Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN TUTORIAL

MODUL
PENURUNAN KESADARAN

KELOMPOK 5 Anugrah Pratama Putra 10542047113


Haslinda Baharuddin 10542048913
Baso Nuzul Maqfir 10542060215
Risti Indah Nurcahyanti Anwar 10542060315
Dinda Fuadil Al-Humaira 10542061415
Abdul Hamid 10542061915
Dwi Utami Abd Latif 10542063715
Arni Safri 10542063815
St. Nurchaliza Damayanti Pratiwi 10542065615
A. St. Haniyah Nadhifah Zulkifli 10542065015

BLOK SIKLUS HIDUP


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015
SKENARIO

KASUS I
Perempuan 21 tahun dibawa ke Puskesmas dalam keadaan tidak sadar. Setelah
diletakkan di tempat tidur dan diperiksa, penderita tidak memberi respon dan tetap
mendengkur dengan irama napas 40 kali/menit. Muka kelihatan pucat, nadi radial
tidak teraba. Ditemukan jejas pada daerah pelipis kanan, bahu kanan, dan perut kiri
bawah. Dari beberapa orang yang mengantar tidak satupun yang tinggal dan dapat
memberi keterangan tentang keadaan dan apa yang terjadi pada penderita tersebut.

KATA KUNCI

 Perempuan 21 tahun
 Keadaan tidak sadar
 Tidak members respond
 Mendengkur dengan irama napas 40x/menit
 Muka pucat
 Nadi radial tidak teraba
 Jejas pada daerah pelipis kanan, bahu kanan dan perut kiri bawah.

PERTANYAAN
1. Bagaimana penatalaksanaan awal pada pasien?

2. Bagaimana penanganan selanjutnya?

3. Keadaan apa saja yang menyebabkan kesadaran menurun?

4. Apa saja penyebab jejas?

5. Bagaimana hubungan jejas dengan kesadaran menurun?

6. Apa saja diagnosis banding terkait skenario?


PEMBAHASAN

1. Bagaimana penatalaksanaan awal pada pasien?

Jawab :

Survey ABCDE

Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini


disebut survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit. Terapi
dikerjakan serentak jika korban mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim
yang cedera :

a. Airway

Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas
dengan bebas ? Jika ada obstruksi maka lakukan :

• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)

• Suction / hisap (jika alat tersedia)

• Guedel airway / nasopharyngeal airway

• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral

b. Breathing

Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan


nafas bebas. Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :

• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)

• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada

• Pernafasan buatan ( Berikan oksigen jika ada )

c. Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah
jalan nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka
lakukan :

• Hentikan perdarahan eksternal

• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)

• Berikan infus cairan

d. Disability

Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons


terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur
Glasgow Coma Scale AWAKE = A RESPONS BICARA (verbal) = V
RESPONS NYERI = P TAK ADA RESPONS = U Cara ini cukup jelas dan
cepat.

e. Eksposure

Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua
cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang
belakang, maka imobilisasi in-line harus dikerjakan.

A. Langkah-langkah

Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan


mempertahankannya agar tetap bebas.

1. Bicara kepada pasien

Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda


bahwa jalan nafasnya bebas. Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan pernafasan.
Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah
jatuhnya pangkal lidah ke belakang. Jika ada cedera kepala,
leher atau dada maka pada waktu intubasi trakhea tulang leher
(cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.

2. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung


nafas ( selfinvlating) \

3. Menilai jalan nafas

Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :

• Suara berkumur

• Suara nafas abnormal (stridor, dsb)

• Pasien gelisah karena hipoksia

• Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada


paradoks

• Sianosis Waspada adanya benda asing di jalan nafas.

Cara membebaskan jalan nafas diuraikan pada Appendix 1


Jangan memberikan obat sedativa pada pasien seperti ini.

4. Menjaga stabilitas tulang leher

5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan Indikasi


tindakan ini adalah :

• Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi

• Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar

• Apnea

• Hipoksia

• Trauma kepala berat


• Trauma dada

• Trauma wajah / maxillo-facial

Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.

a. Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK)

Adakah hal-hal berikut : .

Sianosis .

Luka tembus dada .

Flail chest .

Sucking wounds .

Gerakan otot nafas tambahan

b. Palpasi / raba (FEEL) . Pergeseran letak trakhea .

Patah tulang iga . Emfisema kulit . Dengan perkusi mencari


hemotoraks dan atau pneumotoraks

c. Auskultasi / dengar (LISTEN)

Suara nafas, detak jantung, bising usus . Suara nafas


menurun pada pneumotoraks . Suara nafas tambahan / abnormal.
Tindakan Resusitasi Diuraikan lebih rinci pada Appendix 5 Jika
ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari
udara dan darah dengan memasang drainage toraks segera tanpa
menunggu pemeriksaan sinar X. Jika diperlukan intubasi trakhea
tetapi sulit, maka kerjakan krikotiroidotomi.

Catatan Khusus

o Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien


menjadi stabil
o Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi
harus segera dilakukan dengan jarum besar yang
ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera.
Lakukan pada ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang
melalui tengah klavikula. Pertahankan posisi jarum
hingga pemasangan drain toraks selesai.

o Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal,


maka kerjakan krikotiroidotomi. Tentu hal ini juga
tergantung pada kemampuan tenaga medis yang ada dan
kelengkapan alat.

‘Syok’ adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan


oksigenasi jaringan. Pada pasien trauma keadaan ini paling sering
disebabkan oleh hipovolemia. Diagnosa syok didasarkan tanda-
tanda klinis : Hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat,
ekstremitas dingin, melambatnya pengisian kapiler (capillary refill)
dan penurunan produksi urine.

Jenis-jenis syok :

1. Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan


akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah darah yang
hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan
pada trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah.
Ingat bahwa :

• Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga


perut dan pleura.

• Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat


mencapai 2 (dua) liter. • Perdarahan patah tulang panggul
(pelvis) dapat melebihi 2 liter
2. Syok kardiogenik : disebabkan berkurangnya fungsi
jantung, antara lain akibat :

• Kontusioo miokard

• Tamponade jantung

• Pneumotoraks tension

• Luka tembus jantung

• Infark miokard Penilaian tekanan vena jugularis sangat


penting dan sebaiknya ECG dapat direkam.

3. Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus


simpatis akibat cedera sumsum tulang belakang (spinal
cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta
takhikardiaa atau vasokonstriksi.

4. Syok septik : Jarang ditemukan pada fase awal dari


trauma, tetapi sering menjadi penyebab kematian
beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ
ganda). Paling sering dijumpai pada korban luka tembus
abdomen dan luka bakar.
2. Bagaimana penanganan selanjutnya (secondary survey) ?

Jawab :

Secondary Survey dilakukan hanya setelah survai primer telah selesai, resusitasi
dilakukan dan ABC-nya penderita dipastikan. Secondary Survey adalah
pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk
pemeriksaan tanda vital. Pada penderita yang tidak sadar atau gawat,
kemungkinan untuk luput mendiagnosis cukup besar. Pada Secondary Surveyini
dilakukan pemeriksaan neuorologis lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila
belum dilakukan dalam survai primer. Pada Secondary Surveyini juga dikerjakan
foto ronsen yang diperlukan.
Prosedur khusus seperti lavase peritoneal, evaluasi radiologis dan
pemeriksaan laboraorium dikerjakan juga pada kesempatan ini. Secondary
Surveyini juga telah disebut sebagai “tubes in every orifice”.

A. Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai
riwayat perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat dari penderita
sendiri, dan harus didapat dari petugas lapangan atau keluarga. Riwayat AMPLE
patut diingat :
A : Alergic (Alergi)
M : Medication (Medikasi sebelumnya)
P : Past illness (riwayat penyakit)
L : Last meal
E : Event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kejadian
perlukaan)
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Petugas
lapangan seharusnya melaporkan mekanisme perlukaan. Jenis perlukaan dapat
diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan.

B. Pemeriksaan Fisik

1. Kepala
Secondary Survey dimulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan
kepalan harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena
kemungkinan edema akan terjadi beberapa saat kemudian, mata harus diperiksa
akan adanya :
a. Acies visus
b. Ukuran pupil
c. Perdarahan konjungtiva dan fundus
d. Luka tembus pada mata
e. Lensa kontak (ambil sebelum terjadi edema)
f. Dislocatio lentis
Acies visus dapat diperiksa dengan membaca gambar Snellen, atau membaca
huruf pada botol infus atau bungkus perban.
2. Maksilo fasial
Trauma maksilo fasial tanpa gangguan jalan nafas atau tanpa perdarahan
hebat, baru dikerjakan setelah penderita stabil sepenuhnya. Pengelolaan defenitif
dapat ditunda dengan aman. Penderita dengan luka pada wajah bagian tengah
mungkin ada fraktur juga pada lamina cribrosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter
lambung harus melalui jalan oral.
3. Vertebra servikalis dan leher
Penderita dengan trauma kapitis atau maksilo fasial dianggap ada fraktur
servikal atau ada kerusakan ligamentous servikal; pada servikal kemudian
dilakukan immobilisasi sampai vertebra servikal telah diteliti. Tidak adanya
kelainan neurologis tidak menyingkirkan adanya fraktur servikal, dan tidak adanya
fraktur servikal hanya ditegakkan dengan pemeriksaan ronsen servikal selesai.
Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi. Nyeri daerah vertebra
servikalis, emfisema subkutan, deviasi trachea, dan fraktur larynx dapat
ditemukan pada pemeriksaan yang teliti. Dilakukan palpasi dan auskultasi pada
arteri carotis. Adanya jejas pada a. carotis harus dicatat karena kemungkinan
adanya perlukaan pada arteri carotis. Penyumbatan atau diseksi a. carotis dapat
terjadi secara lambat, tanpa gejala dini.

