Anda di halaman 1dari 19

OBSTRUKSI SALURAN NAFAS AKUT

I. Pendahuluan
Saluran nafas atas yang membentang dari hidung, faring, laring, sampai trakea–
bronkus, dapat mengalami suatu keadaan obstruksi oleh berbagai macam sebab. Obstruksi
saluran napas atas ini seringkali menyebabkan suatu keadaan gawat darurat, yang memerlukan
diagnosis cepat serta penanganan yang cepat pula.

II. Definisi
Obstruksi saluran nafas merupakan sekumpulan gejala dan tanda yang diakibatkan oleh
sumbatan di saluran nafas bagian atas.

III. Etiologi dan Klasifikasi


Kausa obstruksi saluran napas atas sangat bervariasi. Klasifikasi lebih praktis
didasarkan atas kausa akut dan kronis. Kausa yang terjadi akut, misalnya pada bayi dan anak
seperti laringotrakeobronkitis, epiglotitis, dan benda asing, pada umumnya datang dalam
keadaan gawat darurat dan perlu penanganan segera. Sedangkan pada obstruksi yang kronis,
misalnya karena hipertrofi adenoid dan tonsil, pada umumnya tidak dalam keadaan emergensi.
Kausa juga dapat didasarkan atas umur, dimana pada umur muda, kelainan kongenital lebih
menonjol, sedangkan pada orang dewasa, lebih sering dijumpai tumor, yang berhubungan
dengan riwayat merokok dan minum alkohol. Klasifikasi obstruksi saluran nafas akut dibagi
berdasarkan usia, yaitu pada anak-anak dan dewasa.
Anak Dewasa
Inflamasi Inflamasi
Croup Croup
Epiglotitis Epiglotitis
Benda Asing Ludwig Angina
Trauma Laring
Benda Asing

Berikut adalah pembahasan dari kausa obstruksi saluran nafas akut.


1. Croup ( Laringitis )
Sindrom croup adalah berbagai penyakit respiratorik yang ditandai dengan gejala
akibat obstruksi laring yang bervariasi dari ringan sampai berat berupa stridor inspirasi, batuk
menggonggong, suara parau, sampai gejala distres pernapasan (Oma dkk, 2005).

IV. Epidemiologi
Croup umumnya terjadi pada anak yang berusia diantara 6 bulan sampai 3 tahun, tetapi
dapat juga terjadi pada anak berusia 3 bulan dan sampai 15 tahun. Dilaporkan, sindrom ini
jarang terjadi pada orang dewasa (Alberta Medical Association, 2008). Insidensinya lebih
tinggi 1,5 kali pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Cherry, 2008).
Dalam penelitian Alberta Medical Association, lebih dari 60% anak yang didiagnosis
menderita croup dengan gejala ringan, sekitar 4% dirawat di rumah sakit, dan kira-kira 1 dari
4.500 anak yang diintubasi (sekitar 1 dari 170 anak yang dirawat di rumah sakit) (Alberta
Medical Association, 2008).

