Anda di halaman 1dari 40

KASUS KEGAWATDARURATAN

PADA SISTEM NEUROLOGI

OLEH :

NI LUH PUTU ARY APRILIYANTI (P07120216017)


NI MADE TARIANI (P07120216018)
PUTU INDAH PERMATA SARI (P07120216019)
NI PUTU NOVIA HARDIYANTI (P07120216020)
NI WAYAN MUJANI (P07120216021)
NI PUTU NUR ADIANA DEWI (P07120216022)
NI NYOMAN MURTI APSARI DEWI (P07120216023)
I GUSTI AYU INTAN ADRIANA SARI (P07120216024)

D-IV KEPERAWATAN

SEMESTER VII

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”
Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa karena atas rahmatnya
kami dapat menyelesaikan makalah Kegawatdaruratan pada Sistem Neurologi.
Dalam makalah ini penulis membahas tentang Kegawatdaruratan pada Sistem
Neurologi meliputi Status Epileptikus, GBS, CVA, dan Stroke.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dalam susunan
maupun isinya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan mahasiswa/mahasiswi.
“Om Santih, Santih, Santih, Om”

Denpasar, Agustus 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Manfaat Penulisan

E. Metode Penulisan

BAB II

PEMBAHASAN

a) Konsep Status Epileptikus


1. Definisi
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan
darurat medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsy
mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau lebih (Nia Kania,2007). Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang
tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai
status epileptikus.

2. Etiologi
1) Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan
kejang umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan
idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal dan hasil
pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik.
2) Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya
belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan
epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak
tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West,
Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran
klinis berupa ensefalopati difus.
3) Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural
di otak yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari
trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital,
proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak,
toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan
neurodegeneratif. (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005)

3. Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena pe
nanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status
epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari korteks
(Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kat egori utama lainnya
bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi ata u non-konvulsi. Tahun
1981 International League Against Epilepsy (ILAE) memb uat suatu klasifikasi
internasional mengenai kejang dan epilepsi yang membagi ke jang menjadi 2 golongan
utama : serangan parsial (partial onset seizures) dan sera ngan umum (generalized-onset
seizures). Serangan parsial dimulai pada satu area fokal di korteks serebri, sedangkan
serangan umum dimulai secara simultan di ked ua hemisfer. Serangan lain yang sulit
digolongkan dalam satu kelompok dimasuk kan dalam golongan tak terklasifikasikan
(unclassified). ILAE kemudian membuat klasifikasi yang diperbarui menggunakan

2
diagnosis multiaksial pada tahun 1989, kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2001,
namun klasifikasi tahun 1981 teta p masih sering digunakan. (Kustiowati dkk 2003)

Serangan parsial (fokal) Serangan parsial sederhana (dengan gejala

motorik, sensorik, otonom, atau psikis)


Serangan parsial kompleks
Serangan parsial dengan generalisasi sekunder
Serangan umum Absens (petit mal)
Tonik-klonik (Grand mal)
Tonik
Atonik
Mioklonik
Serangan Epilepsi tak

teklasifikasikan

Tabel 1. Klasifikasi ILAE 1981 (Nia Kania,2007)

4. Patofisiologi
Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara berlebihan,
spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi motorik (kejang),
sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif, emosional) secara lokal atau
umum. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:

1) Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K,


misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada
kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

2) Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan


hipomagnesemia.

3) Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan


dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan
menimbulkan kejang. (Silbernagl S, Lang F. 2006)

5. Diagnosis

3
a) Anamnesis
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa,
dan kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan
diagnosis pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama pada penegakan
terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi. Hal ini
mengarahkan pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang harus
menelusuri secara teliti tentang bagaimana perasaan pasien sebelum
gangguan, selama (apabila pasien sadar) dan setelah serangan, dan juga
memperoleh penjelasan yang jelas tentang apa yang dilakukan pasien setiap
tahap kejang dari seorang saksi. Seseorang tidak dapat langsung
menegakkan diagnosa hanya dengan gejala klinis yang ada melalui penilaian
serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan untuk menunjang
perkiraan diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis. Diagnostik
secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan pada pasien yang mengalami
kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata.(Ahmed, Spencer 2004).
b) Pemeriksaan Fisik dan Neurologi
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan
kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan.
Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah
leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan
kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu
muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang
tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular.
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi,
saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya
defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan
pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau
lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau
ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti
karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada
waktu serangan kejang terjadi ”Dysmorphism“ dan gangguan belajar
mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia,
mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan
neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan
fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa

4
menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.(Ahmed,
Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe
epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG
rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran
aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan
lokasi spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun,
hanya terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan
hasil yang abnormal.
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa epilepsi
secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan
membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus
diingat :
- 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang ringan dan
non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau kedua lobus temporal-
menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang tidak pernah mengeluh kejang
memberikan gambaran abnormal pada EEG;
- 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal pada
masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG dimasukkan pada
periode tidur.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif
palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan
aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam penegakan diagnosis
dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering, karena
memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi. Namun dengan
metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang
fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal
memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG.
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah
bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus
epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien
kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya

5
seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan informasi yang
dibutuhkan.
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan
di atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama
untuk menegakkan diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari
pemeriksaan EEG. (Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).

7. Penatalaksanaan

6
Gambar 1. Algoritma tatalaksana status epileptikus di IGD (CDK-270/ vol. 45 no. 11 th.
2018)

B. Konsep GBS (Guillain Barre Syndrome)


1. Definisi
GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah
kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan
minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis,
Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit
perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah
menerima perawatan medis.
Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialil.
GBS merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstermitas tubuh
yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit yang sistematis.
Jadi disimpulkan bahwa GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh
menyerang sistem selaput sarafyang menyebabkan kelemahan akut ekstermitas
tubuh.Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi.Proses penyakit mencakup
demielinisasi dan degerasi selaput mielin dari saraf perifer dan kranial.
Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di
semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada
manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Penyakit ini sering ditemukan
pada usia produktif (20 – 40 tahun). Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular
lewat kelahiran, terinfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS.
Namun, bisa timbul seminggu atau tiga minggu setelah infeksi usus atau
tenggorokan.

7
2. Anatomi dan fisiologi

Neuron terdiri dari:


a) Axon
Axon merupkan serat saraf utama neuron, yang berfungsi menghantarkan
impuls keluar dari badan sel.
Axon adalah bagian yang menyampaikan impuls ke neuron lain, otot dan
kelenjar. Berukuran panjang dan berbentuk silinder tipis, tempat lewatnya
sinyal listrik yang dimulai dari dendrit dan badan sel. Akson mentransmisikan
sinyal awal ke neuron lain atau ke otot atau ke kelenjar. Akson juga disebut

8
serabut saraf, banyak serabut saraf yang melintas bersama disebut saraf. Pada
beberapa saraf, akson akan ditutup lapisan lemak yang terisolasi, yang
disebut myelin.
b) Badan sel
Badan sel merupakan bagian utama neuron yang berisi inti dan sel. Badan sel
merupakan tempat mengolah informasi.
c) Dendrite.
Dendrit adalah bagian penerima input neuron, berukuran pendek dan
bercabang-cabang, yang merupakan perluasan dari badan sel.
Dendrite berbentuk seperti antena, dan merupakan tempat penerimaan sinyal
dari sel saraf lain. Denrit mengumpulkan impuls saraf dari neuron lain atau
ujung saraf sensorik.
d) Nodus neurofibra
Nodus neurofibra disebut juga nodus ranfier yang merupakan bagian akson
yang tidak dibungkus oleh myelin.Nodus neurofibra berfungsi
untukmempercepat transmisi impuls saraf.Adanya nodus ranvier tersebut
memungkinkan saraf meloncat dari satu nodus ke nodus yang lain, sehingga
impuls lebih cepat sampai pada tujuan.
e) Sel Schwann
Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat) untuk
membentuk selubung myelin.
f) Selubung myelin
Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung
Schwann.Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi myelin
berlemak yang membantu mempercepat perjalanan dan mencegah impuls
pudar atau bocor.Selubung myelin sebagai isolator listrik, mencegah arus
pendek antara akson, dan mempasilitasi konduksi.Nodus ranvier adalah satu-
satunya titik dimana akson tidak tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah
diantaranya dan cairan ekstraseluler.Depolarisasi membrane aksonal pada
nodus ranvier memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson
dan ini adalah dasar konduksi saltatori (meloncat).

3. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:
a. Infeksi
b. Vaksinasi
c. Pembedahan

9
d. Kehamilan atau dalam masa nifas.
e. Umur
f. Jenis kelamin
Paling banyak pasien-pasien dengan sindrom ini ditimbulkan oleh adanya infeksi,
1 sampai 3 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik.Pada beberapa
keadaan.Dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedaha. Ini juga dapat terjadi dapat
diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, cedera medula spinalis dan
beberapa proses lain atau sebuah kombinasi proses.
Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga
mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat
diterima oleh otot yang terserang.
Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka
sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan
menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan.
Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf
dan bekerja sebagaimana mestinya.
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.Dahulu sindrom ini di duga di sebabkan oleh infeksi virus,
tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagian penyebab.Teori
yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary
immune response maupun immune mediated process.
Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi saluran
nafas bagian atas atau saluran pencernaan.Penyebab infeksi pada umumnya virus dari
kelompok herpes.Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri,
gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya.

4. Patofisiologi
Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang
membungkus saraf perifer.Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak.Gejala GBS
menghilang pada saat serangan autoimun berhenti dan akson mengalami
regenerasi.Apabila kerusakan badan sel terjadi selama serangan, beberapa derajat
distabilitas dapat tetap terjadi.

10
Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis yang
berkembang ke atas tubuh.Otot pernafasan dapat terkena dan menyebabkan kolaps
pernafasan.Fungsi kardiovaskular dapat terganggu karena gangguan fungsi saraf
autonom (Corwin, 2009).
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun lewat
mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated
demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah
responnya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka
semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan
menyebabkan sistem penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin saraf perifer, dan cabangnya merupakan target potensial, dan
biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena
blok konduksi atau karena axon telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi.
Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setelah proses
peradangan/infeksi terjadi. Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin
hancur serta hilang pada beberapa segmen.hal tersebut menyebabkan hilangnya
konduksi saltatori yang mengakibatkan penurunan kecepatan konduksi serta
terjadinya hambatan konduksi. Kelainan ini terjadi cepat namun reversibel karena
sel Schwann dapat berdegenerasi dan membentuk myelin baru.Namun pada banyak
kasus, demielinasi menyebabkan hilangnya akson dan deficit permanen (Djamil,
2010).