4. Thoraks
Inspeksi akan menunjukan adanya flail chest, hemothorax, atau
pneumothorax. Palpasi harus dilakukan pada setiap iga dan klavikula. Penekanan
pada sternum dapat mengakibatkan nyeri bila ada fraktur sternum atau ada
costochondral separation. Kontusio dan hematoma pada pada dinding dada
mungkin disertai kelainan dalan rongga thoraks. Kelainan berat thoraks akan
disertai nyeri dan atau dipsnoe. Evaluasi bagian dalam toraks dapat dilakukan
dengan auskultasi disusul foto toraks. Bising nafas diperiksa pada bagian atas
toraks untuk menentukan pneumothrax dan bagian posterior untuk menentukan
hemothorax. Auskultasi mungkin sulit bila lingkungan berisik, tetapi sangat
bermanfaat. Bunyi jantung yang lemah disertai nadi yang kecil mungkin
disebabkan temponade jantung. Adanya temponade jantung atu tension
pneumothorax dapat terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis, walaupun
adanya ahipovolemia akan meniadakan tanda ini. Melemahnya bising nafas
disertai syok mungkin satu - satunya tanda akan adanya tension pneumothorax,
yang menandakan perlunya dekompresi segera. Dekompresi dengan jantung
besar disusul WSD. Foto toraks dapat menunjukan adanya hemato atau
pneumothorax. Mungkin ada fraktur iga yang tidak terlihat pada foto toraks.
Mediastinum yang melebar atau penyimpangan NGT ke arah kanan dapat
merupakan tanda ruptur aorta.
5. Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Diagnosis tepat tidak
perlu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi untuk operasi segera.
Penemuan normal pada pemeriksaan abdomen pada saat baru datang, tidak
menyingkirkan diagnosis perlukaan abdomen, karena gejala mungkin timbul agak
lambat. Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi ketat, kalau bisa oleh
petugas yang sama. Diperlukan konsultasi dengan ahli bedah.
Penderita dengan hipotensi sebab tidak jelas, kelainan neourologis,
gangguan kesadaran karena alkohol dan/atau obat dan penemuan pemeriksaan
abdomen yang meragukan, harus dipertimbangkan diagnostik peritoneal lavage
(DPL). Fraktur iga - iga bawah atau pelvis dapat menyulitkan pemeriksaan, karena
nyeri dari daerah ini akan mempersulit palpasi abdomen.
6. Perineum / rectum / vagina.
Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi, dan
perdarahan uretra. Colok dubur penting dilakukan pada survai sekunder. Harus
diteliti akan kemungkinan adanya darah dalam lumen rektum, prostat letak tinggi,
fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rektum dan tonus m. sfinkter ani. Pada wanita
pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah atau laserasi dalam
vagina. Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
7. Muskuloskeletal
Ekstermitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang
kurang jelas dapat ditegakkan dengan memeriksa adanya nyeri, krepitasi atau
gerakkan abnormal. Pada fraktur pelvis dilakukan tes kompresi pada kedua SIAS
dan simfisis osis pubis. Penilaian pulsasi dapat menentukan adanya gangguan
vaskular. Perlukaan berat pada ekstermitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.
Kerusakan ligamen dapat menyebabkan sendi tidak stabil. Kerusakan otot tendo
akan mengganggu pergerakkan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya
kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan saraf perifer atau iskemia
(termasuk karena sindrom kompartemen). Adanya fraktur torako lumbal dapat
diduga dari pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan pada bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini
hanya dapat didiagnosis dengan pemeriksaan ronsen.
8. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemakaian GCS baik
untuk pemantauan. Adanya paralisis atau paresis mungkin disebabkan kerusakan
kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisai penderita dengan short atau long
spine board, kolar servikal dan alat imobilisasi lai dilakukan sampai terbukti tidak
ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan
fiksasi kepala dan leher saja, sehingga penderita masih bisa bergerak dengan leher
sebagai sumbu. Jelaslah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi.
Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau
tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra
kranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis harus
diteliti ulang perfusi, oksigenasi dan ventilasi (ABC). Ahli bedah saraf akan
menentukan tindakan bagi perdarahan epidural, subdural atau fraktur kompresif.
Harus dilakukan evaluasi ulang secara kontinyu, sehingga gejala yang baru
timbul dapat dikenal, dan penurunan keadaan dapat ditangani secepatnya. Bila
pada saat awal masalah yang mengancam nyawa di tangani, maka masalah gawat
lainnya dapat timbul kemudian. Penyakit penyerta dapat menjadi manifest.
Kewaspadaan yang tinggi akan memungkinkan diagnosis dini dan terapi segera.
Penanganan rasa nyeri penting, namun harus diingat bahwa obat golongan opiat
dapat menyebabkan depresi pernafasan, menghilangkan gejala neurologis dan
menyebabkan kesulitan pemeriksaan kemudian. Dengan demikian, maka opiat
dan obat analgesik lain baru dipakai setelah konsultasi bedah selesai.
Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan adalah:
• CT scan kepala, abdomen
• USG abdomen, transoesofagus
• Foto ekstremitas
• Foto vertebra tambahan
• Urografi dengan kontras
• EKG
Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena pemerik-
saan tambahan biasanya dilakukan di ruangan lain. Monitoring tanda vital dan
keluaran urin penting. Produksi urin pada orang dewasa adalah sebaiknya 50
cc/jam, pada anak 1 cc/kg BB/jam. Bila penderita dalam keadaan kritis dapat
dipakai pulse oximetri dan End-tidal CO2 monitoring. Harus dipertimbangkan
kembali untuk rujukan penderita. Jika ada syok hipovolemik, diberikan obat ep-
inefrin 1 mg IV. Jika terjadi aritmia, diberikan lidocaine 1 – 1,5 mg/kgbb bolus iv.
3. Keadaan apa saja yang menyebabkan kesadaran menurun?

