PENDAHULUAN
SKENARIO 3
AKU INGIN BISA DUDUK
Pada usia 87 tahun, Nenek Rujiyem, datang de IGD diantar oleh
keluarganya krena mengeluhkan sesak yang membera sejak 3 hari, disertai dengan
demam dan batuk dengan dahak berwarna kuning kental. Pasien memilki riwayat
hipertensi lebih dari 20 tahun. Satu tahun lalu terserang stroke karena perdarahan
di otak. Sudah 1 bulan ini tidak bisa bangun dari tempat tidur, makan dan minum
hanya sedikit-sedikit, sering tidak mau bicara, sulit diajak komunikasi.
Dari pemeriksaan fisik terakhir di bangsal, pasien tampak sesak, dengan
kesadaran apatis, TD 110/60 mmHg, RR 30x/menit, t=36,5 C, HR = 108 x/mnt.,
BMI : 14,3. Paru paru tampak sela iga melebar, dan didapatkan suara dasar
vesikuler meningkat, ronki basah kasar lapang paru bawah, dengan fremitus taktil
meningkat. Hasil lekosit 21000. Thorak PA tampak infiltrate di kedua lapang paru
bawah.
Kemudian oleh dokter bangsal diberikan oksigen, dipasang cairan infus dan
antibiotic. Dokter melakukan tatalaksana non farmakologi dilakukan pemasangan
NGT dengan diit cair, serta konsul di bagian rehabilitasi medik, dan gizi. Kemudian
dilakukan penilaian terhadap resiko decubitus dan kemandirian.
BAB II
2. Mengapa pasien tidak bisa bangun, makan, minum dan tidak mau
bicara?
- Indra penciuman dan pengecapan menurun, saliva meurun,
menjadi malas makan (tidak nafsu)
- Reflex esophageal turun, gerak peristaltis turun, menyebabkan
susah menelan
- Motilitas lambung turun
- Makan minum sedikit, nutrisi turun, lemah (kurang energi)
Assestment kemandirian
Menggunakan index katz : terdapat 6 pertanyaan, yaitu bath, dressing,
toileting, transferring, kontinensi, dan feeding.
Dilakukan ketika pasien hendak pulang, untuk mempersiapkan
keluarga/pengasuh apakah pasien perlu bantuan atau tidak.
15. Bagaimana hubungan stroke dengan tidak bisa bangun, makan, minum
dan sulit bicara?
Kondisi tidak bisa bangun, makan, minum, dan sulit bicara pada
geriatri lebih kepada gangguan psikologis yang sedang dialami. Dan
merujuk kepada depresi. Diaman hal ini berhubungan dengan kondisi
pasien sebelumnya yang terkena stroke. Penelitian tahun 2012
menyebutkan bahwa depresi pasca stroke terjadi pada 1 dari 3 pasien
stroke. Gejala biasanya muncul pada bulan ketiga pasca stroke. Jadi
berhubungan secara tidak langsung terhadap kondisi pasien yang tidak
bisa bangun, makan, minum dan sulit bicara melalui depresi pasca
stroke.
These guidelines are concordant with recommendations in the American Psychiatric Association Practice
Guideline for the Treatment of Patients with Major Depressive Disorder, third edition
B. MALNUTRISI
Status Gizi pada Lansia
Status gizi merupakan keseimbangan antara asuapan zat gizi dan kebutuhan akan zat
gizi tersebut. Status gizi juga didefenisikan sebagai keadaan kesehatan seseorang
sebagai refleksi konsumsi pangan serta penggunaannya oleh tubuh (Supariasa, Bakri,
& Fajar, 2002). Status Gizi pada lanjut usia dipengaruhi oleh berbagai hal. Perubahan
fisiologis, komposisi tubuh, asupan nutrisi dan keadaan ekonomi merupakan hal-hal
yang dapat memicu terjadinya berbagai masalah gizi pada lanjut usia (Potter&Pierry,
2005).
1. Perubahan Fisiologis yang Mempengaruhi Status Gizi pada Lanjut Usia
Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan
anatomik dan fungsional atas organ tubuhnya makin besar. Peneliti Andres dan Tobin
(dalam Kane, Ouslander, & Brass, 2004) menjelaskan bahwa fungsi organ-organ akan
menurun sebanyak satu persen setiap tahunnya setelah usia 30 tahun. Penurunan
fungsional dari organ-organ tersebut akan menyebabkan lebih mudah timbulnya
masalah kesehatan pada lanjut usia. Masalah gizi yang seringkali terjadi pada lanjut
usia juga dipengaruhi oleh sejumlah perubahan fisiologis (Darmojo,2010). Adapun
perubahan fisiologis tersebut sebagai berikut:
a. Komposisi Tubuh
Komposisi tubuh dapat memberikan indikasi status gizi dan tingkat kebugaran
jasmani seseorang. Pada abad ke-19 ditemukan berbagai senyawa kimiawi yang
ternyata ada pula pada jaringan dan cairan tubuh (Darmojo,2010). Akibat penuaan
pada lansia massa otot berkurang sedangkan massa lemak bertambah. Massa tubuh
yang tidak berlemak berkurang sebanyak 6,3% , sedangakan sebanyak 2% massa
lemak bertambah dari berat badan perdekade setelah usia 30 tahun. Jumlah cairan
tubuh berkurang dari sekitar 60% berat badan pada orang muda menjadi 45% dari
berat badan wanita usia lanjut.(Kawas & Brookmeyer, 2001; Arisman,2004 ).