5. Manifestasi Klinis
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang
berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian
pulih kembali.

Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas) dan


kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan
otot wajah.Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung
jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan
kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa
menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll).

11
Gejala lanjutan dari GBS yaitu antara lain sebagai berikut :
1) Kelemahan
a) Gambaran klinis klasik kelemahan adalah asenden dan simetris. Anggota
tubuh bagian bawah biasanya terlibat sebelum anggota badan atas. Otot-
otot proksimal mungkin terlibat lebih awal dari yang lebih distal. Batang
tubuh, kelenjar, dan otot pernafasan dapat dipengaruhi juga.
b) Kelemahan berkembang akut selama beberapa hari sampai minggu.
Keparahan bisa berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia yang
komplit dengan kegagalan ventilasi. Puncak defisit dicapai oleh 4 minggu
setelah pengembangan awal gejala. Pemulihan biasanya dimulai 2-4
minggu setelah kemajuan berhenti.
2) Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe
lower motor neuron.Pada sebagian besar kelumpuhan di mulai dari kedua
eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak
atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota dikenai
secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
3) Gangguan sensibilitas
parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga
bisa dikenai dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif biasanya
minimal.Rasa nyeri otot sering di temui seperti rasa nyeri setelah suatu aktivitas
fisik.
4) Gangguan saraf kranilis
Yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai
pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di temukan
berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali N.I dan
N.VIII.diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV atau N.III. bila N.IX dan N.X
terkena akan menyebabkan gangguan sukar menelan disfonia dan pada kasus
yang berat menyebabkan gangguan pernapasan karena paralis dan laringeus.
5) Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau
hipotensi yang berfluktusi, hilangnya keringat atau episodik profuse diphoresis.
Retensi atau inkontenensia urin jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang
menetap lebih dari satu atau dua minnggu.
6) Kegagalan pernapasan.
Kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat
fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan

12
paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada
10-33% penderita.

6. Manifestasi Klinis
 Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya
pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama
jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai
naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS
tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah
onset.Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS.
Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm
 Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai
blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F
(tanda keterlibatan bagian proksimal saraf),blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS.Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS
kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor
unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4
minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang
dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan
tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien
GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya
KHS dan denervasi EMG.
 Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia
jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal,
sementara anemia bukanlah salah satu gejala
 Elektrokardiografi (EKG)

13
Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus
takikardia.Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
 Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
 Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni
adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi
multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan
muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian
dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai
dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang
terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf
kranial.Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga
didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.

7. Manifestasi Klinis
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa)
cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem
imunitas Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan
pasien diatasi di unit perawatan intensif.

1. Pengaturan jalan napas


Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas
darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan.Setiap ada tanda
kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi
dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan
ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko
terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi
respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk
mengetahui progresivitas penyakit.
2. Pemantauan EKG dan tekanan darah

14
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting
karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau
hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah
takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu
kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid,
propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan
pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk
menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik.
Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung
derajat 2 atau 3.
3. Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi
antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan
dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat
bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah
plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14
hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma
exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti
dengan suatu substitusi plasma.
4. Pengobatan imunosupresan:
Pengobatan imunosupresan berfungsi untuk menekan pembentukan
antibody. Imunoglobulin IV beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan
pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah
ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya
plasmapharesis.Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis
tinggi.Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi
harganya mahal. Dosis aintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan
dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan
imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total
2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg :
adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti

15
IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd
kehamilan.
5. Perawatan umum :
1) Perawatan immobilisasi : Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan
perubahan posisi tidur.
2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting.
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi
aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. Spint mungkin
diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh.
Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang
lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
3) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan
trakhea.
4) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
5) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada prognosis yang lanjut adalah
1) Kolaps pernafasan dan kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian.
Kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal
bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis
pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33%
penderita.
2) Kelemahan beberapa otot dapat menetap (Corwin, 2009).
3) Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke
dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena
dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi
(Israr, dkk, 2009).

C. Konsep Cerebro Vascular Accident (GVA)


1. Definisi
Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani
secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak
yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi
pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008).
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat
akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang

16
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler.
Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak
(Corwin, 2009). Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak
yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah
kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun (Smeltzer et al, 2002).