V. Klasifikasi
Anak-anak yang menderita sindrom croup, secara luas dapat dikategorikan berdasarkan
4 derajat beratnya gejala :
a. Ringan
Gejala batuk menggonggong yang kadang-kadang, tidak terdengar suara stridor saat
istirahat, dan tidak adanya retraksi sampai adanya retraksi ringan suprastrenal dan/atau
interkostal.
b. Sedang
Gejala batuk menggonggong yang lebih sering, suara stidor saat istirahat yang dapat
dengan mudah didengar, dan retraksi suprasternal dan dinding sternal saat istirahat, tetapi tidak
ada atau sedikit gejala distres pernapasan atau agitasi.
c. Berat
Gejala batuk menggonggong yang lebih sering, stridor inspirasi yang menonjol dan –
kadang-kadang – stidor ekspirasi, retraksi dinding sternal yang jelas, dan adanya gejala distres
pernapasan dan agitasi yang signifikan.
d. Kegagalan pernapasan terjadi segera
Batuk menggonggong (sering tidak menonjol), terdengar stridor saat istirahat (kadang-
kadang sulit di dengar), retraksi dinding sternal (dapat tidak jelas), letargi atau penurunan
kesadaran, dan jika tanpa tambahan oksigen, kulit tampak kegelapan (Alberta Medical
Association, 2008). Sedangkan klasifikasi berdasarkan definisi dan gejala klinis yaitu :
a. Spasmodic Croup
Penyakit yang ditandai dengan terbangunnya anak tiba-tiba pada malam hari
menunjukkan stridor inspirasi. Cirinya, yaitu saat anak mau tidur tampak sehat atau menderita
pilek ringan, tetapi terbangun dengan batuk croup dan stridor. Berhubungan dengan infeksi
saluran pernapasan atas yang ringan, adanya edema subglotis yang non-inflamasi. Biasanya
terjadi pada anak yang memiliki riwayat keluarga dengan croup atau sebelumnya pernah
menderita croup.
Manifestasi klinisnya berupa suara parau dan batuk menggonggong, tanpa disfagia,
stridor inspirasi derajat minimalsedang. Pemeriksaan fisik diperoleh: tanpa demam, tanpa
faringitis, dengan epiglotis yang normal. Gambaran radiologi berupa penyempitan dari
subglotis pada foto anterior-posterior (AP). Pada laboratorium darah diperoleh nilai hitung
jenis leukosit dalam batas normal. Etiologinya sama dengan etiologi dari laryngotracheitis
(Cherry, 2008)
b. Acute Laryngotracheitis
Keadaan dimana terjadi proses inflamasi pada laring dan trakea. Dimana terdapat
eritema dan pembengkakan dinding lateral trakea, tepat dibawah pita suara. Biasanya terjadi
pada anak yang memiliki riwayat keluarga dengan croup. Pada awalnya berupa gejala pilek,
seperti hidung tersumbat, batuk; demam muncul pada 24 jam pertama; dan dalam 12-48 jam
dapat muncul tanda dan gejala obstruksi saluran pernapasan atas.
Manifestasi klinis berupa suara parau dan batuk menggonggong, tanpa disfagia, stridor
inspirasi derajat minimal-berat; presentasi toksik yang minimal. Pemeriksaan fisik didapatkan
adanya demam sekitar 37,8 – 40,50C, dengan faringitis minimal serta epiglotis yang normal.
Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis pada foto anterior-posterior (AP). Pada
laboratorium darah diperoleh leukositosis ringan, dengan sel polimorfonuklear sebayak lebih
dari 70%. Umumnya disebabkan oleh virus Parainfluenza 1, Parainfluenza 3, virus Influenza
A, Respiratory syncytial virus, Measles, Adenovirus dan Rhinovirus. (Cherry, 2008)
c. LTB ( Laryngotracheobronchitis ) dan LTBP ( Laryngotracheobronchopneumonitis)
Peradangan pada laring, trakea, dan bronkus atau paru-paru; Berupa infiltrasi sel-sel
radang pada dinding trakea, ditambah timbulnya ulserasi, pseudomembran, dan mikroabses.
Onsetnya serupa dengan laryngotracheitis, tetapi gejalanya lebih berat. Progresifitasnya terjadi
dalam 12 jam – 7 hari. Manifestasi klinis berupa suara serak dan batuk menggonggong, tanpa
disfagia, stridor inspirasi derajat berat; presentasi toksik yang tipikal. Pada pemeriksaan fisik
diperoleh hal yang sama seperti pada acute laryngotracheitis, yaitu adanya demam sekitar 37,8
– 40,50C, dengan faringitis minimal serta epiglotis yang normal.
Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis (seperti menara / steeple sign)
pada foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan lunak yang ireguler pada trakea foto lateral,
serta peumonia bilateral. Secara laboratorium didapatkan kenaikan atau penurunan yang
abnormal dari leukosit, dengan jumlah netrofil > 70% dan adanya kenaikan dari persentase
netrofil batang. Dapat disebabkan oleh virus (Parainfluenza 1, 2, 3, Influenza A atau B), pada
sebagian besar kasus merupakan infeksi sekunder bakteri, terutama Staphylococcus aureus;
bakteri lain termasuk streptococcus grup A, Streptococcus pneumoninae, Haemophilus
influenzae, dan Moraxella catarrhalis. (Cherry, 2008)
d. Laryngeal Diphtheria
Infeksi pada laring dan area lain dari saluran pernafasan berhubungan dengan
Corynebacterium diphtheriae, mengakibatkan timbulnya progresifitas dari obstruksi saluran
nafas. Biasanya terjadi pada individu dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap atau tidak
adekuat. Onsetnya lebih lambat, dengan jangka waktu 2 – 3 hari. Manifestasi klinis berupa
suara serak dan batuk menggonggong, biasanya ada disfagia, stridor inspirasi derajat minimal-
berat; dengan presentasi nontoksik. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya demam, 37,8 –
38,50C, faringitis membranosa, epiglotis biasanya normal tetapi dapat pula terselubungi
membran. Gambaran radiologi tidak berguna. Secara laboratorium, ditemukan leukositosis,
dengan peningkatan persentasi dari netrofil batang. (Cherry, 2008)

VI. Riwayat Penyakit


Gejala-gejala croup dapat muncul dengan atau tanpa didahului gejala-gejala saluran
napas atas seperti batuk, pilek dan demam. Gejala croup seringnya timbul menjelang malam
dan pada malam hari dengan onset yang mendadak. Gejala-gejalanya termasuk batuk seperti
suara anjing laut ( menggonggong ), stridor inspirasi, suara parau tanpa demam sampai demam
yang sedang. Gejala croup ini mengakibatkan anak sering dibawa ke tempat pelayanan
kesehatan dan secara signifikan gejalanya berfluktuasi tergantung dari apakah anak dalam
keadaan tenang atau gelisah (agitasi). Pada sebagian besar anak, gejala cruop akan menghilang
dalam 48 jam, tetapi sebagian kecil anak, gejala dapat menetap sampai satu minggu. (Alberta
Medical Association, 2008).

VII. Pemeriksaan Fisik


Para dokter harus selalu waspada pada kemungkinan timbulnya gejala serupa croup,
oleh karena itu, mengetahui riwayat penyakit dan temuan dari pemeriksaan fisik adalah
penting. Kunci utama fokus pemeriksaan yaitu :
a. Terdengarnya suara batuk seperti anjing laut
b. Suara sering kali parau
c. Variasi derajat dari stridor, terutama saat inspirasi
d. Variasi derajat retraksi dinding dada
e. Anak sering menjadi gelisah (agitasi)
f. Tidak adanya air liur
g. Gambaran non-toksik
Temuan lain yang diperoleh dari pemeriksaan fisik berupa :
a. Demam (sampai 400C)
b. Takikardia (dengan gejala obstruksi yang lebih berat)
c. Takipnea yang sedang
d. Jika daerah supraglotis dapat dilihat, tampak gambaran yang normal (Alberta Medical
Association, 2008).