Penurunan massa otot akan mengakibatkan penurunan kebutuhan energi yang
terlihat pada lansia. Keseimbangan energi pada lansia lebih lanjut dipengaruhi oleh
aktifitas fisik yang menurun. Pemahaman akan hubungan berbagai keadaan tersebut
penting dalam membantu lansia mengelola berat badan mereka (Darmojo,2010).
b. Gigi dan Mulut
Gigi merupakan unsur penting untuk pencapaian derajat kesehatan dan gizi yang
baik. Perubahan fisiologis yang terjadi pada jaringan keras gigi sesuai perubahan
pada gingiva anak-anak. Setelah gigi erupsi, morfologi gigi berubah karena
pemakaian atau aberasi dan kemudian tanggal digantikan gigi permanen. Pada usia
lanjut gigi permanen menjadi kering, lebih rapuh, berwarna lebih gelap, dan bahkan
sebagian gigi telah tanggal (Arisman,2004).
Dengan hilangnya gigi geligi akan mengganggu hubungan oklusi gigi atas dan
bawah dan akan mengakibatkan daya kunyah menurun yang semula maksimal
dapat mencapai 300 poinds per square inch dapat mencapai 50 pound per square
inch. Selain itu, terjadinya atropi gingiva dan procesus alveolaris yang
menyebabkan akar gigi terbuka dan sering menimbulkan rasa sakit semakin
memperparah penurunan daya kunyah. Pada lansia saluran pencernaan tidak dapat
mengimbangi ketidaksempurnaan fungsi kunyah sehingga akan mempengaruhi
kesehatan umum (Darmojo,2010).
c. Indera Pengecap dan Pencium
Dengan bertambahnya umur, kemampuan mengecap, mencerna, dan
mematobolisme makanan berubah. Penurunan indera pengecap dan pencium pada
lansia menyebabkan sebagian besar kelompok umur ini tidak dapat lagi menikmati
aroma dan rasa makanan. Gangguan rasa pengecap pada proses penuaan terjadi
karena pertambahan umur berkorelasi negatif dengan jumlah ’taste buds’ atau tunas
pengecap pada lidah. Cherie Long (1986) dan Ruslijanto (1996) dalam Darmojo
(2010) menyatakan 80% tunas pengecap hilang pada usia 80 tahun. Wanita pasca
monopause cenderung berkurang kemampuan merasakan manis dan asin. Keadaan
ini dapat menyebabkan lansia kurang menikmati makanan dan mengalami
pemurunan nafsu makan dan asupan makanan.Gangguan rasa pengecap juga
merupakan manifestasi penyakit sistemik pada lansia disebabkan kandidiasis mulut
dan defisiensi nutrisi terutama defisiensi seng (Seymour,2006).
d. Gastrointestinal
Motilitas lambung dan pengosongan lambung menurun seiring dengan
meningkatnya usia. Lapisan lambung lansia menipis. Di atas usia 60 tahun, sekresi
HCL dan pepsin berkurang. Akibatnya penyerapan vitamin dan zat besi berkurang
sehingga berpengaruh pada kejadian osteoporosis dan osteomalasia pada lansia.
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makan dari faring ke lambung, dan
gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut (Guyton&Hall,2004). Pada
manusia lanjut usia, reseptor pada esofagus kurang sensitif dengan adanya
makanan. Hal ini menyebabkan kemampuan peristaltik esofagus mendorong
makanan ke lambung menurun sehingga pengosongan esofagus terlambat
(Darmojo,2010) Berat total usus halus (di atas usia 40 tahun) berkurang, namun
penyerapan zat gizi pada umumnya masih dalam batas normal, kecuali kalsium dan
zat besi (di atas usia 60 tahun). Di usus halus juga ditemukan adanya kolonisasi
bakteri pada lansia dengan gastritis atrofi yang dapat menghambat penyerapan
vitamin B. Selain itu, motilititas usus halus dan usus besar terganggu sehingga
menyebabkan konstipasi sering terjadi pada lansia (Setiati,2000).
e. Hematologi
Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada usia lanjut sebagai akibat dari
proses menua pada sistem hematopoetik. Berdasarkan pengamatan klinik dan
laboratorik, didapatkan bukti bahwa pada batas umur tertentu, sumsum tulang
mengalami involusi, sehingga cadangan sumsum tulang pada usia lanjut menurun.
