Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN TIPE PAUSIBASILER

Penyusun:

Lidya Setia Dinata 17710124

Pembimbing:

dr. Kurniati, Sp.KK

SMF KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat dan
rahmatnya lah penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus “Morbus Hansen”
sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian di bidang ilmu Kulit dan Kelamin
dalam menyelesaikan Pendidikan dokter muda di Fakultas Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya.
Laporan kasus ini dibuat selain tugas, juga semoga dapat membantu teman
sejawat yang ingin mengetahui tentang “Morbus Hansen” dan juga membantu
penulis dalam mempelajari lebih dalam tentang “Morbus Hansen”.
Selain itu penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
2. Direktur RSUD Ibnu Sina Kabupaten Gresik, atas kesempatan yang
diberikan sehingga saya dapat menimba ilmu dirumah sakit ini.
3. dr. Wind Faidati, Sp.KK selaku Kepala Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin di
RSUD Ibnu Sina Kabupaten Gresik.
4. dr. Kurniati, Sp.KK selaku dokter pembimbing saya dan teman-teman
saya.
5. Kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan moril, materil,
maupun spiritual.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna,
maka dari itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun. Semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk dokter muda yang melaksanakan
kepanitraan klinik pada khususnya, serta masyarakat pada umumnya.

Gresik, Maret 2019

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul...................................................................................... i

Kata Pengantar .................................................................................... ii

Daftar Isi............................................................................................... iii

BAB I LAPORAN KASUS ................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi .................................................................................... 7

2.2. Etiologi .................................................................................... 7

2.3. Epidemiologi............................................................................ 8

2.4. Patogenesis .............................................................................. 8

2.5. Histopatologi ........................................................................... 9

2.6. Gejala klinis ............................................................................ 10

2.7. Penatalaksanaan ...................................................................... 13

2.8. Prognosis ................................................................................. 16

BAB III PEMBAHASAN .................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Yuni

Umur :56 tahun

Alamat : Kedung Banteng, Desa Gredek RT 02 / RW 01

Kec. Duduksampeyan, Gresik, Jawa Timur

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Tanggal pemeriksaan : 22 Maret 2019

No. RM : 725367

1.2. ANAMNESA

Keluhan utama : Sulit menggerakkan kelingking kiri

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan kesulitan

menggerakkan jari kelingking kirinya.

Keluhan dirasa sejak 2 minggu yang lalu.

Semakin lama dirasa semakin sulit

digerakkan disertai rasa kaku pada tangan

kirinya. Pasien juga kadang tidak dapat

merasakan sentuhan pada jari tangan

kirinya. Kondisi itu dirasa setelah pasien

melahirkan anak kedua ± 30 tahun yang

lalu. Tidak ada rasa nyeri atau gatal. Tidak

ada keluhan lain selain yang diatas.

1
Riwayat penyakit dahulu : Pasien mengatakan tidak pernah sakit

seperti ini sebelumnya.

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal

Riwayat PJK : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal

Riwayat penyakit keluarga : Riwayat keluarga sakit serupa disangkal

Riwayat pengobatan : Pasien belum pernah berobat sebelumnya

Riwayat sosial : Pasien merupakan ibu rumah tangga.

Tidak ada yang sakit seperti ini di sekitar

pasien.

1.3. PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Keadaan umum : cukup

Kesadaran : compos mentis

GCS : 4-5-6

Tanda vital :

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 84 kali / menit

Respiration rate : 15 kali / menit

Suhu : 36.50C

2
Kepala / Leher

Mata : isokor, anemis (-/-), icterus (-/-), madarosis (-/-),

lagoftalmus (-/-)

Telinga : tak tampak kelainan, penebalan cuping telinga (-/-)

Hidung : tak tampak kelainan, saddle nose (-), penebalan

cuping hidung (-)

Mulut : sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (–)

Wajah : Leonine fascies(-)

Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-/-)

peningkatan JVP (-/-)

pembesaran nervus auricularis magnus (-/-)

Thorax

Simetris, retraksi dada (-)

Jantung : S1 S2 tunggal, reguler, Gallop (-)

Paru : vesikuler pada kedua lapang paru

Abdomen

Flat, soefl, bising usus (+)normal, organomegaly (–)

