0,96

3 Tv 114 1 9 1,03

Total 2,62

Dari tabel diatas, jika dijadikan dalam satuan kW untuk tiap 1 hari, maka diperoleh:

2,62kWH⁄ = 0,1091 kW
24

Turbin angin ini dapat menghasilkan energi untuk 250 rumah. Maka total

kebutuhan energi yang diperoleh adalah:

0,1091 kW x 250 (rumah) = 27,278 kW

Diperoleh untuk 1 tahun dalam maka:

27,278 kW x 360 = 9820 kWtahun

Sedangkan energy yang tersedia per tahun dapat diperoleh:


1
P = 2 x Cp x A x ρ x v3
1
P = 2 x 0,25 x 1 x 1,125 x 4,53
= 12,81 Watt/m2

Keterangan :

V = kecepatan rata-rata angin di pantai utara Pulau Jawa adalah antara 4 s/d 5

diambil 5 m/s (Darwin Sebayang,1981)

Energi yang tersedia masih dalam satuan Watt/m2, untuk menjadi kWh/m2 x tahun

maka:

𝑊𝑎𝑡𝑡 𝑘𝑊
12,81 Watt/m2 x 24 x 360 = 110678 .year = 110,67. 𝑚2 .year
𝑚2

Dari persamaan diatas, maka luas rotor dapat dihitung:

9820 𝑘𝑊/𝑦𝑒𝑎𝑟
A=
𝑘𝑊
110,67. 2 . 𝑦𝑒𝑎𝑟
𝑚

A = 88,73m2

Dalam perhitungan diameter rotor sumbu horizontal dapat ditulis:

4
𝐷 = √𝜋 A

4
𝐷 = √𝜋 88,73 m2

D = 10m

3.1.1.2 Perhitungan Dimensi Sudu

Perhitungan diameter sudu dilakukan melalui tahapan perhitungan putaran

rotor, perbandingan kecepatan sudu terhadap kecepatan angin dan perhitungan

airfoil dilakukan pada bagian ini. Perhitungan blade dilakukan berdasarkan ukurn
blade yang telah dihitung sebelumnya yaitu diameter rotor sebesar 10m, atau jari

jari 5m. Diperhitungkan putaran sudu mencapai sebesar 40 rpm pada kecepatan

angina 5m/detik. Tahapan perhitungan dilakukan sebagai berikut:

1. Kecepatan tangensial ujung sudu (vtip) =

Vtip = 𝜋 Dn/ 60

Vtip = 3,14 . 10 . 40/ 60

Vtip = 20,93 m/det

Diambil menjadi 20 m/det.

2. Perbandingan kecepatan ujung sudu (Vtip) dengan kecepatan angin (Vangin) =

λ = Vtip / Vangin
𝑚 𝑚
λ = 20 𝑠 / 5 =4
𝑠

Gambar 3.1 Pembagian Airfoil menurut jari jari sudu


4. Nilai λ untuk setiap penampang

Setelah mendapatkan nilai perbandingan antara kecepatan ujung sudu

dengan kecepatan angin (λ0) selanjutnya nilai λ0 dimasukkan ke persamaan λr = λ0

x r / r0 untuk mendapatkan nilai λr pada setiap jari jari, sebagaimana ditunjukkan

pada tabel 3.2.

Tabel 3.2Menghitung Nilai λ

r 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

λr 4 3,64 3,28 2,92 2,56 2,2 1,84 1,48 1,12 0,76 0,4

5. Menghitung sudut total

Nilai λr yang telah didapatkan selanjutnya dimasukkan kepersamaan Ø =

2/3 Arc tan(1/λr) untuk mendapatkan besarnya sudut total, sebagaimana

ditunjukkan pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Menghitung Sudut TotalØ

r 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Ø 9,357 10,29 11,36 12,67 14,29 16,37 19,11 22,81 27,97 35,35 45

6. Menghitung Setting Angle

Nilai sudut total yang didapatkan dimasukkan kedalam persmaan (β) = Ø –

α. Dimana α = angle of attack diambil 5,2°, nilai Ø ditunjukkan pada tabel 3.4

Tabel 3.4 Menghitung Setting Angle (β)

r 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

β 4,15 5,09 6,16 7,47 9,09 11,17 13,91 17,61 22,77 30,15 40,26
7. Menghitung Chord

Setelah nilai Ø didapatkan berikutnya mencari nilai chord dengan rurmus

(C) = (8 𝜋r/BxCl0) (1- cos Ø) dimana Cl0 diambil 0,93. Nilai chord ditunjukkan

pada tabel 3.4.

Tabel 3.5 Menghitung Chord (C)

r 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

c 0,6 0,67 0,74 0,81 0,88 0,95 1,02 1,09 1,16 1,23 1,31

8. Linearized Blade Chord (C)

Linearized blade chord nantinya digunakan sebagai nilai dalam pendesainan

blade, nilai linearized blade chord ditunjukkan pada tabel 3.5.

Tabel 3.6 linearized Blade Chord (C)

r 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

c 0,4 0,43 0,46 0,49 0,52 0,55 0,58 0,61 0,64 0,67 0,7

40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70

9. Linearized setting Angle (β)

Linearized setting Angle (β) terletak pada 10% dari total panjang Linearized

blade chord dari leading endge, nilai Linearized setting Angle (β) ditunjukkan pada

tabel 3.6.

Tabel 3.7 Linearized setting Angle (β)

r 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

c 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45
10. Airfoil setiap penampang (0 sd 10)

Airfoil dihitung setelah langkah linearized pada chord. Perhitungan airfoil

menggunakan program excel, untuk penampang 0 sampai 10 ditunjukkan pada tabel

3.10. Tabel 3.8 merupakan persentasi ntuk setiap penampang dari 0 sampai 10,

diambil contoh untuk airfoil dengan panjang chord 40 cm, sebagaimana

ditunjukkan pada gambar 3.2.

Tabel 3.8 AIRFOIL NACCA 4415

Prosentase Chord (X) dalam %

Y(%)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Upper 0 7,84 10,25 10,92 11,25 10,53 9,3 7,63 5,55 3,08 0

Lower 0 -3,98 -4,15 -3,98 -3,75 -2,72 -2,14 -1,55 -1,03 -0,57 0

(Symscape, 2007)

Gambar 3.2 Bentuk Airfoil dari Panjang Chord 40 cm


Berdasarkan dari tabel 3.9, data Yupper danYlower dihitung dari program excell.

Tabel vertikal menunjukkan data upper dan lower sedangkan tabel horizontal

menunjukan presentase dari chord o sampai dengan 10 atau letak titik untuk

menentukan tebal chord. Tabel 3.9 merupakan perhitungan asli. Namun dalam

aplikasinya dirasa hasil perhitungan airfoil yang didapat terlalu besar, sehingga

beberapa faktor dari segi ekonomis dan kemudahan dalam pembuatan dirasa sangat

Tabel 3.9 Data Yupper danYlower

kurang, untuk mengatasi hal ini maka dilakukan linearized. Linearized yaitu dengan

memasukan perhitungan airfoil dari panjang chord lain dan ditambahkan kedalam

perhitungan asli agar lebih ekonomis dan mudah dibuat, dan tentu tetap
mempertahankan bentuk airfoil dan kekuatan blade itu sendiri karna biasanya

dalam pembuatan blade memungkinakan adanya gabungan 3 airfoil, namun dalam

aplikasinya panjang chord yang digunakan untuk membuat blade tetaplah panjang

chord yang semula. Adapun hasil dari perhitungan blade yang telah dilinearized

ditunjukkan pada tabel 3.10.

Tabel 3.10 Data Yupper danYlower Setelah Dilinearized

3.1.2 Aplikasi Desain

Setelah semua desain jadi, kemudian desain tersebut diprint 1:1 dan

dipotong sesuai bentuk. Langkah selanjutnya adalah gambar yang sudah dipotong
tersebut ditempelkan pada papa triplek yang memiliki tebal 3 mm dan digaris sesuia

bentuk airfoil. Ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Proses Pemotongan Triplek

Setelah airfoil digambarkan pada papan triplek, langkah selanjutnya adalah

dilakukan pemotongan papan sesuai gambar airfoil tersebut. Bentuk jadi papan

triplek yang sudah dipotong ditunjukkan pada gambar 3.4.

Gambar 3.4 Bentuk Airfoil yang sudah dipotong

3.2 Pembuatan Cetakan Blade

Hasil perhitungan pada sub bab 3.1 dan desain yang sudah di potong dan

ditempelkan pada triplek sebagaimana pada sub bab 3.1.2 maka langkah
selanjutnya adalah pembuatan cetakan blade. Pembuatan cetakan blade ini

menggunakan papan triplek yang berukuran 18 mm yang disusun sesuai dengan

desain yang sudah dibuat. Kemudian cetakan tersebut dilapisi dengan

menggunakan seng setebal 4 mm. Pembuatan cetakan blade tersebut dimulai dari

perencanaan desain sampai dengan persiapan mencetak blade, terdiri dari beberapa

tahapan yaitu :

3.2.2 Penyusunan Airfoil

Cetakan blade yang digunakan sebagai dasar dalam mengecor blade

merupakan gabungan dari airfoil-airfoil yang telah dibuat, disusun dari ukuran

chord terkecil (R0) sampai dengan chord yang terbesar (R10) sebagaimana

ditunjukkan pada gambar 3.5. Dalam proses pengerjaannya kami menggunakan

software autocad tahun 2016 sebagai media pembuatan desain. Alasan penggunaan

autocad adalah pengoperasiannya yang mudah dan sangat mempermudah proses

pengerjaan.

Gambar 3.5 Urutan Airfoil


Cara penyusunan airfoil adalah dengan menarik garis lurus pada bagian

depan chord dan letak masing masing chord menyesuaikan pada garis lurus ini.

Jarak antara satu airfoil dengan yang lainnya adalah 450 mm sehingga total panjang

blade adalah 4500 mm atau 450 cm, dan 50 cm sisanya adalah untuk hub yang mana

akan dibahas pada lain subbab. Susunan ini yang nantinya akan menjadi rangka

utama cetakan blade, dan susunan ini masih berupa gabungan antara bagian upper

dan lower blade sebelum nanti pada langkah selanjutnya akan dipisahkan setiap

bagiannya.

3.2.3 Pembuatan Upper dan Lower Cetakan

Setelah chord tersusun dari yang terkecil sampai terbesar, langkah

selanjuatnya adalah pemisahan bagian upper dan lower cetakan blade, yaitu dengan

memisahkan chord tepat pada garis tengan gambar sebagaimana ditunjukkan pada

gambar 3.6.

Gambar 3.6 Bagian Upper dan Lower Airfoil

Setelah semua airfoil diubah menjadi 2 bagian (upper dan lower), kembali

masing-masing bagian, baik upper dan lower dibuat sejajar berdasarkan garis bantu

lurus dan dihilangkan garis bantu vertical pada airfoil dan diambil hanya bentuk

airfoilnya saja, sehingga masing masing airfoil akan menjadi sekat airfoil. Sekat
airfoil untuk bagian upper ditunjukkan pada gambar 3.6. Sekat ini nantinya akan di

gunakan untuk tempat menempelkan seng dan aka di bahas dibab selanjutnya.

