Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEDARURATAN MEDIK


SKENARIO 1

KELOMPOK A9

DHIMAZ DHANDY P G0015057


WINCENT CANDRA D G0015231
TEGAR UMAROH G0015223
NAHDAH LUPITA G0015181
AULIYA YUDIA YASYFIN G0015033
IRENE G0015115
NOVIA DYAH INDRIYATI G0015189
TAMYANA AMALIA C G0015221
LUTHFI PRIMADANI K G0015141
FAHIMA ALLA ILMA G0015075
BERNITA SILVANA C G0015043
ERVINA RUTH PRIYA S G0015071

TUTOR : Dr. Senyum Indrakila, dr., Sp.M.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

SKENARIO 1

“Adakah yang Bisa Menolong Saya?”

Seorang laki-laki berusia 15 tahun dibawa ke IGD Rumah Sakit dengan


keadaan tidak sadar. Berdasarkan alloanamnesis dari keluarga pasien, pasien
tenggelam 20 menit yang lalu saat berenang di kolam renang. Ketika diangkat dari
kolam renang, pasien sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri.

Pada pemeriksan fisik didapatkan pasien tampak lemah, kesadaran GCS


E2V2M3, tekanan darah 90/50 mmHg, laju nadi 140x/menit, frekuensi napas
28x/menit, napas tampak lemah, saturasi oksigen 80%, suhu tubuh 34,7°C. Bibir dan
mukosa pasien tampak sianosis, terdengar gurgling. Auskultasi paru terdengar ronkhi
kasar di kedua hemithoraks. Abdomen tampak distensi, ekstremitas pasien tampak
keriput dan teraba dingin. EKG sinus takikardia normoaksis. Setelah pemeriksaan
EKG, pasien tiba-tiba apnoe. Kemudian dokter melakukan tindakan resusitasi dengan
prinsip-prinsip patient safety.
BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah


dalam skenario.
1. Sinus takikardi normoaksis : peningkatan denyut nadi (di atas 100x/menit)
tanpa ada perubahan axis jantung
2. Tenggelam :
o kondisi berada di dalam air yang
banyak dan tidak bisa menyelamatkan
diri
o ada di dalam body of water selama 24
jam
o terjadi gangguan pernapasan (immerse,
submerse)
o fatal / non fatal
B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan.
1. Mengapa terjadi distensi abdomen pada pasien?
2. Mengapa dokter melakukan pemeriksaan EKG? Dan mengapa setelahnya
dilakukan resusitasi?
3. Bagaimana patofisiologi tenggelam dan mechanism of injury nya?
4. Bagaimana tatalaksana awal dan lanjutan pada pasien tenggelam?
5. Mengapa bibir dan mukosa pasien sianosis? Dan mengapa terdengar
gurgling?
6. Bagaimana patofisiologi frekuensi napas orang tenggelam?
7. Mengapa auskultasi paru terdengar ronkhi kasar?
8. Mengapa bisa terjadi hipotensi dan takikardi?
9. Bagaimana cara membedakan pasien kedarutaran medik dan tidak?
10. Bagaimana langkah tindakan resusitasi?
11. Bagaimana prognosis pasien tenggelam?
12. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien tenggelam?
13. Bagaimana aspek medicolegal pada pasien tenggelam?
14. Bagaimana perbedaan pasien tenggelam di air tawar dan air laut?

C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan


sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)
Permasalahan yang ada dalam skenario ini adalah sebagai berikut:

1. Mengapa terjadi distensi abdomen pada pasien?


Karena pada saat tenggelam sudah melewati fase reflex penolakan menelan,
atau ketika pasien sudah tidak sadar, air akan masuk ke dalam GIT pasien
sehingga menyebabkan distensi abdomen
2. Mengapa dokter melakukan pemeriksaan EKG? Dan mengapa setelahnya
dilakukan resusitasi? WINCENT
3. Bagaimana patofisiologi tenggelam dan mechanism of injury nya?
Pada pertemuan pertama belum dapat dijawab, akan dibahas di jump 7.
4. Bagaimana tatalaksana awal dan lanjutan pada pasien tenggelam?
Pada pertemuan pertama belum dapat dijawab, akan dibahas di jump 7.
5. Mengapa bibir dan mukosa pasien sianosis? Dan mengapa terdengar
gurgling?
Aspirasi air berperan penting dalam proses sianosis tubuh pasien. Aspirasi
ini menyebabkan penurunan tekanan O2 dengan cepat (sekitar 60mmHg).
Hal ini akibat dari penurunan intake oksigen dalam proses respirasi serta
adanya reflex laringospasme pada proses tenggelam. Penurunan tekanan O2
ini otomatis menyebabkan sianonis perifer.
6. Bagaimana patofisiologi frekuensi napas orang tenggelam?
Ketika terbenam ke dalam air atau media cair lainnya, korban yang
sadar akan menahan nafas dan mungkin meronta untuk menyelamatkan diri
atau bahkan panik. Kemudian dorongan untuk bernafas (“air hunger”) akan
menyebabkan terjadinya inspirasi spontan–terengah-engah. Hal ini akan
mengakibatkan terjadinya aspirasi cairan yang dapat menghalangi jalan
nafas korban sehingga dapat menghambat korban untuk bernafas, kemudian
akan diikuti oleh kejang dan kematian oleh karena hipoksemia. Proses ini
dikenal juga dengan wet drowning.
Pada beberapa kejadian korban tidak meminum air, melainkan terjadi
spasme laring yang juga dapat mengakibatkan terjadi hipoksemia dan
kematian yang dikenal dengan istilah dry drowning. Meskipun aspirasi air
tawar dan air laut pada dasarnya menimbulkan perubahan yang berlawanan
dalam volume darah dan elektrolit, hanya sebagian kecil korban yang
meminum air dalam jumlah yang cukup dari kedua jenis cairan tersebut
dapat menyebabkan efek yang signifikan secara klinis. Namun, aspirasi
sejumlah cairan, baik itu air tawar maupun air laut, dapat menyebabkan
adanya kerusakan pulmonal yang dapat mengakibatkan edema paru non-
kardiogenik.
Cedera paru yang terjadi dapat diperburuk oleh adanya kontaminan di dalam
air seperti bakteri, material kecil, berbagai bahan kimia dan muntahan.
Hipoksia serebral juga dapat menyebabkan edema paru non-kardiogenik.
Sebagian besar pasien akan menjadi acidemic. Pada awalnya, hal ini lebih
berkaitan dengan hipoventilasi dibandingkan lactic acidosis akibat adanya
penurunan perfusi jaringan. Abnormalitas elektrolit jarang memerlukan
penanganan pada korban near drowning dan biasanya bersifat sementara
kecuali bila terdapat cedera ginjal yang signifikan oleh karena hipoksia,
hemoglobinuria atau myoglobinuria.
Faktor terpenting yang menentukan efek dari kejadian tenggelam
adalah durasi dan tingkat keparahan hipoksia yang ditimbulkan. Sebagian
besar pasien yang tiba di rumah sakit dengan fungsi kardiovaskular dan
neurologis yang masih baik dapat bertahan hidup dengan kecacatan minimal,
sedangkan pada pasien yang tiba dengan fungsi kardiovaskular yang tidak
stabil dan koma akan lebih buruk oleh karena hipoksia dan iskemia sistem
saraf pusat.
7. Mengapa auskultasi paru terdengar ronkhi kasar?
Pada pertemuan pertama belum dapat dijawab, akan dibahas di jump 7.
8. Mengapa bisa terjadi hipotensi dan takikardi?

Setelah hipoxemia, terjadi penurunan kesadaran, kemudian apnea, karena


tubuh kekurangan oksigen, tubuh akan melakukan kompensasi dengan
meningkatkan denyut nadi sehingga terjadi takikardi. Akibat paru yang terisi
cairan yang disebabkan asfiksia, dapat mengakibatkan hipotensi dan syok
pada akhirnya.
9. Bagaimana cara membedakan pasien kedarutaran medik dan tidak?

a. Prinsip Keperawatan Gawat Darurat


Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat
serta harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama
menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter), baik
didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi
setiap saat dan menimpa siapa saja.
Kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Gawat darurat
Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak
mendapatkan pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat
jantung, kejang, koma, trauma kepala dengan penurunan kesadaran
b) Gawat tidak darurat
Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi
tidak memerlukan tindakan yang darurat contohnya : kanker stadium
lanjut
c) Darurat tidak gawat
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba tetapi tidak
mengancam nyawa atau anggota badannya contohnya : fraktur tulang
tertutup.
d) Tidak gawat tidak darurat
Pasien poliklinik yang datang ke UGD
b. Triage Dalam Gawat Darurat
Triage adalah suatusistem seleksi pasien yang menjamin supaya tidak ada
pasien yang tidak mendapatkan perawatan medis. Tujuan triage ini adalah
agar pasien mendapatkan prioritas pelayanan sesuai dengan tingkat
kegawatannya.
Pemberian label dalam triage meliputi :
a) Merah: Untuk kasus-kasus gawat darurat
b) Kuning: Untuk kasus gawat tidak darurat atau darurat tidak gawat
c) Hijau: Untuk kasus-kasus tidak gawat tidak darurat/ringan
d) Hitam: Untuk kasus DOA (datang dalam keadaan sudah meninggal).
c. Tindakan Keperawatan Gawat Darurat Sesuai Aspek Legal
Perawat yang membantu korban dalam situasi emergensi harus menyadari
konsekuensi hukum yang dapat terjadi sebagai akibat dari tindakan yang
mereka berikan. Banyak negara-negara yang telah memberlakukan
undang-undang untuk melindungi personal kesehatan yang menolong
korban-korban kecelakaan. Undang-undang ini bervariasi diberbagai
negara, salah satu diantaranya memberlakukan undang-undang “ Good
Samaritan” yang berfungsi untuk mengidentifikasikan bahasa/ istilah
hukum orang-orang atau situasi yang memberikan kekebalan tanggung
jawab tertentu, banyak diantaranya ditimbulkan oleh adanya undang-
undang yang umum.
Perawatan yang dapat dipertanggungjawabkan diberikan oleh perawat
pada tempat kecelakaan biasanya dinilai sebagai perawatan yang
diberikan oleh perawatan serupa lainnya dalam kondisi-kondisi umum
yang berlaku. Maka perawatan yang diberikan tidaklah dianggap sama
dengan perawatan yang diberikan diruangan emergensi.
Perawat-perawat yang bekerja di emergensi suatu rumah sakit harus
menyadari implikasi hukum dari perawatan yang diberikan seperti
memberikan persetujuan dan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan
dalam membantu kondisi mencari bukti-bukti.
10. Bagaimana langkah tindakan resusitasi? TEGAR
11. Bagaimana prognosis pasien tenggelam?
Pada pertemuan pertama belum dapat dijawab, akan dibahas di jump 7.
12. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien
tenggelam?
Pada pertemuan pertama belum dapat dijawab, akan dibahas di jump 7.
13. Bagaimana aspek medicolegal pada pasien tenggelam?
Pada kasus tenggelam di air tawar, keberadaan diatom di sumsum tulang
dapat digunakan untuk mendiagnosis 30% dari kasus tenggelam di air tawar,
hasil diagnose tersebut sangat bergantung oleh dinamika populasi diatom
yang dipengaruhi oleh musim, selain juga faktor ukuran dari diatom tersebut.
Musim dingin adalah musim dengan frekuensi tertinggi tidak ditemukan
diatom pada sampel. Diatom yang biasa ditemukan pada kasus tenggelam
pada air tawar seperti kolam, danau, sungai dan kanal adalah: Navicula
pupula, N.cryptocephara, N. graciloides, N. meniscus N. bacillum N.
radiosa, N. simplex, N. pusilla, Pinnularia mesolepta, P. gibba, P. braunii,
Nitzscia mesplepta, Mastoglia smithioi, Cymbella cistula, Camera lucida,
Cymbella cymbiformi, dan Cocconeis diminuta, Pinnularia boreali
ditemukan pada air tawar yang dingin, Pinnularia capsoleta ditemukan pada
air tawar yang dangkal.

Temuan Makroskopis
pada korban tenggelam
Pemeriksaan luar:
 Tidak
ada yang
patognomonis untuk
drowning, fungsinya
hanya menguatkan.
 Hanya
beberapa penemuan
memperkuat
diagnosadrowning
antara lain: kulit basah,
dingin dan pucat.
 Lebam jenazah biasanya sianotik, kecuali bila air sangat dingin maka
lebam jenazah akan berwarna pink.
 Kadang terdapat cutis anserina pada lengan, paha dan bahu. Ini
disebabkan suhu air dingin yang menyebabkan kontraksi m. Erector
pilorum.
 Buih putih halus pada mulut dan hidung, sifatnya lekat (cairan kental dan
berbuih).
 Kadang terdapat cadaveric spasme pada tangan dan kotoran dapat
tergenggam.
 Bila berada cukup lama pada air, kulit telapak tangan dan kaki akan
mengeriput dan pucat.
 Kadang terdapat luka berbagai jenis pada yang tenggelam di pemandian
atau yang meloncat dari tempat tinggi yang dapat merobek paru, hati,
otak atau iga

Pemeriksaan dalam:
 Jalan nafas berisi buih, kadang ditemukan lumpur, pasir, rumput air,
diatom, dll.
 Terjadi karena adanya kompresi terhadap septum interalveoler atau oleh
karena terjadinya fase konvulsi akibat kekurangan oksigen.
 Paru-paru membesar, mengalami kongesti dan mempunyai gambaran
seperti marmer sehingga jantung kanan dan vena-vena besar dilatasi. Bila
paru masih fresh, kadang dapat dibedakan apakah ini tenggelam dalam air
tawar atau asin.
 Banyak cairan dalam lambung.
 Perdarahan telinga bagian tengah (dapat ditemukan pada kasus asfiksia
lain).
14. Bagaimana perbedaan pasien tenggelam di air tawar dan air laut?
Pada pertemuan pertama belum dapat dijawab, akan dibahas di jump 7.

D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan


pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III.
E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran.
1. Menjelaskan perbedaan tenggelan di air laut dan di air tawar.
2. Menjelaskan patofisiologi tenggelam
3. Menjelaskan interpretasi pemeriksaan
4. Menjelaskan pemeriksaan lanjutan (EKG, ACLS)
5. Menjelaskan tatalaksana awal dan lanjutan yang diperlukan
6. Menjelaskan prognosis

F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru


Setiap anggota dari kelompok kami mencari referensi untuk membuktikan
kebenaran dari sumber yang telah dikemukakan dan prior knowledge kami, serta
untuk menjawab persoalan yang belum diketahui (pada Langkah V). Beberapa
referensi yang kami dapat berasal dari artikel ilmiah, jurnal ilmiah, dan buku-
buku yang berkaitan dengan permasalahan dalam blok 24 skenario 1 ini.
G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru
yang diperoleh.
1. Menjelaskan perbedaan tenggelan di air laut dan di air tawar.
Air Laut
Pada inhalasi air laut, tekanan osmotik cairan di dalam alveolus lebih
besar daripada di dalam pembuluh darah. Oleh karena itu, plasma darah akan
tertarik ke dalam alveolus. Proses ini dapat mengakibatkan berkurangnya
volume intravaskular, sehingga terjadi hipovolemia dan hemokonsentrasi.
Hipovolemia mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan darah dengan laju
nadi yang cepat, dan akhirnya timbul kematian akibat anoksia dan insufiensi
jantung dalam 3 menit. Keluarnya cairan ke dalam alveolus juga akan
mengurangi konsentrasi surfaktan. Selanjutnya, akan terjadi kerusakan alveoli
dan sistem kapiler, sehingga terjadi penurunan kapasitas residu fungsional dan
edema paru.
Akibat lebih lanjut lagi, dapat terjadi atelektasis karena peningkatan
tekanan permukaan alveolar.
Pada pemeriksaan jenazah yang diduga tenggelam perlu juga diketahui
kondisi korban meninggal sebelum atau sesudah masuk air, tempat jenazah
ditemukan meninggal berada di air tawar atau asin, adanya ante mortem
injury, adanya sebab kematian wajar atau keracunan, dan terakhir yaitu sebab
kematiannya. Kasus tenggelam lebih banyak terjadi di air tawar (danau,
sungai, kolam) sebesar 90% dan sisanya 10% terjadi di air laut.

Tenggelam di Air Laut


Mekanisme tenggelam dalam air asin:
a. Terjadi hemokonsentrasi, cairan dari sirkulasi tertarik keluar sampai 42%
dan masuk kedalam jaringan paru sehingga terjadi edema pulmonum
yang hebat dalam waktu relatif singkat.
b. Pertukaran elektrolit dari asin kedalam darah mengakibatkan
meningkatnya hematokrit dan peningkatan kadar natrium plasma.
c. Vibrilasi ventrikel tidak terjadi, tetapi terjadi anoksia pada miokardium
dan disertai peningkatan viskositas darah akan menyebabkan payah
jantung.
d. Tidak terjadi hemolisis melainkan hemokonsentrasi, tekanan sistolik akan
menetap dalam beberapa menit.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah pada
jantung dilakukan dengan menentukan berat jenis dan kadar elektrolit dalam
darah yang berasal dari bilik jantung kiri dan kanan. Pada korban yang
tenggelam di air asin akan ditemukan berat jenis dan kadar elektrolit pada
darah di jantung kanan lebih rendah dari jantung kiri.
Paru-paru membesar, mengalami kongesti dan mempunyai gambaran
seperti marmer sehingga jantung kanan dan vena-vena besar dilatasi. Bila paru
masih fresh, kadang dapat dibedakan apakah ini tenggelam dalam air tawar
atau asin.
Klasifikasi secara umum meliputi oligohalophilic suatu diatom yang hidup
di air segar dengan kadar garam <0,05% dan mesohalophilic serta
polyhalophilic yang hidup di air laut dengan kadar garam > 0,05%.

2. Menjelaskan
patofisiologi tenggelam

 Wet drowning: keadaan dimana caoran masuk ke dalam saluran nafas


setelah korban tenggelam
 Dry drowning: keadaan dimana cairan tidak masuk ke dalam saluran napas
karena kematian disebabkan oleh spasme laring.
 Secondary drowning: terjadi beberapa gejala beberapa hari setelah korban
tenggelam. Korban dapat hidup setelah tenggelam dan meninggal beberapa
saat kemudian atau beberapa hari kemudian akibat komplikasi.
 Immersion syndrome: Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam
air dingin akibat reflek vagal.

Sampai saat ini sesungguhnya masih belum jelas benar, apakah


kematian pada tenggelam terjadi akibat asfiksia atau akibat aspiratnya.
Cairan aspirat yang masuk kedalam alveoli biasanya memiliki tekanan
yang cukup untuk menimbulkan kerusakan lokal dalam paru, ruptur
dinding alveoli dan reaksi biokimia pada jaringan paru disekitarnya. Jika
cairan yang teraspirasi cukup banyak dapat terjadi perubahan kadar
elektrolit dan pH darah. Orang yang tenggelam di air tawar akan
mengalami penyerapan cairan dalam alveolnya secara cepat kedalam
sirkulasi, karena sifatnya yang hipotonus terhadap darah. Dikatakan, bahwa
pada percobaan binatang, aspirasi cairan dalam jumlah banyak akan terjadi
peningkatan volume darah dalam waktu kurang dari 60 menit.
Akibatnya terjadi hemodilusi dan kadar elektrolit darahm (Na, Cl, Mg,
dll) akan turun. Pada keadaan ini terjadi juga hemolisis, sehingga akan
terlepas ion K dalam jumlah banyak. Maka resiko untuk terjadinya fibrilasi
ventrikel pada korban tenggelam di air tawar besar, terutama jika air yang
terisap cukup banyak. Bila korban sempat hidup setelah tenggelam, maka
ada kemungkinan korban mengalami gangguan pernafasan, sebab pada
keadaan ini telah terjadi perubahan tekanan permukaan alveoli yang terjadi
akibat tersapunya surfaktan oleh air. Bila tenggelam terjadi pada air asin,
maka cairan yang hipertonis dalam alveoli akan menarik air dari dalam
pembuluh darah. Darah mengalami hemokonsentrasi, kadar ion – ion dan
kandungan darah lainnya akan meningkat. Bila korban sempat hidup maka
konsentrasi ion akan kembali normal, kecuali Cl yang agak lambat
penurunannya.
Umumnya dosis lethal air laut lebih besar daripada air tawar, yaitu
sekitar dua kali lipat. Beberapa perubahan kimia yang pernah dicatat pada
kasus tenggelam adalah kadar Cl dalam whole Blood dan plasma, Na, K,
Protein total, Berat jenis plasma, Hb, dan Ht. Sedangkan perubahan fisik
yang terjadi adalah perubahan gravitasi (BJ), titik beku dan konduktifitas
seluruh darah.
Korban berada didalam air yang menyebabkan korban dapat mengalami
submersi dan imersi. Hal ini memungkinkan air masuk ke mulut. Sehingga
korban akan berusaha menahan nafas. Namun hal ini hanya dapat
dilakukan kurang dari 1 menit kemudian aka nada keinginan kuat untuk
bernapas. Bernapas di dalam air akan menyebabkan air aspirasi ke jalan
nafas, diikuti refleks batuk. Kadang dapat diikuti spasme laring
menyebabkan tertutupnya jalan nafas. Spasme laring akan berakhir apabila
terjadi hipoksia otak lalu jalan nafas kembali terbuka sehingga air dapat
masuk semakin ke bawah. Keadaan ini apabila tidak ditolong dapat
menyebabkan hipoksia jaringan. Setelah itu hipoksia akan berakibat pada
penurunan kesadaran, apnea, gangguan irama jantung (awalnya takikardia
kemudian bradikardia), pulseless electrical activity, lalu akhirnya asistol.

3. Menjelaskan interpretasi pemeriksaan


Didapatkan pada skenario GCS (Glassgow Coma Scale) E2V2M3 yang
menandakan pasien soporokomatous. Penurunan kesadaran tidak memberi
respon verbal, tidak bisa bangun dan respon nyeri tidak adekuat. Didapatkan
tensi 90/50 mmHg, yang artinya pasien mengalamai hipotensi. Kemudian
didapatkan peningkatan nadi, peningkatan nadi dapat mengencerkan darah
sehingga tekanan perifer menurun. SpO2 80% artinya hanya sedikit
hemoglobin yang mengikat O2. Kemudian suhu pasien 34,2 C, yang artinya
pembuluh darah perifer mengalami vasokonstriksi untuk mempertahankan
suhu inti dan metabolisme organ. Bibir mukosa mengalami sianosis yang
menandakan terjadi penurunan oksigenasi di perifer. Terdapat gurgling,
grugling sendiri adalah adanya cairan di orofaring karena aspirasi akibat
laringospasme. Pemeriksaan auskultasi didapatkan adanya ronkhi kasar,
artinya terdapat cairan di dalam alveolus di kedua hemithorax. Pada
abdomen didapatkan distensi dikarenakan pasien mungkin menelan banyak
air. Kemudian dari pemeriksaan EKG didapatkan sinus takikardi normoaxis,
yang artinya terdapat peningkatan denyut nadi namun tidak ada perubahan
axis

- kesadaran GCS E2V2M3, total GCS = 7 = coma


- vital sign :
a. TD: 90/50 mmHg  hipotensi
b. Nadi: 140x/menit  takikardi
c. RR: 28x/menit, lemah  takipnea
d. Suhu: 34,7°C  hipotermia
- SaO2 : 80%  rendah (N=95-100%)  Oksigen di dalam eritrosit
rendah
- Bibir sianosis : tanda dari saturasi oksigen rendah
- Gurgling : terdapat cairan di jalan napas
- Ronkhi kasar di kedua hemithorax  oedem pulmo
- Distensi abdomen : terdapat cairan dalam jumlah besar pada abdomen
(GIT)
- Ekstremitas keriput dan dingin  mekanisme kompensasi hipotermia
- EKG sinus takikardi normoaksis  denyut jantung cepat, >100x/menit,
sudut deviasi jantung normal
4. Menjelaskan pemeriksaan lanjutan (EKG, ACLS)
PEMERIKSAAN
Mempertimbangkan kejadian yang dapat menyebabkan tenggelam
Meskipun tenggelam merupakan kejadian utama, mencari berbagai
kemungkinan kondisi yang mem-predispose pasien sehingga tenggelam
mungkin dapat membantu dalam manajemen resusitatif pasien tenggelam.
Kejang merupakan pkejadian predispose tersering pada semua kelompok
usia. Meskipun lebih sering pada orang dewasa, gangguan jantung seperti
sindrom QT yang memanjang dan disritmia juga mungkin bertanggungjawab
atas kejadian tenggelam pada anak. Sindrom QT memanjang hendaknya
diperhatikan pada tenggelam yang tidak diketahui sebabnya ketika berenang
karena penggunaan tenaga yang besar, pajanan air dingin, menahan napas
dengan sadar dapat mentrigger terjadinya aritmia. Cedera trauma yang
disengaja dan tidak disengaja terkadang berhubungan dengan tenggelam
tidak selalu mudah dikenali karena hipotermia dan perubahan status mental.

Evaluasi Diagnostik di Unit Gawat Darurat


Evaluasi radiografi dan laboratoris minimal diperlukan pada pasien
tenggelam yang kondisinya sadar, dapat bernapas spontan, dan tanpa gejala
pernapasan. Untuk pasien simptomatik, tes yang paling berguna dilakukan
antara ain tes gula darah, gas darah arteri, radiografi dada, dan
elektrokardiografi. Pengukuran gas darah arteri serial bermanfaat karena
dapat mengetahui apabila terdapat penurunan tekanan oksigen arteri yang
merupaan tanda dari ARDS (acute respiratory distress syndrome) yang dapat
terjadi.
Terlepas dari jenis air (air tawar atau air laut), biasanya tingkat elektrolit dan
hematokrit jarang abnormal. Bagaimanapun, pasien yang hipotermi atau
mengalami kondisi hipoksia yang signifikan hendaknya dilakukan
pengukuran fungsi ginjal dan hematologi. Skrining urin atau darah terhadap
adanya penyalahgunaan obat-obatan dapat dilakukan. Pasien dengan trauma
atau dugaan trauma tumpul akan memerlukan pemeriksaan laboratorium dan
radiografi tambahan untuk menilai trauma. Pemeriksaan EKG dapat
membantu untuk mendiagnosis sindroma QT yang memanjang

5. Menjelaskan tatalaksana awal dan lanjutan yang diperlukan


Bantuan Medis Lanjut Pra-Rumah Sakit
1. Bila korban yang bisa bernapas, berikan O2 sungkup muka 15 L/m
2. Bila korban mengalami perburukan atau tidak bernapas adekuat, lakukan
intubasi dini dan ventilasi mekanik. Pasang akses perifer untuk pemberian
obat dan berikan infus kritaloid cepat
3. Bila korban mengalami henti jantung (cardiac arrest) biasanya sistol atau
pulseless electrical activity (PEA), lakukan CPR, berikan adrenalin 1 mg
(0,01 mg/kg), lakukan shock bila terindikasi
Perawatan di Instalasi Gawat Darurat
1. Saat korban masuk unit gawat darurat:
 Evaluasi patensi jalan napas, berikan oksigenasi, hemodinamik stabil
 Pasang NGT, selimut untuk mencegah hipotermia
 Anamnesis: tindakan resusitasi, riwayat penyakit sebelumnya
 Foto toraks
 Analisis gas darah: asidosis metabolik
2. Pemeriksaan toksikologi serta CT kepala dan leher dilakukan bila pasien
tetap tidak sadar
3. Korban yang pO2 arteri bagus tanpa terapi dan tidak ada kelainan lain
dapat dipulangkan
4. Korban dirawat bila termasuk kategori derajat 2-6. Pada korban derajat 2
yang perbaikan setelah 6-8 jam, dapat dipulangkan. Bila ada perburukan
maka korban dirawat di ruang intermediet.
5. Pada korban derajat 3-6 yang umumnya memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanik di rawat di unit perawatan intensif (ICU)

Klasifikasi Penanganan Awal di Gawat Darurat


Kelompok 1 : pasien Lakukan observasi
tanpa inhalasi yang Analisis gas darah, monitor SaO2
jelas Kaji hipotermia
Periksa elektrolit, apusan darah tepi, glukosa
Rontgen dada
Kelompok 2 : pasien Oksigen dengan masker atau sirkuit CPAP
dengan ventilasi yang Pantau SaO2 dan PaO2
adekuat Infus cairan
Kaji hipotermia dan asidosis metabolik
Periksa rontgen dada, hitung darah lengkap, urea, elektrolit,
glukosa
Pindahkan ke ICU sedapat mungkin
Kelompok 3 : pasien Intubasi dan ventilasi dengan oksigen 100%
dengan ventilasi yang Lanjutkan IPPV. Pertahankan PaO2 > 8 kPa
tidak adekuat Infus intravena
Gunakan PEEP jika perlu
Pindahkan ke ICU
Kelompok 4 : pasien Bersihkan jalan napas
dengan henti jantung IPPV segera
Kompresi dada
EKG segera mungkin
Kanulasi intravena
Kaji hipotermia
6. Menjelaskan prognosis
Pada kasus tenggelam sering kali kita sebagai tenaga medis perlu
memberitahu keluarga mengenai keadaan pasien setelah mendapatkan
perawatan medis. Dalam hal ini prognosis yang dapat diberikan bagi korban
tenggelam umumnya sebagai berikut:

- Jika korban berhasil bernapas kembali dan mengambil nafas pertamanya


dalam kurun 30 menit setelah diselamatkan dengan vital signs, dan
kesadaran yang semakin menunjuk ke arah perbaikan, umumnya memiliki
prognosis baik.
- Namun, jika korban adalah anak-anak dan dalam 20 menit setelah
penyelamatan anak tersebut dapat bernapas kembali, maka prognosisnya
akan menjadi sangat baik.

Pada kondisi di mana didapatkan korban yang apnea dengan dilatasi pupil
saat pasien sampai di IGD, umumnya korban sudah dalam kondisi hipoksia
cukup lama, 1-2 jam, dan menjadikan prognosisnya buruk. Adanya pupil
yang berdilatasi adalah tanda buruk bagi keselamatan neurologis korban,
angka keselamatan mereka dalam suatu jurnal (Pearn, 1985) dinyatakan
hanya sebesar 50%. Satu per tiga dari korban meninggal akibat tidak
ditangani keadaan hipoterminya dan tidak diberi tindakan pemberian
barbiturat, dan seperemat dari korban tersebut mengalami kerusakan
neurologis permanen yang parah.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari keadaan korban yang tertera pada skenario, didapatkan korban
mengalami syok anafilaktik. Ia juga memiliki respon imun yang berlebihan, jika
dibandingkan dengan temannya yang juga terkena sengat ubur-ubur yang sama.
B. SARAN
Adapun saran untuk jalannya diskusi kami sudah cukup baik karena semua
pertanyaan sudah terbahas. Diskusi yang baik, hendaknya dilakukan dengan sebenar-
benarnya, sebagiamana diskusi yang seharusnya. Supaya diskusi dapat menjadi
bagian dari proses pembelajaran bagi mahasiswa.
Untuk ke depannya diharapkan setiap anggota kelompok dapat memahami
keseluruhan materi.
DAFTAR PUSTAKA

Pearn, J. (1985). The management of near drowning. British Medical Journal


(Clinical Research Ed.), 291(6507), 1447–52. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3933708

Samuelson H, Nekludov M, Levander M. Neuropsychological outcome following


near-drowning in ice water: Two adult case study. J Int Neuropsychol Soc. Jul
2008; 14(4):660-81

Warner DS, Bierens JJ, Beerman SB, Katz LM. Drowning: a cry for help.
Anethesiology. Jun 2009; 110 (6):1121-3
Putra, A. A. G. A. (2014) ‘Death By Drowning : a Case Report’, E-Jurnal Medika
Udayana, 3(5).

Wilianto, W. (2012) ‘Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam


(Review)’, Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, 14(3), pp. 39–46.

Wujoso, H. 2017. PPT Kuliah Asfiksia. Universitas Sebelas Maret

Zuckerbraun NS, Saladino RA (2005). Pediatric drowning: Current management


Strategies for Immediate Care. Clinical Pediatric Emergency Medicine.

Anda mungkin juga menyukai