VIII. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium dan radiologi tidak dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis
croup. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan presentasi klinis dan kombinasi dengan
pemeriksaan riwayat penyakit yang teliti serta pemeriksaan fisik. Jika ingin dilakukan
pemeriksaan laboratorium, hal ini dapat dibenarkan dan harus ditunda saat pasien dalam distres
pernapasan (Alberta Medical Association, 2008). Pemeriksaan imaging tidak diperlukan untuk
pasien dengan riwayat penyakit yang tipikal yang berespon terhadap pengobatan, tetapi
bagaimanapun juga, foto lateral dan anteroposterior (AP) dari jaringan lunak leher dapat
membantu dalam mengklarifikasi diagnosis pada anak dengan gejala serupa croup (Alberta
Medical Association, 2008).
Pada foto leher lateral, secara diagnostik dapat membantu, menunjukkan daerah
subglotis yang menyempit serta daerah epiglotis yang normal (Kerby, 2003). Pemeriksaan
saturasi dengan pulse oxymetre diindikasikan untuk anak-anak dengan croup derajat sedang
sampai berat. Terkadang, anak dengan gejala croup bukan derajat beratpun memiliki saturasi
oksigen yang rendah, berhubungan dengan keterlibatan intrapulmoner. Kultur virus atau
pemeriksaan antigen tidak termasuk pemeriksaan rutin, khususnya selama periode epidemik
(Alberta Medical Association, 2008).
IX. Penatalaksanaan
Terapi suportif . Oleh karena gejala croup sering timbul pada malam hari, banyak orang
tua yang merasa khawatir dengan penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke unit
gawat darurat. Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang penyakit
yang secara alami dapat sembuh sendiri ini. Melembabkan Udara (Pengabutan) Pada abad ke-
20 terapi dengan melembabkan udara (terapi uap) merupakan dasar dari manajemen croup,
tetapi sekarang ini efektivitasnya masih dipertanyakan. Rumah sakit saat ini menggunakan
peralatan penguapan untuk tujuan ini.
Cara yang sederhana termasuk memaparkan anak pada udara malam yang basah, atau
memaparkan anak pada uap air yang panas (Wikipedia, 2008). Oksigen Tatalaksana pemberian
oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia (dimana saturasi Oksigen dalam ruangan
biasa < style="">Alberta Medical Association, 2008). Gabungan Oksigen-Helium Pemberian
gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya sebagai gas dengan densitas
rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan turbulensi udara pada penyempitan saluran
pernapasan (Alberta Medical Association, 2008).
Farmakoterapi Analgesik/Antipiretik Walaupun belum ada penelitian khusus tentang
manfaat analgesik atau antipiretik pada anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat
ini karena membuat anak lebih nyaman dengan menurunkan demam dan nyeri (Alberta
Medical Association, 2008).
Antitusif dan Dekongestan Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang
potensial dalam menunjukkan keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada anak
dengan croup. Lagipula, tidak ada dasar yang rasional dalam penggunaannya, dan karena itu
tidak diberikan pada anak yang menderita croup (Alberta Medical Association, 2008).
Antibiotik Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak
dengan croup. Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus, sehingga secara
empiris terapi antibiotik tidak rasional. Lagipula, jika terjadi super infeksi –paling sering
bacterial tracheitis dan pneumonia- merupakan kejadian yang jarang (kurang dari 1:1.000)
sehingga pemakaian antibiotik untuk profilaksis juga tidak rasional (Alberta Medical
Association, 2008).
Epinephrine Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan
croup berat, dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat
mengurangi distres pernapasan dalam waktu 10 menit dan bertahan dalam waktu 2 jam setelah
penggunaan. Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif menyarankan pasien yang
mendapat terapi epinephrine dapat dipulangkan selama gejalanya tidak timbul kembali
setidaknya dalam 2-3 jam setelah terapi (Alberta Medical Association, 2008). Bentuk
epinephrine tartar yang umum digunakan untuk pasien croup; epinephrin 1:1.000 memiliki efek
yang sebanding dan sama amannya dengan bentuk tartar. Dosis tunggal (0,5 ml epinephrine
tartar 2,25% dan 5,0 ml epinephrine 1:1.000) digunakan untuk semua anak tanpa menghiraukan
berat badan (Alberta Medical Association, 2008; Kerby, 2003).
Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara
berulang. Pemberian epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan dibeberapa unit
perawatan intensif anak (Alberta Medical Association, 2008).
Glucocorticoids Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian
menunjukkan penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian
intubasi, reintubasi, angka dan durasi dirawat di rumah sakit, dan angka kunjungan berulang
ke pelayanan kesehatan, serta menurunkan durasi gejala pada anak yang menderita gejala
derajat ringan, sedang dan berat (Alberta Medical Association, 2008).
Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau parenteral. Dexamethasone
dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang umumnya digunakan. Pemberiannya dapat diulang
dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat beberapa bukti juga yang mengatakan dexamethasone dosis
rendah 0,15 mg/kg BB juga sama efektifnya. Di sisi lain, penelitian meta-analisis dengan
kontrol, yang memberikan kortikosteroid dosis lebih tinggi, memberikan respon klinis yang
baik pada sebagian besar pasien (Alberta Medical Association, 2008; Kerby, 2003).
Inhalasi budesonide juga menunjukkan efektivitas yang sama dengan dexamethasone
oral, tetapi cara pemakaiannya lebih traumatik dan lebih mahal sehingga tidak secara rutin
digunakan. Pada pasien dengan gejala gagal napas yang berat, pemberian budesonide dan
epinephrine secara bersamaan adalah logis dan dapat lebih efektiv dari pada pemberian
epinephrine saja. Pada pasien dengan gejala muntah-muntah juga merupakan alasan untuk
memberikan inhalasi steroid (Alberta Medical Association,2008).

X. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul adalah perlunya pemasangan intubasi pada sejumlah
kecil pasien (<1%). Bacterial tracheitis dapat memperburuk keadaan pasien croup. Henti
kardiopulmoner dapat timbul pada pasien yang tidak dimonitor dan tidak diterapi secara
adekuat. Serta timbulnya pneumonia yang merupakan komplikasi dari croup yang jarang
terjadi. (Alberta Medical Association, 2008).
XI. Prognosis
Oleh karena pada umumnya penyebab sindrom croup adalah virus, maka sindroma ini
dapat sembuh dengan sendirinya, dan sangat jarang menyebabkan kematian akibat obstruksi
saluran pernapasan total. Gejalanya dapat berlangsung dalam 7 hari, tetapi puncaknya pada
hari kedua dari perjalanan penyakit (Wikipedia, 2008).
1. Epiglotitis
a) Definisi
Keadaan yang mengancam jiwa anak akibat obstruksi saluran nafas yang disebabkan
peradangan akut disertai edema pada daerah supraglotis laring yang meliputi epiglotis beserta
plika ariepiglotika dan hipofaring; disebut juga supraglotitis.
b) Etiologi
a. Haemophilus influenzae type b (paling sering)
b. Streptococcus beta haemolyticus
c. Stafilokokus (jarang)
c) Kriteria Diagnosis
a. Gejala klinis timbul tiba-tiba dengan panas badan tinggi, sakit tenggorokan dan nyeri
menelan, batuk, dan dalam beberapa jam cepat menjadi progresif sehingga timbul
stridor inspirasi, disfagia, megap-megap, pucat, gelisah, sianosis dan tampak toksik
1) Pada anak yang besar biasanya berada dalam posisi duduk membungkuk ke
depan, mulut terbuka, lidah menjulur dan air liur menetes
2) Biasanya tidak didahului infeksi saluran nafas atas
3) Pemeriksaan fisis menunjukkan tanda distres pernafasan
4) Laboratorium : Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
5) Paling sering terjadi pada anak 2-6 th
6) Radiologi : Foto leher menunjukkan pembesaran dan pembengkakan epiglotis
serta pelebaran hipofaring. Gambaran radiologik yang khas yaitu thumb print
like pada epiglotis yang membengkak
7) Laringoskopi : Epiglotis tampak merah dan edema pada plika ariepiglotika
d) Diagnosis Banding
a. Laringotrakeobronkitis oleh virus
b. Supraglotitis oleh penyebab Streptococcus group A
c. Trakeitis bakteri

e) Pemeriksaan Penunjang
a. Laringoskopi
Foto leher AP, lateral (soft tissue technique) serta foto toraks AP dalam posisi
tegak
b. Darah : Rutin, kultur (darah diambil sebelum diberikan antibiotik), analisis gas (bila
memungkinkan) Tindakan ini dilakukan di ruang perawatan intensif (berbahaya karena
dapat menyebabkan laringospasme)
f) Penyulit
a. Edema paru
b. Atelektasis fokal
c. Pneumonitis
d. Gagal nafas
e. Pneumotoraks dan emfisema mediastinum akibat trakeostomi
g) Terapi
a. Trakeostomi
Perawatan di ruang intensif Diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi
O2 lembab Antibiotik diberikan 10 hari (7 hari secara i.v., selanjutnya p.o.)
Kloramfenikol 75-100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis atau sefotaksim 100-200
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau sefuroksim 75-150 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis Catatan :
Epinefrin rasemat tidak ada gunanya Kortikosteroid masih kontroversil (tidak diberikan)
h) Prognosis
Tergantung penilaian dan cepatnya tindakan gawat darurat

2. Ludwig Angina ( Angina Ludovici )


a) Definisi
Angina ludovici adalah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas
berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras
pada perabaan submandibula.
b) Etiologi
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob.
c) Gejala dan Tanda
Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula,
yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat mendorong
lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak nafas, karena sumbatan jalan nafas.
d) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala
dan tanda klinik. Pada Pseudo Angina Ludovici dapat terjadi fluktuasi.
e) Terapi
Sebagai terapi diberikan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan
anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk
tujuan dekompresi ( mengurangi tegangan ) dan evakuasi pus atau jaringan nekrosis. Insisi
dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jadi dibawah mandibula ).
Perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi ( gigi ) untuk mencegah kekambuhan.
Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.
f) Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang
leher dalam lain dan medistinum, serta sepsis.