Gambar 3.7 Cetakan Sekat Airfoil Upper

Dengan keterangan 1 adalah sekat airfoil 0, 2 adalah sekat airfoil 1 dan

seterusnya sampai 11 adalah sekatr airfoil 10

Sedangkan untuk desain cetakan sekat lower ditunjukkan gambar 3.8.

Gambar 3.8 Cetakan Sekat Airfoil Lower


Ukuran dari masing-masing top dan bot (bottom) bagian upper dan lower

ditunjukkan pada tabel 3.10. Top dan Bot disini adalah merupakan garis bantu yang

nantinya akan digunakan dalam proses pembuatan cetakan yang sebenarnya

menggunakan triplek

Tabel 3.11 Ukuran Top dan Bot Sekat Arfoil (cm)


Sekat
Bagian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Airfoil

Upper Top 7,48 12,00 16,57 21,39 25,89 30,22 35,31 39,69 44,02 48,82 53,50

Bot 41,88 42,72 43,88 44,75 45,71 46,84 47,49 48,63 49,57 50,58 51,50

Lower Top 6,46 11,04 15,65 20,28 24,88 29,46 34,07 38,68 43,28 47,89 52,50

Bot 39,48 40,95 42,31 43,57 44,83 46,12 47,41 48,68 49,94 51,20 52,50

3.2.4 Cetakan Hub

Setelah cetakan bagian upper dan lower jadi, langkah selanjutnya adalah

penambahan cetakan bagian hub. Hub sendiri merupakan bagian disebelah ujung

blade setelah R10 yang nantinya akan menghubungkan blade dengan housing.

Sebagaimana upper dan lower, hub juga memiliki bagian upper dan lower, hanya

saja bentuk upper dan lower hub memiliki bentuk yang sama, hub sendiri memiliki

panjang total 50 cm dari R10, dan memiliki diameter tengan linkaran sepanjang 20

cm, gambar dari hub ditunjukkan pada gambar 3.9.

Gambar 3.9 Desain Hub


Dan jika disatukan dengan blade cetakan maka desain akhirnya ditunjukkan pada

gambar 3.10.

Gambar 3.10 Cetakan Blade beserta Hub

3.2.5 Desain Flanges Hub

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bawa hub adalah bagian blade yang

ersangkutan langsung dengan motor pada housing, hub memiliki ukuran panjang

total 520 mm, diameter dalam 160 mm, diameter luar 260 mm. Selain itu untuk

memperkuat blade ketika pengaplikasian kehousing, hub dilengkapi dengan lubang

mur sebnyak 16 buah berdiameter 10 mm dan memiliki jarak antar lubang 200 dan

terkahir untuk memperkuat struktur ditambah dengan besi horizontal dengan total

tinggi 200m dari dasar hub, gambar dari flanges hub ditunjukkan pada gambar 3.11.

Gambar 3.11 Desain Flanges Hub


3.3 Pemilihan Alat Dan Bahan

Untuk menentukan rancangan pembuatan rotor blade ini harus mengetahui

sifat sifat yang dimiliki oleh alat dan bahan-bahan yang akan digunakan dalam

pembuatan rotor blade. Sifat-sifat yang dimiliki oleh suatu alat dan bahan dapat

diidentifikasikan dengan menganalisa teori ataupun cara kerja alat dan bahan yang

akan dibuat maupun digunakan. Bahasan kali ini akan mengkaji tentang pembuatan

rotor blade dimana prosesnya harus membuat cetakan blade terlebih dahulu.

Namun dalam pembuatan rotor blade alat dan bahan harus memenuhi kriteria

sebagai berikut:

a. Alat yang digunakan harus dapat digunakan dengan maksimal dalam

pembuatan rotor blade.

b. Material bahan harus disesuaikan dengan kondisi kerja yang dibutuhkan.

c. Bahan yang akan digunakan harus tersaedia terlebih dahulu

Setelah rancangan pembuatan rotor blade dibuat, langkah selanjutnya

adalah pemilihan alat dan bahan yang akan digunakan sesuai dengan kriteria yang

telah ditentukkan dalam rancangan semula. Pemilihan alat dan bahan sebaiknya

diperhatikan kualitasnya, karena alat dan bahan yang baik akan berpengaruh pada

kualitas pembuatan rotor blade. Alat yang digunakan dalam pembuatan rotor balde

harus bekerja dengan normal supaya rotor blade tidak ada kecacatan waktu

pengerjaan. Pemilihan bahan juga harus memperhatikan harga dan kualitas supaya

pembuatan rotor blade menjadi maksimal dan efisien. Pemilihan bahan dan alat

yang digunakan dalam pembuatan rotor blade akan dijelaskan pada uraian dibawah

ini.
3.3.1 Alat- alat yang digunakan dalam proses pembuatan sudu dan cetakan

Pembuatan turbin angin sumbu horizontal menggunakan beberapa jenis

alat diantaranya:

a. Kunci Pas

Kunci pas digunakan untuk mengencangkan atau melepaskan mur dan

baut. Kunci pas ditunjukkan pada gambar 3.12.

Gambar 3.12 Kunci Pas


b. Obeng

Obeng digunakan untuk mengencangkan atau melepaskan mur dan baut

pada sudu dan hub. Obeng ditunjukkan pada gambar 3.13.

Gambar 3.13 Obeng ( + ) dan Obeng ( - )

c. Gerinda Tangan

Gerinda tangan digunakan untuk memotong bahan, yaitu plat alumunium

dan bahan – bahan lainnya. Gerinda tnagna ditunjukkan pada gambar 3.14.

Gambar 3.14 Gerinda Tangan


d. Bor Tangan

Bor (gambar 3.15) tangan digunakan untuk melubangi cetakan untuk

tempat masuknya baut agar dapat disatukan dengan rapat antara cetakan atas

dan cetakan bawah.

Gambar 3.15 Bor Tangan

e. Gunting

Gunting digunakan untuk memotong bahan-bahan yang digunakan

dalam pembuatan rotor blade. Gunting ditunjukkan pada gambar 3.16.

Gambar 3.16 Gunting


f. Meteran

Meteran digunakan untuk mengukur panjang atau diameter benda kerja

dalam pembuatan rotor blade. Meteran ditunjukkan pada gamabar 3.17.

Gambar 3.17 Meteran


g. Amplas

Amplas (gambar 3.18) adalah sejenis alat kerja yang terbuat dari kertas

atau kain yang telah ditambahkan dengan bahan yang kasar seperti butiran pasir

sehingga kadang-kadang disebut juga dengan kertas pasir. Amplas berfungsi

untuk membuat permukaan benda yang kasar menjadi lebih halus dengan cara

menggosokkan permukaan kasarnya ke permukaan suatu bahan atau benda.

Kasar dan halusnya amplas ditunjukkan oleh angka yang tercantum

dibalik permukaan amplas yang kasar. Semakin besar angkanya biasanya

menunjukkan semakin halus dan rapat susunan pasirnya. Sebagai contoh untuk

nomor-nomor amplas kain antara lain adalah nomor 0, nomor 1, nomor 11/2,

nomor 2, nomor 21/2, nomor 3 dan seterusnya. Sedangkan nomor-nomor pada

amplas kertas dan amplas gulungan misalnya adalah nomor 80, 100, 120, 150,

180, 240, 400, 500, 1000 dan seterusnya. Amplas yang digunakan adalah

amplas 2000 ( halus ) dan amplas kasar (1000).

Gambar 3.18 Amplas Kasar ( a ) dan Amplas Halus ( b )


h. Tali

Tali (gambar 3.19) digunakan untuk membuat jalur dan memandu garis

lurus untuk menata susunan airfoil dalam pembuatan inti.

Gambar 3.19 Tali


i. Jangka Sorong

Mengukur diameter luar dan dalam, ketebalan benda, panjang benda

kerja. Jangka sorong ditunjukkan pada gambar 3.20.

Gambar 3.20 Jangka Sorong

j. Mesin Bubut

Digunakan untuk membubut benda kerja, ditunjukkan pada gambar 3.21.

Gambar 3.21 Mesin Bubut


k. Mesin Las Listrik

Digunakan untuk mengelas benda kerja yang terbuat dari logam. Mesin

las ditunjukkan pada gambar 3.22.

Gambar 3.22 Mesin Las Listrik


l. Mesin Bor

Digunakan untuk membuat lubang pada benda kerja. Mesin ditunjukkan

pada gambar 3.23.

Gambar 3.23 Mesin Bor


m. Palu

Palu atau martil (gambar 3.24) adalah alat yang gunakan untuk

memukul/memberi tumbukan pada sebuah benda kerja. Palu digunakan untuk


memaku, memperbaiki suatu benda, menghancurkan suatu objek, serta

penempaan logam. Dalam penggunannya pada tugas akhir kami, palu

digunakan sebatas pada memasang paku dan/atau mencabut paku.

Gambar 3.24 Palu

n. Gergaji

Disini gergaji yang dipakai ada dua macam, yaitu gergaji kayu (gambar

3.25) dan gergaji besi (Gambar 3.26). Gergaji kayu digunakan untuk

memotong dan membelah triplek yang disediakan.

Gambar 3.25 Gergaji Kayu

Gergaji besi digunakan untuk memotong besi flanges hub dan lain-lain.

Gambar 3.26 Gergaji besi


o. Penggaris

Digunakan untuk menggaris dan menandai benda kerja. Penggaris

ditunjukkan pada gambar 3.27.

Gambar 3.27 Penggaris

p. Spidol

Digunakan untuk menandai benda kerja. Gambar spidol ditunjukkan

pada gambar 3.28.

Gambar 3.28 Spidol

3.3.2 Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cetakan

Pembuatan turbin angin sumbu horizontal menggunakan beberapa jenis

bahan diantaranya:

1. Mur dan Baut

Mur baut berfungsi (gambar 3.29) sebagai penguat dalam proses

penyatuan cetakan atas dan cetakan bawah pada saat proses pembuatan blade.

Gambar 3.29 Mur dan baut


2. Lem CA

Lem CA merupakan lem serbaguna yang digunakan untuk pengeleman

kayu triplek pada proses pembuatan inti blade. Gambar lem CA ditunjukkan

pada gambar 3.30.

Gambar 3.30 Lem CA


3. Kayu Trilpek

Kayu triplek (gambar 3.31) disini digunakan untuk pembuatan cort pada

inti blade dan untuk tumpuan cetakan. Tebal yang digunakan adalah 2 cm.

Gambar 3.31 Kayu Triplek

4. Seng

Seng (gambar 3.32) disini digunakan untuk membuat cetakan sudu. Tebal

seng yang digunakan adalah 4mm.

Gambar 3.32 Lembaran Seng


5. Paku dan Sekrup

Kegunaan paku dan sekrup (gambar 3.33) disini untuk menempelkan

benda kerja seperti triplek, seng, dll hingga menjadi cetakan. Panjang paku dan

sekrup yang digunakan adalah 2cm, 4cm, dan 5cm.

Gambar 3.33 Paku dan Sekrup

6. Kertas karton

Kegunaan kertas karton disini adalah untuk mengemal cetakan dan

ukuran tersebut di pasang pada lebaran seng dan dipotong, supaya seng waktu

dipasang sesuai ukuran dan tidak memotong lagi. Kertas karton ditunjukkan

pada gambar 3.34.

