Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Matematika memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Maka tidak mengherankan ketika mata pelajaran
matematika dijumpai pada setiap jenjang pendidikan. Tidak lepas pada kehidupan
sehari–hari, matematika kerap kali dijadikan sebagai solusi untuk menyelesaikan
masalah maupun membantu pekerjaan menjadi lebih mudah dan efisien, baik itu
dalam ilmu matematika itu sendiri maupun melalui ilmu matematika yang sudah
diterapkan dalam ilmu pengetahuan lain. Seperti yang diungkapkan Suherman,
dkk. (2001: 28) bahwa matematika merupakan ratu atau ibunya ilmu dengan Commented [aa1]: SOURCE: Suherman, E., dkk. (2001).
Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
artian sumber dari ilmu yang lain. Bandung: JICA – Universitas Pendidikan Indonesia.

Menurut Hendriana dan Soemarmo (2014: 9), selain memahami dan Commented [aa2]: SOURCE:
Hendriana, H. & Soemarmo, U. (2014). Penilaian
mengusasi konsep matematika, siswa akan terlatih bekerja mandiri, maupun Pembelajaran Matematika. Bandung: PT Refika Aditama.

bekerja sama dalam kelompok, bersikap kritis, kreatif, konsisten, berpikir logis,
sistematis, menghargai pendapat, jujur, percaya diri, dan bertanggungjawab.
Selanjutnya Cockroft (Shadiq, 2014: 3) menyatakan bahwa akan sulit ketika
seseorang hidup tanpa sedikitpun memanfaatkan matematika, “It would be very
difficult perhaps immposible to live a normal life in very many parts of the world
in the twentieth century without making use of mathematics of some kind”. Commented [aa3]: SOURCE:
Shadiq, F. (2014). Pembelajaran Matematika; Cara
Selanjutnya, National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000: Meningkatkan Berpikir Siswa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

29) menetapkan standar kemampuan matematis yaitu pemecahan masalah


(problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi
(communications), koneksi (connections), dan representasi (representation). Serta
dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 tahun 2016
kompetensi matematika tingkat sekolah menengah pertama yang hendak dicapai
yang disebutkan dalam Standar Isi Kurikulum 2013 diantaranya:
1. Menunjukkan sikap logis, kritis, analitis, cermat dan teliti, bertanggung
jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan
masalah;

1
2

2. Memiliki rasa ingin tahu, semangat belajar yang kontinu, rasa percaya
diri, dan ketertarikan pada matematika;
3. Memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang
terbentuk melalui pengalaman belajar;
4. Memiliki sikap terbuka, objektif dalam interaksi kelompok maupun
aktivitas sehari–hari;
5. Memiliki kemampuan mengomunikasikan gagasan matematika dengan
jelas; …
(Mendikbud, 2016: 116–121)
Berdasarkan Permendikbud dan standar kemampuan matematika menurut
NCTM di atas, tentu betapa pentingnya semua kompetensi tersebut. Tak
terkecuali pada poin ke lima terkait komunikasi, siswa diharapkan memiliki
kemampuan mengomunikasikan gagasan matematika dengan jelas. Hal ini
penting karena dengan mengomunikasikan gagasan matematika dengan jelas, itu
artinya siswa mampu untuk menyatakan ide–ide atau pemikiran mereka, yang
mana hal ini menunjukkan pemahaman atau apa saja yang telah dipelajari oleh
siswa. Hal ini sejalan dengan NCTM (2000: 60) bahwa, “Communication is
essential part of mathematics and mathematics education. It is a way of sharing
ideas and clarifying understanding”. Tentu saja dalam mengomunikasikan
gagasan matematika ini berbeda dengan mengomunikasikan gagasan lain, hal ini
dikarenakan matematika memiliki bahasa tersendiri, yang mana kebanyakan
berupa simbol–simbol dan angka–angka, yang kemudian komunikasi ini disebut
dengan komunikasi matematis.
Meskipun demikian pentingnya, pembelajaran matematika belum
membuahkan hasil yang baik, pada kenyataannya hasil pembelajaran matematika
di Indonesia dianggap masih termasuk kategori rendah. Hal ini terlihat dalam
lingkup nasional, data yang diperoleh dari PAMER UN 2018 menyebutkan bahwa
nilai rata–rata Ujian Nasional mata pelajaran matematika untuk jenjang SMP
adalah 43,34 yang termasuk pada kategori D. Dalam lingkup internasional pun
Indonesia masih tertinggal jauh dengan negara lain. Hal tersebut dibuktikan
dengan hasil studi Program for International Student Assessment (OECD, 2016: Commented [aa4]: SOURCE:
PISA 2015 Results (Volume I) Excellence and Equity in
386) tahun 2015 bidang matematika, Indonesia baru dapat menduduki peringkat Education. (2016). Diperoleh pada 8 September 2018, dari
http://www.oecd-ilibrary.org/deliver/
62 dari 70 negara. Terlepas dari peringkat Indonesia di internasional, dalam hasil 9789264266490en.pdf?itemId=/content/book/978926426
6490-en&mimeType=application/pdf.
PISA Matematika (OECD, 2016: 386) ditemukan bahwa presentase terbanyak
3

