Anda di halaman 1dari 24

KASUS KEGAWATDARURATAN PADA WISATA AIR

“TENGGELAM “

DISUSUN OLEH :
NI LUH PUTU ARY APRILIYANTI (P07120216017)
NI MADE TARIANI (P07120216018)
PUTU INDAH PERMATA SARI (P07120216019)
NI PUTU NOVIA HARDIYANTI (P07120216020)
NI WAYAN MUJANI (P07120216021)
NI PUTU NUR ADIANA DEWI (P07120216022)
NI NYOMAN MURTI APSARI DEWI (P07120216023)
I GUSTI AYU INTAN ADRIANA SARI (P07120216024)

SEMESTER VII/ KELAS 4.A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Drowning atau disebut juga tenggelam adalah suatu proses yang mengakibatkan
gangguan respirasi karena cairan (van beck et al, 2005). Hasil akhir dari kejadian
tenggelam adalah korban dinyatakan selamat atau meninggal. Penyebab kematian akibat
tenggelam diantaranya adalah kematian otak karena hipoksia atau iskemia otak parah,
ARDS, kegagalan multi organ, sindrom sepsis karena pneumonia aspirasi (Santoso,
2010).
Berdasarkan data Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten
Pesisir Barat, jumlah korban tenggelam diperairan pantai dan aliran sungai di daerah
pesisir sejak 2012 lalu hingga 2014, tahun 2012 silam korban tenggelam di pantai
mencapai 13 orang, di tahun 2013 mencapai 12 orang, tiga diantaranya tenggelam di
aliran sungai dan di hingga Desember tahun 2014 telah tercatat enam orang, dua
tenggelam di aliran sungai empat orang tenggelam dilaut, satu diantaranya hingga kini
tidak ditemukan (Radar Lampung, 2014). Selain itu di Jawa Timur juga banyak kejadian
kapal yang tenggelam atau perahu nelayan yang dihantam ombak sehingga memakan
korban yang jumlahnya tidak sedikit, seperti di Situbondo dalam satu kali perahu
tenggelam saja korbannya berjumlah 21 orang (Detik, 2014). Berdasarkan gambaran data
dari BPBD Lampung jumlah orang yang tenggelam masih tergolong tinggi walaupun
secara matematis data tiap tahun menurun, Indonesia adalah negara maritim yang
wilayahnya didominasi daerah berair, jika dalam satu daerah saja terdapat 13 orang yang
meninggal karena tenggelam, maka secara matematis korban tenggelam yang terhidung
dari sabang sampai merauke sudah tentu banyak sekali.
Mekanisme tenggelam dapat digolongkan menjadi dua, yaitu dengan aspirasi
cairan dan tanpa aspirasi cairan. Mekanisme kematian aspirasi cairan adalah asfiksia.
Proses tenggelam ketika jalan nafas seseorang berada di bawah permukaan cairan, secara
sadar individu akan menahan nafasnya kemudian diikuti oleh laryngospasme involunter
karena cairan yang ada di orofaring atau laring, selama periode ini individu tidak dapat
menghirup udara sehingga mengalami kekurang oksigen dan penumpukan
karbondioksida. Perubahan terjadi di paru, cairan tubuh, tekanan gas darah,

2
keseimbangan asam basah, dan konsentrasi elektrolit yang bergantung pada komposisi,
volume cairan yang teraspirasi, dan durasi tenggelam (Santoso, 2010).
Oleh sebab itu, Penanganan dini sangat diperlukan karena drowning dapat
menyebabkan paru seseorang terendam cairan, yang dapat menyebabkan kondisi yang
dapat mengancam jiwa, seperti pneumonia aspirasi dan asfiksia. Peran perawat di sini
juga sangat diperlukan mengingat kebutuhan oksigenasi adalah kebutuhan dasar
manusia. Pasien dengan drowning mengalami kesulitan bernafas, sehingga hal ini juga
dapat menganggu kenyamanan dan nyawa pasien, maka dari itu asuhan keperawatan
yang tepat dan cepat kepada klien dengan sufokasi sangat diperlukan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep dasar tenggelam ?
2. Bagaimana konsep askep gadar pada pasien tenggelam ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep dasar tenggelam
2. Untuk mengetahui konsep askep gadar pada pasien tenggelam

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR TENGGELAM


1. Definisi Tenggelam
Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran
nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan pernafasan sampai kematian.
Definisi tenggelam mengacu pada ‘adanya cairan yang masuk hingga menutupi
lubang hidung dan mulut’, sehingga tidak terbatas pada kasus tenggelam di kolam
renang, atau perairan seperti sungai, laut, dan danau saja, tetapi juga pada kondisi
terbenamnya tubuh dalam selokan atau kubangan dimana bagian wajah berada di
bawah permukaan air (Putra, 2014).
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam cairan
dan cairan tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai alveoli paru-paru. Pada
umumnya tenggelam merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung maupun
karena ada faktor-faktor lain seperti korban dalam keadaan mabuk atau dibawah
pengaruh obat, atau bisa saja dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan
(Wilianto, 2012). Hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan gangguan
fisiologi tubuh akibat tenggelam tetapi tidak terjadi kematian (Onyekwelu, 2008).
Tenggelam dapat menyebabkan kematian atau kecacatan. Menurut Kongres
(2002), tenggelam adalah suatu kejadian berupa gangguan respirasi akibat tenggelam
atau terendam oleh cairan. Menurut Dr. Boedi Swidarmoko SpP, tenggelam
(drowning) adalah kematian karena asfiksia pada penderita yang tenggelam. Istilah
lain, near drowning adalah untuk penderita tenggelam yang selamat dari episode akut
dan merupakan berisiko besar mengalami disfungsi organ berat dengan mortalitas
tinggi. Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan air laut.
Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik, sedangkan pada
air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli
sehingga menyebabkan hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum,
dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia,
hemokonsentrasi dan hipertonis. Jadi yang dimaksud dengan tenggelam adalah suatu
istilah dari suatu keadaan yang disebabkan karena seseorang menghirup air atau
cairan ke paru-paru sehingga menghambat/mencegah udara yang mengandung
oksigen untuk sampai dan berhubungan dengan bagian depan permukaan alveolus di
4
paru-paru, dimana bagian ini merupakan bagian penting yang berfunsi untuk
pertukaran gas di paru-paru dan proses oksigenisasi darah.

2. Etiologi Tenggelam
a. Tidak bisa berenang
b. Kelelahan dan kehabisan tenaga
c. Terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obat-obatan
d. Ketidakmampuan akibat hipotermia, syok, atau cedera
e. Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang

Selain itu, kondisi umum dan faktor resiko pada kejadian korban tenggelam antara
lain :
a. Pria lebih beresiko untuk mengalami kejadian tenggelam terutama dengan usia
18-24 tahun
b. Kurang pengawasan terhadap anak terutama yang berusia 5 tahun ke bawah
c. Tidak memakai pelampung ketika menjadi penumpang angkutan air
d. Kondisi air melebihi kemampuan perenang, arus kuat dan air yang sangat dalam
e. Ditenggelamkan dengan paksa oleh orang lain dengan tujuan
membunuh,kekerasan atau permainan di luar batas.

3. Manifestasi Klinis Korban Tenggelam


a. Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan dangkal sampai
apneu.
b. Cianosis
c. Peningkatan edema paru
d. Kolaps sirkulasi
e. Hipoksemia
f. Asidosis
g. Timbulnya hiperkapnia
h. Lunglai
i. Postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi
j. Koma dengan cedera otak yang irreversible

5
Stone, CK., Humphries, R., 2004 menyebutkan bahwa adanya buih / busa
berwarna merah muda pada mulut atau hidung mengindikasikan sudah terjadi edema
pulmo pada korban tenggelam.

4. Klasifikasi Tenggelam
a. Berdasarkan Kondisi Kejadian
1) Tenggelam
Yaitu suatu keadaan dimana penderita akan meneguk air dalam jumlah yang
banyak sehingga air masuk ke dalam saluran pernapasan, dan saluran nafas
atas, tepatnya bagian epiglotis akan mengalami spasme yang mengakibatkan
saluran nafas menjadi tertutup serta hanya dapat dilalui oleh udara yang
sangat sedikit.
2) Hampir Tenggelam
Yaitu suatu keadaan dimana penderita masih bernafas dan membatukkan air
keluar.
b. Berdasarkan Kondisi Paru – Paru Korban
1) Typical Drawning
Yaitu keadaan dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban saat
korban tenggelam.
2) Atypical Drawning
a) Dry Drowning
Yaitu keadaan dimana hanya sedikit bahkan tidak ada cairan yang masuk
ke dalam saluran pernapasan.
b) Immersion Syndrom
Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air dingin
(suhu < 20°C) yang menyebabkan terpicunya reflex vagal yang
menyebabkan apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh
darah kapiler dan menyebabkan terhentinya aliran darah koroner dan
sirkulasi serebaral.
c) Submersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit jantung
khususnya coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang mengalami
trauma kepala saat masuk ke air.

6
d) Delayed Dead
Yaitu keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24
jam setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.

5. Patofisiologi
Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang individu
tenggelam. Keadaan terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam menyebabkan
adanya gasping dan kemudian aspirasi, dan diikuti dengan henti nafas (apnea)
volunter dan laringospasme. Hipoksemia dan asidosis yang persisten dapat
menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung dan kerusaka sistenm saraf
pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan paru yang kering, namun karena
aspiksia membuat relaksi otot polos, air dapat masuk ke dalam paru dan
menyebabkan edema paru.
Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan air laut.
Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik, sedangkan pada
air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli
sehingga menyebabkan hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum,
dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia,
hemokonsentrasi dan hipertonis.
Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan vagotonia,
vasokontriksi paru, dan hipertensi. Air segar dapat menembus membran alveolus dan
menggangu stabilitas alveolus dengan menghambat kerja surfaktan. Selain itu, air
segar dan hipoksemi dapat menyebabkan lisis eritrosit dan hiperkalemia. Sedangkan,
air garam dapat menghilangkan surfaktan, dan menghasilkan cairan eksudat yang
kaya protein di alveolus, intertitial paru, dan membran basal alveolar sehingga
menjadi keras dan sulit mengembang. Air garam juga dapat menyebabkan penurunan
volume darah dan peningkatan konsentasi elektrolit serum.
Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan merupakan faktor
yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup korban tenggelam. Karena itu,
ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat
survival korban.

7
6. Pathway Tenggelam

Wet drowning
Dry drowning

Tubuh pasien basah akibat Jalan napas korban terbenam Penyakit, ketakutan
tenggelam

Korban berusaha menahan napas


Terjadi proses konduksi

Korban berusaha bernapas, cairan masuk ke


Kehilangan panas tubuh rongga orofaring/laring

Penurunan suhu tubuh Laringospasme involunter


asfiksia Saraf parasimpatis aktif

Hipotermia Korban tidak bisa menghirup udara

Reflek Vagal
Air tertelan banyak O2 turun dan CO2 tidak bisa keluar

Ketidakefektifan Pola
Obstruksi laring Hiperkapnia, hipoksemia, asidosis Napas

Risiko Ketidakefektifan
Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan Otak
Bersihan Jalan Napas

8
Tidak terjadi pertukaran udara

Di air tawar Di air laut

Air lebih hipotonis dari pada plasma darah Air teraspirasi dalam alveoli

Air menuju ruang alveolar


Air dalam alveoli cepat berpindah ke
sirkulasi darah

Hipoksia dan abnormalitas thoraks


Ekspansi volume darah, hemodilusi,
hemodialisis
Osmosis air ke jarinfgan paru karena
konsentrasi elektrolit tinggi
Overload sirkulasi, hiponatremia, ratio
natrium dan kalium tidak seimbang
Gangguan Pertukaran Gas

Hipoksia otot jantung

Tekanan sistolik menurun Penurunan Curah


Jantung

9
7. Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan monitoring saturasi
oksigen. Radiografi dada mungkin menunjukkan perubahan akut, seperti infiltrasi
alveolar bilateral. Selain itu, pemeriksaan sistem saraf pusat, EKG, dan analisis gas
darah juga diperlukan (Elzouki, 2012). Berikut pemeriksaan diagnostic lainnya yaitu:
a. Laboratorium
b. BGA + oksimetri, methemoglobinemia dan carboxyhemoglobinemia CBC
prothrombin time, partial thromboplastin time, fibrinogen, D-dimer, fibrin
c. Serum elektrolit, glukosa, laktat, factor koagulasi
d. Liver enzymes
e. Aspartate aminotransferase dan alanine minotransferase,
f. Renal function tests (BUN, creatinine)
g. Urinalisis

10
8. Penatalaksanaan Korban Tenggelam
Akibat yang paling penting dan merugikan dari tenggelam adalah hipoksia.
Oleh karena itu, oksigenasi, ventilasi dan perfusi harus dikembalikan sesegera
mungkin. Untuk mencapainya akan diperlukan pertolongan RJP dengan segera dan
aktivasi system layanan kegawatdaruratan.
1. Menyelamatkan Korban dari Air
Hal pertama yang dilakukan apabila menemukan kejadian near drowning adalah
menyelamatkan korban dari air. Untuk menyelamatkan korban tenggelam,
penolong harus dapat mencapai korban secepat mungkin, sebaiknya
menggunakan alat angkut (perahu, rakit, papan selancar atau alat bantu apung).
Setidaknya diperlukan dua orang dewasa untuk mengangkat korban dari dalam
air ke perahu penyelamatan. Untuk menghindari terjadinya post-immersion
collapse, sebaiknya korban diangkat dari dalam air dengan posisi telungkup.
Selain itu, penolong juga harus memperhatikan keselamatan dirinya. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa stabilisasi tulang leher tidak perlu dilakukan kecuali
terdapat keadaan yang menyebabkan tenggelam menunjukkan adanya
kemungkinan terjadi trauma. Keadaan ini termasuk riwayat menyelam, adanya
tanda-tanda cedera atau tanda-tanda intoksikasi alkohol. Dengan tidak adanya
indikator tersebut, cedera tulang belakang kemungkinan tidak terjadi. Stabilisasi
tulang leher secara manual dan alat stabilisasi mungkin menghambat pembukaan
jalan nafas yang adekuat, mempersulit dan mungkin memperlambat penghantaran
nafas bantuan.
Prinsip pertolongan di air :
a. Raih (dengan atau tanpa alat)
b. Lempar (alat apung)
c. Dayung (atau menggunakan perahu mendekati penderita)
d. Renang (upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung)
2. Bantuan Hidup Dasar
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan fokus
utama pada perbaikan jalan nafas dan oksigenesasi buatan. Penilaian pernapasan
dilakukan dengan tiga langkah, yaitu look (melihat adanya pergerakan dada),
listen (mendengar suara nafas), dan feel (merasakan ada tidaknya hembusan
nafas)

11
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernafas dengan
normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberian
napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas buatan,
yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian nafas buatan untuk
mengurangi hipoksemia. Melakukan pernapasan buatan dari mulut ke hidung
lebih disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban saat pemberian napas
mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dianjurkan hingga 10-15 kali sekitar 1
menit. Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak
bernapas dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami henti
jantung akibat hipoksia.
3. Bantuan hidup lanjut
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan
tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve Mask) atau
tabung oksigen. Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika setelah
pemberian oksigen ini keadaan korban belum membaik maka dapat dilakukan
intubasi trakeal.
Penanganan Spesifik :
a. Penanganan Muntah saat Resusitasi
Korban mungkin akan muntah saat penolong melakukan kompresi dada atau
bantuan nafas. Sesuai dengan penelitian selama 10 tahun di Australia, dua per
tiga dari korban yang mendapatkan nafas bantuan dan 86% dari korban yang
memerlukan kompresi-ventilasi muntah. Jika hal ini terjadi, miringkan
korban ke samping dan bersihkan muntahan menggunakan jari, pakaian atau
penyedot (suction). Jika terdapat kecurigaan cedera spinal cord, korban
sebaiknya digulingkan dimana kepala, leher dan badan digerakkan bersamaan
untuk melindungi saraf tulang leher.
b. Menghangatkan kembali
Untuk mencegah kehilangan panas tubuh, pakaian yang basah sebaiknya
dilepaskan sebelum pasien dibungkus dengan selimut tebal. Minuman hangat
tidak dapat membantu dan sebaiknya dihindari. Menggigil merupakan tanda
prognostik yang baik.

12
c. Transportasi dan Indikasi Rujuk ke Rumah Sakit
Korban near drowning sebaiknya segera dibawa ke unit gawat darurat
terdekat untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut sehingga dapat
meminimalkan komplikasi atau kecacatan yang mungkin ditimbulkan. Tidak
dianjurkan menunda transportasi untuk pemeriksaan sekunder kecuali korban
benar-benar dapat dikategorikan “stabil”. Sebelum dirujuk, korban (terutama
pada korban dengan penurunan kesadaran) harus diamankan di sebuah tandu
(bila tersedia) dan diposisikan dengan nyaman. Korban dengan fraktur, cedera
kepala atau tulang belakang sebaiknya diletakkan di papan dengan penyangga
tulang belakang. Evaluasi terhadap kesadaran dan tanda-tanda vital dilakukan
secara berkala selama perjalanan. Semua pasien tenggelam yang mengalami
amnesia oleh karena kejadian tersebut, kehilangan atau depresi kesadaran,
ditemukan adanya periode apnea, atau mereka yang memerlukan nafas buatan
harus dirujuk ke unit gawat darurat terdekat, meskipun tanpa gejala di tempat
kejadian. Selain itu, pertimbangan untuk merujuk korban juga tergantung
pada ada tidaknya aspirasi air, karena terdapat risiko terjadinya edema paru.

Dalam Raoof (2008), penatalaksanaan pasien dengan near


drowning umumnya terbagi menjadi tiga fase, antara lain perawatan prehospital,
perawatan unit gawat darurat, penatalaksanaan rawat inap.
a. Perawatan pre hospital
Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A), Breathing (B), dan
Circulation (C). Pasien harus dipindahkan dari air secepatnya, namun
menyelamatkan pernafasan dapat dimulai walau korban masih berada di air.
Cara memindahkan pasien harus benar dengan meminimalkan gerakan pada leher
pasien untuk menghindari terjadinya cedera medula spinal. Ketika pasien telah
berada di permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika nadi tidak teraba.
Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada korban yang mengalami
hipotermia karena bradikardi dan atrial fibrilation (AF). Heimlich
Maneuver tidak banyak menguntungkan bila digunakan untuk mengeluarkan air
yang tertelan, teknik ini seharusnya hanya digunakan saat penyebab obstruksi
jalan nafas adalah benda asing. Oksigen tambahan (100%) dapat diberikan jika

13
tersedia. Pasien yang mengalami apneu harus dilakukan intubasi sesegera
mungkin.
b. Perawatan di unit gawat darurat
Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus dilakukan pengkajian
ulang secara hati-hati untuk mengetahui adanya tanda-tanda trauma seperti
trauma spinal, trauma dada, atau trauma abdomen. Pengkajian status neurologi
termasuk reflek batang otak dan GCS diperlukan untuk memastikan prognosis
pasien.
Pakaian yang basah harus dilepas, pasien dengan hipotermia harus dihangatkan
dengan menggunakan berbagai cara. Seperti selimut hangat, bantalan pemanas,
mandi air hangat, teknik forced warm air. Kadang-kadang peritoneal
lavage dan pleural lavage dengan larutan hangat juga digunakan.
Oksimetri nadi dan EKG digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan aritmia
jantung. Analisis gas darah arteri, serum elektrolit, level etanol, pemeriksaan urin
biasanya dilakukan. Cervical spine imaging, radiografi dada, CT scan dilakukan
jika dicurigai adanya trauma. Pasien yang sudah terlihat membaik dapat
dipulangkan setelah dilakukan monitoring selama 7 sampai 12 jam. Pasien
dengan distres respiratori berat dan perubahan status mental diperlukan intubasi
dan ventilasi mekanik.
c. Perawatan rawat inap
Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah cedera
neurologi sekunder, iskemia yang menetap, hipoksemia, edema serebral, asidosis,
dan abnormalitas elektrolit. Pasien dengan hipotermia diperlukan resusitasi
sampai suhu mencapai 32 atau 35oC. Pasien dengan hipotensi dilakukan resusitasi
cairan dan diberikan obat inotropik bila perlu. Radiografi dada biasanya
menunjukkan gambaran normal sampai edema pulmonar yang menyebar.
Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik spektrum luas.

Secara singkat, penanganan korban tenggelam dapat dilakukan dengan cara


antara lain :
a. Pindahkan penderita secepat mungkin dari air dengan cara teraman
b. Bila ada kecurigaan cedera spinal, pertahankan posisi kepala, leher dan tulang
punggung dalam satu garis lurus. Pertimbangkan untuk menggunakan papan

14
spinal dalam air, atau bila tidak memungkinkan pasanglah sebelum menaikan
penderita ke darat
c. Buka jalan nafas penderita, periksa nafas. Bila tidak ada maka upayakan untuk
memberikan nafas awal secepat mungkin dan berikan bantuan nafas sepanjang
perjalanan
d. Upayakan wajah penderita menghadap ke atas
e. Sampai di darat atau perahu lakukan penilaian dini dan RJP bila perlu
f. Berikan oksigen bila ada sesuai protokol.
g. Jagalah kehangatan tubuh penderita, ganti pakaian basah dan selimuti
h. Lakukan pemeriksaan fisik, rawat cedera yang ada
i. Segera bawa ke fasilitas kesehatan.

9. Komplikasi Tenggelam
Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian near-drowning,
seorang pasien beresiko terjadinya komplikasi seperti:
a. Hipoksia atau iskemik injuri cerebral
b. ARDS (acute respiratory distress syndrome)
c. Kerusakan pulomal sekunder akibat respirasi
d. Cardiak arrest
e. Anoksia
f. Shock
g. Myoglubinuria
h. Insufisiensi ginjal
i. Infeksi Sistemik dan intravaskuler koagulasi juga dapat terjadi selama 72 jam
pertama setelah resusitasi.

2.2 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TENGGELAM


A. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian Primer
a. A : Airway (Jalan Nafas)
Kaji adanya sumbatan jalan nafas total ataupun sebagian dan gangguan
servikal, distress pernafasan, atau ada tidaknya secret.

15
b. B : Breathing (Pola Nafas)
Kaji ada tidaknya pernafasan, adekuatnya pernafasan, frekuensi nafas,
pergerakan dinding dada, dan suara pernafasan.
c. C : Circulation
Kaji ada tidaknya denyut nadi, CRT, kemungkinan syok, adanya perdarahan
eksternal, kekuatan dan kecepatan nadi, warna dan kelembaban kulit, tanda –
tanda perdarahan eksternal, serta tanda – tanda jejas atau trauma.
d. D : Disability
Kaji kondisi neuromuscular pasien, tingkat kesadaran (GCS), keadaan
ekstremitas, kemampuan motorik dan sensorik.
e. E : Exposure
Kaji suhu tubuh pasien serta ada tidaknya jejas ataupun trauma
2. Pengkajian Sekunder
a. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kejadian
d. Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik head to toe dengan menggunakan teknik IAPP

B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifak perfusi jaringan otak
2. Gangguan pertukaran gas
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
4. Ketidakefektifan pola nafas
5. Penurunan curah jantung
6. Hipotermia

16
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan

1 Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen Edema Serebral


ketidakefektifan ... x ... jam diharapkan tidak terjadi peningkatan
□ Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, keluhan
perfusi jaringan tekanan intracranial dengan Kriteria Hasil :
pusing, pingsan
otak Perfusi Jaringan : Serebral
□ Monitor status neurolgi dengan ketat dan bandingkan dengan
□ Tekanan darah sistolik dan diastolic normal
nilai normal
□ MAP dalam batas normal
□ Monitor tanda-tanda vital
□ Sakit kepala menurun atau hilang
□ Monitor TIK dan CPP
□ Tidak gelisah
□ Monitor status pernapasan : frekwensi, irama, kedalaman
□ Tidak mengalami muntah
pernapasan
□ Tidak mengalami penurunan kesadaran
□ Berikan anti kejang sesuai kebutuhan
□ Tidak demam
□ Hindari fleksi leher, atau fleksi ekstrem pada lutut/panggul
□ Posisikan tinggi kepala tempat tidur 30 derajat atau lebih
□ Hindari cairan IV hipotonik
□ Monitor nilai-nilai laboratorium : osmolalitas serum dan urin,
natrium, kalium
□ Lakukan latihan ROM pasif

17
2 Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Acid Base Management
pertukaran gas …. X .... jam, diharapkan hasil AGD pasien □ Pertahankan kepatenan jalan nafas
dalam batas normal dengan kriteria hasil : □ Posisikan pasien untuk mendapatkan ventilasi yang
Respiratory status: Gas Exchange adekuat(mis., buka jalan nafas dan tinggikan kepala dari tempat
□ PaO2 dalam batas normal (80-100 mmHg) tidur)
□ PaCO2 dalam batas normal (35-45 mmHg) □ Monitor hemodinamika status (CVP & MAP)
□ pH darah normal (7.35 – 7.45) □ Monitor kadar pH, PaO2, PaCO2, dan HCO3 darah melalui hasil
□ SaO2 normal (95-100%) AGD
□ Tidak ada sianosis □ Catat adanya asidosis/alkalosis yang terjadi akibat kompensasi
□ Tidak ada penurunan kesadaran metabolisme, respirasi atau keduanya atau tidak adanya
kompensasi
□ Monitor tanda-tanda gagal napas
□ Monitor status neurologis
□ Monitor status pernapasan dan status oksigenasi klien
□ Atur intake cairan
□ Auskultasi bunyi napas dan adanya suara napas tambahan
(ronchi, wheezing, krekels, dll)
□ Kolaborasi pemberian nebulizer, jika diperlukan
□ Kolaborasi pemberian oksigen, jika diperlukan.

18
3 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Airway Management
bersihan jalan .... x .... jam, diharapkan jalan nafas bersih □ Buka jalan nafas menggunakan head tilt chin lift atau jaw thrust
nafas dengan kriteria hasil : bila perlu
Respiratory status : Airway Patency □ Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
□ Respirasi dalam batas normal □ Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
□ Irama pernafasan teratur (NPA, OPA, ETT, Ventilator)
□ Kedalaman pernafasan normal □ Lakukan fisioterpi dada jika perlu
□ Tidak ada akumulasi sputum □ Bersihkan secret dengan suction bila diperlukan
□ Batuk berkurang / hilang □ Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
□ Kolaborasi pemberian oksigen
□ Kolaborasi pemberian obat bronkodilator
□ Monitor RR dan status oksigenasi (frekuensi, irama, kedalaman
dan usaha dalam bernapas)
□ Anjurkan pasien untuk batuk efektif
□ Berikan nebulizer jika diperlukan
4 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Oxygen Therapy
pola nafas …. X ….. jam, diharapkan pola nafas pasien □ Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
teratur dengan kriteria hasil : □ Pertahankan jalan nafas yang paten
Respiratory status : Ventilation □ Siapkan peralatan oksigenasi
□ Respirasi dalam batas normal (dewasa: 16 – □ Monitor aliran oksigen
20 x/menit) □ Monitor respirasi dan status O2

19
□ Irama pernafasan teratur □ Pertahankan posisi pasien
□ Kedalaman pernafasan normal □ Monitor volume aliran oksigen dan jenis canul yang digunakan.
□ Suara perkusi dada normal (sonor) □ Monitor keefektifan terapi oksigen yang telah diberikan
□ Retraksi otot dada tidak ada □ Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
□ Tidak terdapat orthopnea □ Monitor tingkat kecemasan pasien yang kemungkinan
□ Taktil fremitus normal antara dada kiri dan diberikan terapi O2
dada kanan
□ Ekspansi dada simetris
□ Tidak terdapat akumulasi sputum
□ Tidak terdapat penggunaan otot bantu napas
5 Penurunan curah Setelah diberikan asuhan keperawatan selama Cardiac Care
jantung …..x…. jam, diharapkan tidak terjadi □ Evaluasi adanya nyeri dada (Intesitas, lokasi, rambatan, durasi,
penurunan curah jantung dengan kriteria hasil: serta faktor yang menimbulkan dan meringankan gejala)
Cardiac Pump Effectiveness □ Monitor EKG untuk perubahan ST, jika diperlukan
□ Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam □ Lakukan penilaian komprehenif untuk sirkulasi perifer (Cek
batas normal nadi perifer, edema,CRT, serta warna dan temperatur
□ Heart rate dalam batas normal ekstremitas) secara rutin
□ Peningkatan fraksi ejeksi □ Monitor tanda-tanda vital secara teratur
□ Peningkatan nadi perifer □ Monitor status kardiovaskuler
□ Tekanan vena sentral (Central venous □ Catat tanda dan gejala dari penurunan curah jantung
pressure) dalam batas normal □ Monitor status repirasi sebagai gejala dari gagal jantung

20
□ Gejala angina berkurang □ Monitor abdomen sebagai indikasi penurunan perfusi.
□ Edema perifer berkurang □ Monitor nilai laboratorium terkait (elektrolit)
□ Gejala nausea berkurang □ Sediakan terapi antiaritmia berdasarkan pada kebijaksanaan
□ Tidak mengeluh dispnea saat istirahat unit (Contoh medikasi antiaritmia, cardioverion, defibrilator),
□ Tidak terjadi sianosis jika diperlukan
□ Monitor dispnea, keletihan, takipnea, ortopnea.

Cardiac Care : Acute


□ Monitor kecepatan pompa dan ritme jantung
□ Auskultasi bunyi jantung
□ Auskultasi paru – paru untuk crackles atau suara nafas
tambahan lainnya
□ Monitor faktor-faktor yang mempengaruhi aliran oksigen
(PaO2, nilai Hb, dan curah jantung), jika diperlukan.
6 Hipotermia Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Control temperature
.... x ....jam, diharapkan suhu tubuh pasien □ Monitor suhu dan tanda – tanda vital lainnya paling tidak setiap
kembali normal dengan kriteria hasil : 2 jam, sesuai kebutuhan
Termoregulation □ Monitor warna kulit
□ Tidak menggigil □ Sesuaikan suhu lingkungan untuk kebutuhan pasien
□ Melaporkan kenyamanan suhu □ Berikan medikasi yang tepat untuk mencegah atau mengontrol
□ Tidak terjadi penurunan suhu kulit menggigil

21
□ Suhu tubuh normal (36.5oC – 37.5oC) □ Selimuti pasien untuk mencegah kehilangan suhu tubuh
□ Capilary repil time (CRT) < 3 detik

22
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran nafas
atau paru-paru yang menyebabkan gangguan pernafasan sampai kematian. Penyebab dari
tenggelam bermacam – macam, antara lain tidak bisa berenang, kelelahan dan kehabisan
tenaga, terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obat-obatan, ketidakmampuan
akibat hipotermia, syok, atau cedera, serta ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika
berenang. Penatalaksanaan korban tenggelam prinsip pertolongan di air yaitu raih,
lempar, dayung, dan renang. Adapun penanganan selanjutnya adalah memberikan
bantuan hidup dasar (BHD) yang berprinsip pada ABC (Airway, Breathing, dan
Circulation) serta memberikan bantuan hidup lanjutan.

B. SARAN
Kasus – kasus seperti tenggelam, terpeleset di pinggir kolam, serta gigitan
serangga air termasuk kasus kegawatdaruratan, sehingga perlu dilakukan penanganan
segera. Perawat maupun mahasiswa perawat diharapkan dapat memahami konsep asuhan
keperawatannya, sehingga dapat mengaplikasikannya di lapangan apabila menemukan
kasus yang serupa.

23
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M. Butcher, Howard K. Dochterman, Joanne. Wagner, Cherly. 2013. Nursing
Intervensions Classification (NIC). USA: ELSEVIER.

Carie. 2012. Sengatan Hewan Laut. Terdapat:http://www.healthline.com/health/marine-


animal-stings-or-bites (diakses tanggal 24 September 2018.)

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan


dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta:
EGC

Kasihsa, Dian. 2013. Askep Gadar Gigitan Binatang. (online). Available :


https://www.scribd.com/doc/172297625/Askep-Gadar-Gigitan-Binatang (diakses
tanggal 24 September 2018 pukul 08.00 WITA

Lombardo, M.C. 2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Price, S. A, dan Wilson, L. M.
Patofisiologis: Konsep Klinis Proses- proses Penyakit. Jakarta :EGC

Moorhead, Sue. Johnson, Mario. Maas, Meridean. Swanson, Elizabeth. 2013. Nursing
Outcomes Classification (NOC). USA: ELSEVIER

NANDA International. 2015. Diagnosa Keperawatan Defisinisi dan Klasifikasi 2015-2017


Edisi 10. Jakarta: EGC

Thygerson,A.,Gulli,B.,&Krohmer,J.R. 2011. First AID; Pertolongan pertama (5th ed.).


Jakarta: Erlangga.

Via, Alfa. 2015. Makalah Kegawatdaruratan Gigitan Serangga. (Online). Available :


https://dokumen.tips/documents/makalah-kgd-serangan-gigitan-binatang.html
Diakses pada tanggal 24 September 2018 pukul 08.00 WITA

24

Anda mungkin juga menyukai