2. Klasifikasi
a. Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu :
(Muttaqun, 2008)
1) Stroke hemoragik
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga
terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun. Perdarahan otak
dibagi dua, yaitu:
a) Perdarahan intraserebra
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa
yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan
TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena
herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena hipertensi
sering dijumpai di daerah putamen, thalamus, pons dan serebelum.
b) Perdarahan subaraknoid
Pedarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM. Aneurisma
yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi willisi dan cabang-
cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak.Pecahnya arteri dan
keluarnya keruang subaraknoid menyebabkan TIK meningkat mendadak,
meregangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebral
yang berakibat disfungsi otak global (sakit kepala, penurunan kesadaran)
maupun fokal (hemiparase, gangguan hemisensorik, dan lain-lain)
2) Stroke Non Hemoragik
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya terjadi
saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi
perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya
dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.
b. Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya, yaitu:

17
1) TIA (Trans Iskemik Attack) gangguan neurologis setempat yang terjadi selama
beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang
dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
2) Stroke involusi: stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan
neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan
24 jam atau beberapa hari.
3) Stroke komplit: dimana gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau
permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh serangan
TIA berulang.
3. Etiologi
Penyebab stroke menurut Arif Muttaqin (2008):
a. Thrombosis Cerebral
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti
di sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau
bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan
penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan
gejala neurologis memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak:
1) Aterosklerosi
Aterosklerosis merupakan suatu proses dimana terdapat suatu penebalan dan
pengerasan arteri besar dan menengah seperti koronaria, basilar, aorta dan arteri
iliaka (Ruhyanudin, 2007). Aterosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah
serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.
Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi
melalui mekanisme berikut:
a) Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.
b) Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi trombosis.
c) Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan kepingan
thrombus (embolus).
d) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan
terjadi perdarahan.
2) Hiperkoagulasi pada polisitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/ hematokrit meningkat dapat
melambatkan aliran darah serebral.
3) Arteritis (radang pada arteri)
4) Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan

18
darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di
jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut
berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan
dibawah ini dapat menimbulkan emboli:
a) Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease (RHD).
b) Myokard infark
c) Fibrilasi. Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan
ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu
kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.
d) Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya
gumpalan-gumpalan pada endocardium.
b. Haemorhagi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang
subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi
karena atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak
menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak yang dapat
mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang
berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga
terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi otak.
c. Hipoksia umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah:
1) Hipertensi yang parah
2) Cardiac Pulmonary Arrest
3) Cardiac output turun akibat aritmia
d. Hipoksia Setempat
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah:
1) Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subarachnoid.
2) Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.

19
2. Faktor pencetus
a. Faktor tidak dapat diubah
1) Usia
Hal ini berhubungan dengan proses degenerasi (penuaan) dengan
bertambahnya usia pembuluh darah akan menjadi kaku dan berkurang
keelastisannya, dengan adanya plak akan semakin memperburuk keadaan
pembuluh darah dan beresiko stroke dari pada usia muda.
2) Herediter
Terkain riwayat stroke di keluarga, orang dengan riwayat stroke pada keluarga
akan memiliki resiko lebih tinggi
b. Faktor dapat diubah
1) Hipertensi
Hipertensi merupakan penyebab terbesar terjadinya stroke, dalam hipertensi
akan terjadi gangguan pembuluh darah yang mengecil, sehingga aliran darah
yang menuju otak akan berkurang, dengan berkurangnya aliran darah ke otak,
pada otak akan terjadi kematian jaringan otak atau pecahnya pembuluh darah
karena tekanan darah yang cukup tinggi
2) Penyakit jantung
Penyakit jantung coroner dan infark miocard (kematian otot otak). Pusat aliran
darah adalah jantung, dengan adanya kematian pusat aliran darah, suplay darah
dan oksigen ke otak juga akan terganggu, sehingga terjadi kematian jaringan
otak secara perlahan ataupun cepat
3) Diabetes Mellitus

20
Pembuluh darah pada penderita diabetes akan mengalami kekakuan. Aliran
darah yang menuju otak dengan peningkatan atau penurunan kadar gukosa
dalam darah akan memperngruhi kerja otak
4) Hiperkolessterolemia
Kadar kolesterol tinggi akan menyebabkan terbentuknya plak dalam pembuluh
darah, yang akan menghambat aliran darah ke otak sehingga terjadi kematian
jarigan otak.
5) Obesitas
Obesitas berhubungan dengan kadar kolesterol dan lemak daalam darah yang
tinggi, sehingga terbentuknya plak dalam pembuluh darah juga semikin tinggi.

6) Merokok
Merokok menyebabkan peningkatan kadar fibrinogen dalam darah, sehingga
mempermudah terjadinya penebalan pada dinding pembuluh darah yang akan
membuat pembuluh darah menjadi sempit, aliran darah ke otak akan terganggu,
sehingga terjadi kematian jaringan otak.

