Anda di halaman 1dari 14

A.

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki berbagai
sumber daya mineral. Di samping potensi cadangannya cukup besar juga karena
kualitasnya sangat baik sehingga menjadi incaran para investor dari luar negeri.
Selain itu, jenis mineral yang dimiliki ternyata sangat bermanfaat bagi industri-
industri manufaktur, bernilai ekonomi tinggi, dan memiliki keterkaitan hulu dan
hilir yang tinggi bagi sektor perekonomian lainnya. Beberapa di antaranya
adalah tembaga emas, perak, timah, bauksit, nikel dan pasir besi. Hampir seluruh
potensi tersebut sudah diusahakan/dieksploitasi baik oleh perusahaan
pemerintah, swasta nasional, maupun internasional, karena jenis-jenis tersebut
memiliki nilai ekonomi tinggi.
Pembentukan endapan emas di Indonesia terkait dengan aktivitas
hidrotermal, yaitu berupa cairan panas dari sisa magma atau cairan panas yang
berasal dari air tanah yang terpanasi oleh magma. Aktivitas magmatik sebagai
sumber panas untuk menghasilkan fluida hidrotermal merupakan pengontrol
utama terbentuknya deposit emas. Hidrotermal sebagai media pembentukan
deposit emas, terbentuk pada jalur gunung api aktif maupun jalur gunung api
yang sudah tidak aktif, melintasi hampir sebagian besar wilayah kepulauan
Indonesia yang berupa jalur magmatik, sebagai daratan membentang sepanjang
15 ribu km. Sepanjang jalur tersebut emas berpotensi terbentuk. Aktivitas
magmatik selain membentuk deposit emas, hidrotermal yang terperangkap di
bawah lapisan tudung (cap rock) juga merupakan sumber energi panas bumi.
Emas dalam bentuk cebakan di alam dijumpai dalam dua tipe, yaitu
cebakan emas primer dan emas sekunder. Cebakan emas primer umumnya
terbentuk oleh aktivitas hidrotermal, yang membentuk tubuh bijih dengan
kandungan utama silika. Cebakan emas primer mempunyai bentuk sebaran
berupa urat atau dalam bentuk tersebar pada batuan. Aktivitas hidrotermal
menghasilkan cebakan emas dengan komponen utama silika, terdiri dari dua
tipe, yaitu tipe tersebar mengisi pori batuan atau replacement batuan samping
dan tipe mengisi celah dari kekar atau sesar. Tipe tersebar umumnya mempunyai
kadar relatif rendah namun dapat dijumpai berupa tubuh bijih yang sangat besar.
Cebakan mengisi celah membentuk bijih emas urat kuarsa/silika. Lingkungan
pembentukan emas pada daerah endapan mata air panas, lingkungan epitermal,
sampai dengan mesotermal. Sebagai hostrock tempat bersarangnya bijih emas
berupa batuan samping ataupun tubuh batuan magmatik yang sekaligus sebagai
sumber panas.
Emas banyak digunakan sebagai barang perhiasan dan cadangan devisa.
Potensi endapan emas terdapat di hampir setiap daerah di Indonesia, seperti di
Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. (Setiabudi, 2005).

