Menurut fiqih, muamalah ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara
yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli, pinjam meminjam, sewa
menyewa dan kerjasama dagang.
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-
meminjam, islam melarang beberapa hal diantaranya sebagai berikut:
1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil
2. Tidak boleh dengan cara-cara zalim (aniaya)
3. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas dan kehalalan
4. Tidak boleh melakukan kegiatan riba (Bunga)
5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi atau berjudi
6. Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram
Macam-macam Muamalah
1. Jual beli
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu
(akad)
Melakukan jual-beli di benarkan sesuai dengan firman Allah SWT pada Q.S Al-Baqarah 2 :
275 yang artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”
Macam-macam Khiyar
Khiyar Majelis
Khiyar majelis adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya
tawar-menawar. Keduanya berhak meneruskan atau membatalkan transaksi.
Khiyar syarat
Khiyar syarat adalah khiyar yang di gunakan syarat dalam jual-beli. Misalnya “Saya jual barang
ini seharga sekian dengan syarat khusus 3 hari” maksudnya penjual memberi waktu pembeli
selama 3 hari itu. Penjual di larang menawarkan barang tersebut ke pembeli lain. Namun setelah
3 hari tersebut, si pembeli tidak jadi beli. Maka penjual boleh menawarkan barangnya.
Khiyar aibi (cacat)
Khiyar aibi adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang di belinya jika terdapat cacat yang
dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera
mungkin.
Riba
a. Pengertian Riba
Riba adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam
pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam. Riba apapun bentuknya,
dalam syariat islam hukumnya haram.
Sanksi hukumnya juga sangat berat. Di jelaskan dalam hadist yang di riwayatkan bahwa
: “Rasulullah mengutuk orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang
mencatat dan orang yang menyaksikan nya” (HR Muslim).
Macam-macam Riba
Riba Fadli
Riba fadli adalah pertukaran barang sejenis tidak sama timbangannya.
Riba Qordi
Riba qordi adalah pinjam-meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan
saat mengembalikannya.
Riba Yadi
Riba yadi adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangan nya, namun penjual
dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima.
Riba Nasi’ah
Riba nasi'ah adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian.
Jual beli yang sah tapi terlarang yaitu jual belinya sah, tidak membatalkan akad dalam jual
beli tapi dilarang dalam agama Islam karena menyakiti si penjual, si pembeli atau orang lain;
menyempitkan gerakan pasaran dan merusak ketentraman umum, contohnya membeli
barang dengan harga mahal yang tujuannya supaya orang lain tidak dapat membeli barang
tersebut.
Kamu tidak melanggar hukum agama, seperti jual beli barang haram, penipuan dan jual beli
yang curang.
Ada akad jual beli, kesepakatan antar penjual dan pembeli jika terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan.
Adanya kontrol, sangsi dan aturan hukum yang tegas dan jelas dari pemerintah untuk menjamin
keamanan jual beli online agar tidak terjadi hal hal yang tidak dinginkan.
Hukum jual beli online haram atau tidak diperbolehkan jika jual beli secara online tidak sesuai
dengan syarat-syarat dan ketentuan dalam Islam.
Karena kemaslahatan dan perlindungan terhadap masyarakat dalam jual beli dan usaha harus dalam
perlindungan negara atau lembaga yang berkompeten. Jadi jelas bahwasannya hukum jual beli
online diperbolehkan asalkan tidak melanggar syari’at dan merugikan orang lain.
Ariyah adalah memberikan sesuatu manfaat yang halal kepada orang lain untuk diambil
manfaatnya dengan tidak merusak zatnya agar dapat dikembalikan zat barang itu. Asal hukum
meminjamkan sesuatu adalah sunah. Akan tetapi kadang hukumnya wajib dan kadang-kadang
juga haram. Hukumnya wajib contohnya yaitu meminjamkan pisau untuk menyembelih hewan
yang hampir mati. Dan hukumnya haram contohnya sesuatu yang dipinjam untuk sesuatu yang
haram
Orang yang meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjamnya hanya sekedar
menurut izin dari yang punya dan apabila barang yang dipinjam hilang atau rusak sebab
pemakaian yang diizinkan, yang meminjam tidak menggantinya. Tetapi jikalau sebab lain, dia
wajib mengganti.
