2. Etiologi
Menurut Mansjoer (2009), etiologi stroke hemoragi dapat dibedakan
menjadi :
a. Perdarahan intraserebral (20%)
1) Hipertensi
2) Malformasi arteri-vena
3) Angiopati amyloid
b. Perdarahan subaraknoid (5%)
1) Perdarahan spontan (non traumatik) akibat pecahnya aneurisma
saccular intracranial.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Machfoed (2011), pada perdarahan intraserebral yang akut
dijumpai :
a. Onset akut dari defisit neurologi fokal yang memberat sampai koma
dalam menit sampai jam.
b. Nyeri kepala, mual, muntah.
c. Pada non-hipertensi terdapat anamnesa demensia pada usia tua curiga
factor CAA
d. Riwayat penggunaan obat antikoagulan atau trombolitik
e. Riwayat kejang ataupun bruit kranial curiga adanya suatu sebab
malformasi vaskular.
Menurut Machfoed (2011), ciri khas dari kasus perdarahan subaraknoid
adalah keluhan nyeri kepala mendadak, dengan gambaran “nyeri kepala paling
hebat selama hidup” atau “seperti ada yang menghantam kepala saya”. Keluhan
ini terjadi mendadak dan seringkali penderita mengalami penurunan kesadaran
sesaat ketika onset. Dua pertiga kasus terjadi ketika penderita sedang tidur atau
melakukan aktivitas sehari-hari, sedangkan sisanya terjadi ketika melakukan
aktivitas fisik yang berat. Pemeriksaan neurologi menunjukan adanya tanda
rangsang meningeal seperti kaku kuduk. Akan tetapi keluhan ini tidak selalu ada.
Pemeriksaan fundus okuli menunjukan gambaran perdarahan subarahknoid,
vitreous, atau flame shaped. Kondisi ini disebabkan oleh karena kongesti vena
retina akibat peningkatan tekanan inrakranial. Defisit neurologi lain bisa
bervariasi, bahkan perdarahan subaraknoid berat bisa meyebabkan kondisi koma.
Skala kondisi klinis yang sering digunakan untuk PSA adalah Hunt and Hess
Scale
Tabel 2.1. Hunt and Hess Scale
Grade
0 Unruptured
I Asymptomatic or minimal headache, nuchal rigidity
II Moderate to severe headache, nuchal rigidity, no neurological
deficit other than cranial nerve palsy
III Drowsiness, confusion, mild focal deficit
IV Stupor, moderate to severe hemiparesis, possible early
decerebrate rigidity and vegetative disturbances
V Deep coma, decerabrate rigidity, moribund appearance
4. Patofisiologi
Perdarahan pada otak dapat dengan cepat menimbulkan gejala
neurologi karena tekanan pada struktur-struktur saraf di dalam tengkorak.
Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik yang spontan
maupun traumatik. Mekanisme terjadinya iskemia tersebut ada dua: (1)
tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam tengkorak
yang volumenya tetap dan (2) vasospasme reaktif pembuluh-pembuluh darah
yang terpajan ke daerah bebas di dalam ruang antara lapisan araknoid dan
piameter meningen. Biasanya stroke hemoragi secara cepat menyebabkan
kerusakan fungsi otak dan kehilangan kesadaran. Apabila perdarahan
berlangsung lambat, pasien kemungkinan mengalami nyeri hebat, yang
merupakan gejala khas perdarahan subaraknoid (Price, 2006).
Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling
sering terjadi akibat cedera vaskuler yang dipicu oleh hipertensi dan rupture
salah satu arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Apabila
perdarahan terjadi pada individu yang tidak mengidap hipertensi, diperlukan
pemeriksaan- pemeriksaan untuk mengetahui kausa lain seperti gangguan
perdarahan, malformasi arteriovena, dan tumor yang menyebabkan erosi.
Lokasi perdarahan intraserebrum yang berdekatan dengan basal ganglia dan
kapsula interna sering menerima beban terbesar tekanan dan iskemia yang
disebabkan oleh stroke tipe ini. Mengingat bahwa basal ganglia memodulasi
fungsi motorik volunter dan bahwa semua serat saraf aferen dan eferen di
separuh korteks mengalami pemadatan untuk masuk dan keluar dari kapsula
interna, maka dapat dilihat bahwa stroke di salah satu bagian ini menimbulkan
defisit neurologi fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam
bebrapa menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan
dari letak perdarahan merupakan tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula
interna (Price, 2006).
Perdarahan subaraknoid memiliki dua penyebab utama: ruptur
aneurisma vaskular dan trauma kepala. Perdarahan dapat massif dan
extravasasi darah ke dalam ruang subaraknoid lapisan meningen dapat
berlangsung cepat. Penyebab perdarahan subaraknoid yang lebih jarang adalah
malformasi arterionvena (MAV), yaitu jaringan kapiler yang mengalami
malformasi kongenital. Pada MAV pembuluh melebar sehingga darah
mengalir di antara arteri bertekanan tinggi dan sistem vena bertekanan rendah,
akhirnya dinding venula melemah dan darah dapat keluar dengan cepat ke
jaringan otak. Pada sebagian besar pasien, perdarahan terutama terjadi di intra
parenkim dengan perembasan ke dalam ruang subaraknoid (Price, 2006).
Efek spesifik stroke sangat tergantung bagian mana dari otak yang
mengalami kekurangan oksigen. Jika aliran darah yang terputus adalah yang
menuju bagian otak yang mengatur saraf bicara, stroke akan menyebabkan
penderita tidak bisa berbicara atau pengucapan yang tidak jelas. Kesulitan
dalam mengekspresikan dalam perkataan ataupun tulisan, gangguan dalam
mengerti inti percakapan. Jika stroke merusak bagian otak yang mengatur
kemampuan gerak, penderita akan mengalami kesulitan dalam berjalan,
menggerakkan tangan. Biasanya terjadi pada salah satu sisi tubuh, kiri atau
kanan. Selain masalah fisik, stroke memberi efek pada psikologi, orang yang
mengalami stroke lebih mudah depresi, marah, frustasi karena sulitnya untuk
melakukan tugas dimana sebelum stroke semuanya sudah berjalan dengan
normal dan otomatis (Muttaqin, 2008).
5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Machfoed (2011), pemeriksaan diagnostik untuk stroke
hemoragi adalah:
a. Tes laboratorium : tes faal koagulasi, darah lengkap.
b. Pemeriksaa CT Scan kepala harus segera (kurang dari 12 jam)
dilakukan pada kasus dugaan perdarahan subaraknoid. Bila hasil CT Scan
tidak menunjukan adanya perdarahan subaraknoid, maka langsung dilanjutkan
dengan tindakan pungsi lumbal untuk menganalisa hasil cairan serebrospinal
dalam kurun waktu 12 jam. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan
spektrofotometri cairan serebrospinal untuk mendeteksi adanya
xanthochromia.
c. Pemeriksaan angiografi selektif dilakukan pada penderita perdarahan
subaraknoid untuk mengetahui adanya gambaran aneurisma. Angiografi dan
venografi : dilakukan pada perdarahan intraserebral di usia muda <50 tahun
dengan perdarahan intraserebral yang belum diketahui faktor risikonya curiga
suatu malformasi vaskular otak
d. Pemeriksaan MRA dan CT Angiografi hanya dilakukan bila angiografi
konvensional tidak dapat dilakukan. Pemeriksaan MRI tidak dianjurkan untuk
mendeteksi perdarahan subaraknoid.
6. Diagnosis banding
Menurut Gofir (2011), gejala neurologi fokal yang terjadi mendadak
seperti pada stroke memiliki diagnosis banding yang luas, seperti:
a. Penyakit sistemik atau kejang, yang menyebabkan perburukan stroke
yang pernah dialami
b. Kejang epileptik atau kejang non konvulsif
c. Lesi struktural intrakranial: hematoma subdural, tumor otak.
d. Ensefalopati metabolik/toksik: hipoglikemia, hiperglikemia non-
ketotik, hiponatremia, Wernicke-Korsakoff syndrome, ensefalopati hepatik,
intoksikasi obat dan alkohol, septikemia.
7. Penatalaksanaan
Menurut Machfoed (2011), terapi konservatif pada pasien perdarahan
intraserebral adalah pasien perdarahan intraserebral dengan perdarahan kecil (<10
cc) atau defisit neurologi minimal, pasien perdarahan intraserebral dengan GCS
<4; kecuali pasien perdarahan serebellar disertai kompresi batang otak masih
mungkin untuk life saving.
Terapi konservatif ini meliputi :
a. Terapi umum : menjaga dan mengevaluasi ABCD (Airway, Breathing,
Circulation, and Neurological Deficit).
b. Terapi khusus :
1) Hipertensi
Bila tekanan darah sistol > 220 diastol >140 mmHg, atau MAP rerata
>145 mmHg dapat diberikan antihipertensi parenteral dengan nikardipin,
diltiazem, atau labetalol. Bila tekanan darah sistol 180-220 mmHg atau
diastol 105-140 mmHg atau MAP rerata 130 mmHg dapat diberikan juga
obat antihipertensi seperti di atas. Bila tekanan darah sistol <180 mmHg
diastol <105, tangguhkan pemberian antihipertensi. Pada fase akut
tekanan darah tidak boleh diturunkan lebih dari 20-25% dari MAP dalam
1 jam pertama.
2) Kejang
Pada status kejang; pada saat kejang diberikan injeksi diazepam bolus
lambat intravena 5-20 mg diikuti fenitoin loading dose 15-20 mg/kg/menit
dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit dan diberikan dosis
pemeliharaan 5 mg/kg/hari. Apabila kejang tidak teratasi perlu dirawat di
ICU.
3) Peningkatan tekanan intrakranial
Akibat penekanan massa hematom yang besar pada jaringan otak yang
berdekatan. Biasanya timbul dalam 48 jam pertama dan dapat berlangsung
dalam 2 mingu setelah perdarahan awal. Ditandai dengan perburukan
gejala neurologis dan gambaran CT Scan ulangan adanya gambaran
impending herniasi. Langkah- langkah yang dapat ditempuh adalah :
a) Non medikamentosa :
(1) Posisi kepala da tubuh berbaring 20-30o
(2) Pemberian O2 dan membuat hiperventilasi (PaO2 30-35)
(3) Menghindari pemberian cairan glukosa/hipotonik
(4) Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
(5) Pemasangan urine kateter
(6) Mencegah konstipasi
(7) Menurunkan metabolisme dengan membuat hipotermi.
b) Medikamentosa :
Obat hiperosmolar manitol dosis 0.25-1 g/kg bolus, dilanjutkan
dengan 0.25-0.5 g/kg diulang setiap 4-6 jam sekali.
Terapi operatif dilakukan pada kasus perdarahan intraserebral cerebellar
dengan diameter >3 cm dengan perburukan klinis dan penekanan pada batang otak
menyebabkan hidrosephalus akibat obstruksi ventrikel IV; perdarahan
intraserebral dengan lesi struktural seperti aneurisma, malformasi AV, atau
angioma kavernosa, yang mempunyai harapan keluaran yang baik dan lesi
strukturalnya terjangkau; pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang-besar
yang memburuk.
Sedangkan penatalaksanaan untuk perdarahan subaraknoid biasanya berupa
medikamentosa seperti berikut :
a. Monitor dan kontrol tekanan darah untuk mencegah risiko perdarahan
ulang dan menjaga tekanan perfusi serebral. Tekanan darah dipertahankan
dengan MAP <110 mmHg atau tekanan darah <160/90 mmHg.
b. Pemberian terapi dini antifibrinolitik jangka pendek yang dikombinasi
dengan terapi aneurisma, serta dilanjutkan dengan upaya pencegahan
hipovolemia dan vasospasme. Terapi antifibrinolitik hanya diberikan pada
kondisi tertentu, yaitu pada penderita yang memiliki risiko rendah terjadinya
vasospasme sambil menunggu tindakan operasi.
c. Penatalaksanaan vasospasme serebral
1) Nimodipin (calcium channel blocker) oral 60 mg tiap 4 jam
dapat menurunkan outcome jelek pada kasus perdarahan subaraknoid
aneurisma. Obat ini diberikan selama 21 hari. Bila terjadi hipotensi,
maka dapat dilakukan penyesuaian dosis.
2) Memelihara sirkulasi volume darah normal dan menghindari
terjadinya hipovolemia.
3) Terapi triple H (Hipertensi, Hemodilusi, Hipervolemia).
a) Mempertahankan cerebral venous pressure (CVP) pada kisaran
10-12 mmHg dan hematokrit pada kisaran 30-35%.
b) Mempertahankan tekanan darah sistolik pada kisaran 160-200
mmHg.
4) Angioplasty serebral dan/atau vasodilator intrakranial selektif
merupakan terapi alternatif.
d. Pemberian profilaksis antikejang dilakukan segera setelah periode
perdarahan. Profilaksis antikejang diberikan pada penderita dengan resiko
berupa riwayat kejang sebelumnya, perdarahan parenkim, infark parenkim
atau adanya aneurisma pada arteri serebri media.
e. Pencegahan hiponatremia
1) Pemberian cairan hipotonis dan cairan penarik cairan ke dalam
intravaskuler dalam jumlah besar hendaknya dihindari pada kasus
perdarahan subaraknoid.
2) Monitor status volume cairan penderita perdarahan subaraknoid
dengan menggubakan kombinasi central venous pressure, pulmonary
artery wedge pressure, keseimbangan cairan, serta berat badan penderita.
Cairan yang diberikan adalah cairan isotonis.
3) Penggunaan fludrocortisones acetate dan salin hipertonis
ditujukan untuk mengkoreksi hiponatremia.
f. Mengurangi keluhan penderita dengan memberikan analgetik adekuat,
sedasi ringan dan pelunak feses.
8. Komplikasi
Menurut Smeltzer, S. C., & Bare (2002), serangan stroke tidak berakhir
dengan akibat pada otak saja, gangguan emosional dan fisik akibat berbaring
lama tanpa dapat bergerak adalah hal yang tidak dapat dihindari. Ada beberapa
komplikasi dari penyakit stroke, yaitu:
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah
adekuat ke otak. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan
hemoglobin serta hematokrit dalam tingkat dapat diterima akan membantu
dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
b. Penurunan aliran darah serebral. Aliran darah serebral bergantung pada
tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral.
Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan
pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cidera.
c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi
atrium. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya
menurunkan aliran darah serebral. Disritmia mengakibatkan curah jantung
tidak konsisten dan penghentian thrombus lokal.
b. Secondary Assessment
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil,
dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1) Anamnesis
Menurut Rudd dalam Emergency Nursing Association (2009), anamnesis
juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga:
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat).
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian).
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cidera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama).
2) Pemeriksaan fisik
a) Kulit kepala
Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala.
b) Mata
Ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana refleks
cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya
ikterus, apakah konjungtivanya anemis atau tidak.
c) Hidung
Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman.
d) Telinga
Periksa adanya nyeri, penurunan atau hilangnya pendengaran.
e) Mulut
Inspeksi pada bagian mukosa terhadap tekstur, warna, kelembaban.
f) Toraks
Inspeksi: peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.
Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri pada klien dengan
tingkat kesadaran compos mentis.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien stroke
dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Tidak didapatkan bunyi
nafas tambahan pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis.
g) Abdomen
Inspeksi : adakah distensi abdomen, asites.
Auskultasi : bising usus.
Perkusi : untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan).
Palpasi : untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali, splenomegali.
h) Ektremitas
Pada saat inspeksi lihat adanya edema, gerakan, dan sensasi harus
diperhatikan, paralisis, sedangkan pada jari-jari periksa adanya
clubbing finger serta hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien
hypoxia lambat s/d 5-15 detik).
Perdarahan araknoid/ventrikel
Hematoma serebral
deficit neurologi
Bersihan jalan nafas tidak efektif
hemiparese/plegi kanan hemiparese/plegi kiri
Sumber :Nanda, 2013
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu label singkat, mengambarkan
kondisi pasien yang diobservasi di lapangan (Wilkinson dalam NANDA
2013). Diagnosa keperawatan pasien dengan masalah stroke hemoragi
didapatkan diagnosa keperawatan gawat darurat sebagai berikut :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sekret.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.
c. Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan iskemia.
3. Intervensi Keperawatan
Menurut Iowa Intervention Project (2008), NIC merupakan klasifikasi
intervensi keperawatan yang dibuat untuk menyeragamkan bahasa intervensi
yang dilakukan oleh perawat.
Menurut Iowa Intervention Project (2008), NOC adalah istilah standar
untuk menggambarkan outcomes pasien.
Faktor yang
berhubungan:
Penumpukan sekret.
2 Pola Nafas Tidak NOC : NIC :
Vital sign Monitoring
Efektif a. Vital sign Status
a. Monitor TTV
Batasan karakteristik :
Kriteria Hasil : b. Monitor frekuensi,
a. Menggunakan
menunjukan tanda-
irama pernapasan,
otot pernafasan
tanda vital dalam
& pola pernapasan
tambahan
rentang normal c. Monitor sianosis
b. Dyspnea
c. Nafas pendek perifer
d. Monitor adanya
Faktor yang
cushing triad
berhubungan :
(tekanan nadi yang
Hiperventilasi
melebar,bradikardi,
peningkatan
sistolik)
3 Perfusi Jaringan NOC : NIC :
Circulation status Intrakranial Pressure
Serebral tidak Efektif
Tissue Prefusion :
(ICP) Monitoring
Serebral serebral
a. Abnormalitas a. Monitor tekanan
Kriteria Hasil: tidak
bicara intrakranial pasien
b. Kelemahan ada tanda tanda b. Monitor respon
c. Perubahan status
peningkatan tekanan neurologi terhadap
mental
intrakranial. aktivitas
d. Perubahan pada
c. Restrain pasien
respon motorik d. Monitor angka
e. Perubahan reaksi
WBC
pupil e. Kolaborasi terapi
antibiotik
Faktor yang
f. Berikan informasi
berhubungan :
kepada keluarga
iskemia g. Monitor irama
jantung (EKG)
Implem
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan keperawatan yang dilakukan oleh
perawat (Doengoes, 2000).
Implementasi dibedakan menjadi :
a. Secara mandiri (independent) adalah tindakan yang diprakarsai sendiri
oleh perawat untuk membantu klien dalam mengatasi masalah.
b. Saling ketergantungan atau kolaborasi (interdependent) adalah
tindakan keperawatan atas dasar kerja sama tim perawat dan tim kesehatan
lainnya.
c. Ketergantungan (dependent) adalah tindakan keperawatan atas dasar
rujukan profesi lainnya.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap yang menentukan apakah tujuan dari intervensi
tersebut tercapai/tidak (Doengoes, 2000).
Evaluasi disusun menggunakan SOAP, yaitu :
S : Adakah hal-hal yang dikemukakan oleh pasien/keluarga secara subyektif.
O : Adakah hal-hal yang ditemukan perawat secara obyektif setelah
dilakukan intervensi keperawatan.
A : Adakah analisa dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu pada
tujuan yang terkait diagnosis.
P : Adakah perencanaan yang akan datang setelah melihat respon
pasien/keluarga pada tahap evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A. (2009). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba
Medika.
Jackson, M, 2009. Seri Panduan Praktis Keperawatan Klinis. Jakarta : Penerbit Erlangga
Machfoed, Moh. Hasan, dkk.2011. Buku Ajar Penyakit Saraf. Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair:Surabaya
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
NANDA, nic-noc. (2013). Diagnosis Keperawatan, NANDA 2013 Definisi & Klasifikasi, T.
Heather Herdman, PhD, RN, Jilid 2. Jakarta: EGC
211116056
Kelas 3B
2019