Ekstremitas

Superior : Akral hangat kering merah (+/+)

Pembesaran nervus ulnaris (-/+)

Kekuatan otot (5/3)

Atrofi otot tenar dan hipotenar sinistra

Clawing hands (-/+)

3
Deformitas digiti V sinistra

Inferior : Akral hangat kering merah (+/+)

Pembesaran nervus peroneus communis (-/-)

Pembesaran nervus tibialis posterior (-/-)

Kekuatan otot (5/5)

Status dermatologis :

- Tidak ditemukan lesi berupa makula atau plak yang tersebar di

regional tubuh

Pemeriksaan Saraf Tepi :

- Tampak penebalan N. Ulnaris Sinistra

4
Gambar 1.1 Regio Manus Sinistra tampak atrofi otot tenar dan hipotenar di sertai deformitas

pada digiti V

1.4. DIAGNOSIS

Morbus Hansen Tipe Pausibasiler dengan Clawing Hands

1.5. DIAGNOSIS BANDING

a. Carpal Tunnel Syndrome

b. Skleroderma sistemik

1.6. RENCANA (EDUKASI, DIAGNOSTIK, TERAPI)

a. Planning diagnostic

a. Pemeriksaan lab : Darah lengkap

b. Pemeriksaan bakteriologis : Tes Uji Cukit Kulit (BTA)

c. Pemeriksaan Serologis : Tes Lepromin

b. Medikamentosa

a. Rifampicin 600mg/bulan (diminum di depan petugas)

b. Dapson 100mg/hari (diminum selama 6 bulan, maksimal 9 bulan)

5
c. Non medikamentosa

a. Istirahat yang cukup

b. Pola makan teratur dengan asupan gizi yang cukup

d. KIE

a. Menjelaskan pada pasien dan keluarga mengenai penyakit ini.

b. Memberi edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai

pentingnya keteraturan pengobatan dan menyelesaikan

pengobatan sesuai waktu yang ditentukan.

c. Memberi edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai cara

perawatan.

d. Memberi edukasi pada pasien untuk tidak meminum obat lain

tanpa sepengetahuan dokter kulit.

e. Memberi edukasi untuk sering melatih jari-jari tangan terutama

tangan kiri agar fungsinya tidak menurun

1.7. PROGNOSIS

Dubia ad bonam

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan

gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga

Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta adalah

penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae.1 Kusta

menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini

adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran

pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa di amati dari luar.

Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan

pada kulit, saraf, anggota gerak dan mata.1

2.2. ETIOLOGI

Mycobacterium leprae dan Mycobacterium lepromatosis adalah bakteri

tahan asam yang berbentuk batang.2 Pada umumnya bakteri tersebut di

sebarkan dari manusia ke manusia melalui droplet yang di keluarkan saat

bernafas atau batuk. Masa inkubasi bakteri tersebut di dalam tubuh manusia

tergantung daya tahan tubuh tiap individu, tetapi WHO menyatakan masa

inkubasi bakteri tersebut dalam tubuh manusia sampai 20 tahun.2

7
2.3. EPIDEMIOLOGI

Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia penderita kusta terbanyak

pada tahun 2014 setelah India dan Brazil. Jawa Timur menduduki peringkat

pertama pada tahun 2015 dengan jumlah kasus kusta yang tercatat 3.952

kasus dengan PB 256 kasus dan MB 3.696 kasus sedangkan prevalensi 1,02

per 100.000 penduduk. Jawa Timur termasuk wilayah endemis penyakit kusta

setidaknya 30 persen penderita kusta di Indonesia berasal dari Jawa Timur.

Kasus baru kusta provinsi Jawa Timur tahun 2014, kasus terbanyak

kabupaten Sumenep 517 kasus, Kabupaten Sampang 487 kasus, Kabupaten

Jember 294 kasus dan Kota Surabaya sebanyak 176 kasus. Surabaya

merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta dengan populasi penduduk