3. Sewa Menyewa
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan dimana penyewa harus membayarkan
atau memberikan imbalan dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang yang di
pinjamkan. Hukum dari sewa menyewa ini mubah atau diperbolehkan.
Dalam istilah syariah, kerja sama bisnis sering disebut sebagai syirkah, syirkah termasuk salah
satu bentuk kerjasama dagang dengan syarat dan rukun tertentu. menurut makna syariat,
syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu
usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Sebagaimana firman Allah SWT., “Dan tidak Aku menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, (QS. adz-Dzaariyat : 56).
Setiap muslim selayaknya tidak asal bekerja, mendapat gaji, atau sekedar menjaga
gengsi agar tidak dianggap sebagai pengangguran. Karena, kesadaran bekerja secara produktif
serta dilandasi semangat tauhid dan tanggung jawab merupakan salah satu ciri yang khas dari
karakter atau kepribadian seorang muslim.
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek
mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan empat macam
pekerja :
1) al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para
pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja
dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu
perusahaan dan pegawai negeri.
3) al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli
seperti pedagang keliling.
4) al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah
SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum
kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.”
Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan
porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
Disamping kewajiban bekerja akan mendapatkan pahala, juga Allah Swt menjanjikan akan
mengampuni dosa-dosanya kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat hadits yang diriwayatkan
oleh imam Ahmad sebagai berikut : “Barangsiapa yang pada malam hari merasakan kelelahan
dari upaya keterampilan kedua tanganya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni”.
Demikian halnya terdapat hadits berikutnya yang diriayatkan oleh imam Abu Nu’aim bahwa
Rasulullah Saw pernah bersabda : “ Sesungguhnya diantara perbuatan dosa ada dosa yang tidak
bisa terhapus (ditebus) oleh (pahala) shaum dan sholat. “Ditanyakan pada Beliau, Apakah yang
dapat menghapuskanya, ya Rasulullah?” Jawab Rasul Saw: “Kesusahan (bekerja) dalam mencari
nafkah kehidupan”.
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi
kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat
manusia baik secara individu maupun kelompok.
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani),
kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal
secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam
konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan
tetap berlatih.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah dalam maknanya yang luas
seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan
segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat
juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah
SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia
sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka
melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal shalih. Pesan
persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah,
seperti “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan. Oleh
karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta
amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan.
Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
5. Objektif (Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq, artinya mempunyai kejujuran dan selalu
melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan dengan nilai-nilai yang benar dalam Islam.
Tidak ada kontradiksi antara realita dilapangan dengan konsep kerja yang ada. Dalam dunia kerja
dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan
waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut diperbaiki secara terus-
menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu
Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang berhubungan dengan sikap moral
yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam Islam disebut dengan amanah. Sikap bertanggungjawab
terhadap amanah merupakan salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum, dalam
konteks ini adalah dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari
dasar pentingnya sikap amanah.Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup seluruh hubungan,
baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau bisa dikatakan mencakup
seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial manusia. Untuk menepati amanah tersebut
dituntut kedisiplinan yang sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan waktu serta
kualitas suatu pekerjaan yang semestinya dipenuhi.
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka, karena
jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah
mampu mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki yang
sungguh sangat besar nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri sendiri merupakan hal
sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha pekerjaan.
Agama Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa agama
Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang dibenci itu ialah mempergunakan harta atau
mencari harta dan mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau
tidak pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan
‘urf (kebiasaan yang baik). Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan untuk
berperilaku hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang dicapai juga maksimal.
Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan sifat yaitu kikir atau bakhil.
Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang dibenarkan kepada perilaku yang berada antara
sifat boros dan kikir, maksudnya hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat
tersebut akan berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan
sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak bermanfaat.