B. SEJARAH PENAMBANGAN EMAS DI INDONESIA


Penambangan emas di Indonesia telah dimulai sejak lebih dari seribu
tahun lalu dengan kedatangan imigran dari Cina yang menambang emas di
beberapa wilayah, dilanjutkan pada Jaman Hindu, pendudukan Belanda dan
Jepang. Selama zaman kolonial Belanda (1600-1942) perkembangan
penambangan emas sangat terbatas. Beberapa cadangan bijih emas yang
ditemukan pada periode ini di daerah Lebong, yaitu Lebong Donok dan Lebong
Tandai, Provinsi Bengkulu. Penemuan cebakan emas lainnya yaitu di daerah
Banten Selatan yang dikenal sebagai tambang emas Cikotok milik PT Aneka
Tambang. Disamping itu pula terdapat penemuan-penemuan cebakan emas
lainnya dalam jumlah yang relatif kecil.
Pada tahun 1939, produksi logam emas total tercatat sebesar 2,5 ton,
yang setengahnya berasal dari Lebong Tandai. Selama Perang Dunia II, semua
tambang emas tersebut ditutup dan sesudah perang hanya beberapa tambang
yang dibuka kembali termasuk Tambang Emas Cikotok. Produksi emas sejak
berakhirnya Perang Dunia II sampai pertengahan tahun 1980-an tidak
menunjukkan peningkatan yang berarti. Produksi total yang tercatat pada tahun
1985 berjumlah sekitar 2,6 ton, dengan lebih dari 90% dari jumlah tersebut
merupakan produk sampingan konsentrat tembaga yang dihasilkan PT Freeport
Indonesia di Papua (dahulu Irian Jaya), sedangkan sisanya berasal dari produksi
PT Aneka Tambang di Cikotok.
C. SEJARAH PENAMBANGAN EMAS DI PT. ANEKA TAMBANG DI
CIKOTOK, JAWA BARAT
Cikotok merupakan sebuah desa kecil di kecamatan Bayah, Lebak
Selatan, atau kurang lebih 130 km di Selatan Rangkasbitung, Banten. Ini adalah
tambang emas pertama Antam. Direktur Umum dan CSR Antam I Made Surata
mengatakan pertambangan emas Cikotok menjadi salah satu bagian dalam
sejarah bangsa Indonesia saat dikuasai oleh Belanda pada 1936 hingga akhirnya
menjadi perusahaan negara pada 1960. Setelah itu, barulah pertambangan
tersebut menjadi bagian dari Antam pada 1968. "Setelah lebih dari 40 tahun,
Antam melaksanakan proses pengakhiran tambang Cikotok sebagai bagian dari
implementasi praktik penambangan yang baik," ujarnya dalam seremoni
pengakhiran pertambangan emas Cikotok di Kabupaten Lebak, Kamis
(21/1/2016). Tambang emas Cikotok merupakan salah satu dari tujuh badan atau
perusahaan yang merjer saat pembentukan Antam pada 5 Juli 1968.Adapun
pertambangan tersebut mulai memasuki fase pascatambang pada 2008 dan
mengakhiri kegiatannya pada bulan ini setelah mendapat persetujuan dari Bupati
Banten pada 11 Desember 2015.