4. Pathway

21
5. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya
infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan
adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada
gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena
gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Atherosklerotik sering/
cenderung sebagai faktor penting terhadap otak, thrombus dapat berasal dari flak

22
arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan
lambat atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah. Thrombus mengakibatkan; iskemia jaringan otak yang disuplai oleh
pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti disekitar area. Area edema
ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema
dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari.
Dengan berkurangnya edema pasien mulai menunjukan perbaikan. Oleh karena
thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada
pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti
thrombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembukluh darah maka
akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah
yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan cerebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan menyebabkan
kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebro vaskuler, karena perdarahan
yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intracranial dan yang lebih
berat dapat menyebabkan herniasi otak.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan
batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke
ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus
dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia cerebral. Perubahan
disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit.
Perubahan irreversibel bila anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi
oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan mentebabkan menurunnya tekanan
perfusi otak serta terganggunya drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang
keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-
neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi.
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60
cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 % pada
perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-

23
60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi volume darah 5 cc dan
terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Misbach, 1999 cit Muttaqin 2008)

6. Manifestasi Klinis
Stoke menyebabkan defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh
darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah
aliran darah kolateral. Stroke akan meninggalkan gejala sisa karena fungsi otak tidak
akan membaik sepenuhnya.
a. Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (hemiparese atau hemiplegia)
b. Lumpuh pada salah satu sisi wajah anggota badan (biasanya hemiparesis) yang
timbul mendadak.
c. Tonus otot lemah atau kaku
d. Menurun atau hilangnya rasa
e. Gangguan lapang pandang “Homonimus Hemianopsia”
f. Afasia (bicara tidak lancar atau kesulitan memahami ucapan)
g. Disartria (bicara pelo atau cadel)
h. Gangguan persepsi
i. Gangguan status mental
j. Vertigo, mual, muntah, atau nyeri kepala.

7. Komplikasi
Setelah mengalami stroke pasien mungkin akan mengalmi komplikasi, komplikasi ini
dapat dikelompokan berdasarkan:
a. Berhubungan dengan immobilisasi  infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi dan thromboflebitis.
b. Berhubungan dengan paralisis  nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi,
deformitas dan terjatuh
c. Berhubungan dengan kerusakan otak  epilepsi dan sakit kepala.
d. Hidrocephalus
Individu yang menderita stroke berat pada bagian otak yang mengontrol respon
pernapasan atau kardiovaskuler dapat meninggal.

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Angiografi serebral
Menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi
arteri.
b. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).

24
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak, yang juga mendeteksi,
melokalisasi, dan mengukur stroke (sebelum nampak oleh pemindaian CT).
c. CT-scan
Penindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti.
d. MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan bsar terjadinya
perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat
dari hemoragik.
e. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari
jaringan yang infark sehingga menurunya impuls listrik dalam jaringan otak.
f. Pemeriksaan laboratorium
1) Lumbang fungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan
yang masif, sedangkan pendarahan yang kecil biasanya warna likuor masih
normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
2) Pemeriksaan darah rutin (glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin)
3) Pemeriksaan kimia darah: pada strok akut dapat terjadi hiperglikemia.
4) gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur-
rangsur turun kembali.
5) Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.

9. Penatalaksanaan Medis
Tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan melakukan
tindakan sebagai berikut:
a. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendiryang
sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
b. Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk untuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
c. Berusaha menentukan dan memperbaiki aritmia jantung.
d. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin
pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
e. Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK
Dengan meninggikan kepala 15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang
berlebihan,
Pengobatan Konservatif
a. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan, tetapi
maknanya: pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
b. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
c. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi

25
pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
d. Anti koagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya/ memberatnya
trombosis atau emboli di tempat lain di sistem kardiovaskuler.
Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral :
g. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka
arteri karotis di leher.
h. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling
dirasakan oleh pasien TIA.
i. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
j. Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.
D. Konsep Stroke
1. Definisi
Stroke atau cidera cerebrovaskuler (CVK) adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Brunner&suddarth , 2002).
Stroke adalah sindrome klinis yang pada awalnya timbul mendadak,progresif
cepat, berupa defisit neurologi fokal dan global yang berlangsungselama 24 jam atau
lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan sematamatadisebabkan oleh
gangguan peredaran darah di otak non traumatic ( Mansjoer, Arief, 2000).
Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus
ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul
mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa
terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008).
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler.
Stroke adalah penurunan sistem saraf utama secara tiba-tiba yang berlangsung
selama 24 jam dan diperkirakan berasal dari pembuluh darah. Serangan iskemia
sementara atau Transient ischemic attacks (TIAs) adalah iskemia sistem syaraf utama
menurun selama kurang dari 24 jam dan biasanya kurang dari 30 menit (Sukandar,
2008).
TIAs yang tidak teratasi dengan cepat dalam beberapa hari akan meningkat
menjadi stroke. Stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik
fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari
24 jam atau berakhir dengan kematian, tanpa ditemukannya penyebab lain selain

26
gangguan vaskuler. Istilah kuno apopleksia serebri sama maknanya dengan
Cerebrovascular Accidents/Attacks (CVA) dan Stroke (Harsono, 1996).
Gejala stroke secara umum, antara lain (Harsono, 1996):
a) Muntah
b) Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor atau koma)
c) Gangguan berbicara (afasia) atau bicara pelo (disastria)
d) Wajah tidak simetris
e) Kelumpuhan wajah / anggota badan sebelah (hemiperase) yang timbul
secaramendadak.
f) Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan.
g) Gangguan penglihatan, penglihatan ganda (diplopia)
h) Vartigo, mual, muntah, dan nyeri kepala.