Perbankan syari’ah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya
berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan
dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga
pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang
(haram).
2. Tujuan Perbankan
b. simpanan (Wadiah)
d. sewaan (Ijarah)
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-
Baqarah : 275).
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat
ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imron :
130).
Menurut Yusuf Qardhawi (2004), ilmu ekonomi Islam memiliki tiga prinsip dasar yaitu tauhid,
akhlak, dan keseimbangan. Dua prinsip yang pertama kita sama-sama tahu pasti tidak ada dalam
landasan dasar ekonomi konvensional. Prinsip keseimbangan pun, dalam praktiknya, justru yang
membuat ekonomi konvensional semakin dikritik dan ditinggalkan orang. Ekonomi islam
dikatakan memiliki dasar sebagai ekonomi Insani karena sistem ekonomi ini dilaksanakan dan
ditujukan untuk kemakmuran manusia. Sedangkan menurut Chapra, disebut sebagai ekonomi
Tauhid. Keimanan mempunyai peranan penting dalam ekonomi Islam, karena secara langsung
akan mempengaruhi cara pandang dalam membentuk kepribadian, perilaku, gaya hidup, selera,
dan preferensi manusia, sikap-sikap terhadap manusia, sumber daya dan lingkungan. Saringan
moral bertujuan untuk menjaga kepentingan diri tetap berada dalam batas-batas kepentingan
sosial dengan mengubah preferensi individual seuai dengan prioritas sosial dan menghilangkan
atau meminimalisasikan penggunaan sumber daya untuk tujuan yang akan menggagalkan visi
sosial tersebut, yang akan meningkatkan keserasian antara kepentingan diri dan kepentingan
sosial. (Nasution dkk)
Dengan mengacu kepada aturan Ilahiah, maka setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral
dan ibadah. Pada paham naturalis, sumber daya menjadi faktor terpenting dan pada pada paham
monetaris menempatkan modal financial sebagai yang terpenting. Dalam ekomoni Islam sumber
daya insanilah yang terpenting.
Dari segi teori nilai, dalam ekonomi Islam tidak ada sama sekali pemisahan antara manfaat
normatif satu mata dagangan dan nilai ekonomisnya. Semua yang dilarang digunakan, otomatis
tidak memiliki nilai ekonomis.
Jika berbicara tentang nilai dan etika dalam ekonomi islam, terdapat empat nilai utama yaitu
Rabbaniyyah (ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan, dan Pertengahan. Nilai-nilai ini
menggambarkan keunikan yang utama bagi ekonomi islam, bahkan dalam kenyataannya
merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada segala sesuatu yang
berlandaskan ajaran islam. Atas dasar itu, sangat nyata perbedaannya dengan sistem ekonomi
lainnya.
Ekonomi Rabbaniyyah bermakna ekonomi islam sebagai ekonomi ilahiah. Pada ekonomi
kapitalis semata-mata berbicara tentang materi dan keuntungana terutama yang bersifat
individual, duniawi dan kekinian. Islam mempunyai cara, pemahaman, nilai-nilai ekonomi yang
berbeda dengan ekonomi Barat buatan manusia yang sama sekali tidak mengharapkan
ketenangan dari Allah dan tidak mempertimbangkan akhirat sama sekali. Seorang muslim ketika
menanam, bekerja, ataupun berdagang dan lain-lain adalah dalam rangka beribadah kepada
Allah. Ketika mengkonsumsi dan menikmati berbagai harta yang baik menyadari itu sebagai
rezki dari Allah dan nikmat-Nya, yang wajib disyukuri sebagai mana dalam firman Allah surat
Saba ayat 15.
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu
dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah
olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
Seorang muslim tunduk kepada aturan Allah, tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram,
tidak akan melakukan yang riba, tidak melakukan penimbunan, tidak akan berlaku zalim, tidak
akan menipu, tidak akan berjudi, tidak akan mencuri, tidak akan menyuap dan tidak akan
menerima suap. Seorang muslim tidak akan melakukan pemborosan, dan tidak kikir.