37,9% siswa masih berada di bawah level 1, artinya siswa masih belum mampu
menjawab pertanyaan yang informasi dan pertanyaannya diberikan dengan jelas,
yang mana soal PISA ini sendiri terfokus pada menganalisis, menalar, dan
mengomunikasikan matematika yang menekankan pada kemampuan keterampilan
dan kompetensi siswa yang diperoleh di sekolah dan digunakan pada kehidupan
sehari–hari (Agustyaningrum dan Widjajanti, 2013: 172). Sehingga dengan fakta
dalam PISA mengindikasikan masih kurangnya kemampuan–kemampuan
matematika tersebut. Prestasi belajar dalam PAMER UN pun merupakan hasil
dari proses belajar, jika proses pembelajaran dilakukan baik maka akan
menghasilkan output yang baik pula, dan demikian sebaliknya. Prestasi yang
kurang baik inilah yang mengindikasikan bahwa terdapat satu atau beberapa
kemampuan matematika yang belum tercapai. Dimungkinkan kemampuan
pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, dan atau
representasi matematika yang kurang.
Berdasarkan laporan hasil UN 2018, penulis juga menemukan bahwa nilai
rata–rata ujian nasional tahun 2018 mata pelajaran matematika di SMP Negeri 10
Surakarta adalah 65,10, nilai ini menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa juga
masih belum memenuhi Kriteria Kentuntasan Minimal yang telah ditetapkan
pihak sekolah yaitu 70. Sebagian besar siswa juga dianggap masih mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan soal–soal terkait hubungan antara sudut pusat dan
sudut keliling lingkaran, hal ini diketahui melalui daya serap siswa pada UN 2018
yang merupakan presentase pencapaian rendah di SMP Negeri 10 Surakarta.
Dengan kemampuan yang diuji “menghitung besar sudut keliling ADB, jika besar
sudut BOC diketahui” dengan presentasi siswa benar menjawab adalah 47,22%.
Submateri tersebut merupakan bagian dari materi lingkaran. Ketidakmampuan
siswa menyelesaikan soal pada materi lingkaran dapat disebabkan adanya
beberapa standar kemampuan matematika yang belum optimal, seperti yang telah
diungkapkan pada paragraf–paragraf sebelumnya.
Selanjutnya, berdasarkan pengamatan penulis di SMP Negeri 10 Surakarta
tanggal 29 Agustus 2018 di salah satu kelas VIII, penulis menemui keadaan
dimana siswa belum mampu memahami dan menerjemahkan apa yang dimaksud
4