Gambar 3.34 Kertas Karton

7. Lem kayu (lem fox)

Lem kayu (gambar 3.35) disini digunakan sebagai perekat antar triplek

satu dengan yang lain.

Gambar 3.35 Lem Kayu


8. Solasi kertas

Sama halnya dengan solasi plastik, terbuat dari kertas dan memiliki 2

bagian, 1 bagian yang tidak lengket dan bagian lainnya yang lengket. Kegunaan

solasi kertas disini terdiri dari beberapa macam, yaitu untuk menempelkan kertas

karton, untuk menutup lubang bekas paku pada seng, dan lain-lain. Solasi kertas

ditunjukan pada gambar 3.36.

Gambar 3.36 Solasi Kertas

3.3.3 Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pengecoran

Pembuatan sudu ini menggunakan material komposit yang terdiri dari

beberapa unsur seperti serat (fiber) sebagai bahan pengisi sedangkan bahan

pengikatnya menggunakan resin dengan campuran katalis. Bahan yang digunakan

meliputi serat mat, woven roving, fiber cloth oz, yarn, resin, katalis, talk, wax, plat

besi.

1. Serat Kaca (Fiberglass)

Kaca serat (fiberglass) atau sering diterjemahkan menjadi serat gelas adalah

kaca cair yang ditarik menjadi serat tipis dengan garis tengah sekitar 0,005 mm -

0,01 mm. Serat ini dapat dipintal menjadi benang atau ditenun menjadi kain, yang

kemudian diresapi dengan resin sehingga menjadi bahan yang kuat dan

tahan korosi untuk digunakan sebagai badan mobil dan bangunan kapal. Dia juga

digunakan sebagai agen penguat untuk banyak produk plastik; material

komposit yang dihasilkan dikenal sebagai plastik diperkuat-gelas (glass-reinforced


plastic, GRP) atau epoxy diperkuat glass-fiber (GRE), disebut "fiberglass" dalam

penggunaan umumnya.

Pembuat gelas dalam sejarahnya telah mencoba banyak eksperimen dengan

gelas giber, tetapi produksi masal dari fiberglass hanya dimungkinkan setelah

majunya mesin. Pada 1893, Edward Drummond Libbey memajang sebuah pakaian

di World Columbian Exposition menggunakan glass fiber dengan diameter dan

tekstur fiber sutra. Yang sekarang ini dikenal sebagai "fiberglass", diciptakan

pada 1938 oleh Russell Games Slayter dari Owens-Corning sebagai sebuah

material yang digunakan sebagai insulasi. (Sumber :

http://spesialisfiber7.blogspot.co.id/2015/06/apa-itu-fiberglass.html , 2018/01)

Serat gelas dapat diproduksi dalam 2 bentuk yaitu bentuk filamen dan

staple. Titik leleh serat gelas pada umumnya sekitar 230°F (1260°C). Serat. gelas

merupakan bahan amorf dalam bentuk padatan ataupun cairan, serat gelas tidak

mempunyai stuktur kristalin dalam bentuk padatan atau sifat mengalir dalam bentuk

cairan.

Serat gelas tahan terhadap panas dan api, tidak terbakar, Tahan terhadap zat

kimia, serat tidak terserang atau terdegradasi oleh zat kimia, dan tidak terpengaruh

oleh jamur, bakteri ataupun serangga. Ketahanan terhadap kelembaban sangat baik,

serat gelas tidak menyerap kelembaban, tidak menggelembung,dan tidak mulur.

Tabel 3.12 Typical fiberglass reinforcements


Tensile
Type of strength Thickness weight
Structure Drape
Reinforment (lb/in2) (in) (oz/sqyd)
warp fill
Woven
1000 900 0,04 24,2 Tight Fair
roving
mat 140 160 varies 18 Open Good
fiber cloth oz 440 405 0,013 9,7 Open Good
Berikut beberapa serat gelas yang digunakan meliputi :

a. Mat 425 (Chopped Strand Mat)

Chopped strand Mat adalah jenis serat kaca dengan anyaman yang

diproduksi secara acak kebarbagai arah dan tidak beraturan. Serat kaca inilah

yang paling banyak digunakan oleh pengrajin fiberglass karena harga yang

relatif murah dan mudah digunakan.Jenis serat ini sangat cocok sebagai penguat

resin type polyester dan epoxy karena sudah mengandung bubuk pengikat yang

akan bereaksi apabila terkena resin. Kapasitas serap yang bisa mencapai

1½ ukuran beratnya membuat jenis serat kaca ini cukup kuat digunakan untuk

menopang beban besar. Mat yang digunakan adalah mat 425 yang artinya setiap

1kg mempunyai luas 4,25 m2. Perbandingan penggunaan resin dan mat ini yaitu

2 : 1. Biasana serat ini dipadukan dengan serat yang lebih kuat yaitu Woven

Roving Mat. (Sumber:http://www.kerajinankreatif.com/2017/11/jenis-kain-

serat-kaca-yang-populer. html , 2018/01) Gambar mat ditunjukkan gambar 3.37.

Gambar 3.37 Mat 425 untuk Layer


Proses pembuatan fiberglass Chopped strand Mat (gambar 3.38)

menggunakan tungku pembakaran yang besar untuk melelehkan pasir kaca atau

bahan campuran kimia secara perlahan hingga cair. Kemudian bahan cair

tersebut diproses melalui serangkaian lubang yang sangat kecil biasanya

berdiameter sekitar 9 mikrometer untuk membentuk filamen. Filamen-filamen

ini kemudian dipotong kecil-kecil secara tidak beraturan dan direkatkan menjadi

satu. (Sumber : http://fcfibreglass.com/fiberglass-serat-kaca/ , 2018/01).

Gambar 3.38 Proses pemotongan filamen yarn secara acak

b. Woven roving 200 (Woven Roving Mat)

Woven roving mat adalah jenis serat kaca yang diproduksi dengan

anyaman yang rapi dari dua arah yaitu horizontal dan vertikal dengan kekuatan
beban yang sama. Jenis serat kaca ini sering juga disebut type (0°/90°) mengikuti

sudut horizontal dan sudut vertikal yang dibentuk anyamannya yang berati kuat

menahan beban kedua arah tersebut dan lemah ke arah diagonal atau 45°. Tetapi

jenis serat kaca ini tetap banyak digunakan dan telah diuji kekuatannya dalam

perkapalan.

Sedangkan woven roving 200 (Gambar 3.39) atau disebut juga dengan

WR200 artinya setiap 1m2 mempunyai berat 200gram (Woven Roving 200gram

/ m²) dan mempunyai ketebalan 0,2mm. Kelebihan lain serat ini adalah

pemakaian resin yang relatif lebih kecil dibanding CSM yaitu 1:1 dan hal ini

menjadi pertimbangan bagi produsen peralatan dan kapal berbahan fiberglass

untuk tujuan komersial. (Sumber :

http://www.kerajinankreatif.com/2017/11/jenis-kain-serat-kaca-yang-

populer.html , 2018/01)

Gambar 3.39 Woven Roving 200


Tabel 4.13 Konstruksi kain woven roving
CWR CWR CWR CWR
200 400 600 800

Tex, warp 430-480 1008-1300 2200-2495


Weft 480-500 864-880 1760-2495

Thickness 0.2 0,4 0,6 0,8


(mm)

Moisture 1 1 1 1
(% max)

Oil Content 0.5-2 0.5-2 0.5-2 0.5-2


(%)

Density
(end/cm)
Warp 5.8 4.00±0.4 3.0±0.3 1.8±0.2
Weft 4.4 4.00±0.4 2.9±0.3 1.8±0.2

Breaking
Strength
(N/25
x 100mm)
warp (mm) 1256 1000 2300 2700
weft (mm) 1146 1000 1900 2600

Width (m) 1 1 1 1

Weight (g/m2) 200 400 600 800

(Sumber:http://lib.kemenperin.go.id/neo/download_artikel.php?id=137,2018/01)

Proses pembuatan fiberglass woven roving (gambar 3.40) menggunakan

tungku pembakaran yang besar untuk melelehkan pasir kaca atau bahan
campuran kimia secara perlahan hingga cair. Kemudian bahan cair tersebut

diproses melalui serangkaian lubang yang sangat kecil biasanya berdiameter

sekitar 9 mikrometer untuk membentuk filamen. Filamen-filamen ini kemudian

ditenun.

Gambar 3.40 Proses penganyaman serat kaca woven roving menggunakan wraping machine

c. Dept OZ (Cloth Fiberglass Mat)

Cloth Fiberglass Mat (gambar 3.41) hampir sama dengan woven roving

mat, mempunyai bentuk anyaman tipe (0˚/90˚) bedanya Cloth fiberglass ini

bentuk anyamannya lebih kecil lebih rapat dari woven roving mat. Sifatnya yang

sangat halus digunakan untuk lapisan luar atau finishing. Cloth fiberglass mat

memiliki kode dari 3 oz sampai 40 oz. Secara internasional, ukuran yang dipakai

adalah Oz atau Ons atau sekitar 28,35 gram untuk setiap ons-nya. Jadi jika bahan

cloth fiberglass memiliki kode 20 Oz artinya memiliki berat 20 ons (567 gram)
setiap m2. Cloth fiberglass mat ini juga memiliki sifat yang lebih kuat dari woven

roving, lentur dan anti korosi.

Gambar 3.41 OZ ( cloth fiberglass mat )

Proses pembuatan cloth fiberglass mat hamper sama dengan woven

roving. Pasir kaca dan bahan campuran kimia dilelehkan secara perlahan hingga

cair. Kemudian bahan cair tersebut diproses melalui serangkaian lubang yang

sangat kecil biasanya berdiameter sekitar 9 mikrometer untuk membentuk

filamen. Filamen-filamen ini kemudian ditenun tetapi profilnya lebih kecil dan

lebih rapat dari woven roving.

d. Yarn

Yarn (gambar 3.42) berupa bentuk benang yang lekat dihubungkan pada

filamen. Kegunaan yarn disini sebagai pngikat flanges hub dengan rotor sudu.

Proses pembuatan yarn yaitu dengan cara melelehkan pasir kaca atau

bahan campuran kimia secara perlahan hingga cair. Kemudian bahan cair

tersebut diproses melalui serangkaian lubang yang sangat kecil biasanya


berdiameter sekitar 17-25 mikrometer untuk membentuk filamen. Kemudian

fiamen ini digulung.