Ekonomi akhlak, dalam hal ini tidak adanya pemisahan antara kegiatan ekonomi dengan
akhlak. Islam tidak mengizinkan umatnya untuk mendahulukan kepentingan ekonomi di atas
pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan agama. Kegiatan yang berkaitan dengan
akhlak terdapat pada langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan dengan produksi, distribusi,
peredaran, dan konsumsi. Seorang muslim terikat oleh iman dan akhlak pada setiap aktivitas
ekonomi yang dilakukannya, baik dalam melakukan usaha, mengembangkan maupun
menginfakkan hartanya.
Ciri khas pertengahan ini tercermin dalam keseimbangan yang adil yang ditegakkan oleh islam
di antara individu dan masyarakat, sebagai mana ditegakkannya dalam berbagai pasangan
lainnya, seperti dunia-akhirat, jasmani-rohani, akal-rohani, idealisme-fakta dan lainnya.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. (Al-Qasas: 77)
Allah memberikan kekayaan kepada manusia dan Dia adalah pemilik sebenar segala sesuatu.
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara
keduanya dan semua yang di bawah tanah. (Taha: 6)
“Ahli peniaga yang jujur lagi amanah adalah bersama-sama para nabi, para siddiqin dan para
syuhada’.” (Bukhari)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-
Nya. (Al-Maidah:87-88)
Manusia mestilah berlaku baik terhadap sesama manusia. Hendaklah mereka melaksanakan
tanggungjawab terhadap masyarakat dan membantu orang-orang yang berada dalam kesusahan
dan kesempitan.
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
mencari keridaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung. (Ar-Rum:38)
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah: 188)
Mengambil kira asas-asas dan ruang lingkup ciri-cirinya, nyatalah tujuan ekonomi Islam adalah
bersifat ibadah dan melaksanakannya bererti melaksanakan sebahagian daripada tuntutan ibadah
yang menyeluruh. Sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud:
“Sesungguhnya kamu tidak keluarkan satu nakah pun yang kamu caridi jalan Allah melainkan
kamu diberi pahala kerananya, sekalipun nafkah yang kamu berikan untuk isterimu.” (Bukhari,
Muslim)
Roh disebalik semua kegiatan ekonomi Islam ialah taawun atau kerjasama. Oleh itu sesiapa yang
membantu saurara-saudaranya dan masyarakatnya semata-mata untuk mendapatkan keredhaan
Allah, maka itu merupakan satu ibadah.
2. Menegakkan keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat
Kegiatan ekonomi yang berteraskan kepada kesaksamaan serta menghapuskan penindasan dan
penipuan adalah satu sistem yang benar-benar dapat menegakkan keadilan sosial dan ekonomi
dalam masyarakat. Di atas dasar inilah Islam membenarkan jual beli dan mengharamkan riba dan
segala jenis penipuan.
Sistem ekonomi yang berteraskan kepada kerjasama dan kesaksamaan akan mewujudkan rasa
kasih sayang, sifat tanggungjawab dan tolong-menolong di antara satu sama lain. Kesan
daripadanya bukan sahaja individu-individu dapat menanurkan pembangunan dirinya, malah
negara-negara dapat bantu-membantu dalam memenuhi kemaslahatan seluruh umat manusia.
Dalam pengertian ekonomi sebagai satu amanah Allah ke atas kaum muslimin, maka di antara
tujuan ekonomi dalam Islam ialah untuk menghapuskan ataupun mengatasi masalah kemiskinan,
mewujudkan peluang pekerjaan dan mengekalkan kadar pertumbuhan yang optimum dan susuai
menurut perkembangan kebendaan dan kerohaniaan masyarakat.
Sistem ekonomi mewujudkan kestabilan pasaran melalui sikap setiap anggota masyarakat yang
tidak mementingkan diri sendiri serta sentiasa bersedia membantu dan berkorban demi
kepentingan anggota masyarakat yang lain. Harga sesuatu barangan di pasaran meningkat atau
dinaikkan kerana kekurangan sumber bahan ataupun kerana bertambah permintaan biarlah
dengan sebab yang betul dan di atas dasar yang makruf dan munasabah dan bukan unyuk
mengongkong atau menyempitkan kehidupan masyarakat.