sekitar 3 juta orang. Pada tahun 2014 masih terdapat kasus kusta yang cukup

besar yaitu sebanyak 176 kasus.3

2.4. PATOGENESIS

Dua rute keluarnya Micobacterium leprae dari tubuh manusia yaitu

melalui kulit dan mukosa hidung. Rute masuknya Micobacterium leprae

kedalam tubuh manusia tidak diketahui secara pasti. Dua rute masuknya

kemungkinan besar adalah kulit dan saluran pernafasan. Dari beberapa

penelitian, saluran pernafasan merupakan rute penyebaran yang utama pada

penyakit ini.4

Sulit mengukur periode inkubasi dalam kusta karena kurangnya alat

imunologi yang memadai dan onset yang lambat dari timbulnya penyakit

8
tersebut. Periode inkubasi tercepat terjadi selama beberapa minggu dan yang

terlama dapat mencapai selama 30 tahun. Pada daerah non-endemik kusta,

masa inkubasi rata-rata tiga sampai sepuluh tahun.4

Sel Schwann adalah target utama untuk infeksi oleh Micobacterium

leprae yang menyebabkan cedera pada saraf, demielinisasi dan

mengakibatkan kecacatan. Adanya ikatan antara bakteri Micobacterium

leprae dengan selubung saraf merangsang keluarnya protein-protein yang

mengakibatkan terjadinya demielinisasi dan terjadinya kerusakan saraf-saraf

yang terinfeksi.4

2.5. HISTOPATOLOGI

Secara histopatologis, lesi kulit dari pasien tuberkuloid ditandai oleh

infiltrat inflamasi yang memiliki bentuk berupa granuloma dengan bentukan

makrofag yang berbeda, sel epiteloid dan giant cells, dan didominasi oleh sel

T CD4+ di area lesi tersebut. Pasien menunjukkan respon imun positif kuat

terhadap Micobacterium leprae dengan ditandai hadirnya Th1, produksi

IFN-, dan tes kulit positif ( Tes Lepromin). Pasien lepromatosa datang

dengan beberapa lesi kulit yang di dominasi oleh sel T CD8+ , tidak

beberbentuk granuloma, dan permukaan rata pada lapisan epidermis. Jumlah

basil dari pasien yang terdiagnosis lepromatosis dapat mencapai 1012 bakteri

pergram jaringan. Pasien kusta LL memiliki rasio CD4:CD8 sekitar 1:2

dengan respon Th2 yang dominan dan titer antibodi Micobakterium leprae

yang tinggi.4

9
2.6. GEJALA KLINIS

a. Gejala Klinis yang ditimbulkan

Gejala-gejalanya terutama mengenai kulit, saraf, dan selaput lendir (area

lunak dan lembab yang terdapat di dalam permukaan tubuh.5

Gejala yang ditimbulkan pada kulit berupa :5

 Bercak-bercak kulit yang berubah warna, biasanya rata, yang

mungkin mati rasa dan terlihat pudar (lebih terang dari kulit

sekitarnya),

 Pertumbuhan nodul pada kulit

 Kulit tebal, kaku atau kering

 Bisul tanpa rasa sakit di telapak kaki

 Pembengkakan tanpa rasa sakit atau benjolan di wajah atau telinga

 Hilangnya alis atau bulu mata

Gejala yang ditimbulkan pada saraf berupa : 5

 Mati rasa pada kulit yang terkena

 Kelemahan atau kelumpuhan otot (terutama ditangan atau dikaki)

 Saraf yang membesar (terutama disiku dan lutut dan sisi leher)

 Masalah mata yang dapat menyebabkan kebutaan (ketika mengenai

saraf wajah)

Gejala yang ditimbulkan pada membran mukosa : 5

 Hidung tersumbat

 Mimisan

10
b. Keterlibatan dan komplikasi pada saraf

Jaringan kulit dan batang saraf sering menjadi target sasaran dari

Mycobacterium leprae. Manifestasi yang ditimbulkan tergantung saraf

yang terinfeksi, respon imunitas individu, jenis kusta dan reaksinya.