Gambar. Penyebaran Emas Di Pt. Aneka Tambang Di Cikotok


D. TEKTONIK PADA DAERAH JAWA BARAT (PT ANEKA TAMBANG
DI CIKOTOK)

Van Bammelen beranggapan bahwa secara fisiografis daerah Banten


sangat mendekati sifat-sifat pulau Sumatera, apabila dibandungkan dengan
bagian sebelah timurnya. Kecuali beberapa kemiripan bentuk-bentuk
morfologinya, juga adanya produk vulkanisme yang banyak tufa asam, seperti
halnya tufa lempung yang asam.
1. Pola Struktur
Berdasarkan data gayaberat,seismic, citra Landsat/foto udara
pengamatan di lapangan, di Jawa Barat ini dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
o Arah baratlaut-tenggara
o Tmur-barat
o Utara-selatan (dominan)
Namun berdasarkan citra Landsat dan sebaran episentrum gempa,
ada satu lagi yaitu arah timurlaut-baratdaya yang menonjol di sudut baratdaya
Pulau Jawa (Cimandiri/Sukabumi). Pola baratlaut-tenggara hanya dapat
direkam dengan gayaberat, yang berarti letaknya dalam dan mungkin hingga
batuan dasar. Pola sesar ditafsirkan sebagai kelanjuttan tektonik tua Sumatra.
Pola berarah barat-timur umumnya berupa sesar naik ke arah utara dan
melibatkan sedimen Tersier. Sedangkan yang berarah utara-selatan di bagian
Utara Jawa, dari data seismic Nampak memotong batuan Tersier, ternyata
juga mengontrol bedrock. Memisahkan segmen Banten dari bogor dan
pegunungan selatan.
2. Satuan-satuan Tektonik
Batuan tertua tersingkap di Jawa Barat adalah batuan berumur eosen
awal di Ciletuh yang berupa olisostrom. Satuan ini berhubungan secara
tektonis dengan batuan ofiolit yang mengalami breksiasi dan serpentinisasi
pada jalur-jalur kontaknya. Batuan ofiolit tersebut ditafsirkan merupakan
bagian dari melange yang mendasari olisostrom yang berumur eosen awal.
Dengan demikian maka satuan tektonik tertua di Jawa Barat adalah jalur
subduksi Pra eosen.
Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma tersier. Sepanjang jalur
pantai selatan pulau Jawa, terdapat kumpulan batuan vulkanik yang
dinamakan formasi Andesit tua “old andesite formation” yang berumur
oligosen-miosen awal. Di Jabar, bagian dari formasi ini disebut formasi
Jampang. Ciri-ciri batuannya merupakan endapan aliran gravitasi seperti lava
dan kadang-kadang memperlihatkan struktur bantal. Penelitia terhadap
sebaran dan umur batuan vulkanik Tersier lainnya di Jawa Barat, ternyata
Jalur Magma Tersier jauh lebih luas lagi, yaitu hamper meliputi seluruh
bagian tenggara Jawa Barat. Dengan demikian terdapat kemungkinan bahwa
kegiatan vulkanik selama Tersier ini bermula di Selatan Jawa (miosen awal)
dan kemudian secara berangsur bergeser ke utara.
Satuan tektonik lainnya adalah jalur magma atau vulkanik kwarter ,
menempati bagian tengah Jawa Barat atau dapat juga dikatakan berlawanan
dengan Jalur Magmatik Tersier muda
3. Mandala Sedimentasi
Didasarkan pada mayoritas cirri sedimen, Soedjono (1984) membagi daerah
Jabar menjadi 3 mandala sedimentasi, yaitu mandala paparan kontinen yang
terletak di utara, diikuti oleh Mandala Cekungan Bogor di bagian tengah, dan
ke arah barat terdapat mandala Banten. Mandala paparan kontinen bertepatan
dengan zona stratigrafi dataran pantai utaranya Van Bemmelem. Dicirikan
oleh pola pengendapan paparan, umumnya terdiri dari endapan gamping,
lempung dan pasir kwarsa serta lingkungan pengendapannya dangkal.
Kedalamannya mencapai lebih dari 5000m.Mandala Cekungan Bogor
meliputi beberapa zona fisiografi Van Bemmelem (1949), yakni Zona Bogor,
Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala Sedimentasi ini
dicirikan oleh endapan “aliran gravitasi” yang sebagian besar terdiri dari
fragmen batuan beku dan sedimen, seperti andesit,tufa dan gamping.
Ketebalannya mencapai 7000m. Mandala sedimentasi Banten mempunyai
cirri-ciri yang serupa dengan Mandala Bogor dan Paparan Kontinen.

E. VULKANISME DAN MAGMATISME PADA PULAU JAWA


Posisi pulau Jawa dalam kerangka tektonik terletak pada batas aktif
(zona penunjaman) sementara berdasarkan konfigurasi penunjamannya terletak
pada jarak kedalaman 100 km di selatan hingga 400 km di utara zona Benioff.
Konfigurasi memberikan empat pola busur atau jalur magmatisme, yang
terbentuk sebagai formasi-formasibatuan beku dan volkanik. Empat jalur
magmatisme tersebut menurut Soeria Atmadja dkk., 1991 adalah :
1. Jalur volkanisme Eosen hingga Miosen Tengah, terwujud sebagai Zona
Pegunungan Selatan.
2. Jalur volkanisme Miosen Atas hingga Pliosen. Terletak di sebelah utara jalur
Pegnungan Selatan. Berupa intrusi lava dan batuan beku.
3. Jalur volkanisme Kuarter Busur Samudera yang terdiri dari sederetan
gunungapi aktif.
4. Jalur volkanisme Kuarter Busur Belakang, jalur ini ditempati oleh sejumlah
gunungapi yang berumur Kuarter yang terletak di belakang busur volkanik
aktif sekarang.