dalam soal, artinya belum mampu merepresentasikan soal. Sehingga, dapat


terlihat bahwasanya siswa masih belum mengerti dan memahami dengan apa yang
dimaksudkan atau apa yang menjadi tujuan di dalam soal tersebut. Hal ini
diketahui penulis ketika guru berkeliling kelas untuk menilai hasil pekerjaan
siswa, salah seorang siswa meminta guru untuk dinilai pekerjaannya asumsinya
telah selesai dalam menjawab soal sedangkan pada kenyataannya siswa belum
menjawab pertanyaan dari soal yang diberikan. Keadaan ini juga didukung
berdasarkan wawancara dengan guru mata pelajaran matematika SMP Negeri 10
Surakarta pada tanggal 19 November 2018, yaitu Dra. Wuryanti Pudjiastuti yang
mengatakan bahwa “dalam soal cerita, mengaitkan pertanyaan ke yang diketahui,
ditanyakan, dan yang dibutuhkan dalam soal itu siswa masih susah”. Keadaan
seperti yang dimaksud di atas merupakan salah satu indikator rendahnya
komunikasi matematis tertulis dalam hal kemampuan merepresentasikan soal.
Selain hal tersebut, dari wawancara dengan Dra. Wuryanti Pudjiastuti juga
mengatakan “juga dalam soal cerita itu kesusahan kalau mau nggambarnya,
kalau gambar sudah disediakan kan enak, nah ketika soal cerita itu menuangkan
cerita ke dalam gambarnya susah”, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
siswa masih kurang dalam mengubah pernyataan dalam cerita ke dalam model
matematis atau ke dalam gambar, yang tentunya dapat membantu menyelesaikan
permasalahan. Keadaan seperti mengindikasikan adanya kemampuan komunikasi
matematis tertulis yang belum optimal pula, khususnya terkait kemampuan
mengubah penyataan sehari–hari ke dalam model matematis. Lebih lanjut, beliau
mengatakan bahwa kadang langkah–langkah mengerjakan soal oleh siswa tidak
urut, beliau juga mengatakan bahwa siswa dalam menulis jawaban seperti dalam
oret–oretan sehingga dalam menilai pekerjaan siswa guru kerap tidak mengerti
karena bahasa yang digunakan kurang terstruktur dan kurang komunikatif.
Keadaan ini juga merupakan indikator permasalahan komunikasi matematis
tertulis khususnya dalam hal kemampuan menyelesaikan soal dengan langkah
terstruktur dan terurut.
Ditambah pula menurut Dra. Wuryanti Pudjiastuti, siswa sering pula tidak
menuliskan kesimpulan dari penyelesaian soal. Yang mana artinya disini siswa
5

belum menjawab tujuan dari soal, hal ini mengindikasikan pula bahwa siswa
belum memahami maksud soal atau belum melakukan langkah yang terstruktur
dalam menyelesaikan permasalahan. Juga siswa terkadang tidak menuliskan
jawaban dengan lengkap seperti menuliskan satuan, padahal hal ini penting karena
merupakan salah satu bahasa matematis. Berdasarkan beberapa uraian paragraf di
atas, kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa masih kurang memuaskan.
Shadiq (Agustyaningrum & Widjajanti, 2013: 172) mengungkapkan Commented [aa5]: CEK ULANG Ada di artikel di internet

“…sangat disayangkan bahwa proses pembelajaran matematika yang berlangsung


di Indonesia kebanyakan masih berorientasi pada penguasaan keterampilan dasar,
hanya sedikit sekali penekanan penerapan matematika dalam konteks kehidupan
sehari–hari, berkomunikasi secara matematis, dan bernalar secara matematis”.
Berdasarkan ungkapan Shadiq tersebut, hal yang mungkin menjadi penyebab
komunikasi matematis tertulis siswa itu rendah adalah proses pembelajaran yang
masih menekankan tentang penguasaan keterampilan dasar, salah satunya adalah
penerapan model pembelajaran yang kurang melibatkan siswa untuk aktif dalam
pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan penulis ketika melakukan observasi pada tanggal
29 Agustus 2018 di SMP Negeri 10 Surakarta pada beberapa kelas. Sesekali guru
memberikan kesempatan bagi siswa untuk menjawab pertanyaan yang diberikan
oleh guru, namun secara keseluruhan guru mendominasi di kelas, sehingga kurang
melibatkan siswa untuk aktif dalam pembelajaran, dan akibat selanjutnya siswa
cenderung melakukan aktivitas lain yang tidak berkaitan dengan pembelajaran.
Beberapa siswa sibuk mengobrol dengan siswa lain diluar topik pembelajaran,
serta ketika diberikan pertanyaan oleh guru memang beberapa siswa cenderung
mampu menjawab, namun sebagian besar siswa diam. Dalam pembelajaran siswa
juga cenderung kurang aktif dalam bertanya, pertanyaan yang ditanyakan siswa
hanya seputar menanyakan soal mana yang hendak dikerjakan serta menyakan
dan mengonfimasikan maksud dari soal. Akibat selanjutnya dari pembelajaran
yang kurang mengaktifkan siswa adalah siswa kurang terlatih dan kurang
memiliki pengalaman sendiri dalam menemukan atau memahami suatu materi
pelajaran
6