Kerusakan saraf di tandai dengan gangguan atau hilangnya sensorik

lengkap di area yang berhubungan dengan saraf perifer. Kerusakan saraf

dapat terjadi pada tingkat kutis (dimana ujung saraf terinfeksi), pada

tingkat saraf bagian subkutan, dan pada tingkat batang saraf. Fungsi

motorik dan otonom juga bisa dipengaruhi. Kerusakan saraf otonom

menyebabkan terjadinya sianosis, membran mukosa kering, dan

berkurangnya keringat pada bagian saraf yang terinfeksi. Paresis atau

kelumpuhan dan atrofi otot juga dapat terjadi bila infeksi tersebut

menyerang bagian saraf. Saraf perifer adalah saraf yang paling sering

terkena infeksi kusta tersebut (biasanya simetris atau asimetris). 6

Pada kasus ini terjadi infeksi pada saraf ulnarisnya. Saraf ulnaris ini

paling sering terkena pada penyakit kusta yang ditandai dengan

kerusakan saraf mulai dari bagian proximal sampai percabangannya di

olecranon. Bila hal tersebut tidak segera ditangani, maka akan terjadi

kerusakan saraf yang lebih fatal ditandai dengan hilangnya sensasi rasa

(Sensorik) serta terjadi atrofi otot yang progresif pada hipotenar. Seiring

berjalannya waktu, jari keempat dan kelima menjadi tertekuk di sendi

interphalangeal proximal dan bisa memanjang sampai sendi

metacharpophalangeal. Kondisi seperti ini akan menunjukkan gambaran

11
tangan yang berbentuk cakar atau sebutannya Ulnar Claw. Tanpa

perawatan dan pencegahan kecacatan yang maksimal, kondisi ini akan

berujung pada kerusakan tulang dan hilangnya jari pasien.6

Gambar 2.1 Ulnar claw. Jari kempat dan kelima fleksi dikarenakan kerukasan

pada Nervus ulnaris pada pasien kusta.6

c. Klasifikasi Morbus Hansen

Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen7

TANDA-TANDA PAUSIBASILER (PB) MULTIBASILER (MB)

Bercak kusta Jumlah 1-5 Jumlah > 5

Penebalan saraf tepi Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf

Kerokan jaringan kulit BTA negatif BTA Positif

Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral simetris

asimetris

Permukaan bercak Kering, kasar Halus, mengkilap

12
Batas bercak Tegas Kurang tegas

Mati rasa pada bercak Jelas Biasanya kurang jelas

Deformitas Proses terjadi lebih cepat Terjadi pada tahap lanjut

Ciri-ciri khas - Madarosis, hidung pelana,

wajah singa (facies

leonina), ginekomasti

pada laki-laki

2.7. PENATALAKSANAAN

a. Nonmedikamentosa7

1. Untuk tangan yang mati rasa

Tangan yang mati rasa dapat terluka oleh :

- Benda panas

- Benda tajam

- Gesekan dari alat kerja

Memeriksa : seringlah berhenti dan periksa tangan dengan teliti

apakah ada luka atau lecet sekecil apapun

Melindungi : Lindungilah tangan dari benda yang panas , kasar atau

tajam, dengan memakai kaos tangan tebal atau alas kain dan

mencegah luka dengan membagi tugas rumah tangga supaya orang

lain mengerjakan bagian yang berbahaya bagi tangan yang mati rasa

Merawat Luka : Jika ada luka, memar atau lecet sekecil apapun,

rawatlah dan istirahatkan bagian tangan itu sampai sembuh.

13
2. Untuk jari tangan yang bengkok

Jika dibiarkan bengkok, maka jari tangan akan kaku dan otot akan

memendek sehingga jari akan menjadi lebih kaku dan tidak dapat

digunakan, serta dapat menyebabkan luka.

Untuk mencegahnya dengan cara :

Memeriksa : Periksa tangan secara rutin untuk luka yang mungkin

terjadi akibat penggunaan tangan dengan jari yang bengkok.

Melindungi : Menggunakan alat bantu untuk aktifitas sehari-hari

yang dimodifikasi untuk digunakan pada jari yang bengkok.

Merawat : Sesering mungkin menggunakan tangan yang lain untuk

meluruskan sendi-sendinya dan mencegah supaya jangan sampai

terjadi kekakuan lebih berat dengan cara :

- Taruh tangan diatas paha, luruskan dan bengkokan jari berulang

kali

- Pegang ibu jari dengan tangan lain dan gerakkan sendi supaya

tidak kaku

- Atau jika ada kelemahan pada jari, kuatkan dengan cara taruh

tangan di meja atau paha, pisahkan dan rapatkan jari berulang

kali. Ikat jari dengan 2-3 karet gelang, lalu pisahkan dan

rapatkan jari berulang kali (jari ke 2 s/d 5).

b. Medikamentosa7

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang di

rekomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :

14
1. Pasien Pausibasiler (PB)

Dewasa

Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)

 2 kapsul rifampicin @300mg (600mg)

 1 tablet dapson / DDS 100mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

 1 tablet dapson / DDS 100mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama

6-9 bulan.

2. Pasien Multibasiler (MB)

Dewasa

Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)

 2 kapsul rifampicin @300mg (600mg)

 3 tablet lampren @100mg (300mg)

 1 tablet dapson/ DDS 100mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

 1 tablet lampren 50 mg

 1 tablet dapson/DDS 100mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister untuk diminum

selama 12-18 bulan

15
2.8. PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan Morbus Hansen akan baik jika didiagnosis

dengan cepat dan mendapatkan terapi yang adekuat. Rekurensi dapat terjadi

apabila terapi yang diberikan inadekuat. Pentingnya memutuskan mata rantai

penularan agar pasien tidak terinfeksi kembali dan perlunya penanganan

pencegahan kecacatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. 1,5,7.

16
BAB III

PEMBAHASAN

Kemenkes RI sudah menetapkan dalam sebuah jurnal yang dikeluarkan

pada tahun 2015 halaman 1, dimana dalam jurnal tersebut menjelaskan mengenai

kusta yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae.1 Dalam jurnal

“Clinical Aspect of Leprosy” halaman 26, menyatakan Leprosy (Kusta)

merupakan penyakit kronik yang menginfeksi sistem saraf perifer, kulit dan

beberapa jaringan seperti sistem retikulo-endotelial, tulang dan sendi, membran

mukosa, mata, otot dan kelenjar adrenal .2 Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) menjelaskan bahwa gejala yang ditimbulkan bervariasi

tergantung manifestasi dari bakteri tersebut. Gejalanya antara lain pada kulit dapat

ditemukan munculnya plak/ makula yang berubah warna bisa disertai

pertumbuhan nodul pada kulit, kulit terasa tebal, kaku, dan kering.5 Pada

gangguan saraf dapat ditemukan gejala berupa kehilangan sensasi rasa karena

terganggunya fungsi saraf sensorik dan dapat terjadi atrofi pada otot yang

dipersarafi oleh saraf tersebut.5 Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan sulit

menggerakkan kelingking kiri. Dimana keluhan tersebut disertai dengan

hilangnya sensasi rasa (Sensorik) pada jari tangan pasien dan atrofi pada otot tenar

dan hipotenar pasien. Jari tangan pasien juga sering terasa kaku dan sulit

digerakkan.

Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit kusta halaman 73

menetapkan klasifikasi Kusta (Morbus Hansen) dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe

17
pausibasiler dan multibasiler.7 Penentuan tipe tersebut berdasarkan beberapa

kategori antara lain jumlah bercak kusta, penebalan saraf tepi, kerokan jaringan

kulit, distribusi, permukaan bercak, batas bercak, mati rasa pada bercak,
7
deformitas. Pada pasien ini tidak ditemukan bercak-bercak pada kulitnya, oleh

sebab itu terdapat kesulitan dalam menegakkan diagnosis. Namun, dari hasil

pemeriksaan fisik ditemukan beberapa tanda khas yang dapat dijumpai pada

pasien kusta. Pada pasien ini ditemukan penebalan pada N. Ulnaris sinistra

dimana menunjukkan adanya infeksi pada saraf tersebut. Selain itu ditemukan

deformitas pada digiti v sinistra yang disertai dengan claw hands. Oleh sebab itu

pasien pada kasus ini dapat di klasifikasikan sebagai tipe pausibasiler karena

hanya ditemukan gangguan pada satu saraf tepi.

Penegakkan diagnosis dari penyakit ini berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik yang telah dilakukan.7 Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan

berupa darah lengkap, tes BTA, tes lepromin diharapkan dapat menegakkan

diagnosis secara pasti. Ketiga langkah meneggakkan diagnosis kusta tersebut telah

sesuai dengan pedoman dalam jurnal Pedoman Nasional Program Pengendalian

Penyakit kusta halaman 75 yang telah ditetapkan oleh Kemenkes RI. Adapun

diagnosis banding pada penyakit ini yang mana pada pasien tidak ditemukan

bercak-bercak seperti pada umumnya sehingga tidak dapat menentukan diagnosis

banding seperti penyakit kusta pada umumnya yaitu tinea korporis atau psoriasis

vulgaris. Namun adanya satu gejala khas pada pasien yaitu claw hands dapat

merujuk pada diagnosis banding yaitu carpal tunnel syndrome (CTS) dan sistemik

skleroderma sesuai dengan yang tercantum dalam jurnal Clinical Aspect of

18
Leprosy halaman 35 yang menyatakan bahwa beberapa penyakit yang dapat

menjadi diagnosis banding dari kusta dengan gangguan saraf perifer antara lain

carpal tunnel syndrome dan sistemik skleroderma.6

Pemberian terapi pada pasien Kusta (Morbus Hansen) berdasarkan tipenya

yaitu tipe pausibasiler atau tipe multibasiler. Pengobatan menggunakan beberapa

regimen obat dimana tiap tipe memiliki regimen obat yang berbeda dan lama

pengobatan yang berbeda. Sesuai Pedoman Nasional Program Pengendalian

Penyakit Kusta halaman 100, pada pasien ini ditegakkan diagnosis Morbus

Hansen tipe pausibasiler sehingga menggunakan regiman obat untuk tipe

pausibasiler dan lama pengobatan yang diperlukan 6-9 bulan.7 Regimen obat yang

digunakan adalah rifampicin dan dapson.7

Kondisi pada pasien ini telah menunjukkan komplikasi dimana terdapat

deformitas pada jari kelingking kiri disertai bentukan tangan khas yaitu claw

hands yang menandakan adanya kerusakan saraf pasien. Oleh sebab itu selain

pemberian obat yang adekuat, juga diperlukan terapi untuk meningkatkan kualitas

hidup pasien agar fungsi jari-jari tangannya tidak menurun. Fisioterapi dapat

dilakukan dengan melatih jari-jari tangan secara berulang-ulang dan secara

konsisten. Latihan tersebut juga dapat mengurangi risiko yang lebih lenjut yaitu

kerusakan tulang hingga kehilangan jari tangan. Oleh sebab itu apabila

pengobatan secara medikamentosa dan non medikamentosa dapat dilakukan

secara adekuat maka prognosis untuk pasien ini adalah dubia ad bonam. Namun

tidak menutup kemungkinan kondisi seperti ini bisa kambuh lagi tergantung dari

daya tahan tubuh pasien dan kondisi lingkungan pasien tersebut.7

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pusat Data dan Informasi

Kementrian kesehatan RI : KUSTA. Departement Kesehatan Republik

Indonesia (DEPKES RI) Hal. 1

(http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/inf

odatin_kusta.pdf ) diakses pada tanggal 25 Maret 2019 Pukul 20.00 WIB.

2. White Cassandra. 2017. Clinical and Social Aspects of Leprosy (Hansen’s

Disease) dan Contemporary Challanges to Elimination. Department of

Anthropology, Georgia State University, USA. Journal of Dermatology and

Clinical Research. Hal 2

3. Gustam Tasalina Yohana Parameswari,dkk. 2017. Hubungan antara Riwayat

Kontak dengan Kejadian Kusta Multibasiler. University Research

Colloquium. ISSN 2407-9189. Hal 36

4. Barth Ramesh Marne and Prakash Chaitra. 2012. Leprosy : An Overview

Pathophysiology. Department of Dermatology, Father Muller Medical

Collage, Kartanaka, India. Hindawi Publishing Corporation. Hal 2-3

5. Centers for Disease Control and Prevention. 2017. Hansen’s Disease

(Leprosy) : Signs and Symptoms. National Center for Emerging and Zoonotic

Infectious Diseases.

https://www.cdc.gov/leprosy/resources/index.html diakses pada tanggal 26

Maret 2019 pada pukul 12.000 WIB

20
6. Talhari Carolina, MD, PhD, dkk. 2015. Clinic Aspect of Leprosy. Clinics and

Dermatology. Elsevier. 33, Hal 26-37

7. Kemenkes RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit

Kusta. Jakarta : Kementrian kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Hal 72 - 131

21

Anda mungkin juga menyukai