Beberapa variabel dalam pemeriksaan darah lengkap (full blood count) seperti
kadar hemoglobin, indeks sel darah merah (MCV,MCH,MCHC), hitung
leukosit,trombosit menunjukkan perubahan yang berhubungan dengan umur.
Anemia kekurangan zat besi adalah salah satu bentuk kelainan hematologi yang
sering dialami pada lansia . Penyebab utama anemia kekurangan zat besi pada usia
lanjut adalah karena kehilangan darah yang terutama berasal dari perdarahan kronik
sistem gastrointestinal akibat berbagai masalah pencernaan seperti tukak peptik,
varises esofagus, keganasan lambung dan kolon(Darmojo,2010). Menurunnya
cairan saluran cerna (sekresi pepsin) dan enzim-enzim pencernaan proteolitik
mengakibatkan pencernaan protein tidak efisien.
2. Pengukuran Status Gizi pada Lanjut Usia
Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan
perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit.
Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk menentukan status gizi,
mengidentifikasi malnutrisi (kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau
menu makanan yang harus diberikan pada seseorang. Mengkaji status gizi usia lanjut
sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih akurat.
Pengkajian status gizi pada usia lanjut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Anamnesis
Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang terdekat yang dapat
dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan, riwayat operasi
yang mengganggu asupan makanan, riwayat penyakit keluarga, aktivitas sehari-
hari, riwayat buang air besar atau buang air kecil, dan kebiasaan lain yang dapat
mengganggu asupan makanan (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002).
b. Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan, dan
proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi dan
ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya masalah-masalah nutrisi
pada seseorang. (Nurachmah,2001). Pengukuran antropometri yang dapat
digunakan untuk menetukan status gizi pada lansia meliputi tinggi badan, berat
badan, tinggi lutut (knee high), lingkar betis, tebal lipatan kulit (pengukuran
skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan dan banyak
digunakan adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) (Fatmah,2010).
Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada lansia
adalah sebagai berikut:
1) Tinggi Badan
Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, TB tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting bagi
keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui
dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang penting,
karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac stick) faktor umur
dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat
pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm dengan
menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran dilakukan pada
posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki
2) Berat Badan
Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering digunakan.
Pengukuran berat badan juga dapat memberikan gambaran status gizi
seseorang dengan mengetahu indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan
ini menggunakan timbangan injak seca.
3) Tinggi Lutut
Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi badan
bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang tidak dapat berdiri atau lansia.
Tinggi lutut dapat dilakukan pada usia lanjut yang tulang punggungnya
mengalami osteoporosis, sehingga terjadi penurunan tinggi badan (Fatmah,
2006).
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tata laksana dan edukasi yang diberikan pada
kasus di skenario
Depresi
Tanyakan tentang risiko bunuh-diri. Apakah pasien sering berpikir tentang kematian
atau mati? Apakah pasien mempunyai rencana bunuh-diri yang khas? Apakah ia telah
membuat rencana yang serius untuk percobaan bunuh-diri di masa lalu? Apakah pasien
bisa yakin untuk tidak bertindak menurut ide bunuh-diri? Supervisi/pengawasan yang
ketat oleh keluarga atau teman, atau hospitalisasi mungkin diperlukan.
Tanyakan tentang risiko mencederai orang lain. Rencanakan kegiatan jangka pendek
yang memberikan pasien kesenangan atau membangkitkan kepercayaan diri.
- Dorong pasien untuk berfikir positif untuk mengatasi rasa pesimis dan kritik-diri,
tidak bertindak atas dasar ide pesimistik dan tidak memusatkan pada pikiran negatif
atau bersalah.
- Fokuskan pada langkah kecil yang khas, yang dapat diambil oleh pasien untuk
mengurangi atau mengatasi problem dengan lebih baik. Hindari keputusan yang
besar atau perubahan pola hidup.
- Jika ada gejala fisik, bicarakan hubungan antara gejala fisik dengan suasana
perasaan.
- Sesudah ada perbaikan, rencanakan dengan pasien tindakan yang harus diambil
jika tanda kekambuhan terjadi.
b. Informasi yang perlu untuk pasien dan keluarga
Depresi adalah penyakit yang lazim serta dapat dicegah dan diobati.
Depresi bukan merupakan kelemahan atau kemalasan; pasien berupaya keras
untuk mengatasi, tetapi dia tidak berdaya.