2. Etiologi
a. Trombosis serebral Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami
oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan
edema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis dapat terjadi akibat aterosklerosis,
hiperkoagulasi pada polisitemia, arteristis (radang pada arteri) dan emboli.
b. Hemoragi (perdarahan) Pendarahan intrakraminal atau intraserebral temasuk
perdarahan dalam ruang subaraknoid atau kedalam jaringan otak sendiri sebagai
akibat dari pecahnya pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah diakibatkan oleh
adanya aterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak yang dapat
mengakibatkan penekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang
berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga
terjadi infark otak, edema dan mungkin herniasi otak.
c. Hipoksia umum Hipoksia umum disebabkan oleh hipertensi yang parah, henti
jantung paru, dan curah jantung turun akibat aritmia yang mengakibatkan aliran
darah ke otak terganggu.
d. Hipoksia setempat Hipoksia setempat diakibatkan oleh spasme arteri serebral
yang disertai perdarahan subaraknoid dan vasokonstriksi arteri otak disertai sakit
kepala migren. Hudak, dkk. (1996) menyatakan bahwa stroke biasanya terjadinya
disebabkan oleh salah satu dari empat kejadian dibawah, yaitu:
 Trombosis bekuan darah didalam pembuluh darah otak atau leher, yaitu
kemudian menyumbat darah aliran darah otak. Trombosis bersama dengan

27
emboli hampir menjadi penyebab sekitar tiga perempat dari semua kasus
stroke
 Emboli serebral yaitu bekuan darah atau lainnya seperti lemak yang mengalir
melalui pembuluh darah di bawa ke otak dan menyumbat aliran darah
kebagian otak tertentu.
 Spasme pembuluh darah serebral yaitu terjadi penurunan aliran darah ke area
otak tertentu yang bersifat sementara. Biasanya akibat dari spasme pembuluh
darah otak tertentu.
e. Hemoragik serebral atau pendarahan serebral yang terjadi dalam ruang otak yaitu
pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke dalam jaringan otak
atau ruang sekitar otak sehingga menimbulkan stroke hemoragik. Stroke jenis ini
terjadi sekitar satu pertiga dari seluruh kejadian stroke dan prosentasi penyebab
kematian lebih besar dari stroke iskemik atau stroke non hemoragik. Faktor resiko
terjadinya stroke terbagi atas dua yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan
tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi diantaranya
adalah gaya hidup. Bebepara penyakit yang diakibatkan oleh perubahan gaya
hidup dan dapat menyebabkan terjadinya stroke yaitu hipertensi, diabetes militus,
ganguan jantug (miokardium infark) dan hiperlepidemia. Hipertensi merupakan
faktor resiko tertinggi terjadinya stroke. Autoregulasi serebral tidak efektif bila
tekanan darah sistemik dibawah 50 mmHg dan diatas 160 mmHg (LeMone &
Burke, 2008). Pengontrolan tekanan darah yang adekut dapat menurunkan
serangan stroke sebesar 38% (Biller & Love, 2000, dalam Black & Hawks, 2005).
Diabetes Militus (DM) merupakan faktor resiko yang dapat meningkatkan
kejadian stroke dan kematian setelah serangan stroke (Ignativius & Workman,
2006). Faktor resiko stroke lainnya yang dapat dimodifikasi yaitu hiperlipidemia,
merokok, pemakai alkohol, pemakai kokain dan kegemukan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa peminum alkohol berat dapat meningkatkan kejadian stroke,
tetapi peminum alkohol ringan dan sedang dapat mencegah stroke berulang
(Reynolds, 2003, dalam Black & Hawks, 2005). Faktor resiko yang dapat
dimodifikasi diantaranya: usia, jenis kelamin, ras (American Heart Association,
2000 dalam Smeltzer&Bare, 2008) lebih lanjut dikatakan bahwa resiko tertinggi
terjadinya stroke pada kelompok usia 55 tahun laki-laki lebih tinggi resiko
mendapat serangan stroke dari pada wanita.

28
3. Etiologi
A. Stroke Hemoragik
Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke jaringan
parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi
keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui
penekanan struktur otak dan juga oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada
jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial akan menimbulkan herniasi
jaringan otak dan menekan batang otak (Goetz, 2007).
a) Etiologi dari Stroke Hemoragik :
1) Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus
stroke, terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan
serebelum. Sebagian besar perdarahan terjadi disebabkan oleh
perubahan drastis pada fungsi arteri. Dipicu oleh adanya hipertensi
jangka panjang dan ruptur dari banyak arteri kecil yang menembus
jauh ke dalam jaringan otak. Perdarahan ini sering terjadi pada pasien
yang dalam kondisi terjaga dan aktif dan menyebabkan defisit
neurologic fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam
beberapa menit. Angka kematian untuk perdarahan ini juga sangat
tinggi yaitu mendekati 50%. terutama terjadi bila tekanan darah tinggi
sekali, sampai otak tidak berfungsi lagi, dan bila pembuluh darahnya
rapuh atau ada aneurisma maka pembuluh darah dapat pecah dan
terjadi Infark hemorragik.
Gejala klinis :
 Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu
melakukan aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal
berupa peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual,
muntah, gangguan memori, bingung, perdarhan retina, dan
epistaksis.
 Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai
hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai kejang fokal / umum.
 Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral,
refleks pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi.
2) Perdarahan subarakhnoid

29
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi
perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer, dapat
disebabkan karena adanya suatu trauma kepala, aneurisma atau terjadi
malformasi pada arteriovena (AVM). Perdarahan ini dapat bersifat
massif dan ekstravasasi darah ke dalam ruangan subaraknoid
berlangsung cepat, maka angka kematian sangat tinggi sekitar 50%
pada bulan pertama setelah perdarahan. Penyebab tingginya angka
kematian ini semakin didukung oleh adanya 4 penyulit utama yaitu
vasospasme reaktif disertai infark, rupture ulang, hiponatremia dan
hidrosefalus. Namun, hal ini kembali lagi pada tingkat keparahan dan
distribusi pembuluh-pembuluh yang terlibat.
Malformasi arteriovena disebabkan oleh melebarnya pembuluh
sehingga darah mengalisr diantara arteri bertekanan tinggi dan system
vena bertekanan rendah. Akhirnya menyebabkan melemahnya dinding
venula dan darah dapat keluar dengan cepat ke jaringan otak yang
keluar akibat pecahnya aneurisma atau malformasi arterio vena (MVA),
akan segera memenuhi ruang sub arachnoid sehingga menimbulkan
iritasi batang otak.
Gejala klinis :
 Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak,
dramatis, berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
 Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah
terangsang, gelisah dan kejang.
 Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam
beberapa menit sampai beberapa jam.
 Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
 Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala
karakteristik perdarahan subarakhnoid.
 Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi,
hipotensi atau hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat,
atau gangguan pernafasan (Goetz, 2007).

B. Stroke Non-Hemoragik (Stroke Iskemik, Infark Otak, Penyumbatan)


Iskemia jaringan otak timbul akibat sumbatan pada pembuluh darah
serviko-kranial atau hipoperfusi jaringan otak oleh berbagai faktor seperti
aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan hemodinamik. Aterotrombosis

30
terjadi pada arteri-arteri besar dari daerah kepala dan leher dan dapat juga
mengenai pembuluh arteri kecil atau percabangannya. Trombus yang
terlokalisasi terjadi akibat penyempitan pembuluh darah oleh plak
aterosklerotik sehingga menghalangi aliran darah pada bagian distal dari
lokasi penyumbatan. Gejala neurologis yang muncul tergantung pada lokasi
pembuluh darah otak yang terkena (Goetz, 2007).
Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi
klinik dan proses patologik (kausal):
a) Berdasarkan manifestasi klinik:
1) Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
2) Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di
otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
3) Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological
Deficit (RIND)
4) Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
5) Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
6) Gejala neurologik makin lama makin berat.
7) Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
8) Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi
(Goetz, 2007).
b) Berdasarkan Kausal:
1) Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh
darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar
dan pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik
terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan
darah yang cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya
kadar kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan
pada pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena aliran darah ke
pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan
merupakan indikator penyakit aterosklerosis. Masih bersifat reversibel
dan dapat membaik bila tekanan darah cepat naik kembali/membaik
(fase penumbra).
2) Stroke Emboli/Non Trombotik
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau
lapisan lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh
darah yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan
nutrisi ke otak (Goetz, 2007).

31
4. Manifestasi Klinis Stroke
Manifestasi klinis stroke menurut Smeltzer & Suzane (2001) adalah:
a. Kehilangan motorik
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunteer terhadap gerakan motorik. Disfungsi motorik paling umum adalah
hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang
lain.
b. Kehilangan komunikasi
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi.
Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi
dapat dimanifestasikan oleh hal berikut:
1) Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
untuk berbicara.
2) Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara) yang terutama
ekspresif atau reseptif. Universitas Sumatera Utara
3) Apraksia (ketidakmampuan melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan berusaha
untuk menyisir rambutnya.

c. Gangguan persepsi
Gangguan persepsi merupakan ketidakmampuan menginterpretasikan sensasi.
Stroke dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan
visual spasial, dan kehilangan sensori.
a. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara mata
dan korteks visual. Hominus heminopsia (kehilangan setengah lapang
pandang) dapat terjadi karena stroke dan mungkin sementara atau permanen.
Sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis. Kepala
pasien berpaling dari sisi tubuh yang sakit dan cenderung mengabaikan bahwa
tempat dan ruang pada sisi tersebut. Hal ini disebut amorfosintesis. Pada
keadaan ini, pasien tidak mampu melihat makanan pada setengah mampan dan
hanya setengah ruangan yang terlihat.

32
b. Gangguan hubungan visual spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih
objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri.
Pasien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokan pakaian ke bagian tubuh.
c. Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau
mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta Universitas Sumatera Utara
kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
d. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik Bila kerusakan telah terjadi pada
lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori, atau intelektual kortikal yang lebih
tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian
terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang
menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi
mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respon alamiah pasien
terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologik lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh labilits emosional, bermusuhan, frustasi, dendam, dan
kurang kerja sama.
e. Disfungsi kandung kemih Pasien pasca stroke mungkin mengalami inkontinensia
urinarius sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan menggunakan urinal/ bedpan karena kerusakan
control motorik dan postural. Kadang-kadang setelah stroke, kandung kemih
menjadi atonik, dengan kerusakan sensasi dalam respon terhadap pengisian
kandung kemih. Kadang-kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau
berkurang. Inkontinensia ani dan urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologik luas.

5. Patofisiologi
Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran darah
ke otak berkurang atau berhenti sama sekali ke daerah distal otak yang mengalami
thrombus dan emboli sehingga otak kekurangan sumber kalori berupa glukosa dan
dan mineral lain serta oksigen. Iskemik terjadi ketika aliran darah menurun kurang
dari 25 ml per 100 g/menit akibatnya neuron tidak bisa mempertahankan
metabolisme (respirasi) aerobnya. Mitokondri berubah menjadi respirasi anaerob
sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan asam pH. Perubahan bentuk
metabolisme ini juga mengakibatkan penurunan jumlah neuron dalam memproduksi

33
Adenosin Triphosepate (ATP) yang akan dijadikan sumber energi dalam aktivitas
sel neuron berupa proses depolarasasi. Penurunan aliran darah serebral
menyebabkan terjadinya dearah penumbra dan berkembang menjadi daerah infark.
Daerah penumbra yaitu dearah otak yang iskemik dan terdapat pada daerah sekitar
yang mengalami infark jika tidak dilakukan tindakan penyelamatan. Daerah ini
dapat diselamatkan dengan meningkatkan aliran darah serebral menuju kedaerah
tersebut dalam waktu yang cepat. Jika hal ini berlanjut akan mengakibatkan
bertambahnya kerusakan pada selaput sel. Akibat yang timbul adalah kalsium dan
glumat banyak terbuang, terjadi vasokontriksi dan menghasilkan redikal bebas.
Proses ini memperbesar area infark pada penumbra dan memperberat gangguan
neurologis terutama stroke iskemik. Area infark dan penumbra ini akan
menimbulkan bertambah luasnya edema otak disekitar penumbra dan infark sebagai
akibat tekanan dan iskemia sehingga menyebabkan gangguan sistem saraf yang
lebih luas yang bersifat sementara. Area edema ini akan berkurang dalam waktu
beberapa jam atau beberapa hari sehingga gangguan saraf secara perlahan dapat
kembali normal sesuai dengan perkembangan proses yang terjadi. Proses evolusi
dari jaringan iskemik ke arah infark ini cukup cepat. Iskemik selama 8 sampai 12
jam menimbulkan keadaan dimana neuron mengecil, sitoplasma, nukleus rusak &
sel mati (Dukta, 1991 dalam Hickey, 1997). Cerebral Blood Flow (CBF) sebesar 18
ml per 100gram permenit selama 4 jam akan menimbulkan infark. CBF sebesar 15
ml per 100 gram permenit, akan menimbulkan infark dalam waktu 3,5 jam, CBF 10
ml per 100 gram permenit akan menjadikan proses infark dalam 3 jam dan CBF 5
ml per 100 gram permenit menimbulkan infark dalam 30 menit (Nortje & Menon,
2004). Stroke hemorogik terjadi sesuai dengan penyebab pendarahan otak dan
lokasi pendarahannya. Pendarahan subaraknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma
atau hipertensi, tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada area
sirkulus wilis dan kelainan bentuk Arteri Vena (AVM). Pendarahan tersebut dapat
menyebabkan meningkatnya tekanan dalam otak yang menimbulkan terjadinya
proses menekan dan merusak jaringan otak sekitarnya. Daerah yang tertekan
tersebut selanjutnya akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan
menambahkan tekanan intrakranial semakin berat. Pendarahan subarakhnoid juga
disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat terjadinya penurunan
tekanan perfusi dan vasospasme. Perdarahan intraserebral paling sering terjadi pada
pasien stroke dengan hipertensi dan aterosklerosis. Perdarahan intraserebral juga

34
bisa disebabkan oleh tumor otak dan penggunaan obat-obatan seperti oral
antikoagulan dan ampehetamine. Perdarahan biasanya terjadi didaerah seperti lobus
otak, basal ganglia, thalamus, pons dan serebellum. Perdarahan dapat terjadi pada
intraventrikuler (Black & Hawsk, 2005).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

35
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for


Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.

Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta

Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &


Suddarth.Vol.3 Edisi 8.EGC :Jakarta

Mutakhi Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Salemba Medika : Jakarta

36
Tarwoto (2007). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta, Sagung
Seto
http://siyulopecri.blogspot.com/2011/09/askep-gbs.html

http://www.scribd.com/doc/46961824/Askep-Klien-Dengan-Gbs

1. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse


W. The A treatment of convulsive status epilepticus in children.
Arch Dis Child 2000; 83:415-19.
2. Guyton, Arthur C. 1987.Fisiologi Kedokteran. 148 – 168. Edisi ke 5.
EGC. Jakarta.

Carpenito, L.J. 2003. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC

Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Kedua. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.

Jakarta: Salemba Medika

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika

Smeltzer, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8
Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih.
Jakarta: EGC.

Tim SAK Ruang Rawat Inap RSUD Wates. 2006. Standard Asuhan Keperawatan Penyakit
Saraf. Yogyakarta: RSUD Wates Kabupaten Kulonprogo

37

Anda mungkin juga menyukai