Gambar 3.42 yarn/ serat glass

2. Matriks / Resin Unsaturated Polyester Resin (UPR)

Unsaturated polyester resin (UPR) (gambar 3.43) merupakan jenis resin

termoset atau lebih populernya sering disebut polyester saja. UPR berupa resin cair

dengan viskositas yang relatif rendah, mengeras pada suhu kamar dengan

penggunaan katalis tanpa menghasilkan gas sewaktu pengesetan seperti banyak

resin termoset lainnya. Unsaturated Polyester Resin yang digunakan dalam

penelitian ini adalah seri Yukalac 157® BQTN-EX Series, di mana memiliki

beberapa spesifikasi sendiri. (Sumber : http://repository.unpas.ac.id/28718/ ,

2018/01)

Gambar 3.43 Resin BQTN 157( Resin Merah )


Tabel 4.14 Spesifikasi Unsaturated Polyester Resin Yukalac 157® BTQN-EX
Resin Satuan Nilai tipikal Catatan

Berat Jenis - 1,215 25˚ C


BarcolGYZJ 934-
Kekerasan - 40
1
Suhu distorsi
C 70
panas
Penyerapan air % 0,188 24 jam
suhu ruang % 0,466 7 hari
Kekuatan
Kg/mm2 9,4
fleksural
Modulus
Kg/mm2 300
fleksural
Daya rentang Kg/mm2 5,5
Modulus rentang Kg/mm2 300
Elongasi % 1,6
(Justus, 2001)

Catatan :

Kekentalan (Poise, pada 25 C ) : 4,5 – 5,0

Waktu gel (menit, pada 30oC) : 20-30

Lama dapat disimpan (bulan) : < 6, pada 25

3. Katalis Metyl Etyl Keton Peroksida (MEKPO)

Katalis (gambar 3.43) yang digunakan adalah katalis Methyl Ethyl Keton

Peroxide (MEKPO) dengan bentuk cair, berwarna bening. Fungsi dari katalis

adalah mempercepat proses pengeringan (curring) pada bahan matriks suatu

komposit. Semakin banyak katalis yang dicampurkan pada cairan matriks akan

mempercepat proses laju pengeringan, tetapi akibat mencampurkan katalis terlalu

banyak adalah membuat komposit menjadi getas. Penggunaan katalis sebaiknya

diatur berdasarkan kebutuhannya. Pada saat pencampurkan katalis ke dalam


matriks maka akan timbul reaksi panas (60o-90o). Perbandingan campuran resin dan

katalis adalah 1 liter : 10cc (0,01 L). (Sumber : http://repository.unpas.ac.id/28718/

, 2018/01)

Gambar 3.44 Katalis

Tabel 4.15 Pengaruh katalis terhadap kekuatan resin poliester


Percentage of catalyst ( % ) Tensile strenght (MN/mm)

1,00 19

1,10 21

1,20 23

1,30 26

1,40 25

1,50 26

1,60 31

1,70 31

1,80 32

1,90 30

2,00 26
4. Talc Fiberglass

Pengertian Talc (dibaca talek/talk) (gambar 3.45) adalah zat tambahan yg

berbentuk bubuk putih berfungi sebagai filler (pengisi) supaya adonan resin jd lebih

banyak,sedikit lebih lentur.

Talc terbuat dari campuran beberapa mineral alam. Selain digunakan untuk

fiberglass resin talc juga bisa digunakan untuk berbagai kegunaan diantaranya

untuk campuran pupuk,pembuatan kertas, pembungkus kabel, campuran karet ban,

cat, keramik dan lain lain.

Bentuk dari talc adalah butiran halus berwarna putih seperti kapur.Ukuran

standart untuk ukuran talc adalah mesh 200.

Komposisi penyusun talc adalah:

a) Silikon dioksida.

b) Magnesium Oksida

c) Kalsium Oksida

Saat ini banyak yg menganggap talc itu sama dengan kapur/kalsium

karbonat dan magnesium sulfat / gipsum padahal berbeda. Dalam ilmu resin,

penggunaan filler (pengisi) dapat berpengaruh terhadap hasil barang yg dibuat.

Adapun yg dapat dipengaruhi adalah warna, tekstur, kekutaan, kelenturan.

Talc ini juga digunakan sebagai bahan pengganti dempul plastik untuk

meratakan sudu turbin karna dari segi harga yang relatif terjangkau. Permukaan

yang tidak rata dan berpori-pori perlu dilakukan pendempulan. Tujuannya agar

permukaan fiberglass hasil cetakan menjadi lebih halus dan rata sehingga siap

dilakukan pengecatan. Dalam penggunaannya disarankan tidak melebihi 1 : 1 antara

resin dan talc karena dapat mengurangi kekerasan resin menjadi lebih lentur. Ketika
pencampuran talc dan resin adonan harus diaduk sampai rata agar tidak ada yang

menggumpal pada adonan tersebut. (Sumber : http://resin-

bekasi.blogspot.com/2014/01/ , 2018/01)

Gambar 3.45 Talk (extender)

5. Wax (Mould Relase Agent)

Ketika membuat produk dari cetakan atau cetakan itu sendiri, pemakaian

Mould Release Agent (gambar 3.46) adalah bagian yang sangat penting dalam

proses pembuatan. Mould Release Agent pada dasarnya mempunyai 2 fungsi

sebagai berikut:

1. Mould Release Agent berfungsi sebagai agen pemisah antara lapisan resin dan

permukaan cetakan, sehingga produk yang sudah kering sempurna dapat dilepas

tanpa timbul kerusakan pada produk maupun cetakan

2. Apabila Mould Release Agent diaplikasikan secara baik dan benar, maka hasil

produk jadi menjadi lebih tahan lama dan memiliki hasil permukaan yang high

gloss

Mould Release Agent membantu untuk mempertahankan bentuk yang

sempurna dari produk anda, dan menghindari kerusakan pada produk maupun

cetakan. Usaha yang dibutuhkan untuk memakai Mould Release Agent secara baik

dan benar, jauh lebih menguntungkan daripada biaya yang dapat ditimbulkan dari
kerusakan barang akibat hasil cetakan yang buruk maupun rusaknya cetakan.

(Sumber : http://tokofrp.com/main/category/29-mould-release-agents , 2018/01)

Gambar 3.46 Wax Mirror Glaze

6. Aseton

Aseton (gambar 3.47) juga dikenal sebagai senyawa berbentuk cairan yang

tidak berwarna dan mudah terbakar. Aseton merupakan keton yang paling

sederhana. Aseton larut dalam berbagai perbandingan dengan air, etanol, dietil

eter,dll. Aseton merupakan pelarut yang penting. Zat ini digunakan untuk

mencairkan resin apabila adonan terlalu kental yang akan mengakibatkan

pembentukan blade menjadi sulit dan lama dalam proses pengeringannya. Juga

sebagai pembersih alat kerja setelah digunakan

Gambar 3.47 Aseton


7. Plat Besi

Plat besi ini (gambar 3.48) digunakan untuk membuat flanges hub. Bahan

dari plat ini yaitu baja ST 40 dengan ketebalan 20mm, dimana baja ST 40 ini

termasuk baja karbon rendah dengan kandungan karbon kurang dari 0,3%. ST 40
menunjukan bahwa baja ini dengan kekuatan tarik ≤ 40 kg/mm2. (diawali dengan

ST dan diikuti bilangan yang menunjukan kekuatan tarik minimumnya dalam

kg/mm2).

Baja ST 40 ini secara teori mempunyai nilai kekerasan yang lebih rendah

dibandingkan dengan besi cor, dengan adanya perlit dan ferit karena perlit yang ada

lebih banyak dari pada ferit. (Sumber :

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/105/jtptunimus-gdl-wahyudic2a-5235-2-

bab2.pdf , 2018/01)

Gambar 3.48 Plat besi

8. Besi Pejal

Besi pejal (gambar 3.49) disini digunakan untuk membuat pegangan pada

Flanges hub. Besi yang dibutuhkan adalah berdiameter 6mm dan 10mm.

Gambar 3.49 Besi Pejal


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Proses Pembuatan Cetakan

Hasil dari desain cetakan pada Bab 3, Sub bab 3.2 tentang pembuatan

cetakan blade, maka selanjutnya akan diaplikasikan untuk membuat cetakan blade.

4.1.1 Pemasangan Cetakan Airfoil Bagian Dalam

Tahap selanjutnya setelah penggabungan cetakan bagian luar adalah

pemasangan cetakan airfoil bagian dalam.Sebelum pemasangan dilakukan cetakan

dipotong sesuai desain airfoil yang telah dibuat.

Pemotongan cetakan dilakukan dengan menggunakan gergaji. Setelah

cetakan terpotong, dilakukan pengahalusan dengan menggunakan gerinda listrik.

Potongan cetakan ditunjukkan pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Pemotongan Cetakan Berbentuk Airfoil


Setelah proses pemotongan selesai, dilakukan pemasangan airfoil yang

diurutkan sesuai desain yang telah ditentukan dengan jarak 45 cm setiap airfoil.

Pemasangan airfoil bagian dalam ditunjukan pada gambar 4.2.

Gambar 4.2 Pemasangan Sekat Bagian Dalam

4.1.2 Pemasangan Cetakan Flanges Hub

Tahap pertama pembuatan cetakan flanges hub adalah pemotongan triplek.

Proses pemotongan triplek dilakukan seperti pada pembuatan cetakan airfoil,

Tetapi bedanya adalah bagian dalam yang berbentuk lingkaran. Lingkaran tersebut

berdiameter 200 mm dan dilubangkan seperti pada desain cetakan flanges hub yang
telah dibuat. Pelubangan dibuat dengan menggunakan gergaji dan dihaluskan

dengan gerinda tangan. Proses pelubangan ditunjukan pada gambar 4.3.

Gambar 4.3 Pelubangan Cetakan untuk Flanges Hub

Setelah proses pelubangan selesai, triplek tersebut dipotong horizontal

menjadi dua bagian mengikuti garis tengah lingkaran untuk dipasang pada cetakan

upper dan lower. Tahap selanjutnya adalah penggabungan semua cetakan dan

dirangakai seperti pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 Penggabungan Semua Cetakan


4.1.3 Pemasangan Plat Seng Pada Cetakan

Sebelum pemasangan plat seng dilakukan, tahap pertama yang harus

dilakukan adalah pengecekan cetakan. Pengecekan cetakan dilakukan dengan

menggunakan benang yang ditarik dari ujung ke ujung. Setelah pengecekan selesai,

langkah selanjutnya adalah proses pengemalan yang dilakukan dengan

menggunakan kertas karton. Proses mengemal cetakan ditunjukkan pada gambar

4.5.

Gambar 4.5 Pengemalan Cetakan Menggunakan Kertas Karton

Proses pengemalan tersebut dilakukan supaya plat seng yang dipasang tidak

perlu dipotong lagi. Setelah pengemalan tersebut dilakukan, kemudian plat seng

dipotong sesuai ukuran dan dipasang pada cetakan. Tebal plat seng yang digunakan

adalah 0,4 mm. tahap selanjutnya plat seng dipasang dengan menggunakan paku
dan mengikuti bentuk cetakan. plat seng yang telah terpasang ditunjukkan pada

Gambar 4.6.

4.6 Pemasangan Plat Seng

4.1.4 Pengecekan Cetakan

Pengecekan cetakan (gambar 4.7) dilakukan supaya tidak terjadi kerusakan

atau kecacatan pada sudu yang nantinya akan dibuat. Pengecekan cetakan dilakukan

dengan cara penggabungan cetakan upper dan lower.

Gambar 4.7 Penggabungan Cetakan


Setelah cetakan digabungkan, tahap selanjutnya dilakukan pengecekan pada

samping cetakan apakah cetakan tersebut berongga apa sudah menempel dengan

baik. Setelah cetakan dicek dan hasilnya menempel dengan baik, cetakan tersebut

siap untuk dilakukan pengecoran.

4.2 Rencana Pengecoran

4.2.1 Fabrication Method

Agar memperoleh desain yang kompeten, perlu sekiranya mengetahui

bagaimana cara membuat proses fabrikasi yang mana backing body system material

dan plastic beton fiber glass yang telah di manipulasi di akhir produk. Fungsi

material backing body adalah sebagai kerangka pada blade dimana lapisan dari

kekuatan tulang fiberglass menjadi berlapis lapis.

4.2.2 Bahan coran

Beberapa jenis serat yang digunakan untuk membuat sudu, yaitu :

1. Mat 425 (Chopped Strand Mat)

Chopped strand Mat adalah jenis serat kaca dengan anyaman yang

diproduksi secara acak kebarbagai arah dan tidak beraturan. Serat kaca inilah

yang paling banyak digunakan oleh pengrajin fiberglass karena harga yang

relatif murah dan mudah digunakan.Jenis serat ini sangat cocok sebagai penguat

resin type polyester dan epoxy karena sudah mengandung bubuk pengikat yang

akan bereaksi apabila terkena resin. Kapasitas serap yang bisa mencapai

1½ ukuran beratnya membuat jenis serat kaca ini cukup kuat digunakan untuk

menopang beban besar. Mat yang digunakan adalah mat 425 yang artinya setiap

1kg mempunyai luas 4,25 m2. Biasana serat ini dipadukan dengan serat yang

lebih baik yaitu Woven Roving Mat.


2. Woven roving 200 (Woven Roving Mat)

Woven roving mat adalah jenis serat kaca yang diproduksi dengan

anyaman yang rapi dari dua arah yaitu horizontal dan vertikal dengan kekuatan

beban yang sama. Jenis serat kaca ini sering juga disebut type (0°/90°) mengikuti

sudut horizontal dan sudut vertikal yang dibentuk anyamannya yang berarti kuat

menahan beban kedua arah tersebut dan lemah ke arah diagonal atau 45°. Tetapi

jenis serat kaca ini tetap banyak digunakan dan telah diuji kekuatannya dalam

perkapalan .

Tabel 4.1 Konstruksi kain woven roving


CWR 200 CWR 400 CWR 600 CWR 800

Tex, warp 430-480 1008-1300 2200-2495

Weft 480-500 864-880 1760-2495

Thickness (mm) 0.2 0,4 0,6 0,8

Moisture (% max) 1 1 1 1

Oil Content (%) 0.5-2 0.5-2 0.5-2 0.5-2

Density (end/cm)

Warp 5.8 4.00±0.4 3.0±0.3 1.8±0.2

Weft 4.4 4.00±0.4 2.9±0.3 1.8±0.2

Breaking Strength

(N/25

x 100mm)

warp (mm) 1256 1000 2300 2700

weft (mm) 1146 1000 1900 2600

Width (m) 1 1 1 1

Weight (g/m2) 200 400 600 800


Sedangkan woven roving 200 atau disebut juga dengan WR200 artinya

setiap 1m2 mempunyai berat 200gram (Woven Roving 200gram / m²) dan

mempunyai ketebalan 0,2mm. Kelebihan lain serat ini adalah pemakaian resin

yang relatif lebih kecil dibanding CSM yaitu 1:1 dan hal ini menjadi

pertimbangan bagi produsen peralatan dan kapal berbahan fiberglass untuk

tujuan komersial.

3. Dept OZ (Cloth Fiberglass Mat)

Cloth Fiberglass Mat hampir sama dengan woven roving mat,

mempunyai bentuk anyaman tipe (0˚/90˚) bedanya Cloth fiberglass ini bentuk

anyamannya lebih kecil lebih rapat dari woven roving mat. Sifatnya yang sangat

halus digunakan untuk lapisan luar atau finishing. Cloth fiberglass mat memiliki

kode dari 3 oz sampai 40 oz. Secara internasional, ukuran yang dipakai adalah

Oz atau Ons atau sekitar 28,35 gram untuk setiap ons-nya. Jadi jika bahan cloth

fiberglass memiliki kode 20 Oz artinya memiliki berat 20 ons (567 gram). Cloth

fiberglass mat ini juga memiliki sifat yang lebih kuat dari woven roving, lentur

dan anti korosi.

4.2.3 Rencana pengecoran

Untuk mendapatkan struktur coran material komposit yang kuat dan

memiliki peforma yang baik perlu diadakanya rencana pengecoran untuk

mengetahui urutan urutan lapisan pada pengecoran komposit fiberglass blade turbin

angin. Pada lapisan ini serat OZ, woven riving, dan mat disusun sesuai layer yang

telah ditentukan, karena untuk mendapatkan kekuatan struktur yang optimal..

Dalam proses pengecoran ini luas permukaan bahan juga ditentukan sesuai dengan

luas permukaan pada sudu baik upper maupun lower,


luas permukaan tersebut telah kita hitung menggunakan autocad yang ditunjukan

sesuai pada gambar 4.9.

Gambar 4.9 Rencana Pengecoran

Dan dibawah ini merupakan urutan lapisan berdasarkan bahanya (gambar

4.10)

Gambar 4.10 Layer Pengecoran


Berikut urutan layer berdasarkan lapisan seratnya:

1. Layer 1

Pada proses pertama sebelum proses coran cetakan diberikan wax agar

blade tidak lenglet pada cetakan saat dibuka, lapisan pertama pada coran

yaitu OZ, OZ diberikan diseluruh permukaan cetakan baik upper dan

lower dari R0 sampai R12, di berikan OZ karena lapisan awal

merupakan lapisan paling luar pada badan blade sehingga dibutuhkan

bahan yang halus tetapi cukup kuat agar permukaan luar blade memiliki

permukaan yang halus dan mengkilat karena sifat dasar dari bahan ini

yaitu adanya ketahanan terhadap korosi jadi bagus untuk permukaan

paling luar. Gambar layer 1 ditunjukan pada gambar 4.11.

Gambar 4.11 Layer 1

2. Layer 2

Kemudian selanjutnya layer ke dua. Pada proses lapisan ke dua yaitu

menggunakan serat mat atau serat kaca. Seperti pada layer pertama ini,

serat mat ini di berikan pada seluruh penampang cetakan dari R0 sampai

R12 baik upper maupun lower. Fungsinya yaitu selain untuk menutupi

serat OZ pada lapisan pertama sebagai pengikat antar laisan juga


berfungsu untuk mendapatkan lendutan yang optimal. Gambar layer 2

ditunjukan pada gambar 4.12.

Gambar 4.12 Layer 2

3. Layer 3

Pada lapisan ke tiga yaitu menggunakan woven roving. Woven roving

pada lapisan ke tiga diberikan hanya selebar 10-15 cm pada posisi di

tengah tengah cetakan darir R0 sampai R 12. Fungsi woven roving pada

layer ke tiga ini berfungsi sebagai kekuatan struktur atau sebagai

kerangka tulang pada R0 sampai R12. Gambar layer 3 ditunjukan pada

gambar 4.13.

Gambar 4.13 Layer 3

4. Layer 4

Setelah proses pada layer 3, lapisan selanjutnya yaitu serat mat lagi

dan menutup seluruh bagian penampang cetakan termasuk menutupi


penuh layer ke tiga. Lapisan ke empat ini berfungsi untuk

mendapatkan struktur yang kuat tetapi juga memiliki ke fluktural yang

baik. Gambar layer 4 ditunjukan pada gambar 4.14.

Gambar 4.14 Layer 4

5. Layer 5

Kemudian pada lapisan ke lima yaitu woven roving lagi. Woven roving

ini hanya sepanjang R8 sampai R12. Lapisan ini sebagai kekuatan

struktur pada pangkal blade. Gambar layer 5 ditunjukan pada gambar

4.15.

Gambar 4.15 Layer 5

6. Layer 6

Pada lapisan ke enam hanya serat mat menutupi lapisan woven roving

pada layer ke lima, ysitu menutupi seluruh permukaan dari r8 sampai

dengan r9 seperti di tunjukan pada gambar 4.8, fungsinya sama yaitu


agar blade tetap memiliki fluktural yang optimal dan mendapatkan

kekuatan struktur yang lebih besar mendekati pangkal blade. Gambar

layer 6 ditunjukan pada gambar 4.16.

Gambar 4.16 Layer 6

7. Layer 7

Lapisan ke tujuh yaitu woven roving. Woven roving ini hanya selebar

10 – 15 cm dan di posisikan pada bagian kanan dan kiri sepanjang R7

sampai R8. Lapisan ini di fungsikan untuk struktur kekuatan terhadap

gaya dragforce dan gaya leftforce pada saat blade berputar karena titik

beratnya berada di antara R7 dan R8. Gambar layer 7 ditunjukan pada

gambar 4.17.

Gambar 4.17 Layer 7


8. Layer 8

Lapisan ke delapan hanya serat mat sepanjang R7 sampai R8 menutupi

seluruh penampang antara R7 dan R8. Fungsinya sama dengan lapisan

lapisan mat sebelumnya untuk pengikat dengan lapisan sebelumnya

agar mendapatkan kekuatan struktur yang optimal. Gambar layer 8

ditunjukan pada gambar 4.18.

Gambar 4.18 Layer 8

9. Layer 9

Pada lapisan ke sembilan yaitu woven roving lagi. Woven roving ini

diberikan pada penampang R10 sampai R12. Lapisan ini di fungsikan

sebagai struktur kekuatan karena gaya terbesar yang menyebabkan

blade patah berada pada pangkal blade karena akibat gaya centrifugal.

Gambar layer 9 ditunjukan pada gambar 4.19.

Gambar 4.19 Layer 9


10. Layer 10

Lapisan ke sepuluh merupakan lapisan paling akhir, pada lapisan ini

diberikan serat mat seperti pada lapisan ke dua yaitu seluruh penampang

dari r0 sampai r12 yang menutupi seluruh lapisan sebelumnya. Lapisan

terakhir ini di fungsikan untuk mendapatkan ketebalan coran yang

optimal dan juga sebagai penguat dari lapisan lapisan sebelumnya

karena sifat serat mat sendiri akan menjadi pengikat yang kuat setelah

tercampur dengan resin.

Gambar 4.20 Layer 10

4.3 Pembuatan Flanges Hub dan Proses Pengecoran

4.3.1 Pembuatan Inti Cetakan (Flanges Hub)

Bentuk inti pada cetakan dibuat dengan menggunakan plat besi dan besi

pejal yang sebelumnya sudah di desain bentuknya pada Autocad, kemudian

dilakukan pembuatan flanges hub atau disebut sebagai inti cetakan. Flanges hub

biasanya dihubungkan dengan rotor dan digunakan untuk mengatur posisi sudu

supaya kecepatan putarnya stabil. Berikut adalah langkah-langkah pembuatan

flanges hub:
1. Pemotongan Plat Besi

Langkah awal dari pembuatan flanges hub adalah pemotongan plat

besi (gambar 4.21). Tebal plat besi yang digunakan berukuran 20 mm dan

jenis besi ST. 40. Tahap pertama besi dipotong berbentuk lingkaran dengan

menggunakan las listrik berdiameter 260 mm sebanyak 3 buah. Setelah besi

dipotong, kemudian besi dilubangi bagian tengah dengan menggunakan las

listrik dengan diameter 160 m.

Gambar 4.21 Besi Sebelum dipotong

2. Pembubutan Plat Besi

Setelah besi dipotong dan dilubangi, kemudian besi dibubut

dibagian luar dan dalam supaya menjadi halus.


3. Pelubangan Plat Besi

Langkah selanjutnya besi dilubangi sebesar 10 mm dengan

menggunakan mesin bor listrik. Jarak pelubangan 3 mm dari tepi plat besi.

Pelubangan yang diberikan sebanyak 18 buah mengelilingi plat besi.

Kemudian plat besi dipotong menjadi dua bagian dengan menggunakan

gerinda potong dan hasil potongan tersebut di haluskan dengan

menggunakan gerinda. Hasil pengerjaannya ditunjukkan pada gambar 4.22.

Gambar 4.22 Besi yang sudah dilubangi

4. Pemasangan Besi Pejal Secara melingkar

Sebelum pemasangan besi pejal, dilakukan pelubangan dengan

diameter sebesar 10 mm. dalam pelubangan adalah sedalam 10 mm.

Pelubangan yang diberikan berjarak 20 mm mengelilingi plat besi dan

diameter jarak antar lubang adalah sebesar 194 mm. Langkah selanjutnya

besi di pasang tegak lurus secara bergantian dengan diameter 10 mm dan 6


mm. Panjang besi yang berdiameter 10 mm adalah sebesar 250 mm

sedangkan yang berdiameter 6 mm adalah sebesar 500 mm. Hasil dari

proses pengerjaan ditunjukkan pada gambar 4.23.

Gambar 4.23 Pemasangan Besi Pejal

5. Pengelasan Besi pejal

Setelah besi pejal dipasang, kemudian besi disambung dengan

menggunakan las listrik. Langkah selanjutnya mengambil besi pejal yang

berukuran 6 mm dibentuk setengah lingkaran. Kemudian besi tersebut

dipasang dan disambung dengan las seperti gambar 4.24.

Gambar 4.24 Pengelasan Besi Pejal


Besi tersebut dipasang dan ditata keatas dengan jarak 20 mm.

pemasangan besi pejal tersebut sampai dengan ujung besi yang berukuran

10 mm. Gmbar flanges hub yang sudah jadi ditunjukkan pada gambar 4.25.

Gambar 4.25 Flanges Hub yang sudah jadi

4.3.2 Proses Pengecoran

1. memoles permukaan cetakan dengan wax (sebagai pelicin dan pengkilap)

dan dilakukan memutar sampai lapisannya benar-benar merata. Proses

pemolesan cetakan dengan wax ditunjukan pada gambar 4.26

Gambar 4.26 Memoles permolesan cetakan dengan wax

2. Agar didapatkan hasil yang lebih baik, perlu ditunggu beberapa menit

sampai pelicin tersebut menjadi kering. Untuk mempercepat proses

pengeringan, dapat dijemur di terik matahari.


3. Apabila wax sudah terserap, permukaan cetakan dapat dilap dengan

menggunakan kain bersih hingga mengkilap, kemudian mulai pembutan

adonan resin dengan katalis.

4. Apabila campuran yang terjadi terlalu kental maka perlu ditambahkan

katalis. Penggunaan katalis harus sesuai dengan perbandingan 1 Liter : 10cc

(0,01 Liter).

5. Apabila semua campuran tersebut diaduk masih terlalu kental, maka perlu

ditambahkan katalis dan apabila campurannya terialu encer dapat

ditambahkan aseton. Pemberian banyak sedikitnya katalis akan

mempengaruhi cepat atau lambatnya proses pengeringan. Pada cuaca yang

dingin akan dibutuhkan katalis yang lebih banyak.

6. langkah berikutnya adalah meletakan selembar Oz dengan panjang dari titik

R0 hingga R10 plus hub dan lebar sesuai dengan desain layer pengecoran.

Proses peletakan Oz ditunjukan pada gambar 4.27.

Gambar 4.27 Peletakan Oz pada permukaan cetakan

7. Langkah berikutnya adalah mengoleskan permukaan cetakan dengan

adonan resin BQTN/campuran dasar sampai merata, dan ditunggu sampai

setengah kering.
8. Pengolesan adonan dasar dilakukan sambil ditekan, sebab gelembung akan

mengakibatkan fiberglass mudah keropos. Jumlah pelapisan adonan dasar

disesuaikan dengan keperluan, makin tebal lapisan maka akan makin kuat

daya tahannya. Proses pemolesan oz menggunakan resin BQTN ditunjukan

pada gambar 4.28

Gambar 4.28 Pemolesan oz menggunkan adonan resin BQTN

9. Untuk mempercepat proses pengeringan, dapat dijemur di terik matahari.

10. langkah selanjutnya, setelah matrik dan serat telah kering kemudian diberi

selembar mat sesuai dengan layer pengecoran, dan dilapisi lagi dengan

adonan dasar dan ditunggu hinga kering. Proses pelapisan mat pada layer

ditunjukan pada gambar 4.29.

Gambar 4.29 Pelapisan mat pada layer


11. langkah selanjutnya, setelah matrix dan serat fiber telah kering kemudian

diberi selembar woven roving dengan ukuran 10 cm - 15 cm pada posisi

tengah cetakan sesuai dengan desain layer pengecoran, dan dilapisi lagi

dengan adonan dasar dan ditunggu hinga kering, bertujuan sebagai kerangka

tulang dan keuatan struktur komposit, kemudian tunggu matrix dan serat

kering.

12. Langkah selanjutnya, setelah komposit kering kemudian diberi selembar

mad menyeluruh dari r0 hingga r12 sesuai desain layer pengecoran yang

telah ditentukan selanjutnya dan dilapisi lagi dengan adonan dasar dan

ditunggu hingga kering.

13. langkah selanjutnya, pasang flange pada r12 selanjutnya dan dilapisi lagi

dengan adonan dasar dan ditunggu hingga kering. Sebelum memasang

flange hub Proses pemasangan inti cetakan ditunjukan pada gambar 4.30.

Gambar 4.30 Pemasangan inti cetakan

14. langkah selanjutnya, lapisi serat fiber woven roving dari titik r8 hingga r12

seperti yang ditunjukan pada gmbar 4.31 sesuai dengan layer pengecoran
yang telah ditentukan, selanjutnya lapisi lagi dengan adonan dasar dan

ditunggu hingga kering.

Gambar 4.31 Pelapisan woven roving dari titik r8 hingga r12

15. langkah selanjutnya, lapisi serat Mad dari titik r8 hingga r12 sesuai dengan

layer pengecoran yang telah ditentukan, selanjutnya lapisi lagi dengan

adonan dasar dan tunggu hingga kering.

16. langkah selanjutnya, lapisi 2 buah potongan woven roving selebar 10 – 15

cm pada r7 hingga r8 dan diletakkan pada bagian kanan kiri, selanjutnya

lapisi lagi dengan adonan dasar dan tunggu hingga kering.

17. langkah selanjutnya, lapisi serat mad sepanjang r7 hinga r 8, selanjutnya

lapisi lagi dengan adonan dasar dan tunggu hingga kering.


18. langkah selanjutnya, dilapisi serat woven roving pada r10 hingga r12 secara

merata, selanjutnya lapisi lagi dengan adonan dasar dan tunggu hingga

kering.

19. langkah selanjutnya, pada lapisan serat fiber yang paling akhir dilapisi serat

mad pada r0 hingga r12 secara merata, selanjutnya lapisi lagi dengan adonan

dasar dan tunggu hingga kering.

20. langkah selanjutnya, seletelah pengecoran komposit kering maka,

penyatuan acetakan 1 dengan cetakan 2 cetakan upper dan lower, dalam hal

penyatuan cetakan pengecoran harus presisi antara cetakan 1 dengan

cetakann 2 agar hasil sudu turbin lebih efisien dan tidak berakibat kerusakan

fatal saat terkena gaya gaya yang bekerjaa pada saat turbin berputar .

21. Langkah selanjutnya, pembutan adoanan resin, katalis dan talk bertujuan

sebagai perekat saat pemasangan/penyatuan cetakan, dengan perbandingan

pemberian katalis susuai dengan takaran resin dan pemberian talk harus

mempertimbangkan viskositas dari adonan. Dalam hal ini adonan harus ebih

kental dan tidak terlalu encer maupun tidak terlalu kental sehinga adonan

dapat bekerja secara maximal.

22. langkah selanjuthnya, mengoleskan adonan resin dan talk ke selluruh bagian

tepi sudu, kemudian clam dengan mur baut hingga kencang bertujuan agar

adonan resin dapat merekat secara maxilmal pada bagian sudu upper dan

lower, lalu tunggu hingga kering, agar hasil pengeringan dapat diperoleh

hasil yang lebih cepat dapat dijemur pada sinar matahari.

23. dalam penggabungkan dibutuhkan 3 buah penjepit yang diletakkan pada

titik r10, r8 dan r4. Penambahan penjepit ini bertujuan agar cetakan tidak
bergeser dan meminimalisir terjadinya pergerakan cetakan selama proses

pengeringan dan diharpakan mendapatkan hasil pengecoran yang

sempuirna. Proses penjepitan ditunjukkan gambar 4.32

Gambar 4.32 Penggabungan Cetakan dan Pemasangan Clam

24. langkah selanjutnyja setelah adonan matrix telah kering maka tahap yang

dilakukan selanjutnya adalah pelepaskan hasil pengecoran dan cetakan.

25. lepaskan clam dari cerakan kemudian tusuk-tusuk bagian sisi tepi bagian

cetakan yang telah diberi adonan secara menyeluruh menggunkan

pengungkit yang tipis(penggaris dll) kemudian buka cetakan bagian atas

secara perlahan hingga hasil cetakan bagian atas lepas dari pengecoran.

Cetakan yang sudah di bongkar ditunjukkan gambar 4.33.

Gambar 4.33 Cetakan setelah dibongkar


26. Setelah cetakan dibongkar, biasanya terjadi kecacatan dikarenakan banyak

lem atau perekat yang keluar dari sambungan sudu. Perataan sudu dilakukan

dengan menggunakan gerinda listrik sampai sudu benar – benar rata. Proses

perataan sudu ditunjukkan gambar 4.34.

Gambar 4.34 Perataan sudu

27. Sambungan diperkuat dengan menggunakan Dept OZ yang dipasangkan

pada bagian sambungan dengan lebar 10 cm sebanyak 3 lapis. Pemberian

Dept OZ direkatkan dengan menggunakan campuran resin dan katalis

dengan takaran yang sama dengan pembuatan sudu. Proses penguatan coran

ditunjukkan gambar 4.35.

Gambar 4.35 Proses Memperkuat Cetakan


28. Setelah sudu turbin/hasil pengecoran telah lepas dari cetakan maka langkah

selanjutnya adalah pengecekan hasil pengecoran berjuan untuk mengecek

apakah hasil komposit baik atau buruk. Proses ini dilakukan supaya sudu

benar – benar rata dan kuat. Proses pengecekan (gambar 4.36) biasanya

dilihat cetakan yang berlubang atau ada sambungan yang sedikit terbuka.

Gambar 4.36 Pengecekan kecacatan

29. Sebelum masuk pada proses finisihing, hasil coran akan ditimbang. Proses

ini dilakukan supaya sudu satu dengan sudu yang lain beratnya sama atau

memiliki perbedaan seminimal mungkin. Jika terdapat sudu yang memiliki

berat melebihi batas minimal maka sudu tersebut harus dilakukan proses

lebih lanjut. Proses yang harus dilakukan untuk menambah berat sudu

dengan cara sudu dilubangi sedikit. Setelah pelubangan selesai, resin dan

campuran katalis dimasukkan kedalam sudu. Setelah beratnya sama, lubang

tersebut ditutup dengan menggunakan Dept OZ dan dilekatkan dengan resin

30. langkah selanjutnya, setelah hasil pengecoran telah melalui tahap

pengecekan maka langkah selanjutnya adalah proses finishing. dalam proses

finishing ini bertujuan antara lain penghalusan sudu, kerataan sudu, dan

pengecetan.
31. Proses penghalusan sudu turbin (gambar 4.37) menggunkan amplas dengan

kekasaran P60 atau P100 bertujuan untuk memotong permukaan yang masih

kasar/bergelombang, setelah sudu turbin rata atau tidak bergelombang maka

langkah selanjutnya mengngunakan amplas P240 bertujuan untuk

menghaluskan permukaan sudu, dan pada bagian tahap terakhir proses

pengampalasan adalah pengamplasan dengan menggunkan amlas kekasaran

P320 atau P400.

Gambar 4.37 Penghalusan sudu turbin

Pada tahap pengguaan amplas dengan kekasaran P400 dalam proses

finishing sudu turbin dapat menggunkan teknik amlas air bertjuan agar

mengurangi gesekan/ memperkecil pemototongan ampals dengan komposit

sehingnga hasil sudu turbin yang diperoleh benar-benar halus.

4.4 Hasil Pengecoran, Balancing dan Simulasi Uji Kekuatan

4.4.1 Deskripsi Hasil Pengecoran

Setelah mendapatkan data, yang selanjutnya dilakukan adalah analisis hasil

pengecooran. Pembahasan meliputi dimensi, berat dan titik berat. Setelah proses

record telah selesai didapatkan data yang dicari dengan menggunakan alat-alat yang

tersedia untuk mendapatkan data tersebut.


1. Dimensi

Pengecekan dimensi dimulai dari pengecekan kemiringan sudu dan bentuk

sudu itu sendiri. Proses pengecekan dilakukan pada ketiga blade. Sudut kemiringan

pada sudu dari ujung sampai pangkal adalah 5° s/d 45°.

2. Berat

Pengujian berat dapat dihitung dari kebutuhan bahan dan pengukuran berat.

Kebutuhan bahan yang diperlukan dapat dilihat dari tabel dibawah :

Tabel 4.4 Pengukuran Berat


No Nama Bahan/Benda Jumlah Bahan (Kg)

1 Resin 21

2 Flanges hub 4

3 Woven Roving 2

4 Mat 425 3

5 Dept OZ 2

6 Bahan Tambahan Lain 1

7 Bahan Dempul 9

Jumlah 42
Bedasarkan tabel diatas, didapat data pengukuran berat melalui kebutuhan bahan

adalah sebesar 42 kg. langkah selanjutnnya adalah pengukuran berat dengan

menggunakan timbangan. Proses pengukuran berat dijelaskan pada tabel dibawah :

Tabel 4.5 Hasil Pengukuran Berat


No Nama Rotor Berat (Kg)

1 Blade 1 42

2 Blade 2 42

3 Blade 3 40

3. Titik Berat

Tahap pertama dalam penentuan titik berat pada rotor adalah proses

pengukuran titik berat (gambar 4.38). Proses pengukuran titik berat dilakukan

dengan cara menentukan titik keseimbangan pada blade. Setelah blade seimbang,

tahap selanjutnya adalah penentuan titik berat. Penentuan titik berat dilakukan

dengan cara mengukur titik kesetimbangan sampai dengan ujung dan pangkal

blade.

Gambar 4.38 Penentuan Titik Kesetimbangan Pada Blade


Keterangan : W = Setengah Berat Blade

L1 = Panjang dari Pangkal ke Titik Tengah Blade

L2 = Panjang dari Titik Tengah Blade ke Ujung Blade

Tabel 4.6 Panjang Titik Berat Pada Setiap Blade Sebelum Balancing
No Blade L1 L2

1 Blade Pertama 186 cm 314 cm

2 Blade Kedua 186 cm 314 cm

3 Blade Ketiga 195,3 cm 304,7 cm

4.4.2 Balancing

Dari hasil perhitungan titik berat, diketahui sudu pertama dan sudu kedua

memiliki berat dan titik berat yang sama. Sedangkan sudu ketiga memiliki berat 2

kg lebih rendah. Serta memiliki posisi titik berat bergeser kekanan dibanding sudu

pertama yaitu sebesar 9 cm. Untuk menyamakan berat dan posisi titik berat sudu,

maka akan ditambahkan resin kedalam sudu sebesar 2 kg. Penentuan titik

penambahan dilakukan dengan perhitungan berdasarkan Tabel 4.3.

Gambar 4.39 Proses Balancing

W . L = W1 . L1
Keterangan : W = berat sudu sebelum penambahan. (kg)

L = Jarak titik berat semula. (cm)

W1 = Berat sudu setelah penambahan (kg)

L1 = Jarak titik berat setelah penambahan (cm)

W . L = W1 . L1

40 . 195,3 = 42 . L1

L1 = 186 cm

Jadi sudu akan ditambah dengan resin sebanyak 2 kg pada posisi jarak 186

cm dari pangkal.

Dari perhitungan diatas, maka didapat data tabel setelah proses balancing

yang bertujuan untuk penyamaan jarak titik berat pada semua blade.

Tabel 4.7 Panjang Titik Berat dan Berat Pada Setiap Blade Setelah Balancing

No Blade r1 r2 W

1 Blade Pertama 1,86 m 3,14 m 42 kg

2 Blade Kedua 1,86 m 3,14 m 42 kg

3 Blade Ketiga 1,86 m 3,14 m 42 kg

4.4.3 Simulasi Uji Kekuatan

4.4.3.1 Daya rotor pada kecepatan angin maksimal

Kecepatan angin maksimal yang telah ditentukan agar turbin tetap aman

adalah 15 m/s. Pemilihan kecepatan angin tersebut berdasarkan pengamatan pada


kecepatan angin sebesar 15 m/det sudah terbentuk angin badai yang sangat kencang

dan juga biasanya pohon-pohon telah tumbang pada kecepatan angin 15 m/det.

F V = 15 m/det

Gambar 4.40 Kecepatan Angin yang ditentukan

Daya yang dikonversi oleh sudu pada kecepatan 15 m/detik

Gambar 4.41 Perhitungan Daya


1
P = 2 𝜌 A V3

dimana :

P = daya rotor
𝜌 = densitas udara ( kg/m3 )

A = luasan sapuan sudu dimana energi angin dikonversi ( m2)

V = kecepatan angin ( m/det )

- Menghitung luasan sapuan sudu :


𝜋 3.14
A= x D2 = x 102 =
4 4

= 78,5 m2
1
P = 2 . 1,15 . 78,5 . 153

P = 152339,06 watt

Berdasarkan Gambar 4.4, daya yang dikonversi oleh sudu pada kecepatan

15 m/detik adalah 152339,06 watt. Daya P yang dihasilkan dibagi 3 sehingga

152339,06
menjadi = 50779,68 w/sudu.
3

4.4.3.2 Menghitung lift force dan drag force.

a. Daya yang diterima setiap sudu sebesar 50779,68 watt terjadi pada saat

kecepatan sudu atau lintasan sudu (S) setiap detik.

S = 𝜆r8 × V

Dimana :

𝜆r8 = perbandingan kecepatan sudu dibanding dengan

kecepatan

angin, pada titik berat sudu 1,86 m atau pada posisi r8.
Nilai 𝜆 pada r8 = 1,12. ( Lihat pada Tabel 2.3 )

V = kecepatan angin maksimal yang diijinkan ( m/det )

Jadi,

𝑆 = 1,12 𝑥 15 m/det

= 16,8 𝑚/𝑑𝑒𝑡

b. Menghitung gaya angin setiap sudu

Daya yang diterima setiap sudu sebesar 50779,68 watt bila


𝑚 𝑚
dikonversikan ke dalam satuan 𝑘𝑔 𝑑𝑒𝑡 menjadi = 5181,6 𝑘𝑔 𝑑𝑒𝑡. Daya

sebesar itu dicapai dengan lintasan sudu 16,8 m/det, oleh karena itu gaya

yang diterima sudu dapat dihitung dengan rumus


𝑃
𝐹= 𝑆

dimna :

F = gaya yang diterima sudu ( kg )


𝑚
P = daya setiap sudu ( kg𝑑𝑒𝑡 )

S = lintasan sudu per detik yaitu 16,8 m/det

𝑚
5181,6 𝑘𝑔
𝑑𝑒𝑡
𝐹= 16,8 𝑚/𝑠

𝐹 = 308,42 kg

c. Menghitung lift force ( Lf ) dan drag force ( Df )

Lf = F Cos 30°

= 267,1 kg
Df = F Sin 30°

= 154,21 kg

Gambar 4.42 perhitungan lift force dan drag force

4.4.3.3 Uji kekuatan sudu terhadap beban bengkok akibat dragforce dan
liftforce

a. Menguji sudu terhadap beban bengkok akibat drag force (gambar 4.43)

Gambar 4.43 Titik kritis patah akibat drag force


Menentukan Moment bengkok akibat dragforce

Mb = Fangular x r

Mb = 154,21 kg x 0.2 m

= 30,84 kg m

Menentukan Weirstan atau tahanan Bengkok

Wb = Ilingkaran berlubang / r

Wb = ( 𝜋r3t ) / r

Wb = 𝜋r2t

Wb = 3.14 . 0,22 . 0,014

Wb = 0.001758 m3

Tegangan bengkok lingkaran (rawan putus)

𝑀𝑏
𝜎𝐵 =
𝑊𝑏

30,84
𝜎𝐵 = 0,001758

= 17542,6 kg/m2

= 1,754 kg/cm2

Menguji kekuatan sudu terhadap beban bengkok

akibat lift force


Pada posisi sudu horisontal sudu akan menerima beban bengok

akibat lift force dan berat sudu sendiri (gambar 4.45).

Gambar 4.45 Titik kritis patah akibat lift force

Beban bengkok total Ftot = F + W

dimana :

F = gaya pada lift force ( kg )

W = berat sudu ( kg )

Ftot = 267,1 kg + 42 kg

= 309,1 kg

Menentukan Moment bengkok akibat lift force

Mb = Ftot x r

Mb = 309,1 kg x 0.2 m

= 61,82 kg. m

Menentukan Weirstan atau tahanan Bengkok

Wb = Ilingkaran berlubang / r

Wb = ( 𝜋r3t ) / r
Wb = 𝜋r2t

Wb = 3.14 . 0,22 . 0,014

Wb = 0.001758 m3

Tegangan bengkok lingkaran (rawan putus)

𝑀𝑏
𝜎𝐵 =
𝑊𝑏

61,82
𝜎𝐵 = 0,001758

= 35164,9 kg/m2

= 3,51 kg/cm2

4.4.4 Kekuatan Bahan Coran

Kekuatan setiap bahan coran dapat ditentukan dengan cara mengghitung

perbandingan masing-masing total ketebalan bahan dengan total tebal lapisan bahan

coran.

Tabel 4.8 Tebal bahan dan jumlah lapisan

Tebal Tensile and


Jumlah Kekuatan
Nama Bahan Bahan Strength Warp
Lapisan (kg/m3)
(mm) (lb/in2)

Woven Roving 2 4 1000 49

Mat 1 5 140 570

10 Oz Fabric 1 1 440 30
Bahan yang digunakan dalam pengecoran, setiap bahannya memiliki

persentase dan banyaknya jumlah lapisan yang berbeda, untuk oz sebesar 7% dari

tebal total lapisan coran, mat 7% dan woven roving 14,5%. Tebal total lapisan

adalah 14 mm sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.8 dan pembagiannya

ditunjukkan pada gambar 5.6.

Gambar 4.56 Jumlah lapisan bahan

Jadi jika melihat pada Gambar 4.56 dan Tabel 4.6 jumlah tebal lapisan

bahan keseluruhan dapat dihitung dengan cara tebal setiap bahan x jumlah lapisan

bahan kemudian dijumlahkan.

Maka,

Woven roving = 2 x 4 = 8

Mat =1x5=5

10 Oz =1x1=1

Jadi, jumlah tebal lapisan bahan keseluruhan yaitu 8 + 5 + 1 = 14


Adapun perhitungan yang digunakan untuk menghitung kekuatan sudu

berdasarkan fraksi bahan adalah:

- Menentukan fraksi bahan :

a. Fraksi Oz

𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑂𝑧
𝑃𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛
1
= = 0.07
14

b. Fraksi Woven roving

𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑤𝑜𝑣𝑒𝑛 𝑟𝑜𝑣𝑖𝑛𝑔


𝑃𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛
8
= = 0.57
14

c. Fraksi Mat

𝑇𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑚𝑎𝑡
𝑃𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙 =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑙 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛

5
= = 0.35
14

- Kekuatan sudu berdasarkan fraksi bahan :

Oz = 0,07 x tensile strength

𝑙𝑏
= 0.08 𝑥 440 𝑖𝑛2

𝑙𝑏 𝑘𝑔
= 30 = 2,1 𝑐𝑚2
𝑖𝑛2

Woven Roving = 0,57 x tensile strength

𝑙𝑏
= 0.57 𝑥 1000 𝑖𝑛2

𝑙𝑏 𝑘𝑔
= 570 = 40
𝑖𝑛2 𝑐𝑚2
Mat = 0,35 x tensile strength

𝑙𝑏
= 0.35 𝑥 140 𝑖𝑛2

𝑙𝑏 𝑘𝑔
= 49 = 3,4
𝑖𝑛2 𝑐𝑚2

Jadi, kekuatan sudu berdasarkan tensile strength

𝑘𝑔 𝑘𝑔 𝑘𝑔
= 2,2 + 40 + 3,4
𝑐𝑚2 𝑐𝑚2 𝑐𝑚2

𝑘𝑔
= 45,6 𝑐𝑚2

𝑡𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘
Tegangan tarik ijin = 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑘𝑒𝑎𝑚𝑎𝑛𝑎𝑛

𝑘𝑔
45,6
𝑐𝑚2
= 2

𝑘𝑔
= 22,8 𝑐𝑚2

Tegangan Bengkok Ijin akibat dragforce dan liftforce (𝜎b)

0,8 𝑥 𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘 (𝜎)


= 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑘𝑒𝑎𝑚𝑎𝑛𝑎𝑛

𝑘𝑔
0,8 ×45,6
𝑐𝑚2
= 2

= 18,24 kg /cm2 tegangan ijin (aman)


4.4.5 Menghitung kekuatan tarik sudu terhadap beban sentrifugal dari

putaran

Gaya sentrifugal setiap sudu dihitung dengan rumus

𝑣2
C=m .................................. (Internal Combustion Engine)
𝑅

dimana :

C = gaya sentrifugal setiap sudu ( N )

v = kecepatan tangensial sudu pada posisi titik berat sudu

( m/det )

R = jari-jari sudu pada posisi titik berat ( m )

m = berat sudu ( kg )

𝑚 2
(16,8 )
det
C = 42 kg.
1,86 𝑚

𝑚
= 6373,16 kg𝑑𝑒𝑡 2

= 6373,16 N = 650,32 kg

Gaya sentrifugal sebesar 650,32 kg akan menjadi beban tarik pada

setiap sudu

Kekuatan tarik akibat gaya sentrifugal sebesar 650,32 kg berdasarkan kecepatan


𝑚
angin 15 𝑑𝑒𝑡 didapat rumus sebagai berikut

𝑝
𝜎𝑇 = 2 𝜋 𝑟 𝑡

dimana :
𝑘𝑔
𝜎𝑇= Tegangn tarik/tensile strength ( 𝑐𝑚2 )

P = gaya yang diterima sudu ( kg )

r = jari-jari pangkal blade ( cm )

t = tebal pangkal sudu ( cm )

𝑝 650,32 𝑘𝑔
𝜎𝑇 = =
2𝜋𝑟𝑡 2 𝑥 3,14 𝑥 20 𝑐𝑚 𝑥 1,4 𝑐𝑚

𝑘𝑔
= 3,698 𝑐𝑚2

Dari hasil diatas didapatkan tegangan tarik dibawah tegangan tarik izin bahan,

𝑘𝑔
dimana tegangan tarik yang diijzinkan sebesar 15,1 , oleh karena itu di coba
𝑐𝑚2

𝑚 𝑚
kecepatan angin 20 𝑑𝑒𝑡 dan 30 𝑑𝑒𝑡

𝑚
 Kecepatan angin 20 𝑑𝑒𝑡

𝑉 = 1,12 𝑥 20 m/det

= 22,4 𝑚/𝑑𝑒𝑡

𝑚 2
(22,4 )
det
P = 42 kg. 1,86 𝑚

𝑚
= 11330,06 kg𝑑𝑒𝑡 2

= 11330,06 N = 1156,13 kg

𝑝
𝜎𝑇 =
2𝜋𝑟𝑡

𝑝 1156,13 𝑘𝑔
= =
2𝜋𝑟𝑡 2 𝑥 3,14 𝑥 20 𝑐𝑚 𝑥 1,4 𝑐𝑚
𝑘𝑔
= 6,574 𝑐𝑚2

𝑚
 Kecepatan angin 35 𝑑𝑒𝑡

𝑉 = 1,12 𝑥 35 m/det

= 39,2 𝑚/𝑑𝑒𝑡

𝑚 2
(39,2 )
det
P = 42 kg. 1,86 𝑚

𝑚
= 34698,32 kg𝑑𝑒𝑡 2

= 34698,32 N = 3540,64 kg

𝑝
𝜎𝑇 =
2𝜋𝑟𝑡
𝑝 3540,64 𝑘𝑔
= =
2𝜋𝑟𝑡 2 𝑥 3,14 𝑥 20 𝑐𝑚 𝑥 1,4 𝑐𝑚

𝑘𝑔
= 20,13 𝑐𝑚2

𝑚
Dari hasil diatas dapat di simpulkan blade masih mampu menahan hingga kecepatan angin 35 .
𝑑𝑒𝑡
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari penyusunan tugas akhir dengan judul “Rancang Bangun Turbin Angin

Sumbu Horizontal Kapasitas 10 kWH Menggunakan Airfoil NACCA 4415”

dengan pengujian di kampus DIII Teknik Mesin Universitas Diponegoro dapat

disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Dapat mempelajari tentang ilmu dan teknologi turbin angin serta

mempelajari sistem kerja dari turbin angin.

2. Dapat merancang bangun Turbin Angin sumbu horizontal mulai dari

pembuatan rotor blade sebanyak 3 buah dengan diameter yang telah

didesain sebelumnya yaitu 10meter sampai dengan proses pengujian.

3. Pada proses rancang bangun turbin rotor angin sumbu horizontal ini

didapatkan berat rotor sebesar 41,5 Kg setiap sudunya dan berjari-jari 5 m

setiap sudunya.

4. Uji dimensi yang dilakukan menunjukkan hasil cetakan telah sesuai dengan

desain yang direncanakan.

5. Kecepatanangin yang mampu ditahan oleh blade mencapai 35 m/detik.

6. Hasil simulasi perhitumgan menunjukkan lift force dan drag force yang

terjadi masih dibawah batas aman.

5.2 Saran
1. Dalam pembuatan turbin angin sumbu horizontal sebaiknya memperhatikan

faktor-faktor penting yang memperngaruhi kinerja turbin angin tersebut.


AFTAR PUSTAKA

Djoyodihardjo Harijono,J.P Molly,”Wind Energy System”, Jakarta, Maret 1981

Jones, Robert M., 1975, Mechanics of Composite Materials, Mc. Graw Hill

Kogakusha, Ltd.

Kussman, A., 1981, Wind Rotor Load Conditions, Wind Energy Sistem hal. 41

Preuss, T.,1981, Application Of Composites To Rotor Blades Of Wind Energy

Converters,Wind Energy Sistem hal. 61

Preuss, T.,1981Fabrication Of Composites To Rotor Blades Of Wind Energy

Converters, Wind Energy Sistem hal. 83

Sjarkawi, Atwirman., 1981, Study And Experimentation Of Composite Material

Fabrication For Wind Turbine Blades, Wind Energy Sistem hal.95

https://www.mysciencework.com/publication/read/2204487/rancang-bangun-

turbin-angin-vertikal-untuk-penerangan-rumah-tangga-design-of-vertical-wind-

turbine-for-the-household-lighting-co#page-null,diunduh tanggal 28 September

2017.

http://spesialisfiber7.blogspot.co.id/2015/06/apa-itu-fiberglass.html , diunduh

tanggal 24 Januari 2018.

http://www.kerajinankreatif.com/2017/11/jenis-kain-serat-kaca-yang-populer.html

, diunduh tanggal 24 Januari 2018.

http://fcfibreglass.com/fiberglass-serat-kaca/ , diunduh tanggal 24 Januari 2028.


http://www.kerajinankreatif.com/2017/11/jenis-kain-serat-kaca-yang-populer.html

, diunduh tanggal 25 Januari 2018.

http://lib.kemenperin.go.id/neo/download_artikel.php?id=137 , diunduh tanggal 25

Januari 2018.

http://repository.unpas.ac.id/28718/ , diunduh tanggal 28 Januari 2018.

http://resin-bekasi.blogspot.com/2014/01/ , diunduh tanggal 28 Januari 2018.

http://tokofrp.com/main/category/29-mould-release-agents , diunduh tanggal 28

Januari 2018.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/105/jtptunimus-gdl-wahyudic2a-5235-2-

bab2.pdf , diunduh tanggal 85 Januari 2018.

https://rollpipaempedu.wordpress.com/perancangan/perhitungan/ , di unduh pada

tanggal 12 Maret 2018.

Anda mungkin juga menyukai