Magmatisme Pra Tersier


Batuan Pra-Tersier di pulau Jawa hanya tersingkap di Ciletuh, Karang
Sambung dan Bayat. Dari ketiga tempat tersebut, batuan yang dapat dijumpai
umumnya batuan beku dan batuan metamorf. Sementara itu, batuan yang
menunjukkan aktifitas magmatisme terdiri atas batuan asal kerak samudra
seperti, peridotite, gabbro, diabase, basalt toleit. Batuan-batuan ini sebagian
telah menjadi batuan metamorf.

Magmatisme Eosen
Data-data yang menunjukkan adanya aktifitas magmatisme pada Eosen ialah
adanya Formasi Jatibarang di bagian utara Jawa Barat, dike basaltik yang
memotong Formasi Karang Sambung di daerah Kebumen Utara, batuan
berumur Eosen di Bayat dan lava bantal basaltik di sungai Grindulu Pacitan.
Formasi Jatibarang merupakan batuan volkanik yang dapat dijumpai di setiap
sumur pemboran. Ketebalan Formasi Jatibarang kurang lebih 1200 meter.
Sementara di daerah Jawa Tengah dapat ditemui di Gunung Bujil yang berupa
dike basaltik yang memotong Formasi Karang Sambung, di Bayat dapat ditemui
di kompleks Perbukitan Jiwo berupa dike basaltik dan stok gabroik yang
memotong sekis kristalin dan Formasi Gamping-Wungkal.

Magmatisme Oligosen-Miosen Tengah


Pulau Jawa terentuk oleh rangkaian gunungapi yang berumur
Oligosen-Miosen Tengah dan Pliosen-Kuarter. Batuan penyusun terdiri atas
batuan volkanik berupa breksi piroklastik,breksi laharik, lava, batupasir
volkanik tufa yang terendapkan dalam lingkungan darat dan laut. Pembentukan
deretan gunungapi berkaitan erat dengan penunjaman lempeng samudra Hindia
pada akhir Paleogen. Menurut Van Bemmelen (1970) salah satu produk aktivitas
volkanik saat itu adalah Formasi Andesit Tua.

Magmatisme Miosen Atas-Pliosen


Posisi jalus magmatisme pada periode ini berada di sebelah utara jalur
magmatisme periode Oligosen-Miosen Tengah. Pada periode in aktivitas
magmatisme tidak terekspresikan dalam bentuk munculnya gunungapi, tetapi
berupa intrusi-intrusi seperti dike, sill dan volkanik neck. Batuannya
berkomposisi andesitik.
Magmatisme Kuarter
Pada periode aktifitas kuarter ini magmatisme muncul sebagai kerucut-
kerucut gunungapi. Ada dua jalur rangkaian gunungapi yaitu : jalur utama
terletak di tengah pulau Jawa atau pada jalur utama dan jalur belakang busur.
Gunungapi pada jalur utama ersusun oleh batuan volkanik tipe toleitik, kalk
alkali dan kalk alkali kaya potasium. Sedangkan batuan volkanik yan terletak di
belakan busur utama berkomposisi shoshonitik dan ultra potasik dengan
kandungan leusit.

Magmatisme Belakang Busur


Gunung Ungaran merupakan magmatisme belakang busur yang
terletak di Kota Ungaran, Jawa Tengah dengan ketinggian sekitar 2050 meter di
atas permukaan laut. Secara geologis, Gunung Ungaran terletak di atas batuan
yan tergabung dalam Formasi batuan tersier dalam Cekungan Serayu Utara di
bagian barat dan Cekungan Kendeng di bagian utara-timur. Gunung Ungaran
merupakan rangkaian paling utara dari deretan gunungapi (volcanic lineament)
Gunung Merapi-Gunung Merbabu-Gunung Ungaran. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa fenomena itu berkaitan dengan adanya patahan besar yan
berarah utara-selatan. Komposisi batuan yang terdapat di Gunung Ungaran
cukup bervariasi, terdiri dari basal yang mengandung olivin, andesit piroksen,
andesit hornblende dan dijumpai juga gabro. Pada perkembangannya, Gunung
Ungaran mengalami dua kali pertumbuhan, mulanya menghasilkan batuan
volkanik tipe basalt andesit pada kala Pleistosen Bawah. Perkembangan
selanjutnya pada Kala Pleistosen Tengah berubah menjadi cenderung bersifat
andesit untuk kemudian roboh. Pertumbuhan kedua mulai lagi pada Kala
Pleistosen Atas dan Holosen yang menghasilkan Gunung Ungaran kedua dan
ketiga. Saat ini Gunung Ungaran dalam kondisi dormant.
F. DEPOSIT MINERAL
13 jenis potensi mineral prospektif di jawa tengah
 Diorit
 Marmer
 Trass
 Feldspar
 Phospat
 Ballclay
 Batu kapur
 Kaolin
 Bentonit
 Pasir kuarsa
 Andesit
 Tanahliat
 Pasir besi
Mineral – mineral tersebut tersebar di :
Kawasan pertambangan mineral logam, bukan logam, batuan dan
batubara, sebagaimana diatur dalam Perda Prov. Jateng No.5 Tahun 2006
tentang RT RW Prov. Jateng 2009-2029 (Pasal 79 huruf a), terletak di :
 Kawasan Majenang-Bantar kawung di Kabupaten Cilacap, Kabupaten
Banyumas dan Kabupaten Brebes ;
 Kawasan Serayu- Pantai Selatan di Kabupaten Cilacap, Kabupaten
Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo dan Kabupaten
Wonosobo;
 Kawasan Gunung Slamet terletak di Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Purbalingga, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten
Brebes;
 Kawasan Sumbing - Sindoro-Dieng di Kabupaten Bajarnegara, Kabupaten
Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten
Batang,Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Pemalang;
 Kawasan Merapi- Merbabu- Ungaran di Kabupaten Magelang, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Semarang dan KotaSalatiga;
 Kawasan Gunung Muria di Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, dan
Kabupaten Jepara;
 Kawasan Pegunungan Kendeng Utara di Kabupaten Grobogan, Kabupaten
Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Kudus ;
 Kawasan Kendeng Selatan di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen,
Kabupaten Grobogan,dan sedikit wilayah Kabupaten Blora.
 Kawasan Gunung Lawu di Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar,
Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Sragen ;
 Kawasan Pegunungan Selatan di Kabupaten Wonogiri;
 Kawasan Serayu– Pantai Utara di Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang,
Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Brebes
G. TIPE MINERALISASI YANG HADIR
Alterasi dan mineralisasi yang berkembang di daerah penelitian
mempunyai intensitas lemah hingga sedang. Alterasi lemah diindikasikan oleh
munculnya mineral sulfida serta ubahan mineral lain dalam jumlah sedikit
(<25%). Sedangkan alterasi menengah diindikasikan olehmunculnya zona
alterasi silisifikasi hingga argilik yang diikuti oleh mineralisasi logam mulia,
logam dasar dan sulfida, dengan volume mineral sekunder berkisar 25-75 %.
Zona alterasi dengan intensitas menengah muncul pada lokasi LP 7, 8, 9, 10 di
sekitarPlampang, Kokap serta lokasi LP 24 dan 25 di Desa Sumorejo, Bagelen.
Alterasi silisifikasi ditandai dengan munculnya urat dan stockwork silika-kuarsa
yang diikuti oleh mineralisasi logam mulia (Au), barit dan sulfida serta lempung
argilik di sekitarnya. Pembentukan urat silika-kuarsa yang diikuti mineralisasi
Au umumnya mempunyai arah Timur Laut - Barat Daya dengan arah antara N
212 0E hingga N 230 E. Zona alterasi dan mineralisasi juga terdapat di sekitar
intrusi dasit Gunung Curug. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, analisis
petrografi, analisis XRD, analisis kimia mineral dan inklusi fluida maka dapat
disusun tabel asosiasi mineral pada zone alterasi serta stabilitas mineral pada
berbagai suhu pembentukan. Berdasarkan data lapangan, dijumpai adanya
mineral barit yang berasosiasi dengan silika-kuarsa. Barit merupakan mineral
dengan stabilitas suhu antara 40 – 2500C, namun dengan dijumpainya struktur
bladed, maka indikasi pembentukan mineral terjadi pada suhu dibawah boiling
level (< 2300C). Data XRD lempung hasil alterasi disekitar urat kuarsa dijumpai
adanya muskovit, kuarsa dan pirit yang mengindikasikan bahwa proses alterasi
pembentukan lempung terjadi pada suhu tinggi antara 280-3400C (Morisson,
1977). Hal ini diperkuat dengan data petrografi dengan dijumpainya serisit
dalam jumlah banyak sebagai hasil ubahan mineral plagioklas pada batuan
andesit teralterasi.Sedangkan berdasarkan data mikrotermometri inklusi fluida
maka dapat dibuat histogram suhu peleburan dan homogenisasi (Gambar 11).
Suhu peleburan berkisar -2,1 s/d – 1,80C.
DAFTAR PUSTAKA
1. Asikin, Sukendar. Geologi Struktur Indonesia. Bandung. ITB Press
2. Simandjuntak. 2004. Tektonika. Bandung. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi bandung
3. Data Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Koleksi Foto Pusat
Sumberdaya Geologi.
4. Achnan, K., Bronto, S. dan Kartawa, W., 2004. Analisis struktur geologi
daerah Cupunagara dan sekitarnya, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Publikasi Khusus, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, no. 29, 13.
5. Sunardi, E. and Koesoemadinata, R.P.,1999. New K-Ar Ages and The
Magmatic Evolution of the Sunda-Tangkuban Perahu Volcano Complex
Formations, West Java, Indonesia. Proceedings of the 28th Annual
Convention, IAGI, Jakarta, h.63-71.
6. Rohandi, U dan Gunawan, W., 1990. Peta Anomali Bouger Lembar
Jampang, Jawa Skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung.
7. Rohandi, U dan Sani, M., 1990. Peta Anomali Bouger Lembar Bogor, Jawa
Skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
8. Bahagiarti K., S. dan Murwanto, H., 1994, Penentuan tektonogenesis
komplek bancuh Karangsambung berdasarkan analisis kekar gerus,
Kumpulan Makalah Seminar Geologi dan dan Geotektonik Pulau Jawa
sejak Akhir Mesozoik hingga Kuarter, Jurusan Geologi Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, hal. 101 – 120.
9. Martodjojo, S., 1994, Data stratigrafi, pola tektonik dan perkembangan
cekungan pada jalur anjakan-lipatan di P. Jawa, Kumpulan Makalah
Seminar Geologi dan dan Geotektonik Pulau Jawa sejak Akhir Mesozoik
hingga Kuarter, Jurusan Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
hal. 15 –
10. Bemmelen, R.W., 1949. Geology of Indonesia. vol. IA, Martinus Nijhoff,
the Hague, pp. 637-647.
11. Budiadi E, 2008. Peranan Tektonik Dalam Mengontrol Geomorfologi
Daerah Pegunungan Kulon Progo, Disertasi Doktor Ilmu Geologi, UNPAD,
Bandung, Tidak dipublikasikan
12. Harjanto, A., 2008; Magmatisme dan Mineralisasi di Daerah Kulonprogo;
Disertasi Doktor Teknik Geologi, ITB, Bandung, tidak dipublikasikan.
13. Pulunggono, A. dan Martodjojo, S., 1994, Perubahan tektonik Paleogen-
Neogen merupakan peristiwa tektonik penting di Jawa, Kumpulan Makalah
Seminar Geologi dan dan Geotektonik Pulau Jawa sejak Akhir Mesozoik
hingga Kuarter, Jurusan Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
hal. 1 – 14.
14. Kastowo, 1975, Peta Lembar Majenang, Jawa, Skala 1 : 100.000, Direktorat
Geologi, Bandung.
15. Asikin, S., 1974, Evolusi Geologi Jawa Tengah dan Sekitarnya Ditinjau dari
Segi Teori Tektonik - Dunia yang Baru, disertasi Doktor, Institut Teknologi
Bandung, Bandung, tidak diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai