Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


APPENDICITIS DI RUMAH SAKIT SAMARINDA MEDIKA CITRA

DI SUSUN OLEH :
BAHTARI
P2003006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN


DAN SAINS WIYATA HUSADA
SAMARINDA
2021
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit
1. Definisi Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua
lapisan dinding organ tersebut (Price,2005) (Wedjo, 2019). Apendisitis akut
merupakan inflamasi akut pada apendisitis verniformis dan merupakan
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. (Brunner&Suddarth,
2014). Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau
umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum).
Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya
berbahaya. (Wim de Jong et al, 2010). Peradangan apendiks yang mengenai
semua lapisan dinding organ, dimana patogenis utamanya diduga karena
obstruksi pada lumen yang disebabkan oleh fekalit (feses keras yang
terutama disebabkan oleh serat) (Wim de Jong et al, 2010).

2. Etiologi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik. Penyebab
apendisitis yaitu:
a. Fecalit (batu feses) yang mengoklusi lumen apendiks
b. Apendiks yang terpuntir
c. Pembengkakan dinding usus
d. Kondisi fibrosa di dinding usus
e. Oklusi eksternal usus akibat adesi
f. Infeksi organisme yersenia telah ditemuka pada 30% kasus (Black &
Hawks, 2014).

3. Klasifikasi Apendisitis
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis
akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan
diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang
diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin
meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan
intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan
menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi
peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding
apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara
hematogen ke apendiks.
b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke
dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler,
dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat
terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi
semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu,
radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan
keluhan menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik
apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks,
sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens
apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan
nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan
apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini
terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan.
Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi
fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangan lagi
sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan
apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis
rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita
datang dalam serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa
jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa
infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu
kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang
dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah.
Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila
terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya
adalah apendiktomi.
f. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks Penyakit ini jarang ditemukan, biasa
ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis
akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan
hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh
lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis
prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan
kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus,
dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid
perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala
tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai
radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan
pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal
atau hemikolektomi kanan (Asripa, 2018).

4. Manifestasi Klinis
a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam
ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih
atau ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi.
Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur
appendiks.
Nama pemeriksaan Tanda dan Gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan
tekanan pada kuadran kiri bawah dan
timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri,
Obraztsova’s kemudian dilakukan ekstensi dari panggul
sign kanan. Positif jika timbul nyeri pada
kanan bawah.

Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan


dilakukan rotasi internal pada panggul.
Positif jika timbul nyeri pada
hipogastrium atau vagina.

Dunphy’s sign nyeri pada testis kanan bawah saat


penderita batuk

Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi


lembut pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah
epigastrium atau sekitar pusat, kemudian
berpindah ke kuadran kanan bawah
Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada
(Rosenstein)’s sign perut
kuadran kanan bawah saat pasien
dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign semakin nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan.
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi
pada kuadran kanan bawah kemudian
dilepaskan tiba-tiba.

5. Pathofisiologi
Appendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang
disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai
dengan pengamatan epidemiologi bahwa appendisitis berhubungan dengan
asupan serat dalam makanan yang rendah (Burkitt, 2007). Pada stadium
awal dari appendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi
ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular
dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada
permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang
bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis
lokal (Burkitt, 2007). Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis
terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya,
arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang
kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera
terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi
dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Hidayat, 2020).

6. Pathway
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak
dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita
appendicitis berkisar antara 12.000 - 18.000/mm3. Peningkatan
persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal
leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit
yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.
2. Pemeriksaan Urinalisis
Membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis
atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria
dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
3. Ultrasonografi Abdomen (USG)
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala
appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas
USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG
yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix
dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix. False positif
dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil
dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga
dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus
yang terisi banyak udara yang menghalangi appendiks.
4. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak
jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasienpasien
yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess,
maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix
dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix
yang terinfeksi akan mengecil (Oktaviani, 2018).
8. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendisitis.Adapun
jenis komplikasi menurut (Sulekale, 2016) adalah :
1. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-
mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang
mengandung pus. Hal ini terjadi apabila appendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
Operasi appendektomi untuk kondisi abses apendiks dapat dilakukan
secara dini (appendektomi dini) maupun tertunda (appendektomi
interval). Appendektomi dini merupakan appendektomi yang
dilakukan segera atau beberapa hari setelah kedatangan klien di rumah
sakit. Sedangkan appendektomi interval merupakan appendektomi
yang dilakukan setelah terapi konservatif awal, berupa pemberian
antibiotika intravena selama beberapa minggu.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam
pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24
jam.Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan
gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,5° C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutama Polymorphonuclear (PMN). Perforasi baik
berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan
terjadinya peritonitis. Perforasi memerlukan pertolongan medis segera
untuk membatasi pergerakan lebih lanjut atau kebocoran dari isi
lambung ke rongga perut. Mengatasi peritonitis dapat dilakukan oprasi
untuk memperbaiki perforasi, mengatasi sumber infeksi, atau dalam
beberapa kasus mengangkat bagian dari organ yang terpengaruh .
3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum dapat menyebabkan
timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam, dan leukositosis. Penderita peritonitis akan
disarankan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit (Hidayat,
2020).Penatalaksanaan Medis
Menurut (Wijaya & Putri, 2013) penatalaksanaan medis pada
appendisitis meliputi :
a. Sebelum operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
appendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi
ketat perlu dilaksanakan. Klien diminta melakukan tirah baring dan
dipuasakan. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan
darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik, foto
abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan
adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan
dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam
setelah timbulnya keluhan.
2) Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi dan abses
intra abdominal luka operasi pada klien apendiktomi. Antibiotik
diberikan sebelum, saat, hingga 24 jam pasca operasi dan melalui
cara pemberian intravena (IV) (Sulikhah, 2014).
b. Operasi
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah apendiktomi.
Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara
membuang apendiks (Wiwik Sofiah, 2017). Indikasi dilakukannya
operasi apendiktomi yaitu bila diagnosa appendisitis telah ditegakkan
berdasarkan gejala klinis. Pada keadaan yang meragukan diperlukan
pemeriksan penunjang USG atau CT scan.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal
dengan insisi pada abdomen bawah. Anastesi diberikan untuk
memblokir sensasi rasa sakit. Efek dari anastesi yang sering terjadi pada
klien post operasi adalah termanipulasinya organ abdomen sehingga
terjadi distensi abdomen dan menurunnya peristaltik usus. Hal ini
mengakibatkan belum munculnya peristaltik usus (Mulya, 2015) .
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kiik, 2018) dalam 4
jam pasca operasi klien sudah boleh melakukan mobilisasi bertahap,
dan dalam 8 jam pertama setelah perlakuan mobilisasi dini pada klien
pasca operasi abdomen terdapat peningkatan peristaltik ususbahkan
peristaltik usus dapat kembali normal.
Kembalinya fungsi peristaltik usus akan memungkinkan pemberian
diet, membantu pemenuhan kebutuhan eliminasi serta mempercepat
proses penyembuhan. Operasi apendiktomi dapat dilakukan dengan 2
teknik, yaitu operasi apendiktomi terbuka dan laparaskopi apendiktomi.
Apendiktomi terbuka dilakukan dengan cara membuat sebuah sayatan
dengan panjang sekitar 2 – 4 inci pada kuadran kanan bawah abdomen
dan apendiks dipotong melalui lapisan lemak dan otot apendiks.
Kemudian apendiks diangkat atau dipisahkan dari usus (Dewi,
2015). Sedangkan pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan
membuat 3 sayatan kecil di perut sebagai akses, lubang pertama dibuat
dibawah pusar, fungsinya untuk memasukkan kamera super mini yang
terhubung ke monitor ke dalam tubuh, melalui lubang ini pula sumber
cahaya dimasukkan. Sementara dua lubang lain di posisikan sebagai
jalan masuk peralatan bedah seperti penjepit atau gunting. Ahli bedah
mengamati organ abdominal secara visual dan mengidentifikasi
apendiks. Apendiks dipisahkan dari semua jaringan yang melekat,
kemudian apendiks diangkat dan dikeluarkan melalui salah satu sayatan
(Hidayatullah, 2014).
Jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika.Tindakan pembedahan dapat
menimbulkan luka insisi sehingga pada klien post operatif apendiktomi
dapat terjadi resiko infeksi luka operasi.
c. Pasca operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan.
Klien dibaringkan dalam posisi terlentang. Klien dikatakan baik bila
dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Puasa diteruskan sampai fungsi
usus kembali normal (Hidayat, 2020).
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai
sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan
klien (Nursalam, 2001, hal.17).
a. Identitas Pasien : Pengkajian identitas pasien meliputi nama inisial, umur,
jenis kelamin, agama, pekerjaan, alamat, suku bangsa, tanggal masuk
rumah sakit, cara masuk, keluhan utama, alasan dirawat dan diagnosa
medis.
b. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama
Keluhan pertama pada pasien dengan apendisitis yaitu rasa nyeri. Bisa
nyeri akut ataupun kronis tergantung dari lamanya serangan. Menurut
Wahid (2013) untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri digunakan :
 Provoking Incident : apakah peristiwa yang menjadi faktor
 Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan dan digambarkan
pasien. Apakah seperti menusuk-nusuk, terbakar, atau berdenyut.
 Region : dimana rasa sakit terjadi, apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar.
 Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau pasien yang menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
 Time : berapa lama durasi nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang: Pasien akan mendapatkan nyeri di
sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul
keluhan nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam
kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan
dalam beberapa waktu lalu. Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-
menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama.
Keluhan yang menyertai biasanya pasien mengeluh rasa mual dan
muntah.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan pasien
sekarang. Pengalaman penyakit sebelumnya, apakah memberi
pengaruh kepada penyakit apendisitis yang diderita sekarang serta
apakah pernah mengalami pembedahan sebelumnya.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang
menderita sakit yang sama seperti menderita penyakit apendisitis,
dikaji pula mengenai adanya penyakit keturunan dalam keluarga.
Pengkajian 11 Fungsional Gordon
1) Pola Persepsi dan Penanganan Penyakit
Pada kasus apendisitis biasanya timbul kecemasan akan
kondisinya saat ini dan tindakan dilakukannya operasi.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pasien yang mengalami apendisitis akan terganggu pola
nutrisinya, nafsu makan menjadi berkurang sehingga
mengakibatkan penurunan berat badan. Selain itu disertai mual
dan muntah pada pasien akan mengakibatkan berkurangnya
cairan dan elektrolit. Studi epidemiologi juga menyebutkan
bahwa ada peranan dari kebiasaan mengkonsumsi makanan
rendah serat yang mempengaruhi konstipasi, sehingga terjadi
apendisitis (Kumar, 2010).
3) Pola Eliminasi
Proses eliminasi pasien biasanya akan mengalami konstipasi
karena terjadinya fecalith. Pola ini menggambarkan karakteristik
atau masalah saat BAB/BAK sebelum dan saat dirawat di RS
serta adanya penggunaan alat bantu eliminasi saat pasien dirawat
di RS. Hal yang perlu dikaji yaitu konsistensi, warna, frekuensi,
bau feses, sedangkan pada eliminasi urin dikaji kepekatan, warna,
bau, frekuensi, serta jumlah.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Pasien akan mengalami gangguan selama beraktivitas, disebabkan
nyeri semakin buruk ketika bergerak.
5) Pola Tidur dan Istirahat
Semua pasien apendisitis akan merasa nyeri dan susah untuk
bergerak karena dapat memperburuk nyeri, sehingga mengganggu
pola dan kebutuhan tidur pasien. Pengkajian yang dilaksanakan
berupa lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur,
kesulitan tidur, serta penggunaan obat.
6) Pola Kognitif dan Persepsi
Biasanya pada pasien apendisitis tidak mengalami gangguan pada
pola kognitif dan persepsi. Namun perlu juga untuk dilakukan,
apakah nyeri nya akan berpengaruh terhadap pola kognitif dan
persepsinya.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Pola persepsi dan konsep diri menggambarkan persepsi saat
dirawat di RS. Pola ini mengkaji ketakutan, kecemasan dan
penilaian terhadap diri sendiri serta dampak sakit terhadap diri
pasien. Emosi pasien biasanya tidak stabil karena pasien merasa
cemas saat mengetahui harus dilakukan tindakan operasi.
8) Pola Peran dan Hubungan
Pasien dengan apendisitis biasanya tidak mengalami gangguan
dalam peran dan hubungan sosial, akan tetapi harus dibandingkan
peran dan hubungan pasien sebelum sakit dan saat sakit.
9) Pola Seksual dan Reproduksi
Pada pola seksual dan reproduksi biasanya pada pasien
apendisitis tidak mengalami gangguan.
10) Pola Koping dan Toleransi Stress
Secara umum pasien dengan apendisitis tidak mengalami
penyimpangan pada pola koping dan toleransi stres. Namun tetap
perlu dilakukan mengenai toleransi stress pasien terhadap
penyakitnya maupun tindakan perawatan yang didapatkan.
11) Pola Nilai dan Keyakinan
Pada umumnya pasien yang menjalani perawatan akan
mengalami keterbatasan dalam aktivitas begitu pula dalam
beribadah.
Perlu dikaji keyakinan pasien terhadap keadaan sakit dan
motivasi untuk kesembuhannya.
a. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum: Keadaan pasien biasanya bisa baik ataupun
buruk.
2) Tanda-tanda Vital: Tekanan Darah biasanya tekanan darah
normal, Nadi biasanya terjadi peningkatan denyut nadi,
Pernafasan biasanya terjadi peningkatan bernafas atau normal,
Suhu biasanya terjadi peningkatan suhu akibat infeksi pada
apendiks
3) Head to Toe
 Kepala: Normochepal, pada pasien apendisitis biasanya tidak
memiliki gangguan pada kepala.
 Mata
Inspeksi: mata simetris, refleks cahaya baik, konjungtiva
biasanya anemis, sklera tidak ikteris, dan ukuran pupil isokor.
Palpasi : tidak ada edema di palpebra.
 Hidung
Inspeksi : tidak ada sekret dan simetris
Palpasi : tidak adanya benjolan atau masa pada hidung
 Telinga.
Inspeksi : simetris kedua telinga, tidak ada sekret, tidak ada
pengeluaran darah atau cairan dari telinga.
Palpasi : tidak adanya edema dibagian telinga.
 Mulut Inspeksi : simetris, biasanya membran mukosa kering
pada pasien apendisitis karena kurangnya cairan yang masuk
akibat muntah atau puasa pre/post operasi, lidah bersih, gigi
lengkap, caries tidak ada, tonsil tidak ada, tidak ada kesulitan
menelan.
 Leher: Tidak adanya pembesaran kelenjar getah bening dan
tyroid.
 Thorax atau Paru-paru
Inspeksi : dinding dada simetris.
Palpasi : fremitus kiri dan kanan simetris.
Perkusi : sonor.
Auskultasi : tidak adanya bunyi nafas tambahan.
 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : ICS V mid klavikula sinistra.
Perkusi : batas jantung normal.
Auskultasi : reguler, tidak adanya bunyi tambahan.
 Abdomen
Inspeksi : pada apendisitis sering ditemukan adanya
abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini
biasa ditemukan distensi abdomen.
Palpasi : Nyeri tekan di titik Mc Burney disebut Mc Burney
sign, salah satu tanda dari apendisitis. Titik Mc Burney
adalah titik imajiner yang dipergunakan untuk
memperkirakan letak apendiks, yaitu 1/3 lateral dari garis
yang dibentuk dari umbilikus dan SIAS (spina ichiadica
anterior superior) dextra. Nyeri di titik ini disebabkan oleh
inflamasi dari apendiks dan persentuhannya dengan
peritoneum.
Perkusi : pada apendisitis sering ditemukan redup karena
adanya penumpukan feses pada apendiks, namun pada
apendisitis juga didapati normal.
Auskultasi : bising usus normal atau meningkat pada awal
apendisitis, dan bising usus melemah (hipoaktif) jika terjadi
perforasi.
 Genitalia Mengobservasi adanya penggunaan alat bantu
perkemihan, biasanya pada pasien apendisitis tidak
mengalami gangguan pada genitalia.
 Ekstremitas
Pada pasien apendisitis tidak mengalami gangguan pada
ekstremitas atas dan bawah.
 Kulit
Adanya luka post operasi pada abdomen, tidak lecet, turgor
kulit biasanya kering karena kekurangan cairan akibat
muntah atau puasa pre/post operasi, pengisian kapiler refil
dapat normal atau > 2 detik.
b. Laboratorium: pada pasien apendisitis biasanya terjadi
peningkatan leukosit di atas 10.000/mL
 Foto polos abdomen : dapat berupa bayangan apendikolit
(radioopak), distensi atau obstruksi usus halus, deformitas
sekum, adanya udara bebas, dan efek massa jaringan
lunak.
 USG: menunjukkan adanya edema apendiks yang
disebabkan oleh reaksi peradangan.
 Barium enema : terdapat non-filling apendiks, efek massa
kuadran kanan bawah abdomen, apendiks tampak tidak
bergerak, pengisian apendiks tidak rata atau tertekuk dan
adanya retensi barium setelah 24-48 jam.
 CT Scan : untuk mendeteksi abses periapendiks (Putri,
2019).
2. Diagnosis keperawatan
Berdasarkan pada semua data pengkajian diagnosa keperawatan utama
yang dapat muncul pada appendicitis, antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (inflamasi
appendicitis)
b. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (Infeksi pada
appendicitis).
c. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif
(muntah).
d. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
e. Resiko Infeksi ditandai dengan tindakan prosedur infasiv.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Perencanaan keperawatan atau intervensi keperawatan adalah perumusan
tujuan, tindakan dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada klien
berdasarkan analisa pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan
klien dapat diatasi (Nurarif, A. H., & Kusuma, 2016).
J. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi

1. Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I.08238). Observasi :
agen pencedera fisiologi keperawatan diharapkan tingkat nyeri
(inflamasi (L.08066) dapat menurun dengan Kriteria 1.1 Identifikasi lokasi,
karakteristik,durasi, frekuensi, kulaitas nyeri,
appendicitis).(D.0077) Hasil :
skala nyeri, intensitas nyeri
Keluhan nyeri menurun.
1.2 Identifikasi respon nyeri non verbal.
Meringis menurun
1.3 Identivikasi factor yang
Sikap protektif menurun. memperberatdan memperingan nyeri.
Gelisah menurun. Terapeutik :
1.4 Berikan teknik nonfarmakologisuntuk
mengurangi rasa nyeri
1.5 Fasilitasi istirahat dan tidur.
1.6 Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri.
Edukasi :
1.7 Jelaskan strategi meredakan nyeri
1.8 Ajarkan teknik non farmakologisuntuk
mengurangi rasa nyeri .
Kolaborasi :
1.9 Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
2. Hipertermia berhubungan Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia (I.15506).
dengan proses penyakit (Infeksi keperawatan diharapkan termoregulasi Observasi :
pada appendicitis). (D.0130) (L.14134) membaik dengan Kriteri a Hasil
: 2.1 Identifikasi penyebab hipertermia

Menggigil menurun. 2.2 Monitor suhu tubuh.

Takikardi menurun. 2.3 Monitor haluaran urine.

Suhu tubuh membaik. Terapeutik :

Suhu kulit membaik. 2.4 Sediakanlingkungan yang dingin.


2.5 Longgarkan atau lepaskan pakaian.
2.6 Berikan cairan oral
Edukasi :
2.7 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
2.8 Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu.
3. Risiko Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hypovolemia (I.03116).
berhubungan dengan keperawatan Status cairan (L.0328) Observasi :
kehilangan cairan secara aktif membaik dengan Kriteria Hasil :
3.1 Periksa tanda dan gejala
(muntah). (D.0034)
Kekuatan nadi meningkat. hipovolemia.
Membrane mukosa lembap. 3.2 Monitor intake dan output cairan.
Frekuensi nadi membaik. Terapeutik :
Tekanan darah membaik. 3.3 Berikan asupan cairan oral
Edukasi :
3.4 Anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral.
3.5 Anjurkan menghindari
perubahan posisi mendadak.

Kolaborasi :

3.6 Kolaborasi peberian cairan IV.


4. Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Reduksi ansietas (I.09314). Observasi :
kurang terpapar informasi keperawatan tingkat ansietas
4.1 Identivikasi saat tingkat ansietas
(D.0080) (L.01006) menurun dengan Kriteria Hasil :
berubah.
Verbalisasi kebingungan menurun.
4.2 Monitor tanda tanda ansietas
Verbalisasi khawatir akibat verbal non verbal.
menurun.
4.3 Temani klien untuk mengurangi
Prilaku gelisah menurun. kecemasan jika perlu.
Prilaku tegang menurun. 4.4 Dengarkan dengan penuh
perhatian.
4.5 Gunakan pendekatan yang tenang
dan meyakinkan.
4.6 Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin dialami.
4.7 Anjurkan keluarga untuk tetap
bersama klien, jika perlu.
4.8 Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi.
4.9 Latih teknik relaksasi.
4.10 Kolaborasi pemberian obat
antiansietas jika perlu.
5. Risiko Infeksi ditandai dengan Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi (I.14539)
efek prosedur infasive keperawatan tingkat infeksi (L.14137)
(D.0142). dengan Kriteria Hasil : Observasi :

Kebersihan tangan meningkat. 5.1 Monitor tanda dan gejala infeksi

Kebersihan badan meningkat. local dan sistemik.

Demam, kemerahan, nyeri, bengkak 5.2 Batasi jumlah pengunjung


menurun. 5.3 Berikan perawatan kulit pada area
Kadar sel darah putih meningkat. edema
5.4 Cuci tangan seblum dan sesudah kontak
dengan klien dan lingkungan klien.
5.5 Pertahankan teknik aseptic pada klien
beresiko tinggi.
Edukasi :
5.6 Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
5.7 Ajarkan cara mencuc tangan
dengan benar.
5.8 Ajarkan etika batuk.
5.9 Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi.
5.10 Anjurkan meningkatkan asupan
cairan.
Kolaborasi :
5.11 Kolaborasi pemberian imunisasi
jika perlu.
DAFTAR PUSTAKA

Black, M Joyce. Hawks, Hokanson, Jane. 2014. Keperawatan Medikal


Bedah Manajemen Klinis Untuk Hasil Yang di Harapkan, edisi
Bahasa Indonesia, Edisi 8, Buku 1 Elsevier
Ross and Wilson. 2017. Dasar-dasar Anatomi dan Fisiologi. Penerjemah
Elly Nurachmah dan Rida Angraini, Salemba Medika, Jakarta.
Smeltzer & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brurner & Suddarath (8th ed.). Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016c). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan:
Dewan Pengurus Pusat
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018b). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia : Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai