OLEH :
NI LUH PUTU ARY APRILIYANTI
NIM. P07120216017
SEMESTER VII / S.Tr.KEPERAWATAN
Mucus terbendung
NYERI AKUT
Peritonitis
Perforasi
Abses
Operasi
Peradangan pada jaringan
Kerusakan jaringan
Penurunan peristaltic usus Depresi sistem respirasi
Ujung saraf
terputus Gangguan Reflex batuk
rasa Distensi abdomen
nyaman Menekan gaster Akumulasi secret
NYERI
AKUT POLA NAFAS
Mual dan muntah
TIDAK EFEKTIF
Anoreksia
DEFISIT NUTRISI
4. Pemeriksaan Diagnostik
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut
dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
2) Palpasi : di daerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri
dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang
mana merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.
3) Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat/ tungkai di
angkat tinggi - tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas
sign).
4) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila
pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
5) Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih
menunjang lagi adanya radang usus buntu.
6) Pada apendiks terletak pada retrosekal maka uji Psoas akan positif dan
tanda perangsangan peritoneum tidak begitu jelas, sedangkan bila apendiks
terletak di rongga pelvis maka obturator sign akan positif dan tanda
perangsangan peritoneum akan lebih menonjol.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Kenaikan dari sel darah putih (leukopsit) hingga sekitar 10.000-
18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka
kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).
d. Pemeriksaan radiologi
Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit.
e. Ultrasonografi (USG)
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan
USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
f. CT scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG abdomen,
apendikogram. (Nanda, 2015)
5. Penatalaksanaan Medis
Penatlaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik. Antibiotik yang biasanya
diberikan adalah ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindomisin.
Berikut perawatan yang dilakukan setelah operasi ; Perlu dilakukan
observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan
didalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde
lambing bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat
dicegah. Baringkan pasien dalam posisi Fowler. Pasien dapat dikatakan
baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien
dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau
peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat
tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk
diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien
diperbolehkan pulang.
3. Operasi
Terdapat 2 tindakan operasi dalam penanganan apendisitis, antara lain:
a. Apendiktomi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka
tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang apendiks
(apendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa
antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan
cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Antibiotik dan cairan
intravena diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Pembiusan akan dilakukan oleh
dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal.
Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Pada umumnya,
tehnik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara
irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks (Sanyoto,
2007).
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik.
Penundaan tindak bedah sambil pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi. Apendiktomi bisa dilakukan
secara terbuka atau pun dengan cara laporoskopi. Pada apendisitis
tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali
pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata (Syamsuhidajat,
1997).
b. Laparoskopi
Laparaskopi adalah teknik bedah dengan akses minimal. Artinya,
pembedahan tidak dengan membuka dada atau perut, melainkan
dilakukan lewat dua atau tiga lubang berdiameter masing-masing 2-10
milimeter. Satu lubang untuk memasukan kamera mini (endo camera)
yang memindahkan gambaran bagian dalam tubuh ke layar monitor,
sedangkan dua lubang lain menjadi jalan masuk peralatan bedah.
Karena luka yang ditimbulkan minimal, pemulihannya pun lebih cepat,
mengurangi nyeri dan pasca operasi dan rawat inap lebih singkat.
(Harmanto, Ning. 2006)
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
2. Nyeri akut Label : Tingkat Label: Manajemen Nyeri
berhubungan Nyeri
Observasi:
dengan agens
setelah dilakukan 1. Identifikasi lokasi,
pencedera
intervensi selama karakteristik, durasi,
fisiologis
..x…jam, diharapkan frekuensi, kualitas,
(inflamasi atau
nyeri akut dapat intensitas nyeri.
peradangan
diatasi dengan 2. Identifikasi skala nyeri
pada
kriteria hasil: 3. Identifikasi respon nyeri non
apendiks).
verbal
1. Keluhan
4. Identifikasi factor yang
nyeri
memperberat dan
menurun
memperingan nyeri
2. Meringis
5. Identifikasi pengetahuan dan
menurun
keyakinan tentang nyeri
3. Sikap
6. Identifikasi pengaruh
protektif
budaya terhadap respon
menurun
nyeri
4. Kesulitan
7. Identifikasi pengaruh nyeri
tidur
menurun pada kualitas hidup
5. Frekuensi 8. Monitor keberhasilan terapi
nadi komplementer yang sudah
membaik diberikan
9. Monitor efek saming
penggunaan analgetik
Terapeutik :
1. Berikan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis,
akupresure, terapi music,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat atau dingin,
terapi bermain)
2. Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
f. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang diterapkan
g. Evaluasi Keperawatan
Menurut Poer. (2012), proses evaluasi dibagi menjadi 2 tahap yaitu
a. Evaluasi formatif (Merefleksikan observasi perawat dan analisis
terhadap klien terhadap respon langsung pada intervensi keperawatan )
b. Evaluasi Sumatif (Merefleksikan rekapitulasi dan synopsis analisis
mengenal status kesehatan klien terhadap waktu)
DAFTAR PUSTAKA
Mengetahui,
Pembimbing Klinik / CI Mahasiswa
............
....................................... ..............................................
NIP. NIM.
Clinical Teacher/CT
......................................................
NIP.