Pelaksanaan sstem ekonomi Idlam yang merupakan kesatuan terhadap asas-asas sosio-ekonomi
dan politik ini bertujuan mengimbangkan nilai matawang dengan pulangan barangan dan
perkhidmatan yang diperolehi oleh setiap anggota masyarakat; malah di antara negara-negara di
dunia.
Rasatidak puas hati manusia dalam sesebuah masyarakat lantaran pengagihan ekonomi yang
tidak seimbang dan aktiviti-aktiviti yang diarahkan hanya untuk menguntungkan pihak-pihak
tertentu, akan membawa pelbagai gejala yang bahaya kepada manusia.
Asas-asas ekonomi Islam bersandarkan kepada tuntutan tuntutan iman dan akhlak serta sedikit
kuatkuasa undang-undang. Namun dalam pengertian sistem akhlak Islam yang sebenar, tuntutan-
tuntutan akhlak ini tidak dapat dilaksanakan secara teguh tanpa bernaung di bawah satu sistem
yang mempunyai kewibawaan untuk menegakkan undang-undang. Dengan kesyumulan sistem-
sistem Islam inilah, tujuan ekonomi dalam mewujudkan kepatuhan orang ramai terhadap
undang-undang serta mengekalkan keamanan tercapai.
6. Mewujudkan keharmonian hubungan antarabangsa dan memasikan kekuatan
pertahanan negara
Menurut Islam, keharmonian hubungan antarabangsa wujud di atas dasar kerjasama sosial dan
ekonomi, bukan di atas penindasanterhadap keduanya sebagaimana yang berlaku pada hari ini.
Sebab itulah Islam juga tidak menganggap bahawa pertahanan negara hanya bergantung kepada
semangat keimanan atau bilangan tenaga tentera yang ramai tetapi kekuatan pertahanan juga
bergantung kepada kekuatan ekonomi, sama ada dari sudut produktiviti yang tinggi ataupun
pandangan musuh yang sentiasa gerun terhadap negara Islam sendiri.
Atas dasar ini Allah memerintahkan kaum muslimin agar bersip sedia dengan apa sahaja
kekuatan yang dapat menimbulkan rasa takut musuh teradap mereka.
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas
dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Al-Anfal:60)
1. Faktor ketidakberdayaan, kefakiran, dan kemiskinan yang dialami oleh orang-orang yang
mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Karena mereka memang
tidak memiki gaji tetap, santunan-santunan rutin atau sumber-sumber kehidupan yang lain.
Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau keahlian khusus yang dapat mereka
manfaatkan untuk menghasilkan uang. Sama seperti mereka ialah anak-anak yatim, orang-orang
yang menyandang cacat, orang-orang yang menderita sakit menahun, janda-janda miskin, orang-
orang yang sudah lanjut usia sehingga tidak sanggup bekerja, dan selainnya.
2. Faktor kesulitan ekonomi yang tengah dihadapi oleh orang-orang yang mengalami kerugian harta
cukup besar. Contohnya seperti para pengusaha yang tertimpa pailit (bangkrut) atau para pedagang
yang jatuh bangkrut atau para petani yang gagal panen secara total. Mereka ini juga orang-orang
yang memerlukan bantuan karena sedang mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak
sehingga tidak bisa menghidupi keluarganya. Apalagi jika mereka juga dililit hutang yang besar
sehingga terkadang sampai diadukan ke pengadilan.
3. Faktor musibah yang menimpa suatu keluarga atau masyarakat seperti kebakaran, banjir, gempa,
penyakit menular, dan lainnya sehingga mereka terpaksa harus minta-minta.
4. Faktor-faktor yang datang belakangan tanpa disangka-sangka sebelumnya. Contohnya seperti
orang-orang yang secara mendadak harus menanggung hutang kepada berbagai pihak tanpa
sanggup membayarnya, menanggung anak yatim, menanggung kebutuhan panti-panti jompo, dan
yang semisalnya. Mereka ini juga adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan biasanya
tidak punya simpanan harta untuk membayar tanggungannya tersebut tanpa uluran tangan dari
orang lain yang kaya, atau tanpa berusaha mencarinya sendiri walaupun dengan cara mengemis.
JENIS-JENIS PENGEMIS
Ketika kita membahas tentang fenomena pengemis dari kacamata kearifan, hukum, dan keadilan,
maka kita harus membagi kaum pengemis menjadi dua kelompok:
1. Kelompok pengemis yang benar-benar membutuhkan bantuan
Secara riil (kenyataan hidup) yang ada para pengemis ini memang benar-benar dalam keadaan
menderita karena harus menghadapi kesulitan mencari makan sehari-hari.
Sebagian besar mereka ialah justru orang-orang yang masih memiliki harga diri dan ingin menjaga
kehormatannya. Mereka tidak mau meminta kepada orang lain dengan cara mendesak sambil
mengiba-iba. Atau mereka merasa malu menyandang predikat pengemis yang dianggap telah
merusak nama baik agama dan mengganggu nilai-nilai etika serta menyalahi tradisi masyarakat di
sekitarnya. Allah Ta’ala berfirman:
ۗ اس إِ ْل َحافًا
َ َّسبُ ُه ُم ْال َجا ِه ُل أ َ ْغنِيَا َء مِ نَ التَّعَفُّفِ ت َ ْع ِرفُ ُه ْم بِسِي َماهُ ْم ََل يَسْأَلُونَ الن ِ ض ْربًا فِي ْاْل َ ْر
َ ْض يَح َ ََّللا ََل يَ ْستَطِ يعُون
ِ َّ يل
ِ ِسب ِ ْل ِْلفُقَ َراءِ الَّذِينَ أُح
َ ص ُروا فِي
علِيم َ َّ َو َما ت ُ ْن ِفقُوا مِ ْن َخي ٍْر فَإِ َّن
َ َّللا بِ ِه
“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad)
di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka
bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau
(Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang
lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui” [al-Baqarah/2
: 273].
2. Kelompok pengemis gadungan yang pintar memainkan sandiwara dan tipu muslihat
Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga memiliki kepiawaian serta
pengalaman yang dapat menyesatkan (mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-
celah yang strategis. Selain itu mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang dinamis, seperti
bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan orang lain yang menjadi sasaran. Misalnya
di antara mereka ada yang mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan
yang tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang mengemis dengan
mengamen atau bermain musik yang jelas hukumnya haram, ada juga yang mengemis dengan
memakai pakaian rapi, pakai jas dan lainnya, dan puluhan cara lainnya untuk menipu dan
membohongi manusia.
Padahal dibalik itu, para pengemis yang pura-pura miskin ini memiliki harta yang berlimpah
bahkan melebihi orang-orang yang sehari-hari memberi mereka. Tidak jarang hal ini membuat
orang enggan bersedekah lagi kepada pengemis.
Tidak dipungkiri, setiap kali melihat peminta-minta, orang akan berpikir bahwa pengemis ini
bisa saja lebih kaya. Tidak sedikit pula yang khawatir jika sedekahnya ini tidak diterima karena
memberikan pada orang yang salah. Lantas bagaimana Islam memandang hal ini. Sia-siakah
tindakan memberi pengemis yang hanya pura-pura miskin?
Dalam sebuah hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Tangan yang di atas
lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan di atas yaitu orang yang memberi infak dan
tangan di bawah adalah orang yang minta-minta.
Rasulullah SAW juga bersabda bahwa kebaikan sebesar biji zarrah yang kita lakukan pasti akan
dibalas oleh Allah SWT. Memberi kepada pengemis yang tergolong orang miskin hukumnya
adalah sunnah. Wahbah zuhaili dalam kitab al fiqh al-islami wa adilatuhu, menuliskan bahwa
sedekah tathawwu’ (bukan wajib spt zakat) dianjurkan dalam segala waktu.
“Barangsiapa memberi makan orang lapar, allah akan memberinya makanan dari buah-buahan di
surga. Barangsiapa memberi minuman kepada orang haus, Allah pada hari kiamat akan
memberinya minuman surga yang amat lezat (arrahiq al makhtum) dan barangsiapa memberi
pakaian orang yg telanjang, Allah akan memberinya pakaian surga yang berwarna hijau (khudr
aljannah) (HR. Abu dawud no.1432).
Lantas kapankah hukum memberi kepada pengemis ini menjadi wajib? Hukum ini akan berlaku
jika pengemis sudah dalam keadaan darurat mempertahankan hidupnya. Tidak ada cara lain
untuk menolong pengemis kecuali memberinya makan dan uang secara langsung. Hukum wajib
ini menurut saifuddin al-amidi berdasarkan kaidah fiqih “jikasuatu kewajiban tak terlaksana
kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya”
Sementara itu, hukum memberi pengemis itu akan menjadi haram jika kita mengetahui bahwa
pengemis tersebut menggunakan sedekah untuk kemaksiatan (wahbah al-zuhaili). Misalnya
untuk berjudi, berzina, minum khamr dan merokok. Sedekah kita hukumny menjadi haram
karena telah menjadi perantara kepada perbuatan haram. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh “segala
perantara menuju yang haram, haramlah hukumnya”.
Sedekah kepada pengemis menjadi haram jika diketahui pengemis tersebut tidak termasuk
golongan orang yang boleh mengemis (bukan orang miskin). Haram hukumnya untuk meminta-
minta atau mengemis kecuali golongan tertentu. Inilah bahasan yang menjadi topik kita pada
artikel kali ini. Orang yang diperbolehkan mengemis berjumlah tiga golongan yakni sesuai hadist
Nabi Muhammad SAW: “Meminta-minta tidaklah halal kecuali untuk tiga golongan : Orang
fakir yang sangat sengsara, orang yang terlilit hutang, dan orang yang berkewajiban membayar
diyat” (HR Abu Dawud no 1398)
Lalu bagaimana kita bisa mengetahui mereka orang yang pantas menerima sedekah kita atau
tidak? Rasulullah SAW bersabda, bahwa setiap orang akan mendapatkan apa yang Ia niatkan.
Namun wajib jeli terhadap fenomena yang satu ini.
Umat Islam diberi akal dan pikiran agar selalu berbuat dengan mempertimbanggkan apa yang Ia
lakukan. Jika kita melihat pengemis yang itu-itu saja setiap hari, maka bisa dipastikan, pengemis
ini menjadikan kegiatan meminta-mintanya sebagai profesi untuk mendapatkan penghasilan.
Karena sebenarnya, seseorang diperbolehkan mengemis jika tertimpa kefakiran yang sangat
namun wajib berhenti ketika sudah mendapatkan penopang hidup.
Atau ketika menanggung hutang orang lain (diyat) dan orang yang terlilit hutang, maka Ia boleh
mengemis namun harus berhenti jika sudah melunasinya. Jika mereka mengemis sepanjang
waktu, apakah mereka masih tergolong termasuk dalam kategori itu?
Para Sahabat Bertanya:" Kecukupan yang bagaimanakah yang tidak membolehkan untuk
mengemis ?" Rasulullah Menjawab:"Yaitu yang cukup untuk makan siang dan malamnya. (HR.
Abu Dawud)
Termasuk juga ketika anda melihat pengemis yang masih muda, orang dewasa yang masih sehat,
tentu kita harus berpikir lebih jauh ketika memberi. Memang, yang penting adalah niat kita dan
terserah mereka uang tersebut akan digunakan untuk apa.
Namun apakah mereka termasuk tiga golongan yang disebutkan Nabi? Karena mungkin saja
orang terdekat kita lebih membutuhkan, namun mereka menjaga kehormatan diri dengan tidak
mau meminta-minta.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk
memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah sedang meminta bara api (neraka),
maka (jika dia mau) silahkan dia mempersedikit atau memperbanyak”.