Penderita dengan depresi mempunyai kecenderungan untuk melakukan
percobaan bunuh-diri dibandingkan kelompok masyarakat lain.
Pertimbangkan konsultasi (rujukan) jika pasien menunjukkan:
Tata laksana depresi pada lansia dipengaruhi tingkat keparahan dan kepribadian
masing-masing. Pada depresi ringan dan sedang, psikoterapi merupakan tata laksana
yang sering dilakukan dan berhasil. Akan tetapi, pada kasus tertentu atau pada depresi
berat, psikoterapi saja tidak cukup, diperlukan farmakoterapi.
Pada umumnya, tata laksana terapi hanya menggunakan obat antidepresan, tanpa
merujuk pasien untuk psikoterapi, tetapi obat hanya mengurangi gejala, dan tidak
menyembuhkan. Antidepresan bekerja dengan cara menormalkan neurotransmiter di
otak yang memengaruhi mood, seperti serotonin, norepinefrin, dan dopamin.
Antidepresan harus digunakan pada lansia dengan depresi mayor dan selective
serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) merupakan obat pilihan pertama. Beberapa obat
antidepresan yang dapat digunakan pada lansia dengan kelebihan dan kekurangan tiap
golongan ada pada tabel di bawah ini. Pemilihan obat tersebut per individu dengan
pertimbangan efek samping dari tiap golongan.
Pengobatan monoterapi dengan dosis minimal digunakan pada awal terapi, dievaluasi
apabila tidak ada perubahan bermakna dalam 6-12 minggu. Lansia yang tidak
berespons pada pengobatan awal perlu mendapatkan obat antidepresan golongan lain
dan dapat dipertimbangkan penggunaan dua golongan antidepresan. Pada lansia yang
responsif dengan obat antidepresan, obat harus digunakan dengan dosis penuh (full dose
maintenance therapy) selama 6-9 bulan sejak pertama kali hilangnya gejala depresi.
Apabila kambuh, pengobatan dilanjutkan sampai satu tahun. Strategi pengobatan
tersebut telah berhasil menurunkan risiko kekambuhan hingga 80%. Penghentian
antidepresan harus dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan gejala
withdrawal seperti ansietas, nyeri kepala, mialgia, dan gejala mirip flu (flu-like
symptoms). Lansia yang sering kambuh memerlukan terapi perawatan dosis penuh
terapi selama hidupnya.
Imobilisasi
Identifikasi dan penatalaksanaan sedini mungkin amat diperlukan baik pada penyakit penyebab
imobilisasi maupun masalah imobilisasi itu sendiri, sehingga terjadinya komplikasi akibat
imobilisasi dapat dicegah.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan farmakologi
dan non farmakologik.
Non Farmakologis
Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasma
ni secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi sec
ara teratur dan latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari te
mpat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakuka
n secara bertahap.
Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah untuk
menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk
itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur anti dekubitus,
atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakuk
an reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan me
miringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapa
t mencegah dekubitus.
Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah
maserasi.
Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obat‐
obatan yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini
perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan
untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan
pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang a
dekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilis
asi.
Farmakologis
Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama pencegahan terhadap ter
jadinya trombosis. Pemberian antikoagulan yaitu Low dose heparin (LDH) dan low
molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan
efektif untuk pasien geriatri dengan imobilisasi namun harus
mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan interaksi dengan obat lain.
Infeksi
Infeksi yang terjadi pada skenario ialah infeksi pneumonia. Dalam pengelolaannya, selain
memberikan antibiotik yang adekuat, intervensi gizi yang memadai, serta rehidrasi yang cukup,
perlu pula dipertimbangkan untuk merujuk pasien ke rumah sakit (sesuai indikasi) agar dapat
dikelola lebih intensif. Pengeluaran dahak yang sulit merupakan salah satu alasan mengapa
pasien perlu dirawat di rumah sakit. Tindakan fisioterapi dada, inhalasi, drainase postural, serta
melatih batuk yang efisien merupakan beberapa contoh mengapa rumah sakit dapat berperan
lebih besar.
Jika status fungsional pasien masih mandiri, tanpa dehidrasi, dan asupan makanan
masih dapat mencapai 75% dari yang dianjurkan maka pasien masih dapat dikelola di
Puskesmas dengan pemberian antibiotik adekuat, nutrisi dan cairan yang memadai serta
latihan nafas mau pun latihan batuk yang efektif. Jika dalam tiga hari tidak dijumpai
perbaikan maka pasien harus segera dirujuk ke Rumah Sakit.
Malnutrisi
Apabila subyek mempunyai masalah malnutrisi perlu dilakukan intervensi gizi dan selanjutnya
dilakukan pemantauan dan evaluasi penatalaksanaan gizi. Untuk menjaga berat badan dalam
batas-batas normal, seseorang harus berada dalam keseimbangan energi, yaitu jumlah asupan
kalori sama dengan kalori yang dikeluarkan. Selain itu, asupan vitamin dan mineral harus
terdapat dalam jumlah cukup sesuai kebutuhan tubuh. Bila kandungan energi makanan yang
dikonsumsi lebih sedikit daripada energi yang keluar, maka cadangan tubuh digunakan untuk
mencukupi kekurangan energi yang terjadi, sehingga BB menurun. Sebaliknya jika kita
mengkonsumsi makanan lebih banyak daripada yang dibutuhkan tubuh, kelebihan hasil
metabolismenya akan disimpan sebagai cadangan energi terutama di jaringan adiposa dan BB
akan meningkat.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian gizi pada Lanjut Usia yaitu adanya
perubahan fisiologik, penyakit penyerta, faktor sosial seperti kemiskinan, psikologik (demensia
depresi) dan efek samping obat.
a. Energi
Kebutuhan energi menurun dengan meningkatnya usia (3% per dekade). Pada Lanjut
Usia hal tersebut diperjelas disebabkan adanya penurunan massa otot (BMR menurun)
dan penurunan aktivitas fisik. Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
(WNPG) tahun 2004; laki-laki 2050 Kal dan perempuan 1600 Kal. Untuk perhitungan
yang lebih tepat dapat digunakan persamaan Harris Benedict ataupun rumus yang
dianjurkan WHO. Secara praktis dapat digunakan perhitungan berdasarkan rule of
thumb.
b. Protein
Dianjurkan kecukupan antara 0,8-1 g/kgBB/hari (1015%) dari kebutuhan energi total.
c. Karbohidrat
Dianjurkan asupan karbohidrat antara (50-60%) dari energi total sehari, dengan asupan
karbohidrat kompleks lebih tinggi daripada karbohidrat sederhana. Konsumsi serat
dianjurkan 10-13 g per 1000 kalori (25g/hari~5 porsi buah dan sayur). Buah dan sayur
selain merupakan sumber serat, juga merupakan sumber berbagai vitamin dan mineral.
d. Lemak
Dianjurkan + 25% dari energi total per hari, dan diutamakan berasal dari lemak tidak
jenuh.
e. Cairan
Pada Lanjut Usia masukan cairan perlu diperhatikan karena adanya perubahan
mekanisme rasa haus, dan menurunnya cairan tubuh total (dikarenakan penurunan
massa bebas lemak). Sedikitnya dianjurkan 1500 ml/hari, untuk mencegah terjadinya
dehidrasi, namun jumlah cairan harus disesuaikan dengan ada tidaknya penyakit yang
memerlukan pembatasan air seperti gagal jantung, gagal ginjal dan sirosis hati yang
disertai edema maupun asites.
f. Vitamin
Vitamin mempunyai peran penting dalam mencegah dan memperlambat proses
degeneratif pada Lanjut Usia. Apabila asupan tidak adekuat perlu dipertimbangkan
suplementasi; namun harus dihindari pemberian megadosis.
Beberapa vitamin perlu mendapat perhatian khusus dikarenakan sering terjadi defisiensi
(vitamin B12, D) dan sifat sebagai antioksidan (vitamin C dan E).
Beberapa mineral yang perlu mendapat perhatian khusus antara lain: 1) Ca.
Kemampuan absorpsi Ca menurun baik pada laki-laki maupun perempuan; 2) defisiensi Zn
mengakibatkan gangguan imun dan gangguan pengecapan (yang memang menurun pada
Lanjut Usia); 3) defisiensi Cu dapat mengakibatkan anemia; 4) Se karena bersifat
antioksidan. Agar dapat terpenuhi seluruh kebutuhan perlu diperhitungkan kebutuhan
energi dan nutrien sesuai dengan kebutuhan tubuh (kuantitatif) dan mengandung seluruh
nutrien (kualitatif) yang dikenal sebagai menu makanan seimbang, dan untuk mencapai hal
tersebut perlu penganekaragaman makanan yang dikonsumsi.
Penatalaksanaan gizi bagi lanjut usia di Puskesmas dianjurkan dalam empat tahap yaitu:
Skor
+ - NO Pertanyaan Jawaban
1 Tanggal berapa hari ini?
2 Hari apa sekarang ini?
3 Apa nama tempat ini?
4 Dimana alamat anda?
5 Berapa umur anda?
6 Kapan anda lahir?
7 Siapa presiden Indonesia
sekarang?
8 Siapa presiden sebelumnya?
9 Siapa nama kecil ibu anda?
10 Kurang 3 dari 20 dan tetap
pengurangan 3 dari setiap angka
baru, semua secara menurun !
Jumlah Kesalahan Total
Kesimpulan:
Keterangan:
a. Bisa dimaklumi bila lebih dari 1 (satu) kesalahan bila subyek hanya berpendidikan SD
b. Bisa dimaklumi bila kurang dari 1 (satu) kesalahan bila subyek mempunyai pendidikan lebih
dari SD
c. Bisa dimaklumi bila lebih dari 1 (satu) kesalahan untuk subyek kulit hitam, dengan
menggunakan kriteria pendidikan yang lama.
Apgar Keluarga Dengan Lansia
Skrining untuk melengkapi pengkajian fungsi sosial
Suatu Alat Skrining Singkat Yang Dapat Digunakan Untuk Mengkaji Fungsi Sosial Lansia
Keterangan: Total 5
Selalu = 2,
Kadang-kadang = 1,
Hampir tidak pernah = 0
Inventaris Depresi Beck
Mengetahui tingkat depresi lansia
Skor Uraian
A. Kesedihan
3 Saya sangat sedih/tidak bahagia dimana saya tak dapat menghadapinya
2 Saya galau/sedih sepanjang waktu dan saya tidak dapat keluar darinya
1 Saya merasa sedih atau galau
0 Saya tidak merasa sedih
B. Pesimisme
3 Saya merasa bahwa masa depan adalah sia – sia dan sesuatu tidak dapat membaik
2 Saya merasa tidak mempunyai apa – apa untuk memandang ke depan
1 Saya merasa berkecil hati mengenai masa depan
0 Saya tidak begitu pesimis atau kecil hati tentang masa depan
C. Rasa kegagalan
3 Saya benar – benar gagal sebagai orang tua (suami/istri)
2 Bila melihat kehidupan ke belakang semua yang dapat saya lihat hanya kegagalan
1 Saya merasa telah gagal melebihi orang pada umumnya
0 Saya tidak merasa gagal
D. Ketidakpuasan
3 Saya tidak puas dengan segalanya
2 Saya tidak lagi mendapatkan kepuasan dari apapun
1 Saya tidak menyukai cara yang saya gunakan
0 Saya tidak merasa tidak puas
E. Rasa bersalah
3 Saya merasa seolah – olah sangat buruk atau tidak berharga
2 Saya merasa sangat bersalah
1 Saya merasa buruk/tak berharga sebagai bagian dari waktu yang baik
0 Saya tidak merasa benar – benar bersalah
F. TIdak menyukai diri sendiri
3 Saya benci diri saya sendiri
2 Saya muak dengan diri saya sendiri
1 Saya tidak suka dengan diri saya sendiri
0 Saya tidak merasa kecewa dengan diri sendiri
G. Membahayakan diri sendiri
3 Saya akan membunuh diri saya sendiri jika saya mempunyai kesempatan
2 Saya mempunyai rencana pasti tentang tujuan bunuh diri
1 Saya merasa lebih baik mati
0 Saya tidak mempunyai pikiran – pikiran mengenai membahayakan diri sendiri
H. Menarik diri dari social
3 Saya telah kehilangan semua minat saya pada orang lain dan tidak perduli pada
mereka
2 Saya telah kehilangan semua minat saya pada orang lain dan mempunyai sedikit
perasaan pada mereka
1 Saya kurang berminat pada orang lain dari pada sebelumnya
0 Saya tidak kehilangan minat pada orang lain
I. Keragu – raguan
3 Saya tidak dapat membuat keputusan sama sekali
2 Saya mempunyai banyak kesulitan dalam membuat keputusan
1 Saya berusaha mengambl keputusan
0 Saya membuat keputusan yang baik
J. Perubahan gambaran diri
3 Saya merasa bahwa saya jelek atau tampak menjijikan
2 Saya merasa bahwa ada perubahan permanent dalam penampilan saya dan in
membuat saya tidak tertarik
1 Saya kuatir bahwa saya tampak tua atau tidak menarik
0 Saya merasa bahwa saya tampak lebih buruk dari pada sebelumnya
K. Kesulian kerja
3 Saya tidak melakukan pekerjaan sama sekali
2 Saya telah mendorong diri saya sendiri dengan keras untuk melakukan sesuatu
1 Saya memerlukan upaya tambahan untuk memulai melakukan sesuatu
0 Saya dapat bekerja kira – kira sebaik sebelumnya
L. Keletihan
3 Saya sangat lelah untuk melakukan sesuatu
2 Saya merasa lelah untuk melakukan sesuatu
1 Saya merasa lelah dari yang biasanya
0 Saya tida merasa lebih lelah dari biasanya.
M. Anoreksia
3 Saya tidak mempunyai napsu makan sama sekali
2 Napsu makan saya sangat memburuk sekarang
1 Napsu makan saya tidak sebaik sebellumnya
0 Napsu makan saya tidak buruk dari yang biasanya.
Penilaian
0-6 Depresi tidak ada atau minimal
7-13 Depresi ringan
14-21 Depresi sedang
22-39 Depresi berat
MINI MENTAL STATE EXAM ( MMSE )
( Menguji Aspek-Aspek Kognitif dari Fungsi Mental )
Tanggal :
Nama klien :
Jenis kelamin :
Umur :
TB/BB : ……cm/……kg
Agama :
Suku :
Golongan darah :
Tahun pendidikan : ……SD, ……SMP, ……SMA, ……PT
Alamat :
Tahap I
1. Apakah klien mengalami susah tidur?
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
Lanjutkan ke tahap 2 bila minimal ada satu jawaban “ya” pada tahap I
1. Keluhan lebih dari 3 bulan atau lebih dari 1 kali dalam 1 bulan.
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
Ya Tidak
Jika ada minimal satu jawaban “ya” maka masalah emosional (+)
INDEKS KATZ
Indeks Kemandirian Pada Aktivitas Kehidupan Sehari-Hari
Tanggal :
Nama klien :
Jenis kelamin :
Umur :
TB/BB : ……cm/……kg
Agama :
Suku :
Golongan darah :
Tahun pendidikan : ……SD, ……SMP, ……SMA, ……PT
Alamat :
Skore Criteria
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar kecil, berpakaiandan
mandi
B Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali satu dari
fungsitersebut
C Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi dan
satufungsi tambahan
D Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,
berpakaiandan satu fungsi tambahan
E Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari kecuali mandi,
berpakaian,ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan
F Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari kecuali mandi,
berpakaian,ke kamar kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan
G Ketergantungan pada ke enam fungsi tersebut
Lain- Tergantung pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak dapat diklasifikasikan
lain sebagaiC, D, E, atau F
Modifikasi dari Barthel Indeks
No Criteria Dengan Mandiri Keterangan
bantuan
1. Makan Frekuensi:
Jumlah:
Jenis:
2. Minum Frekuensi:
Jumlah:
Jenis:
3. Berpindah dari kursi roda ke
tempat tidur begitu pula
sebaliknya.
4. Personal toilet (cuci muka, Frekuensi:
menyisir rambut, gosok gigi)
5. Keluar masuk toilet (mencuci
pakaian, menyeka tubuh,
menyiram)
6. Mandi Frekuensi:
7. Jalan di permukaan datar
8. Naik turun tangga
9. Mengenakan pakaian
10. Control bowel (BAB) Frekuensi:
Konsistensi:
11. Control bladder (BAK) Frekuensi:
Warna:
12. Olahraga/latihan Frekuensi:
Jenis:
13. Rekreasi/pemanfaatan waktu Jenis:
luang Frekuensi:
INDEKS BARTHEL
Prosedur tes:
Pasien dinilai dengan menggunakan Barthel Indeks pada awal treatment, selama
rehabilitasi dan pada akhir masa rehabilitasi. Hal ini digunakan untuk menilai peningkatan
treatment yang dilakukan terhadap pasien.
No Aktifitas Score
Dependence Independence
1 Pemeliharaan kesehatan diri 0 5
2 Mandi 0 5
3 Makan 5 10
4 Toilet (aktifitas bab & bab) 5 10
5 Naik/turun tangga 5 10
6 Berpakaian 5 10
7 Kontrol bab 5 10
8 Kontrol bak 5 10
9 Ambulasi 15
Kursi roda 10
(bila px a,bulasi dengan
kursi roda)
10 Transfer kursi/bed 5-10 15
Total: 100
Kriteria hasil:
A. 0-100
B. 0-20 = ketergantungan penuh
21-61 = ketergantungan berat (sangat tergantung)
62-90 = ketergantungan moderat
91-99 = ketergantungan ringan
100 = mandiri
Skala
A. Numerik (ratio)
B. kategorik (ordinal)
PENGKAJIAN KESEIMBANGAN UNTUK LANSIA
Lembar Observasi Keseimbangan Lansia
Tanggal :
Nama klien :
Jenis kelamin :
Umur :
TB/BB : ……cm/……kg
Agama :
Suku :
Golongan darah :
Tahun pendidikan : ……SD, ……SMP, ……SMA, ……PT
Alamat :
Komponen
utama dalam Langkah-langkah Kriteria Nilai
bergerak
A. perubahan1. Bangun dari kursi1. Tidak bangun dari tempat duduk
posisi atau dengan satu gerakan, tetapi mendorong
gerakan tubuhnya keatas dengan tangan atau
keseimbangan bergerak kedepan kursi terlebih dahulu,
tidak stabil pada saat berdiri pertama
2. Duduk ke kursi kali.
2. Menjatuhkan diri kekursi, duduk
3. Menahan ditengah kursi
dorongan pada3. Pemeriksa mendorong sternum
sternum (perlahan-lahan sebanyak 3 kali). Klien
menggerakkan kaki memegang objek
untuk dukungan, kaki tidak menyentuh
(mata ditutup) sisi-sisinya.
4. Bangun dari kursi
5. Duduk ke kursi 4. Kriteria sama dengan kriteria untuk
mata terbuka
6. Menahan5. Kriteria sama dengan kriteria untuk
dorongan pada mata terbuka
sternum 6. Kriteria sama dengan kriteria untuk
7. Perputaran leher mata terbuka
Berg balance scale (BBS) merupakan skala untuk mengukur keseimbangan static dan dinamik
secara objektif, yang terdiri dari 14 item tugas keseimbangan (balance task) yang umum dalam
kehidupan sehari-hari.
Total score = 56
Interpretasi
0-20 = harus memakai kursi roda (wheelchair bound)
21-40 = berjalan dengan bantuan
41-56 = mandiri/independen
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada skenario 3 ini pasien
B. SARAN
Untuk mahasiswa:
DAFTAR PUSTAKA
Arisman . (2004). Gizi dalam ddaur Kehidupan. Editor, Palupi Widyastuti. EGC : Jakarta.
Bardosono, S. (2000). Studi Mengenai Kebiasaan Makan, Status Gizi dan Penyaki Degeneratif
pada Kelompok Usila di Daerah Perkotaan dan Pedesaan di Jawa Barat. Bina Diknakes.
Vol. 13. P. 17-18.
Christiani, R. (2003). Status Gizi dan Pola Penyakit pada Lansia. Diakses pada tanggal 3
September 2011,< http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/ >
Darmojo,B. (2010). Geriatri, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi ke-4. Balai Penerbit FK UI:
Jakarta.
Evelyn, Pearce. (2009). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.
Fallis, A. . (2013). Lippincott Illustrated Reviews: Pharmacology. Journal of Chemical
Information and Modeling. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Fatmah. (2010). Gizi Usia Lanjut. Erlangga: Jakarta.
Harper, G. M., Johnston, C. B., & Landefeld, C. S. (2016). Geriatric Disorders. In M. A.
Papadakis & S. J. McPhee (Eds.), Current Medical Diagnosis and Treatment 2016 (55th
ed., p. 2093). McGraw-Hill Education.
Irawan, H. (2013) ‘Gangguan Depresi pada Lanjut Usia’, Cermin Dunia Kedokteran, 40(11),
pp. 815–819.
Kane, R.L., Ouslander, JG., Abrass, IB. (2004). Essentials of Clinical Geriatric, ed.5.
McGraw-hill companies: United states of America
Kawas, CH & Brookmeyer, R.( 2001) ’ Aging and the public health effects of dementia’, New
England Journal of Medicine, vol. 344 (15), p. 1160-1161, diakses pada tanggal 31 Maret
2018, http://content.nejm.org/cgi/content/full/344/15/1160
Morrow, JR. Jackson,A. Disch,J. & Mood,D. (2005). Measurement and Evaluation in Human
Performance. Third Edition. Human Kinetics:USA <http://books.google.co.id/book>
Nurachamah,E. (2001). Nutrisi dalam Keperawatan. Sagung Seto: Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2015 Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Pusat Kesehatan Masyarakat
Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4. EGC:
Jakarta.
Robinson, R. G., & Jorge, R. E. (2016). Post-Stroke Depression: A Review. American Journal
of Psychiatry, 173(3), 221–231. https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2015.15030363
Setiati, S. (2000). Pedoman Praktis Perawatan Kesehatan: untuk Pengasuh Orang Usia lanjut.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Seymour, R. (2006). ‘Masalah Farmakologi Gigi pada Lansia’ dalam Hutauruk, C (editor),
Perawatan gigi Terpadu untuk Lansia. EGC: Jakarta.
Sukmaniah, S. (2004). ‘Nutrisi Pada Lanjut Usia’ Majalah Gizi Medik vol. 8 hal : 8-10: Jakarta.
Supariasa, IDN., Bakri, B., Fajar, I. (2002). Penilaian Status Gizi. EGC: Jakarta.
Sözeri-Varma, G. (2012). Depression in the elderly: clinical features and risk factors. Aging
and Disease, 3(6), 465–71. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23251852
Taylor, W. D. (2014). Depression in the Elderly. New England Journal of Medicine, 371(13),
1228–1236. https://doi.org/10.1056/NEJMcp1402180