Selanjutnya akan berakibat kurangnya kemampuan siswa dalam


berkomunikasi matematis, karena tidak terlatih untuk mengomunikasikan ide–ide
ataupun gagasan mereka tentang matematika. Tidaklah salah dalam menggunakan
model pembelajaran seperti itu, namun ada baiknya model pembelajaran tersebut
diterapkan dengan mempertimbangkan materi, mempertimbangkan situasi dan
kondisi, dan mempertimbangkan hal lainnya. Apalagi dengan diterapkannya
Kurikulum 2013, yang menuntut siswa untuk memiliki berbagai kompetensi yang
tentunya dapat memberikan kelebihan untuk siswa tersebut maupun untuk orang
lain dikemudian hari, serta menuntut adanya kegiatan yang berfokus pada siswa.
Berdasarkan hasil penelitian Sari & Rahadi (2014: 143) yang dikenai
kepada siswa MTs Negeri 1 Garut dengan materi balok dan kubus, menyatakan
bahwa Peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang mendapat
pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari siswa yang mendapat pembelajaran
konvensional. Lebih khusus, penelitian yang dilakukan oleh Abdullah, Tarmizi, & Commented [aa6]: ‼‼‼‼!

Abu (2010: 375) pada siswa tingkatan 4 Menengah Atas (tingkatan pendidikan di
Malaysia) dengan meteri statistika, menyatakan bahwa model Problem Based
Learning menunjukkan efek positif terhadap keterampilan komunikasi matematis,
dengan pernyataan “many positive effects of PBL such as being a better problem
solver, showing effective verbal and written communication skills and being able
to work collaboratively are also shown in this study”.
Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk
aktif dalam proses pembelajaran, baik itu aktif pemikirannya maupun aktif
mengomunikasikannya. Dalam pembelajaran berbasis masalah, masalah yang
digunakan adalah masalah dunia nyata (kehidupan sehari–hari) yang tentunya
siswa dapat memahami bahwasanya materi yang dipelajari memanglah
bermanfaat untuk kehidupannya. Model pembelajaran ini melibatkan siswa secara
aktif dalam proses pembelajaran serta dalam proses memahami makna pada
masalah sehingga dapat terjadi interaksi antar siswa dan interaksi antar siswa
dengan guru, akibatnya dapat menciptakan suasana yang menyenangkan.
7

Model Problem Based Learning membantu pemahaman siswa terhadap


materi pelajaran, serta dapat melatih berpikir kritis, keterampilan memecahkan
masalah, dan merupakan salah satu sarana untuk melatih kemampuan komunikasi
siswa. Seperti yang telah diungkapkan oleh Rusman (2014: 212) yang mana
kurikulum pembelajaran berbasis masalah memfasilitasi keberhasilan
memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok, dan keterampilan
interpersonal dengan lebih baik dibandingkan pendekatan yang lain. Selain Commented [aa7]: !

komunikasi, model Problem Based Learning dapat membantu melatih komunikasi


matematis tertulis siswa, hal ini diungkapkan oleh Sari (2014: 23) bahwa
pembelajaran berbasis masalah berorientasi pada kecakapan peserta didik
memproses informasi, yang mana pemrosesan informasi mengacu pada cara–cara
orang menangani stimuli dari lingkungan, mengorganisasi data, melihat masalah,
mengembangkan konsep dan memecahkan masalah dan menggunakan lambang–
lambang verbal dan non–verbal.
Model Problem Based Learning akan membantu komunikasi matematis
tertulis siswa, yang mana seperti pendapat Sari di atas, dalam pemrosesan
informasi tentulah banyak menggunakan lambang–lambang verbal dan non–
verbal dari matematika. Lambang atau simbol matematika inilah yang menjadi Commented [aa8]: ‼‼

salah satu pokok hal penting dalam komunikasi matematis tertulis. Pada dasarnya Commented [aa9]: ‼

model pembelajaran ini menangani masalah dari kehidupan sehari–hari yang


barang tentu memerlukan pemrosesan informasi, melihat masalah,
mengembangkan penyelesaian masalah yang mana dalam penyelesaian masalah
ini menggunakan lambang atau simbol matematika. Dalam melihat masalah
terkait komunikasi matematis tertulis, tentu siswa perlu memahami apa yang
menjadi maksud dari permasalahan, artinya dalam hal ini siswa dilatih untuk
mengungkapkan atau merepresentasikan situasi sehari–hari ke dalam bahasa
matematis. Yang tidak kalah penting pemrosesan informasi, siswa dilatih dalam
menghubungkan, mengombinasikan dan atau mengonstruk konsep–konsep atau
rumus–rumus matematika yang ada, sedemikian sehingga langkah–langkah
menyelesaikan masalah menjadi terurut dan terstruktur, yang mana hal ini
merupakan bagian dari komunikasi matematis tertulis.
8

Permasalahan dalam model Problem Based Learning, merupakan soal


terbuka yang mana penjawab dimungkinkan untuk menjawab secara terbuka dan
luas yang terdiri dari banyak kata, bukan hanya soal yang dijawab satu atau dua
kata. Melalui hal ini mendorong siswa untuk mengeksplorasi dan menyampaikan
ide–ide matematikanya melalui bahasa mateamtis, akibatnya siswa
memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya.
Sehingga, berdasarkan uraian dari paragraf–paragraf di atas, dengan
diterapkannya model Problem Based Learning dapat membantu siswa dalam hal
permasalahan komunikasi matematis tertulis siswa.
Selain penerapan model pembelajaran yang kurang melibatkan siswa
untuk aktif, penyebab dari rendahnya kemampuan komunikasi matematis tertulis
siswa yang lainnya adalah berasal dari dalam siswa itu sendiri. Salah satunya
yaitu kemandirian belajar matematika siswa. Setiap siswa tentunya memiliki
kemandirian belajar matematika yang berbeda, perbedaan kemandirian belajar
matematika ini dapat memengaruhi perbedaan kemampuan akademik. Umumnya
siswa menurut dengan apa yang dijelaskan dan diperintahkan oleh guru serta
masih adanya ketergantungan kepada guru, namun ada pula siswa yang
berinisiatif sendiri untuk mempelajari dan mencoba sendiri. Dibutuhkan
kesadaran dari siswa untuk menyerap materi pelajaran secara mandiri. Sugandi &
Sumarmo (2010: 501) mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki kemandirian
belajar cenderung “berinisiatif belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar,
menetapkan tujuan belajar, memonitor, mengatur dan mengontrol kinerja atau
belajar; memandang kesulitan sebagai tantangan; mencari dan memanfaatkan
sumber belajar yang relevan; memilih dan menerapkan strategi belajar;
mengevaluasi proses dan hasil belajar; serta konsep diri”.
Sesuai dengan pendapat Sugandi di atas, siswa yang kemandirian belajar
tinggi mampu untuk mengoptimalkan potensi dirinya, mampu untuk menemukan
strategi belajarnya yang sesuai, dan mampu untuk mengatur aktivitas belajarnya
sendiri sehingga siswa akan mampu memahami dan dapat menyelesaikan
persoalan, kedepannya siswa tidak akan mudah menyerah ketika tidak mampu
menyelesaikan suatu permasalahan, dan akibat selanjutnya adalah meningkatnya
9

kemampuan akademik siswa, serta merta meningkatkan kemampuan komunikasi


matematis siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Qohar & Sumarmo (2013:
71)“… there was association between mathematical communication ability and
self regulated learning” dan Fahradina, Ansari, & Saiman (2014: 60) menyatakan
“terdapat hubungan/korelasi yang positif antara kemampuan komunikasi
matematis siswa dan kemandirian belajar siswa”.
Kemandirian belajar siswa akan dapat terlihat pada model Problem Based
Learning karena model ini menghendaki adanya penyelesaian masalah sehari–
hari, siswa dituntut untuk mencari solusi masalah tersebut secara mandiri dan
kelompok, siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika tinggi akan
terlihat mampu bekerja secara kelompok maupun individu, terlihat mampu
memahami dan dapat menyelesaikan persoalan, memiliki pengetahuan yang lebih
banyak daripada siswa lain, serta sudah terbiasa menghadapi permasalahan yang
menuntut untuk memanggil pengetahuan–pengetahuan yang telah diterima
sebelumnya. Sedangkan siswa dengan kemandirian belajar matematika sedang
dalam model Problem Based Learning akan terlihat kurang mampu untuk dalam
memahami dan menyelesaikan persoalan, apalagi yang menuntut untuk
memanggil pengetahuan–pengetahuan yang telah diterima sebelumnya, hal ini
dikarenakan pengetahuan yang dimiliki tidak sebanyak siswa yang memiliki
kemandirian belajar matematika tinggi. Siswa yang memiliki kemandirian belajar
matematika rendah dalam model Problem Based Learning juga akan terlihat
kurang mampu dalam menangani permasalahan karena pengetahuan yang dimiliki
masih bisa dikatakan kurang dibandingkan dengan siswa lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini peneliti hendak
membandingkan antara model Problem Based Learning dengan model
pembelajaran langsung pada materi lingkaran ditinjau dari kemandirian belajar
matematika terhadap kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa kelas VIII
SMP Negeri 10 Surakarta.
10

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Ada kemungkinan bahwa rendahnya kemampuan matematis siswa
disebabkan oleh model pembelajaran yang digunakan guru kurang tepat,
kurang adanya kegiatan yang mengoptimalkan kegiatan oleh siswa. Terkait
dengan masalah ini, muncul pertanyaan apakah dengan mengganti model
pembelajaran maka kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa menjadi
lebih baik. Sehingga perlu dilakukan penelitian yang membandingkan model
Problem Based Learning dan model pembelajaran langsung pada materi
lingkaran
2. Perbedaan kemandirian belajar matematika siswa memberikan pengaruh
terhadap kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa. Rendahnya
kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa mungkin disebabkan oleh
rendahnya kemandirian belajar matematika siswa. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian apakah tingkat kemandirian belajar matematika siswa
memengaruhi komunikasi belajar matematika siswa pada materi lingkaran.
3. Kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa yang rendah dimungkinkan
disebabkan oleh model pembelajaran yang tidak ditunjang oleh kemandirian
belajar matematika siswa yang baik selama proses pembelajaran, sehingga
perlu diteliti apakah benar terdapat hubungan bersama antara model
pembelajaran dengan kemandirian belajar matematika siswa terhadap
kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa.
11

C. Pembatasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan penelitian, maka peneliti membatasi masalah
penelitian pada hal–hal berikut:
1. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
Problem Based Learning pada kelas eksperimen dan model pembelajaran
langsung pada kelas kontrol.
2. Keadaan siswa yang ditinjau peneliti adalah kemandirian belajar matematika.
Dalam hal ini kemandirian belajar matematika siswa akan dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu kemandirian belajar matematika tinggi, kemandirian belajar
matematika sedang, dan kemandirian belajar matematika rendah.
3. Kemampuan komunikasi matematis siswa dalam penelitian ini dibatasi pada
kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa kelas VIII SMP Negeri 10
Surakarta tahun pelajaran 2018/2019 pada materi lingkaran.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan
masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Manakah yang memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang
lebih baik antara siswa yang memperoleh model Problem Based Learning
atau siswa yang memperoleh model pembelajaran langsung pada materi
lingkaran?
2. Manakah yang memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang
lebih baik antara siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika tinggi,
sedang, atau rendah pada materi lingkaran?
3. Pada masing–masing model pembelajaran, manakah yang memiliki
kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik antara siswa yang
memiliki kemandirian belajar matematika tinggi, sedang, atau rendah pada
materi lingkaran?
4. Pada masing–masing kemandirian belajar matematika, manakah yang
memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik antara
12

siswa yang memperoleh model Problem Based Learning atau model


pembelajaran langsung pada materi lingkaran?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui manakah yang memiliki kemampuan komunikasi
matematis tertulis yang lebih baik antara siswa yang memperoleh model
Problem Based Learning atau siswa yang memperoleh model pembelajaran
langsung pada materi lingkaran.
2. Untuk mengetahui manakah yang memiliki kemampuan komunikasi
matematis tertulis yang lebih baik antara siswa yang memiliki kemandirian
belajar matematika tinggi, sedang, atau rendah pada materi lingkaran.
3. Untuk mengetahui pada masing–masing model pembelajaran, manakah yang
memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang lebih baik antara
siswa yang memiliki kemandirian belajar matematika tinggi, sedang, atau
rendah pada materi lingkaran.
4. Untuk mengetahui pada masing–masing kemandirian belajar matematika,
manakah yang memiliki kemampuan komunikasi matematis tertulis yang
lebih baik antara siswa yang memperoleh model Problem Based Learning
atau model pembelajaran langsung pada materi lingkaran.

F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi khasanah teori
pembelajaran matematika yang berkaitan dengan model pembelajaran
langsung, model Problem Based Learning, kemandirian belajar matematika
siswa, serta pengaruhnya terhadap kemampuan komunikasi matematis tertulis
siswa.
13

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Sebagai bahan masukan, pembanding, dan referensi dalam
mengkaji masalah serupa maupun penelitian lebih lanjut dengan subjek
yang berbeda.
b. Bagi Guru
Apabila nantinya model Problem Based Learning dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi matematis tertulis siswa maka,
model ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model
pembelajaran yang sesuai.
c. Bagi Siswa
Melalui model Problem Based Learning, diharapkan kemampuan
komunikasi matematis tertulis siswa meningkat sehingga secara langsung
dapat meningkatkan kemampuan matematika serta merta hasil belajar
siswa.
14

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, N. I., Tarmizi, R. A., & Abu, R. (2010). The Effects of Problem Based
Learning on Mathematics Performance and Affective Attributes in
Learning Statistics at Form Four Secondary Level. Procedia Social and
Behavioral Sciences 8, 370–376.
Agustyaningrum, N. & Widjajanti, D. B. (2013). Pengaruh Pendekatan CTL
dengan Setting Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing terhadap
Kemampuan Komunikasi Matematis, Kepercayaan Diri, dan Prestasi
Belajar Matematika Siswa SMP. Pythagoras: Jurnal Pendidikan
Matematika, 8 (2), 171–180.
Sari, L. S. P. & Rahadi, M. (2014). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Sekolah
Menengah Pertama. Jurnal Pendidikan Matrematika Mucharafa, 3 (3),
143–150.
Fahradina, N., Ansari, B. I., & Saiman. (2014). Peningkatan Kemampuan
Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP dengan
menggunakan Model Investigasi Kelompok. Jurnal Didaktik Matematika,
1 (1), 54–64.
Hendriana, H. & Soemarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika.
Bandung: PT Refika Aditama.
Mendikbud. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21
Tahun 2013. Commented [aa10]: Diperoleh pada 5 September 2018,
dari http://bsnp-indonesia.org/wp-content/uploads/2009/06/
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and Permendikbud_Tahun2016_Nomor021_Lampiran.pdf
Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: The National
Council of Teachers of Mathematics, Inc.
Ibadjournals. (2018). Aplikasi Hasil UN 2018: Pamer 18 Update Terbaru.
Diperoleh pada 14 Desember 2018, dari
https://ibadjournals.blogspot.com/2018/12/aplikasi-hasil-un-2018-pamer-
18-update.html.
OECD. (2016). PISA 2015 Results (Volume I) Excellence and Equity in
Education. Paris: OECD Publishing.
Qohar, A. & Sumarmo, U. (2013). Improving Mathematical Communication
Ability and Self Regulation Learning Of Yunior High Students by Using
Reciprocal Teaching. IndoMS. J.M.E, 4 (1), 59–74.
Rusman. (2014). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah. Edutech, 1 (2), 211–
230.
Sari, D. F. (2014). Eksperimentasi Pembelajaran Matematika dengan Model
Pembelajaran Kooperatif tipe Think Talk Write dan Model Pembelajaran
Berbasis Masalah pada Pokok Bahasan Bilangan Pecahan ditinjau dari
15

Aktivitas Belajar Matematika Siswa. Skripsi Tidak Dipublikasikan.


Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Shadiq, F. (2014). Pembelajaran Matematika: Cara Meningkatkan Berpikir
Siswa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sugandi, A. I. & Sumarmo, U. (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbasis
Masalah Dengan Setting Kooperatif Jigsaw Terhadap Kemampuan
Komunikasi Matematis Serta Kemandirian Belajar Siswa SMA. Makalah
dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.
Suherman, E., dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: JICA–Universitas Pendidikan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai