Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Indonesia merupakan negara yang terletak di antara dua benua dan dua
samudera. Luas wilayah daratan Indonesia adalah 1,937 juta km2 dengan luas laut
kedaulatan 3,1 juta km2 dan luas laut Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2,7 juta km2.
Luasnya lautan Indonesia membuat negara ini dijuluki dengan negara maritim.
Dengan garis pantai yang panjang dan indahnya tepian daratan Indonesia
membuat pantai menjadi destinasi favorit liburan keluarga di saat liburan panjang.
Salah satu aktivitas yang pasti dilakukan adalah berenang. Kegiatan berenang ini
menyimpan resiko kecelakaan yang berujung pada kematian yakni kematian
akibat tenggelam atau drowning.
Tenggelam atau drowning dedifinisikan sebagai kematian karena akfiksia
dalam 24 jam akibat terendam pada cairan, terutama air. Hasil akhir dari kejadian
tenggelam adalah korban dinyatakan selamat atau meninggal. Penyebab kematian
akibat tenggelam diantaranya adalah kematian otak karena hipoksia atau iskemia
otak parah, ARDS, kegagalan multi organ, sindrom sepsis karena pneumonia
aspirasi (Santoso, 2010).
Setiap tahunnya, sekitar 360.000 orang meninggal akibat tenggelam di mana
lebih dari 90% kematian terjadi di negara berkembang. Separuh korban tenggelam
berusia kurang dari 25 tahun yang mana korban terbanyak berusia 5-14 tahun. Di
Indonesia sendiri angka pasti kejadian tenggelam belum diketahui. Namun,
merujuk pada kondisi geografis wilayah Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau
dengan garis pantai yang cukup panjang yang memungkinkan terjadinya
tenggelam. Terlebih Indonesia juga merupakan daerah wisata di mana perairan
juga merupakan salah satu daya tarik wisata yang dimiliki. Meskipun fakta-fakta
di atas sangat mengkhawatirkan, penanggulangan kejadian tenggelam masih
mendapat perhatian yang sedikit.
Oleh sebab itu, Penanganan dini sangat diperlukan karena drowning dapat
menyebabkan paru seseorang terendam cairan, yang dapat menyebabkan kondisi
yang dapat mengancam jiwa, seperti pneumonia aspirasi dan asfiksia. Peran
perawat di sini juga sangat diperlukan mengingat kebutuhan oksigenasi adalah

1
kebutuhan dasar manusia. Pasien dengan drowning mengalami kesulitan bernafas,
sehingga hal ini juga dapat menganggu kenyamanan dan nyawa pasien, maka dari
itu asuhan keperawatan yang tepat dan cepat kepada klien dengan sufokasi sangat
diperlukan.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah cara melakukan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada
pasien dengan drowning ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami, menjelaskan dan melakukan asuhan
keperawatan kegawatdaruratan pada pasien dengan drowning.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mampu memahami dan menjelaskan definisi drowning
b. Mampu memahami dan menjelaskan etiologi drowning
c. Mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi drowning
d. Mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis drowning
e. Mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan drowning
f. Mampu memahami dan menjelaskan diagnostik penunjang drowning
g. Mampu memnuat asuhan keperawatan pada pasien dengan drowning

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Pengertian tenggelam sangat luas. Sebelumnya, tenggelam didefiniskan
sebagai kematian sekunder akibat asfiksia ketika di dalam cairan, biasanya air,
dalam 24 jam. Hasil konsensus dari World Congress on Drowning tahun 2002,
tenggelam diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kerusakan respirasi
primer di dalam media cair. Sementara World Health Organization mendefinisikan
tenggelam sebagai suatu proses kerusakan pernapasan akibat masuknya sebagian
atau seluruhnya air ke dalam sistem pernapasan. Hampir tenggelam (near
drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam tetapi tidak
terjadi kematian (Onyekwelu, 2008).
Near drowning didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang masih
bertahan hidup setelah mengalami sufokasi (kekurangan napas) akibat tenggelam
dalam air atau cairan lain. Sedangkan drowning sendiri didefinisikan sebagai
kematian sekunder karena asfiksia (sesak nafas) saat tenggelam dalam cairan,
biasanya air, dalam 24 jam setelah kejadian (Banerjee dalam Rauuf (2008))
Konsensus terbaru menyatakan definisi terbaru dari tenggelam harus mencakup
kasus fatal dan non fatal. Dampak tenggelam dapat berupa kematian, morbiditas,
dan non morbiditas.

2.2 KLASIFIKASI
Klasifikasi tenggelam menurut Levin (dalam Arovah, 2009) adalah :
2.2.1 Berdasarkan Kondisi Paru-Paru Korban
a. Typical Drowning
Kondisi ketika cairan masuk ke dalam saluran pernapasan saat korban
tenggelam.
b. Atypical Drowning
a) Dry Drowning
Cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan hanya sedikit bahkan
tidak ada.
b) Immersion Syndrom

3
Terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin (suhu <
20°C), menyebabkan terpicunya reflex vagal sehingga mengakibatkan
apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan
mengarah ke terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral.
c) Submersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit jantung
khususnya coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang mengalami
trauma kepala saat masuk ke air.
d) Delayed Dead
Kondisi ketika seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam
setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.

2.2.2 Berdasarkan Kondisi Kejadian


a. Tenggelam (Drowning)
Penderita meneguk air dalam jumlah yang banyak hingga air masuk ke dalam
saluran pernapasan. Bagian apiglotis akan mengalami spasme yang
mengakibatkan saluran nafas menjadi tertutup dan hanya dapat dilalui oleh
udara yang sangat sedikit.
b. Hampir Tenggelam (Near Drowning)
Kondisi korban masih bernafas dan membatukkan air keluar.

2.3 ETIOLOGI
Tenggelam bisa merupakan kejadian utama atau sekunder dari beberapa
kejadian, misalnya kejang, trauma kepala atau spinal, aritmia jantung, hipotermia,
konsumsi obat atau alkohol, pingsan, apneu, hiperventilasi, bunuh diri atau
hipoglikemia.
Proses tenggelam terjadi secara diam-diam dan cepat. Gambaran klasik dari
korban adalah helplessly gasping (terengah-engah dengan pasrah) and thrashing di
dalam air sering dilaporkan. The more ominous scenario of motionless individual
floating in the water or quietly disappearing beneath the surface is more typical.
Terdapat beberapa penyebab tenggelam antara lain (Levin dalam Arovah, 2009) :
 Kemampuan fisik yang terganggu akibat pengaruh obat
 Ketidakmampuan fisik akibat hipotermia, syok, cedera, atau kelelahan

4
 Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang

2.4 PATOFISIOLOGI
Pada semua runtutuan peristiwa tenggelam di mulai dengan kepanikan dan
keinginan bernapas karena terlalu lama menahan napas. Refleks keinginan
bernapas menyebabkan air tertelan dan sebagian kecil air masuk ke paru. Aspirasi
air menyebabkan spasme laring yang menyebabkan asfiksia, diikuti dengan henti
nafas (apnea) volunter dan laringospasme. Kehilangan kesadaran menyebabkan
relaksasi otot dan membiarkan air masuk ke paru-paru. Adanya air di dalam paru
menyebabkan berkembangnya ketidakcocokan ventilasi/perfusi yang
menyebabkan hipoksemia sistemik. Hipoksemia dan asidosis yang persisten dapat
menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung dan kerusakan sistem syaraf
pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan paru yang kering, namun karena
asfiksia membuat relaksi otot polos, air dapat masuk ke dalam paru dan
menyebabkan edema paru.
Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan merupakan faktor
yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup korban tenggelam. Karena
itu, ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat dibutuhkan untuk meningkatkan
tingkat survival korban.

5
2.4.1 Perubahan Pada Paru-Paru
Aspirasi paru terjadi pada sekitar 90% korban tenggelam dan 80 – 90%
pada korban hamper tenggelam. Jumlah dan komposisi aspirat dapat
mempengaruhi perjalanan klinis penderita, isi lambung, organism
pathogen, bahan kimia toksisk dan bahan asing lain dapat memberi cedera
pada paru dan atau menimbulkan obstruksi jalan nafas.

2.4.2 Perubahan Pada Kardiovaskuler


Pada korban hampir tenggelam kadang-kadang menunjukkan bradikardi
berat. Bradikardi dapat timbul karena refleks fisiologis saat berenang di air
dingin atau karena hipoksia. Perubahan pada fungsi kardiovaskuler yang
terjadi pada hampir tenggelam sebagian besar akibat perubahan tekanan
parsial oksigen arterial (PaO2) dan gangguan keseimbangan asam-basa.

2.4.3 Perubahan Pada Susunan Saraf Pusat


Iskemia terjadi akibat tenggelam dapat mempengaruhi semua organ tetapi
penyebab kesakitan dan kematian terutama terjadi karena iskemi otak.
Iskemi otak dapat berlanjut akibat hipotensi, hipoksia, reperfusi dan
peningkatan tekanan intra kranial akibat edema serebral.Kesadaran korban
yang tenggelam dapat mengalami penurunan. Biasanya penurunan
kesadaran terjadi 2 – 3 menit setelah apnoe dan hipoksia. Kerusakan otak
irreversibel mulai terjadi 4 – 10 menit setelah anoksia dan fungsi
normotermik otak tidak akan kembali setelah 8 – 10 menit anoksia.
Penderita yang tetap koma selama selang waktu tertentu tapi kemudian
bangun dalam.

2.4.4 Perubahan Pada Ginjal


Fungsi ginjal penderita tenggelam yang telah mendapat resusitasi biasanya
tidak menunjukkan kelainan, tetapi dapat terjadi albuminuria,
hemoglobonuria, oliguria dan anuria. Kerusakan ginjal progresif akan

6
mengakibatkan tubular nekrosis akut akibat terjadinya hipoksia berat,
asidosis laktat dan perubahan aliran darah ke ginjal.

2.4.5 Perubahan Cairan dan Elektrolit


Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan tetapi
selalu menelan banyak cairan. Air yang tertelan, aspirasi paru, cairan
intravena yang diberikan selama resusitasi dapat menimbulkan perubahan
keadaan cairan dan elektrolit. Aspirasi air laut dapat menimbulkan
perubahan elektrolit dan perubahancairan karena tingginya kadar Na dan
Osmolaritasnya. Hipernatremia dan hipovolemia dapat terjadi setelah
aspirasi air laut yang banyak. Sedangkan aspirasi air tawar yang banyak
dapat mengakibatkan hipervolemia dan hipernatremia. Hiperkalemia dapat
terjadi karena kerusakan jaringan akibat hipoksia yang luas.

2.5 MANIFESTASI KLINIK


Tanda dan gejala yang sering muncul ialah tanda dan gejala sistem
kardiorespiratori dan neurologi. Distres respiratori awalnya tidak terlihat, hanya
terlihat adanya perpanjangan nilai RR tanpa hipoksemia. Pasien yang lebih parah
biasanya menunjukkan tanda hipoksemia, retraksi dinding dada, dan suara paru
abnormal. Manifestasi neurologi yang muncul seperti penurunan kesadaran,
pasien mulai meracau, iskemik-hipoksia pada sistem saraf pusat sehingga
menunjukkan tanda peningkatan ICP (Elzouki, 2012).

Sedangkan menurut sumber lain, manifestasi drowningyang muncul antara lain :


 Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan dangkal
sampai apneu.
 Syanosis
 Peningkatan edema paru
 Kolaps sirkulasi
 Hipoksemia
 Asidosis
 Timbulnya hiperkapnia

7
 Lunglai
 Postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi
 Koma dengan cedera otak yang irreversible
Tanda dan gejala neardrowning berbeda-beda pada setiap individu tergantung
pada durasi dari tenggelamnya. Manifestasi klinis yang biasa muncul antara lain
(Raoof, 2008) :
a. Asimtomatik
b. Simtomatik
c. Pasien sadar namun gelisah dan sesak nafas.Insufisiensi pulmonar dapat
berkembang cepat bersamaan dengan takipnea, takikardia, batuk dengan
sputum berwana pink serta berbusa, dan sianosis.
d. Cardiopulmonary arrest : Pasien mengalami apnea, bradikardi, ventricular
tachycardia/fibrilation, asistole, dan nampak seperti tidak sadar.
Tanda-tanda yang memperkuat diagnosis mati tenggelam (drowning), yaitu :
a) Kulit tubuh mayat terasa basah, dingin, pucat dan pakaian basah
b) Lebam mayat biasanya sianotrik kecuali mati tenggelam di air dingin
berwarna merah muda
c) Kulit telapak tangan/telapak kaki mayat pucat (bleached) dan keriput (washer
woman’s hands/feet)
d) Kadang terdapat cutis anserine/goose skin pada lengan, paha dan bahu mayat
e) Terdapat buih putih halus pada hidung atau mulut mayat (scheumfilz froth)
yang bersifat melekat
f) Bila mayat dimiringkan, cairan akan keluar dari mulut/hidung
g) Bila terdapat cadaveric spasme maka kotoran air/bahan setempat berada
dalam genggaman tangan mayat
h) Paru-paru mayat membesar dan mengalami kongesti
i) Saluran napas mayat berisi buih, kadang berisi lumpur, pasir.
j) Lambung mayat berisi banyak cairan
k) Benda asing dalam saluran napas masuk sampai ke alveoli
l) Organ dalam mayat mengalami kongesti

8
2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan monitoring saturasi
oksigen.Radiografi dada mungkin menunjukkan perubahan akut, seperti infiltrasi
alveolar bilateral.Selain itu, pemeriksaan sistem saraf pusat, EKG, dan analisis gas
darah juga diperlukan (Elzouki, 2012). Berikut pemeriksaan diagnostic lainnya
yaitu:
 Laboratorium
 ABG + oksimetri, methemoglobinemia dan carboxyhemoglobinemia CBC
prothrombin time, partial thromboplastin time, fibrinogen, D-dimer, fibrin
 Serum elektrolit, glukosa, laktat, factor koagulasi
 Liver enzymes :
 Aspartate aminotransferase dan alanine minotransferase,
 Renal function tests (BUN, creatinine)
 Drug screen and ethanol level
 Continuous pulse oximetry and cardiorespiratory monitoring
 Cardiac troponin I testing
 Urinalisis
 Imaging:
 Foto thoraks : bukti aspirasi, edema pulmo, atelektasis, benda asing,
evaluasi penempatan endotrakea tube
 CT scan kepala dan servikal bila curiga trauma
 Extremity, abdominal, pelvic imaging bila ada indikasi
 Echocardiography jika ada disfungsi miokard
 EKG
 Kateter swan-ganz untuk monitor cardiac output dan hemodinamik pada
pasien dg status CV tidak stabil atau pasien yang membutuhkan pengobatan
inotropic multiple dan vasoaktif.

2.7 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaannya sebagai berikut :
2.7.1 Bantuan Hidup Dasar

9
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan
fokus utama pada perbaikan jalan nafas dan oksigenesasi buatan. Penilaian
pernapasan dilakukan dengan tiga langkah, yaitu :
a. Look yaitu melihat adanya pergerakan dada
b. Listen yaitu mendengar suara nafas
c. Feel yaitu merasakan ada tidaknya hembusan nafas
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernafas
dengan normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu
pemberian napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas
buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas
buatan untuk mengurangi hipoksemia. Melakuakn pernapasan buatan dari mulut
ke hidung lebih disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban saat
pemberian napas mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dianjurkan hingga 10-
15 kali sekitar 1 menit. Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak
sadar dan tidak bernapas dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam
mengalami henti jantung akibat hipoksia.

2.7.2 Bantuan hidup lanjut


Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen
dengan tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve
Mask) atau tabung oksigen. Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika
setelah pemberian oksigen ini keadaan korban belum membaik maka dapat
dilakukan intubasi trakeal.
Dalam Raoof (2008), penatalaksanaan pasien
dengan neardrowning umumnya terbagi menjadi tiga fase, antara lain perawatan
prehospital, perawatan unit gawat darurat, penatalaksanaan rawat inap.

a. Perawatan pre hospital


Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A), Breathing (B),
dan Circulation (C).Pasien harus dipindahkan dari air secepatnya, namun
menyelamatkan pernafasan dapat dimulai walau korban masih berada di
air.Cara memindahkan pasien harus benar dengan meminimalkan gerakan

10
pada leher pasien untuk menghindari terjadinya cedera medula spinal.Ketika
pasien telah berada di permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika
nadi tidak teraba.Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada
korban yang mengalami hipotermia karena bradikardi dan atrial fibrilation
(AF).Heimlich Maneuver tidak banyak menguntungkan bila digunakan untuk
mengeluarkan air yang tertelan, teknik ini seharusnya hanya digunakan saat
penyebab obstruksi jalan nafas adalah benda asing. Oksigen tambahan
(100%) dapat diberikan jika tersedia.Pasien yang mengalami apneu harus
dilakukan intubasi sesegera mungkin.
b. Perawatan di unit gawat darurat
Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus dilakukan
pengkajian ulang secara hati-hati untuk mengetahui adanya tanda-tanda
trauma seperti trauma spinal, trauma dada, atau trauma abdomen.Pengkajian
status neurologi termasuk reflek batang otak dan GCS diperlukan untuk
memastikan prognosis pasien.
c. Pakaian yang basah harus dilepas, pasien dengan hipotermia harus
dihangatkan dengan menggunakan berbagai cara. Seperti selimut hangat,
bantalan pemanas, mandi air hangat, teknik forced warm air.Kadang-
kadang peritoneal lavage dan pleural lavagedengan larutan hangat juga
digunakan.
d. Oksimetri nadi dan EKG digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan aritmia
jantung. Analisis gas darah arteri, serum elektrolit, level etanol, pemeriksaan
urin biasanya dilakukan. Cervical spine imaging, radiografi dada, CT scan
dilakukan jika dicurigai adanya trauma.Pasien yang sudah terlihat membaik
dapat dipulangkan setelah dilakukan monitoring selama 7 sampai 12
jam.Pasien dengan distres respiratori berat dan perubahan status mental
diperlukan intubasi dan ventilasi mekanik.
e. Perawatan rawat inap
Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah cedera
neurologi sekunder, iskemia yang menetap, hipoksemia, edema serebral,
asidosis, dan abnormalitas elektrolit.Pasien dengan hipotermia diperlukan
resusitasi sampai suhu mencapai 32 atau 35oC. Pasien dengan hipotensi

11
dilakukan resusitasi cairan dan diberikan obat inotropik bila perlu. Radiografi
dada biasanya menunjukkan gambaran normal sampai edema pulmonar yang
menyebar. Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik spektrum luas.

2.8 KOMPLIKASI
Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian near-drowning,
seorang pasien beresiko terjadinya komplikasi seperti :
a. Hipoksia atau iskemik injuri cerebral
b. ARDS (acute respiratory distress syndrome)
c. Kerusakan pulomal sekunder akibat respirasi
d. Cardiak arrest
e. Anoksia
f. Shock
g. Myoglubinuria
h. Insufisiensi ginjal
i. Infeksi Sistemik dan intravaskuler koagulasi juga dapat terjadi selama 72
jam pertama setelah resusitasi.

2.9 ASUHAN KEPERAWATAN


2.10.1 Pengkajian
a. Primary Survey
1.) Airway : Kaji adanya sumbatan jalan nafas akibat paru-paru yang terisi
cairan. Manajemen : Kontrol servikal, bebaskan jalan nafas
2.) Breathing : Periksa adanya peningkatan frekuensi nafas, nafas dangkal dan
cepat, klien sulit bernafas. Manajemen : Berikan bantuan ventilasi
3.) Circulation : Kaji penurunan curah jantung. Manajemen : Lakukan
kompresi dada
4.) Disability : Cek kesadaran klien, apakah terjadi penurunan kesadaran.
Manajemen : Kaji GCS, periksa pupil dan gerakan ektremitas
5.) Exposure : Kaji apakah terdapat jejas.

12
b. Secondary Survey
1. Identitas Klien : meliputi nama, umur, pekerjaan, jenis kelamin, alamat
2. Keluhan Utama : Kaji hal yang dirasakan klien saat itu, biasanya klien
mengeluh sesak nafas
3. Riwayat Penyakit Sekarang : Bagaimana awal mula klien dibawa ke
pelayanan kesehatan sampai munculnya keluhan yang dirasakan klien
4. Riwayat Penyakit Dahulu : Kaji apakah sebelumnya klien pernah tenggelam,
dan kaji apakah klien mempunyai penyakit asma
5. Pengkajian Fisik
Keadaan Umum : Klien biasanya tampak lemah, pucat, sesak, dan kesulitan
bernafas.
Pemeriksaan per – system B1-B6 :
B1 (Breathing) : Klien mengeluh sesak dan sulit bernafas, pernafasan cepat dan
dangkal, RR meningkat
B2 (Blood) : Tekanan darah klien menurun, klien tampak pucat, sianosis dan
nadi meningkat (takikardi)
B3 (Brain) : Klien mengalami penurunan kesadaran, GCS menurun
B4 (Bladder) : Tidak ditemukan kelainan
B5 (Bowel) : Tidak ditemukan kelainan
B6 (Bone) : Kaji adanya fraktur karena terbentur benda keras

13
2.10.2 Analisa Data
No Data Etiologi Problem
1 DS : pasien mengatakan refraktori dan kebocoran Gangguan pertukaran
kesulitan untuk bernafas gas
interstitial pulmonal /
DO : terdapat tanda-tanda
hipoksia (pucat, crt > 2dtk, alveolar pada status cedera
terdapat pernafasan cuping
kapiler paru
hidung, terlihat otot bantu
nafas)
2 DS : – peningkatan kerja Penurunan curah
DO : penurunan TD, akral jantung
ventrikel
dingin pucat, suhu tubuh
menurun
3. DS : pasien mengeluh susah supresi reflek batuk Ketidakefektifan
untuk bernafas Bersihan jalan nafas
sekunder akibat aspirasi
DO : nafas cepat dan
dangkal air ke dalam paru

4. DS : – kurangnya suplai oksigen Ketidakefektifan


DO : penurunan kesadaran perfusi jaringan
cerebral
5. DS : Klien mengeluh sesak hipoksia akibat penurunan Ketidakefektifan
DO : RR meningkat, nafas Pola nafas
kadar oksigen dalam
cepat dan dangkal,
penggunaan otot bantu tubuh
pernafasan

2.10.3 Diagnosa Keperawatan


a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan supresi
reflek batuk sekunder akibat aspirasi air ke dalam paru
b. Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan hipoksia akibat
penurunan kadar oksigen dalam tubuh
c. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan refraktori dan
kebocoran interstitial pulmonal / alveolar pada status cedera kapiler paru
d. ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan
kurangnya suplai oksigen

14
e. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan peningkatan kerja
ventrikel

2.10.4 Intervensi Keperawatan


a. Diagnosa 1 :
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan supresi reflek
batuk sekunder akibat aspirasi air ke dalam paru
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1×24 jam bersihan jalan nafas
efektif
Kriteria Hasil :
a) Jalan nafas paten
b) Tidak terjadi aspirasi
c) Sekresi encer dan mudah dibersihkan
Intervensi Rasional
Kaji status pernafasan klien Suara nafas terjadi karena adanya aliran
udara melewati batang tracheo branchial
dan juga karena adanya cairan, mukus
atau sumbatan lain dari saluran nafas
Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala Pemeliharaan jalan nafas dengan paten
dan gunakan jalan nafas tambahan bila
perlu
Catat perubahan dalam bernafas dan Penggunaan otot-otot interkostal atau
pola nafasnya abdominal/leher dapat meningkatkan
usaha dalam bernafas
Auskultasi bagian dada anterior dan Pengembangan dada dapat menjadi batas
posterior untuk mengetahui adanya dari akumulasi cairan dan adanya cairan
penurunan atau tidaknya ventilasi dan dapat meningkatkan fremitus
adanya bunyi tambahan
Berikan fisioterapi ada misalnya: Meningkakan drainase sekret pari,
postural drainase, perkusi dada/vibrasi peningkatan efisiensi penggunaan otot-
jika ada indikasi otot pernafasan
Jelaskan penggunaan peralatan Mengurangi kekhawatiran pasien dengan
pendukung kondisinya
Kaji kemampuan batuk, latihan nafas Penimbunan sekret mengganggu ventilasi
dalam, perubahan posisi dan lakukan dan predisposisi perkembangan
suction bila ada indikasi atelektasis dan infeksi paru

15
b. Diagnosa 2 :

Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan hipoksia akibat penurunan kadar


oksigen dalam tubuh

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1×24 jam, pola nafas klien
adekuat dan efektif.
Kriteria Hasil :
a) RR dalam batas normal 16-22x/menit
b) Nafas reguler

Intervensi Rasional
Pantau adanya pucat dan sianosis Pucat dan sianosis merupakan tanda
hipoksia
Posisikan klien dengan posisi semi Posisi untuk memperoleh ventilasi
fowler maksimum
Identifikasi perlunya dilakukan insersi Untuk membebaskan jalan nafas
jalan nafas
Gunakan oral atau nasofaringeal air way Untuk memberi jalan nafas pada klien
sesuai kebutuhan

c. Diagnosa 3 :
Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan refraktori dan kebocoran
interstitial pulmonal / alveolar pada status cedera kapiler paru.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1×24 jam tidak terjadi gangguan
pertukaran gas
Kriteria Hasil :
a) Oksigenasi adekuat
b) Saturasi oksigen dalam rentang normal
Intervensi Rasional
Kaji status pernafasan, catat peningkatan Takipneu adalah mekanisme kompensasi
respirasi atau perubahan pola nafas untuk hipoksemia dan peningkatan usaha

16
nafas

Tanda sianosis dapat dinilai pada mulut,


bibir yang berindikasi adanya
Kaji tanda distress pernafasan, hipoksemua sistemik, sianosis perifer
peningkatan frekuensi jantung, agitasi, seperti pada kuku dan ekstremitas
berkeringat, sianosis vasookontriksi

Observasi adanya somnolen, confusion, Hipoksemia dapat ,enyebabkan


apatis, dan ketidakmampuan beristirahat iritabilitas dari miokardium

Suara nafas mungkin tidak sama atau


tidak ditemukan. Crakles terjadi karena
peningkatan cairan di permukaan
jaringan yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas membran
alveoli kapiler. Wheezing terjadi karena
Catat ada tidaknya suara nafas dan bronkokontriksi atau adanya mukus pada
adanya bunyi nafas tambahan jalan nafas

Memaksimalkan pertukaran oksigen


Berikan humidifier oksigen dengan secara terus menerus dengan tekanan
masker CPAP jika ada indikasi yang sesuai

Berikan dan monitor terapi


bronkodilator sesuai indikasi Untuk kencegah ARDS

Peningkatan ekspansi paru meningkatkan


Pertahankan ventilasi mekanis oksigenasi

d. Diagnosa 4 :
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan kurangnya
suplai oksigen
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1×24 jam tidak terjadi gangguan perfusi
serebral
Kriteria Hasil :
a) Klien menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
b) Klien menunjukkan memori jangka lama dan saat ini, membuat keputusan
yang benar
Intervensi Rasional
Kaji tingkat kesadaran klien dengan Tingkat kesadaran merupakan indikator
GCS terbaik adanya perubahan neurologi
Melakukan sirkulasi perifer secara Indikasi adanya fraktur basilar

17
komperhensif
Pada keadaan normal autoregulasi
mempertahankan aliran darah otak yang
konstan pada saat fluktuasi tekanan darah
Pantau tekanan darah sistemik
Catat status neurologi secara tertatur,
bandingkan dengan nilai standar Mengkaji adanya kecenderungan pada
menghindari suhu yang kestrim dan tingkat kesdaran dan potensial adanya
ekstremitas peningkatan TIK
Perhatikan adanya gelisah meningkat, Petunjuk nonverbal ini mengindikasikan
tingkah laku yang tidak sesuai adanya peningkatan TIK
Adanya perubahan tanda vital seperti
respirasi menunukkan kerusakan pada
Monitor tanda vital setiap 1 jam batang otak
Meningkatkan aliran balik vena dari
kepala, sehingga akan mengurangi
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajat kongesti dan edema atau resiko terjadi
sesuai indikasi yang dapat ditoleransi peningkatan TIK

e. Diagnosa 5 :
Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan peningkatan kerja ventrikel.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1×24 jam, tidak terjadi penurunan
curah jantung
Kriteria Hasil :
a) Pompa jantung efektif

Intervensi Rasional
Raba nadi (radial, carotid, femoral,
dorsalis pedis) catat frekuensi, Perbedaan frekuensi, kesamaan dan
keteraturan, amplitude (penuh/kuat) dan keteraturan nadi menunjukkan efek
simetris. Catat adanya pulsus alternan, gangguan curah jantung pada sirkulasi
nadi bigeminal, atau defisit nadi sistemik/perifer
Pendengaran terhadap bunyi jantung
Auskulatasi bunyi jantung, catat ekstra atau penurunan nadi membantu
frekuensi, irama. Catat adanya denyut mengidentifikasi disritmua pada pasien
jantung ekstra, penurunan nadi tak terpantau
Pantau tanda vital dan kaji keadekuatan Meskipun tidak semua disritmia
curah jantung/perfusi jaringan. mengancam hidup, penanganan cepat
untuk mengakhiri disritmia diperlukan

18
pada adanya gangguan curah jantung dan
perfusi jaringan
Meningkatkan jumlah sediaan oksigen
Berikan oksigen tambahan sesuai untuk miokard, yang menurunkan
indikasi iritabilitas yang disebabkan oleh hipoksia
Penurunan rangsang dan penghilangan
stress akibat katekolamin yang
menyebabkan atau meningkatkan
disritmia dan vasokontriksi serta
Berikan lingkungan tenang meningkatkan kerja miokard

19
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam
cairan dan cairan tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai alveoli paru-
paru. Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran
nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan pernafasan sampai
kematian. Drowning diklasifikasikan menjadi typical dan atypical. Atypical
diklasifikaikan lagi menjadi dry, immersion syndrome, submersion of the
unconscious, dan delayed dead. Berdasarkan kondisi kejadian dibedakan
menjadi drowning dan near drowning (hampir tenggelam).
Drowning ini terjadi dikarenakan kemampuan fisik yang terganggu akibat
pengaruh obat, ketidakmampuan fisik akibat hipotermia, syok, cedera atau
kelelahan, dan ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenag. Keadaan
tergambatnya jalan nafas karena tenggelam menyebabkan gasping dan kemudian
aspirasi diikuti dengan henti nafas volunteer dan laringospasme, hipoksemia dan
asidoseis yang berakibat pada henti jantung dan kerusakan system syaraf
pusat. Drowning menyebabkan perubahan pada paru-paru, kardiovaskuler,
susunan saraf pusat, ginjal, cairan dan elektrolit. Manifestasi klinis yang
ditunjukan adalah sianosis, peningkatan edema paru, kolaps sirkulasi, hipoksemia,
asidosis, hiperkapnes, lunglai, postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi, koma
dengancedera otak yang irreversible. Penatalaksanaan meliputi bantuan hidup
dasar dan bantuan hidup lanjut.

3.2 Saran
Mengingat pentingnya penatalaksanaan yang cepat dan tepat terhadap pasien
kritis, sebagai calon Ners kita seharusnya banyak membaca literature. Untuk
mendalami pengetahuan tentang drowning banyak literature tersedia di
kedokteran forensik.

20
DAFTAR PUSTAKA
Abdul M. I. (1997) . Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta Bara : Binarupa
Aksara
Budiyanto. (1997) . Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik
FKUI
Dolinak, D., Matshes, E. & Lew, E. O., (2005) . Forensic Pathology: Principles
and Practice. s.l.:Elsevier.
Levin, D. L. et al., (1993) . Drowning and Near-Drowning. Pediatric clinics of
North America, Volume 2.
Onyekwelu, E., (2008) . Drowning and Near Drowning. Internal Journal of
Health 8, Volume 2.
Raoof, Suhail. (2008) . Manual of Critical Care. New York: Brooklyn.
Rastogi, P. & Rao, J., (2011). Accidental Mechanical Asphyxia At Work Site By
Mud. J Punjab Acad Forensic Med Toxicol, Volume 11, pp. 52-54.
Somantri, irman, (2007) . Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
sistem pernapasan, Salemba Medika, Jakarta
Sorrentino, S., (2010) . Mosby’s Textbok for Long-Term Care Nursing
Assistants. 6th penyunt. s.l.:Mosby.
Wilianto, W., (2012) . Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga
Tenggelam. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Volume 14,
pp. 39-46.
Wilkinson & Ahern. (2011) . Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC . Ed. 9. Jakarta:
EGC.

21

Anda mungkin juga menyukai