3. Trauma Laring
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau tajam akibat luka sayat, luka
tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada leher selain dapat merusak struktur laring juga
menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dll. Hal ini sering
terjadi dalam kehidupan seha
a) Patofisiologi
Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika ariepiglotika dan
plika ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain
itu mukosa faring dan laring mudah robek, yang akan diikuti dengan terbentuknya emfisema
subkutis di daerah leher. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat menyebabkan selulitis,
abses, atau fistula. Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan
dislokasi. Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang
rawan, dan perikondritis yang mengakibatkan penyempitan lumen laring dan trakea. Robekan
mukosa yang tidak dijahit dengan baik, yang diikuti oleh infeksi sekunder, dapat menimbulkan
terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya stenosis. Boyes ( 1968 ) membagi
trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul dalam 3 golongan :
a. Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema
submukosa, luka tusuk atau luka sayat tanpa kerusakan tulang rawan.
b. Trauma yang mengakibatkan tulang rawan hancur ( crushing injuries ).
c. Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang. Pembagian golongan trauma ini
erat hubungannya dengan prognosis fungsi primer laring dan trakea sebagai saluran
nafas yang adekuat.
b) Gejala Klinik
Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama.
Timbulnya gejala stridor perlahan-lahan yang makin menghebat atau timbul mendadak sesudah
trauma merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas. Suara serak ( disfoni ) atau suara hilang
( afoni ) timbul bila terdapat kelainan pita suara akibat trauma seperti edema, hematoma,
laserasi atau parese pita suara. Emfisema sukbkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau
trakea, atau fraktur tulang rawan laring hingga mengakibatkan udara pernapasan akan keluar
dan masuk ke jaringan subkutis leher.
Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada, dan abdomen dan pada
perabaan terasa sebagai krepitasi kulit. Hemopisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas
dan bila jumlahnya banyak dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat
luka tusuk, luka sayat, luka tembak, maupun luka tumpul. Disfagia dan odinofagia dapat timbul
akibat ikut bergeraknya laring yang mengalami cedera pada saat menelan.
c) Diagnosis
Terdapatnya salah satu manifestasi klinik di atas merupakan dasar perkiraan adanya
trauma yang berat dan merupakan indikasi untuk melakukan pemeriksaan laringoskopi tak
langsung, laringoskopi langsung dan bronkoskopi untuk menentukan adanya edema,
hematoma, mukosa dan tulang rawan yang bergeser dan paralisis pita suara. Rontgen foto leher
dan dada harus dilakukan untuk mendeteksi adanya fraktur laring dan trauma trakea. Diagnosis
luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya gelembung-gelembung udara pada
daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari trakea. Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis
luka tertutup pada laring lebih sulit. Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya,
apakah perlu dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi
saja.
d) Penatalaksanaan
Sebagai terapi awal pada trauma laring akut ialah dengan mempertahankan aliran udara
adekuat, mungkin diperlukan tindakan trakeostomi. Kemudian dilanjutkan dengan penilaian
terhadap trauma dan menentukan apakah terapi definitif harus dilakukan dengan segera atau
perlu ditunda, yang tergantung pada keadaan klinisnya. Luka terbuka dapat disebabkan oleh
trauma tajam pada leher setinggi laring, misalnya oleh pisau, celurit, dan peluru. Kadang-
kadang pasien dengan luka terbuka pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh
karena perdarahan atau terjadinya asfiksia. Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama
ditujukan pada perbaikan saluran napas dan mencegah aspirasi darah ke paru.
Tindakan yang segera harus dilakukan ialah trakeostomi dengan menggunakan kanul
trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Tindakan intubasi endotrakea
tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan kerusakan struktur laring yang lebih parah. Setelah
trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang
cedera serta memperbaiki struktur laring dengan menjahit mukosa dan tulang rawan yang
robek.Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika dan serum anti tetanus.
e) Komplikasi
Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaanya kurang tepat dan
cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain terbentuknya jaringan parut dan terjadinya
stenosis laring, paralisis nervus rekuren, iInfeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis,
jaringan parut, dan stenosis laring dan trakea.

4. Benda Asing
Benda asing didalam suatu organ ialah benda asing yang berasal dari luar tubuh atau
dari dalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing yang berasal dari luar
tubuh disebut benda asing eksogen, biasanya masuk melalui hidung atau mulut. Sedangkan
yang berasal dari dalam tubuh, disebut benda asing endogen. Benda asing eksogen terdiri dari
benda padat, cair atau gas. Benda asing eksogen padat terdiri dari zat organik, seperti kacang-
kacangan (yang berasal dari tumbuhtumbuhan), tulang (yang berasal dari kerangka binatang)
dan zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu dan lain-lain. Benda asing eksogen cair
dibagi dalam benda cair yang bersifat iritatif, seperti zat kimia, dan benda cair non-iritatif, yaitu
cairan dengan pH 7,4.
a) Etiologi dan Faktor Predisposisi
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran napas
antara lain, faktor personal ( umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal ),
kegagalan mekanisme proteksi yang normal (antara lain keadaan tidur, kesadaran menurun,
alkoholisme dan epilepsi), faktor fisik (yaitu kelainan dan penyakit neurologik), proses
menelan yang belum sempurna pasa anak, faktor dental, medikal dan surgikal (antara lain
tindakan bedah, ekstraksi gigi, belum tumbuh gigi molar pada anak yang berumur < 4 tahun),
faktor kejiwaan (antara lain emosi, gangguan psikis), ukuran dan bentuk serta sifat benda asing,
faktor kecerobohan (antara lain meletakkan benda asing dimulut, persiapan makan yang kurang
baik, makan atau minum tergesa-gesa, makan sambil bermain (pada anak-anak), memberikan
kacang atau permen pada anak yang gigi molarnya belum lengkap.
b) Kekerapan
Dari semua kasus benda asing yang masuk ke dalam saluran napas dan saluran cerna
yang terjadi pada anak-anak, sepertiga dari benda asing yang teraspirasi tersangkut di saluran
napas. Lima puluh lima persen dari kasus benda asing disaluran napas terjadi pada anak
berumur kurang dari 4 tahun pada tahun 1975, insidens kematian mendadak akibat aspirasi atau
tertelan benda asing lebih tinggi. Bayi dibawah umur 1 tahun, gawat napas karena aspirasi
benda asing merupakan penyebab utama kematian (national safety council, 1981). Kacang atau
biji tumbuhan lebih sering teraspirasi pada anak yang berumur antara 2-4 tahun, karena belum
mempunyai gigi molar yang lengkap dan belum dapat mengunyah makanan dengan baik. Enam
sampai delapan persen benda asing yang teraspirasi berupa plastik yang sukar didiagnosis
secara radiologik, karena bersifat non-iritatif serta radiolusen, sehingga dapat menetap
ditraktus trakeobronkial untuk periode yang lama. Benda asing dilaring dan trakea lebih sering
terdapat pada bayi kurang dari 1 tahun. Benda asing hidung lebih sering terjadi pada anak-anak,
karena anak yang berumur 2-4 tahun cenderung memasukkan benda-benda yang ditemukan
dan dapat dijangkaunya ke dalam lubang hidung, mulut atau dimasukkan oleh anak lain.
c) Patogenesis
Benda asing mati (inanimate foreign bodies) di hidung cenderung menyebabkan edema
dan inflamasi mukosa hidung, dapat terjadi ulserasi, epitaksis, jaringan granulasi dan dapat
berlanjut menjadi sinusitis. Benda asing hidup (animate foreign bodies) menyebabkan reaksi
inflamasi dengan derajat bervariasi, dari infeksi lokal sampai destruksi masif tulang rawan dan
tulang hidung dengan membentuk daerah supurasi yang dalam dan berbau. Cacing askaris
dihidung dapat menimbulkan iritasi dengan derajat yang bervariasi karena gerakannya. Benda
asing anorganik menimbulkan reaksi jaringan yang lebih ringan, dan lebih mudah didiagnosis
dengan pemeriksaan radiologik, karena umumnya benda asing anorganik bersifat radioopak.
d) Diagnosis
Diagnosis klinis benda asing di saluran napas ditegakkan berdasarkan anamnesis
adanya riwayat tersedak sesuatu, tiba-tiba timbul "choking" (rasa tercekik), gejala, tanda,
pemeriksaan fisik dengan auskultasi, palpasi dan pemeriksaan radiologik sebagai pemeriksaan
penunjang. Diagnosis pasti benda asing di saluran napas ditegakkan setelah dilakukan tindakan
endoskopi atas indikasi diagnostik dan terapi.
Anamnesis yang cermat perlu ditegakkan, katena kasus aspirasi ditegakkan karena
kasus aspirasi benda asing sering tidak segera dibawa ke dokter pada saat kejadian. Perlu
diketahui macam benda atau bahan yang teraspirasi dan telah beberapa lama tersedak benda
asing itu.
e) Gejala dan Tanda
Gejala sumbatan benda asing di dalam saluran napas tergantung pada lokasi benda
asing, derajat sumbatan ( total atau sebagian ) sifat, bentuk dan ukuran benda asing, Benda
asing yang masuk melalui hidung dapat tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus. Benda yang masuk melalui mulut dapat terhenti di orofaring, hipofaring, tonsil, dasar
lidah, sinus priformis, esofagus dan dapat juga tersedak masuk ke laring, trakea dan bronkus.
Gejala yang timbul bervariasi, dari tanpa gejala sampai kematian sebelum diberi
pertolongan, akibat sumbatan total. Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing akan
mengalami 3 stadium. Stadium pertama merupakan gejala permulaan, yaitu batuk-batuk hebat
secara tiba-tiba (violent paroxysms if coughing), rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di
tenggorokan (gagging), bicara gagap (sputtering) dan obstruksi jalan napas yang terjadi dengan
segera. Pada stadium kedua, gejala stadium permulaan diikuti interval asimtomatik. Hal ini
karena benda asing tersebut tersangkut, refleks-refleks akan melemah dan gejala rangsangan
akut menghilang.
Stadium ini berbahaya, sering menyebabkan keterlambatan diagnosis atau cenderung
mengabaikan kemungkinan aspirasi benda asing karena gejala dan tanda tidak jelas. Pada
stadium tiga, telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat
reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batuk-batuk, hemoptisis, dan abses paru. Bila
seorang pasien, terutama anak, diketahui mengalami rasa tercekik atau manifestasi lainnya,
rasa tersumbat di tenggorokan, batuk-batuk sedang makan, maka keadaan ini haruslah
dianggap sebagai gejala aspirasi benda asing. Benda asing dilaring dapat menutup laring,
tersangkut diantara pita suara atau berada di dubglotis.
Gejala sumbatan laring tergantung pada besar, bentuk dan letak (posisi) benda asing.
Sumbatan total di laring akan menimbulkan keadaan yang gawat biasanya kematian mendadak
karena terjadi asfiksia dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya spasme laring
dengan gejala antara lain disfonia sampe afonia, apne, dan sianosis. Sumbatan tidak total di
laring dapat menyebabkan gejala suara parau, disfonia sampai afonia, bentuk yang disertai
sesak (croupy cough), odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis dan rasa subyektif dari benda
asing (pasien akan menunjuk lehernya sesuai dengan letak benda asing itu tersangkut) dan
dispne dengan derajat bervariasi. Gejala dan tanda ini jelas bila benda asing masih tersangkut
di laring, dapat juga benda asing sudah turun ke trakea, tetapi masih meninggalkan reaksi laring
oleh karena edema laring.
f) Benda asing di hidung
pada anak sering luput dari perhatian orang tua karena tidak ada gejala dan bertahan
untuk waktu yang lama. Dapat timbul rinolith di sekitar benda asing. Gejala yang paling sering
adalah hidung tersumbat, rinore unilateral dengan cairan kental dan berbau. Kadang-kadang
terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis, dan bersin. Pada pemeriksaan, tampak edema dengan
inflamasi mukosa hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi. Benda asing biasanya tertuttp
oleh mukopus, sehingga disangka sinusitis. Dalam hal demikian bila akan menghisap mukopus
haruslah
berhati-hati supaya benda asing itu tidak terdorong ke arah nasofaring yang kemudian dapat
masuk ke laring, trakea dan bronkus. Benda asing, seperti karet busa, sangat cepat
menimbulkan secret yang berbau busuk.
g) Benda asing di orofaring dan hipofaring
Dapat tersangkut antara lain di tonsil, dasar lidah, valekula, sinus piriformis yang
menimbulkan rasa nyeri pada waktu menelan (odinofagia), baik makanan maupun ludah,
terutama bila benda asing tajam seperti tulang ikan, tulang ayam. Untuk memeriksa dan
mencari benda itu di dasar lidah, valekula dan sinus priformis diperlukan kaca tenggorok yang
besar (no 8-10) Benda asing di sinus piriformis menujukkan tanda Jackson (Jackson’s Sign)
yaitu terdapat akumulasi ludah di sinus piriformis tempat benda asing tersangkut. Bila benda
asing menyumbat introitus esophagus, maka tampak ludah tergenang di kedua sinus piriformis.
h) Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus benda asing di saluran napas dapat dilakukan pemeriksaan radiologik dan
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Benda asing yang bersifat radioopak
dapat dibuat Ro foto segera setelah kejadian, sedangkan benda asing radiolusen (seperti
kacang-kacangan) dibuatkan Ro foto setelah 24 jam kejadian, karena sebelum 24 jam kejadian
belum menunjukkan gambaran radiolusen yang berarti. Biasanya setelah 24 jam baru tampak
tanda atelektasis atau emfisema.
i) Pemeriksaan radiologic
Leher dalam posisi tegak untuk penilaian jaringan lunak leher dan pemeriksaan toraks
postero anterior dan lateral sangat penting pada aspirasi benda asing. Pemeriksaan toraks lateral
dilakukan dengan lengan di belakang punggung, leher dalam fleksi dan kepala ekstensi untuk
melihat keseluruhan jalan napas dari mulut sampai karina. Karena benda asing di bronkus
sering tersumbat di orifisium bronkus utama atau lobus, pemeriksaan paru sangat membantu
diagnosis.
j) Video Fluoroskopi
Merupakan cara terbaik untuk melihat saluran napas secara keseluruhan, dapat
mengevaluasi pada saat ekspirasi dan inspirasi dan adanya obstruksi parsial. Emfisema
obstruktif merupakan bukti radiologic pada benda asing di saluran napas setelah 24 jam benda
teraspirasi. Gambaran emfisema tampak sebagai pergeseran mediastinum ke sisi paru yang
sehat pada saat ekspirasi (mediastinal shift) dan pelebaran interkostal.
k) Bronkogram
Berguna untuk benda asing radiolusen yang berada di perifer pada pandangan
endoskopi, serta perlu untuk menilai bronkiektasis akibat benda asing yang lama berada di
bronkus.
l) Pemeriksaan laboratorium
Darah diperlukan untuk mengetahui adanya gangguan keseimbangan asam basa serta
tanda infeksi traktus trakeobronkial.
m) Penatalaksanaan
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi benda asing dengan cepat dan tepat perlu
diketahui dengan sebaik-baiknya gejala di tiap lokasi tersangkutnya benda asing tersebut.
Secara prinsip benda asing di saluran napas diatasi dengan pengangkatan segera secara
endoskopik dalam kondisi yang apling aman, dengan trauma yang minimum. Kebanyakan
pasien dengan aspirasi benda asing yang datang ke ahli THT telah melalui fase akut, sehingga
pengangkatan secara endoskopik harus dipersiapkan seoptimal mungkin, baik dari segi alat
maupun personal yang telah terlatih.
1. Benda asing di laring
Pasien dengan benda asing di laring harus diberi pertolongan dengan segera, karena
asfiksia dapat terjadi dalam waktu hanya beberapa menit. Paada anak dengan sumbatan tiotal
pada laring, dapat dicoba menolongnya dengan memegang anak dengan posisi terbalik, kepala
ke bawah, kemudian daerah punggung/tengkuk dipukul, sehingga diharapkan benda asing
dapat dibatukkan ke luar.
Cara lain untuk menngeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total ialah
dengan cara perasat dari Heimlich (Heimlich maneuver), dapat dilakukan pada anak maupun
orang dewasa. Menurut teori Heimlich, benda asing masuk ke dalam laring ialah pada waktu
inspirasi. Dengan demikian paru penuh oleh udara, diibaratkan sebagai botol plastic yang
tertutup, dengan menekan botol itu, maka sumbatannya akan terlempar ke luar. Dengan perasat
Heimlich, dilakukan penekanan pada paru. Caranya ialah, bila pasien masih dapat berdiri, maka
penolong berdiri di belakang pasien, kepalan tangan kanan penolong diletakkan di atas prisesus
xifoid, sedangkan tangan kirinya diletakkan di atasnya. Kemudian dilakukan penekanan ke
belakan ke atas dan ke arah paaru beberapa kali, sehingga diharapkan benda asing akan
terlempar ke luar dari mulut pasien.
Bila pasien sudah terbaring karena pingsan, maka penolong bersetumpu pada lututnya
di kedua sisi pasien, kepalan tangan diletakkan di bawah prosesus xifoid, kemudian dilakukan
penekanan ke bawah dan ke arah paru pasien beberapa kali, sehingga benda asing akan
terlempar ke luar mulut. Pada tindakan ini posisi muka harus lurus, leher jangan ditekuk ke
samping, supaya jalsn napas merupakan garis lurus.
Komplikasi perasat Heimlich ialah kemungkinan terjadi rupture lambung atau hati dan
fraktur iga. Oleh karena itu pada anak sebaiknya cara menolongnya tidak dengan menggunakan
kepalan tangan, tetapi cukup dengan dua buah jari kiri dan kanan. Pada sumbatan benda asing
tidask total di laring, perasat Heimlich tidak dapat digunakan. Dalam hal ini pasien masih dapat
di bawa ke rumah sakit terdekat untuk diberi pertolongan dengan menggunakan laringoskop
atau bronkoskop, atasu kalau alat-alat itu tidak ada, dilakukan trakeostomi ssebelum merujuk.
Pada waktu tindakan trakeostomi, pasien tidur dengan posisi Trendelenburg, kepasla lebih
rendah dari badan, supaya benda asing tiudak turun ke trakea. Kemudian pasien dapat dirujuk
ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas laringoskopi atau bronkoskopi untuk mengeluarkan
benda asing itu dengan cunam. Tinddakan ini dapat dilakukan dengan anastesi (umum) atau
analgesia (local).
2. Benda asing di hidung.
Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung ialah dengan memakai pengait
(haak) yang dimasukkan ke dalam hidung dib again atas, menyusuri atap kavum nasi sampai
menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik ke depan. Dengan cara
ini benda asing itu akan ikut terbawa ke luar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau
“wire loop”. Tidaklah bijaksana bila mendorong benda asing dari hidung kea rah nasofaring
dengan maksud supaya masuk ke dalam mulut. Dengan cara itu benda asing dapat terus masuk
ke laring dan saluran napas bagian bawah, yang menyebabkan sesak napas, sehingga
menimbulkan keadan yang gawat. Pemberian antibiotika sistemik selama 5-7 hari hanya
diberikan pada kasus benda asing hidung yang telah menimbulkan infeksi hidung maupun
sinus.
Benda asing di tonsil dapat diambil dengan memakai pinset atau cunam. Biasanya yang
tersangkut di tonsil ialah benda tajam, seperti tulang ikan, jarum atau kail. Benda asing di dasar
lidah, dapat dilihat dengan kaca tenggorok yang besar. Pasien diminta menarik lidahnya sendiri
dan pemeriksa memegang kaca tenggorok dengan tangan kiri, sedangkan tangan kasnan
memegang cunam untuk mengambil bemnda tersebut. Bila pasien sangat perasa sehingga
menyukarkan tindakan, sebelumnya dapat bdisemprotkan obat pelali (anastetikum), seperti
xylocain atau pantocain.
3. Benda asing di valekula dan sinus piriformis
Kadang-kadang untuk mengeluarkannya dilakukan dengan cara laringoskopi langsung.
Daftar Pustaka

Soepardi, E.A, Iskandar, H.M. Telingan Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
6.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010
http://odydasa.web.id/pub/docs/CPD%20Yogyakarta%202010/5-Upper%20Airway
%20obstruction.pdf
http://medicastore.com/penyakit/3036/Batuk-Sesak_Nafas_Croup_pada_Anak.html
http://www.scribd.com/doc/71468182/14/EPIGLOTITIS
http://www.scribd.com/doc/58220148/Obstruksi-Laring
http://www.scribd.com/doc/38445944/Benda-Asing-Di-Saluran-Nafas

Anda mungkin juga menyukai

  • Revisi
    Revisi
    Dokumen53 halaman
    Revisi
    marga anisah
    Belum ada peringkat
  • Hemoroid 3
    Hemoroid 3
    Dokumen9 halaman
    Hemoroid 3
    marga anisah
    Belum ada peringkat
  • Ca Hepar
    Ca Hepar
    Dokumen27 halaman
    Ca Hepar
    marga anisah
    Belum ada peringkat
  • Ca Hepar
    Ca Hepar
    Dokumen27 halaman
    Ca Hepar
    marga anisah
    Belum ada peringkat
  • Etika Keperawatan
    Etika Keperawatan
    Dokumen11 halaman
    Etika Keperawatan
    marga anisah
    Belum ada peringkat