Jawab :

1. Pengertian

Penurunan kesadaran mempunyai berbagai derajat. Menurut Plum,


gangguan kesadaran yang maksimal (koma) didefinisikan sebagai
“unarousable unresponsiveness” yang berarti “the absence of any
psychologically understandable response to external stimulus or inner
need”, tiadanya respons fisiologis terhadap stimulus eksternal atau
kebutuhan dalam diri sendiri.(* Plum)

2. Etiologi

Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang


bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan singkat
tentang faktor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut:

a. Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum,


atau batang otak)

- Perdarahan, trombosis maupun emboli


- Mengingat insidensi stroke cukup tinggi maka
kecurigaan terhadap stroke pada setiap kejadian
gangguan kesadaran perlu digarisbawahi.

b. Infeksi: ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis,


serebritis/abses otak)

- Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur)


merupakan penyakit yang sering dijumpai di
Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran
yang disertai suhu tubuh meninggi perlu dicurigai
adanya ensefalomeningitis.

c. Gangguan metabolisme

- Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan


diabetes melitus sering dijumpai.

d. Neoplasma

- Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik,


sering di jumpai di Indonesia.

- Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan


usia dewasa dan lanjut.

- Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-


angsur namun progresif/ tidak akut.

e. Trauma kepala

- Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan


lalu-lintas.

f. Epilepsi
- Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan
status epileptikus

g. Intoksikasi

- Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan


bunuh diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.

h. Gangguan elektrolit dan endokrin

- Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan


“identitas”nya secara jelas; dengan demikian
memerlukan perhatian yang khusus agar
tidak terlupakan dalam setiap pencarian
penyebab gangguan kesadaran.
No Mekanisme Etiologi

- Overdosis obat, alcohol abuse


- Keracunan CO, gas anestesi
- Hipoglikemia, hiperglikemia
- Hipoksia, cedera otak iskemik
- Ensefalopati hipertensif
- Uremia berat
- Gagal hepatoselular
- Gagal napas dengan retensi CO2
- Hiperkalsemia, hipokalsemia
1 Disfungsi otak difus - Hiponatremia, hipernatremia
- Hipoadrenalisme, hipopituarisme, hipotiroidisme
- Asidosis metabolik
- Hipotermia, hipertermia
- Trauma kepala tertutup
- Epilepsi pascabangkitan umum
- Ensefalitis, malaria serebral, septikemia
- Perdarahan subaraknoid
- Gangguan metabolik lainnya (mis. porfiria)
- Edema otak karena hipoksia kronik

- Perdarahan atau infark


- Neoplasma misalnya glioma
Efek langsung di batang
2 - Demielinasi
otak
- Sindrom Wernicke-Korsakoff
- Trauma

-Tumor hemisfere, infark, abses, hematoma, ensefalitis


Tekanan terhadap ba-
3 atau trauma
tang otak
- Lesi masa di serebelum
4. Apa saja penyebab jejas?

Jawab :

Penyebab terjadinya jejas sel (cedera sel) :

1. Hipoksia (pengurangan oksigen) terjadi sebagai akibat dari :


a. Iskemia
Dapat terjadi bila aliran arteri atau aliran vena dihalangi oleh penyakit
vaskulerataubekuandidalamlumen.
b. Oksigenisasi tidak mencukupi karena kegagalan kardiorespirasi. Misalnya
pneumonia.
c. Hilangnya kapasitas pembawa oksigen darah misalnya anemia, keracunan
karbon monooksida.

Tergantung pada derajat keparahan hipoksi, sel-sel dapat menyesuaikan,


terkena jejas atau mati. Sebagai contoh, bila arteri femoralis menyempit, sel-sel
otot skelet tungkai akan mengisut ukurannya (atrofi). Penyusutan massa sel ini
mencapai keseimbangan antara kebutuhan metabolik dan perbekalan oksigen
yang tersedia. Hipoksi yang lebih berat tentunya akan menyebabkan jejas atau
kematian sel.

3. Faktor
a. Trauma fisik

Trauma mekanik dapat menyebabkan sedikit pergeseran tapi nyata, pada


organisasi organel intrasel atau pada keadaa lain yang ekstrem, dapat
merusak sel secara keseluruhan.

b. Suhurendah
Suhu rendah mengakibatkan vasokontriksi dan mengacaukan perbekalan
darah untuk sel. Jejas pada pengaturan vasomotor dapat disertai vasodilatasi,
bendungan aliran darah dan kadang-kadang pembekuan intravaskular. Bila suhu
menjadi cukup rendah aliran intrasel akan mengalami kristalisasi.

c. Suhu Tinggi

Suhu tinggi yag merusak dapat membakar jaringan, tetapi jauh sebelum
titik bakar ini dicapai, suhu yang meningkat berakibat jejas dengan akibat
hipermetabolisme. Hipermetabolisme menyebabkan penimbunan asam
metabolit yang merendahkan pH sel sehingga mencapai tingkat bahaya.

d. Radiasi
Kontak dengan radiasi secara fantastis dapat menyebabkan jejas, baik
akibat ionisasi langsung senyawa kimia yang dikandung dalam sel maupun karena
ionisasi air sel yang menghasilkan radikal “panas” bebas yang secara sekunder
bereaksi dengan komponen intrasel. Tenaga radiasi juga menyebabkan berbagai
mutasi yang dapat menjejas atau membunuh sel.

e. Tenaga Listrik

Tenaga listrik memancarkan panas bila melewati tubuh dan oleh karena itu
dapat menyebabkan luka bakar dan dapat mengganggu jalur konduksi saraf dan
berakibat kematian karena aritmi jantung.

3. Bahan kimia dan obat-obatan

Banyak bahan kimia dan obat-obatan yang berdampak terjadinya


perubahan pada beberapa fungsi vital sel, seperti permeabilitas selaput,
homeostasis osmosa atau keutuhan enzim dan kofaktor. Masing-masing agen
biasanya memiliki sasaran khusus dalam tubuh, mengenai beberapa sel dan tidak
menyerang sel lainnya. Misalnya barbiturat menyebabkan perubahan pada sel
hati, karena sel-sel ini yang terlibat dalam degradasi obat tersebut. Atau bila
merkuri klorida tertelan, diserap dari lambung dan dikeluarkan melalui ginjal dan
usus besar. Jadi dapat menimbulkan dampak utama pada alat-alat tubuh ini.
Bahan kimia dan obat-obatan lain yang dapat menyebabkan jejas sel :
a. Obat terapeotik misalnya, asetaminofen (Tylenol).

b. Bahan bukan obat misalnya, timbale dan alkohol.

4. Bahan penginfeksi atau mikroorganisme

Mikroorganisme yang menginfeksi manusia mencakup berbagai virus,


ricketsia, bakteri, jamur dan parasit. Sebagian dari organisme ini menginfeksi
manusia melalui akses langsung misalnya inhalasi, sedangkan yang lain
menginfeksi melalui transmisi oleh vektor perantara, misalnya melalui sengatan
atau gigitan serangga. Sel tubuh dapat mengalami kerusakan secara langsung oleh
mikroorganisme, melalui toksis yang dikeluarkannya, atau secara tidak langsung
akibat reaksi imun dan perandangan yang muncul sebagai respon terhadap
mikroorganisme.
5. Reaksi imunologik, antigen penyulut dapat eksogen maupun endogen.
Antigen endogen (misal antigen sel) menyebabkan penyakit autoimun.
6. Kekacauan genetik misalnya mutasi dapat menyebabkan mengurangi suatu
enzim kelangsungan.

7. Ketidakseimbangan nutrisi, antara lain :

a. Defisiensi protein-kalori

b. Avitaminosis.

c. Aterosklerosis, dan obesitas.

8. Penuaan.
5. Bagaimana hubungan jejas dengan kesadaran menurun?

Jawab:

Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua


hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi
kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun
fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai
tingkatan. Ascending Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian
atau network system yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral
yaitu diensefalon melalui brain stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan
ARAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke
subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat
kesadaran. Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter
kolinergik, monoaminergik dan gamma aminobutyric acid (GABA).
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri
termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending
reticular activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari
pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari
jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke
kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga
korteks serebri tetap sadar (awake).
Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan
kelainan yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang
merupakan manifestasi rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf
pada susunan saraf. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan
saraf pusat di mana kedua korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri terhadap
lingkungan atau input-input rangsangan sensoris, hal ini disebut juga sebagai
awareness.
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh
gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus,
hipotalamus maupun mesensefalon.
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni
gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi
(kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu
interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan
metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran. Fungsi dan metabolisme
otak sangat bergantung pada tercukupinya penyediaan oksigen. Adanya
penurunan aliran darah otak (ADO), akan menyebabkan terjadinya
kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen (O2) dari aliran darah. Apabila
ADO turun lebih rendah lagi, maka akan terjadi penurunan konsumsi oksigen
secara proporsional.
Pada penderita tidak sadar, tindakan awal yang seharusnya dinilai adalah
memastikan tingkat kesadarannya. Resiko-resiko yang potensial seperti adanya
benda berbahaya, kondisi lingkungan yang tidak stabil seharusnya dipertimbangkan
agar tidak memperburuk keadaan penderita. Penilaian tingkat kesadaran ini harus
dilakukan dengan cepat dan tidak perlu mendalam, yaitu dengan klasifikasi AVPU:
o A : Alert yang berarti sadar penuh yang ditunjukkan dengan membuka mata
spontan, menjawab pertanyaan dengan benar dan menggerakkan bagian tubuh
sebagaimana diperintahkan.
o V : Voice yang berarti korban berespon setelah diberikan rangsangan suara.
o P : Pain yang berarti korban berespon setelah diberikan rangsangan nyeri.
o U : Unresponsive yang berarti korban tidak berespon sama sekali.
Evaluasi dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) memang lebih
rinci tetapi memerlukan lebih banyak waktu sehingga bisa ditunda untuk tahap
evaluasi lebih lanjut, yaitu dissability.
Sebelum melakukan primary survey, yang pertama yang harus dilakukan adalah
menilai derajat trauma berdasarkan pemeriksaan pernapasan, perdarahan, dan
kesadaran. Pernapasan ditentukan berdasarkan frekuensinya, perdarahan dinilai
berdasarkan tekanan darah arterial, dan kesadaran dapat diukur berdasarkan skala
koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Glasgow Coma Scale
Nilai tertinggi : E + M + V = 13-15 (responsiveness)
Nilai Sedang : E + M + V = 9-12
Nilai Terendah : E + M + V = 3-8 (coma)

6. Apa saja diagnosis banding terkait skenario?


Jawab :
TRAUMA ABDOMEN

1. Anatomi Abdomen

Dinding abdomen terdiri daripada kulit, fascia superfiscialis,


lemak, otot-otot, fascia transversalis dan parietal peritoneum (Shaikh,
2014). Selain itu, posisi abdomen ada diantara toraks dan pelvis
(Moore, 2014)
Pada abdomen, terdapat empat kuadran yang dibahagi dari
bagian midline dan bagian transumbilical (Pansky, 2013)
Gambar 2.1 Kuadran empat bagian abdomen (Netter, 2014)

1) Bagian kanan atas: Hepar dan kantong empedu

2) Bagian kiri atas: Gastric dan limfa

3) Bagian kanan bawah: Cecum, ascending colon dan usus kecil

4) Bagian kiri bawah: Descending colon, sigmoid colon, dan usus


kecil

Menurut Singh (2014), bagian-bagian abdomen terbahagi kepada :

Gambar 2.2 Bagian-bagian abdomen (Pansky, 2013) hypocondriaca


dextraepigastrica
1) hypocondriaca sinistra
2) lateralis dextra
3) umbilicalis
4) lateralis sinistra
5) inguinalis dextra
6) pubica
7) inguinalis sinistra

Menurut Singh (2014),tempat organ abdomen adalah pada:

1) Hypocondriaca dextra meliputi organ: lobus kanan hepar,


kantung empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon,
sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.

2) epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas


dan sebagian hepar.
3) hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian
kaudal pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal
kiri dan kelenjar suprarenal kiri.

3) lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal


ginjal kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
4) Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian
bawah duodenum, jejenum dan ileum.
5) Lateralis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal
ginjal kiri, sebagian jejenum dan ileum.
6) Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal
ileum dan ureter kanan.
7) Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
8) Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan
ovarium kiri.

2. Definisi
Kata trauma ini berasal dari kata Yunani untuk luka sehingga defin-
isi sederhana adalah bahwa trauma adalah cedera yang dihasilkan dari
kekuatan fisik eksternal (Hamilton, 2013). Trauma abdomen didefinisikan
sebagai trauma yang melibatkan daerah antara diaphragma atas dan
panggul bawah (Guilon, 2011).

3. Klasifikasi dan Etiologi


Menurut Smith et. al (2011) trauma abdomen diklasifikasikan
menjadi dua menjadi trauma tumpul dan trauma tajam.
a) Trauma tumpul
Etiologi
Trauma tumpul paling banyak disebabkan oleh kecel-
akaan ataupun motor vehicle collisions(MCVs). Daripada itu, ke-
celakaan antara kenderaan dengan kenderaan dan kenderaan
dengan pejalan kaki telah menyebabkan 50-70 % daripada
trauma ini. Penyebab trauma tumpul yang lain adalah kecel-
akaan di tempat industri ataupun kecelakaan rekreasi. Antara
penyebab trauma tumpul yang jarang berlaku adalah iatrogenic
trauma apabila melakukan cardiopulmonary resusitasi dan
melakukan Heimlich maneuver (Legome, 2014).

Mekanisme
Terdapat empat mekanisme untuk trauma tumpul :
- Tenaga kompresi (hantaman)
Kompresi external dari arah lateral atau antero-posterior
akan menggangu organ yang terfiksasi pada bagian rongga
perut. Organ- organ yang berada pada peritoneal seperti
hepar, limpa dan duodenojejunal (DJ) flexure rentan ter-
hadap trauma seperti ini karena ia berada pada bagian visera
retroperitoneal. Ruptur langsung juga bisa terjadi jika ber-
laku pendarahan.
- Shearing
Pasokan pada abdomen dengan tenaga deselerasi dan
akselerasi akan menyebabkan organ bergerak dan dirobek
dan ini akan menyebabkan pendarahan yang signifikan ban-
yak.
- Bursting
Kompresi external ke rongga perut akan menghasilkan
peningkatan pada tekanan intra abdominal dan pada lumen
organ yang berongga dan akan menyebabkan efek bursting.
Bagian yang paling rentan kepada bursting adalah pada ba-
gian oesophagogastric pada kasus ruptur diaphragma.
- Penetrasi
Cedera tumpul ke tulang panggul, tulang belakang lum-
bosakral, atau tulang rusuk dapat menghasilkan spikula tu-
lang yang menembus kedua organ berongga dan pada.

- Cedera khusus
a) Diafragma
Cedera ataupun robekan pada diafragma terjadi
pada bagian-bagian tertentu ataupun pada kedua-dua di-
afragma. Bagian yang paling sering cedera adalah pada
bagian kiri dan juga sering disebabkan oleh bursting. Bi-
asanya pada luka tusuk, bagian diafragma mempunyai
potensi untuk cedera. Cedera pada bagian ini disebabkan
oleh trauma tumpul ataupun trauma tembus. Selain itu,
cedera diafragma dapat terjadi dalam arah yang berla-
wanan dengan tempat terjadi tembusan dari bagian
thorax kepada bagian abdomen. Lebih dari setengah dari
kasus trauma pada bagian diafragma akan berkaitan
dengan cedera pada hepar dan haemopneumothoraks.

b) Hati
Walaupun dilindungi oleh iga kanan, hati merupa-
kan organ yang paling sering mengalami kecederaan da-
lam kasus trauma abdomen. Pada kasus trauma tumpul,
kompresi dan shearing merupakan faktor paling domi-
nan dalam mekanisme kecelakaan. Hati diselaputi oleh
kapsul fibrosa dan diikat pada dinding abdomen oleh lig-
amentum falciform. Apabila mengalami tekanan atau-
pun kompresi, paling sering di iga bawah, hati tidak dapat
dilindungi sehingga menyebabkan terjadinya laserasi
pada parenkim.

c) Limfa
Kebanyakan kecederaan pada limfa sama seperti
kecederaan di hati. Walaupun berada pada posisi yang
dilindungi oleh iga, limfa sering mengalami kecederaan
disebabkan oleh trauma tumpul. Kecederaan pada limfa
paling sering disebabkan oleh motor vehicle
crashes(MVCs), dan kecelakaan olahraga dan ruptur
secara langsung juga menjadi penyebab.

d) Ginjal
Ginjal selalunya dilindungi di bagian retroperito-
neum dan hanya terjadi kecederaan jika mengalami
trauma yang berat (cedera pada bagian ginjal hanya ber-
laku sebanyak kira-kira 10% dari kasus trauma abdo-
men). Cedera daripada kompresi haruslah dengan
kekuatan yang tinggi karena perlindungan yang terdapat
pada bagian tersebut adalah dari dinding abdomen yang
posterior tetapi rentan kepada cedera deselerasi. Kasus
yang menyebabkan kecederaan pada ureter atas juga ja-
rang terjadi (Nerli dan Patil dan Devaraju dan Hiremath,
2015).

e) Pankreas
Kebanyakan cedera pada pancreas umumnya
disebabkan oleh trauma tumpul, dan mekanismenya
adalah melalui kompresi. Trauma ini disebabkan oleh
kompresi apabila pemandu kenderaan mengalami
hentaman pada bagian torso pada kemudi mobil, dan
menghancurkan pancreas (Smith et,al,2011)
f) Perut
Cedera pada bagian ini umumnya sering terjadi
karena trauma tembus daripada trauma tajam. Pada ka-
sus trauma tumpul, kenaikan tekanan intra abdominal
akan menyebabkan bursting dan pada gastro-esophageal
junction terjadi shearing (Smith et at, 2011). Gastric rup-
ture juga terjadi tetapi jarang (Hermosa Jl, 2008).
Gejala Klinis
Gejala klinis untuk trauma tumpul adalah nyeri abdomen,
iritasi peritoneal, dan sehingga terjadi shock hipovolemik
(Schaider, 2012). Selain itu, bisa kelihatan Cullen’s sign, dan Grey
Turner’s sign pada abdomen dan pada bahu terdapat Kehr’s sign
(Queensland Ambulance Service, 2015).

Diagnosa

- Anamnesis
Mekanisme cedera harus dieksplorasi seperti posis jatuh,
asal ketinggian, jenis alat yang melukai, kecepatan dan se-
bagainya

- Pemereriksaan Fisis:
 Kadang-kadang dijumpai jejas di dinding abdomen
 Tanda rangsangan peritoneum: nyeri tekan, nyeri ketok,
nyeri lepas, dan defans muscular.
 Darah atau cairan yang cukup banyak dapat dikenali dengan
shifting dullness sedangkan udara bebasdapat deketahui
dengan beranjaknya pekak hati
 Bising usus dapat melemah atau menghilang
 Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan curiga
trauma usus.

- Pemeriksaan Penunjang
 Darah perifer lengkap: tanda infeksi dan pendarahan
 Urinalisis dapat dilakukan untuk menunjang kemungkinan
diagnosis cedera saluran kemih
 Roentfen abdomen 3 posisi digunakan untuk mengetahui
adanya udara bebas
 Sistogram dan IVP apabila dicurigau trauma saluran kemih
 Roentgen toraks: pneumoperitonium, isi abdomen(ruptur
hemidiafragma) atau fraktur iga bawah yang menandakan
kemungkinan cedera limpa dan hepar.
 USG: melihat adanya cairan intraperitoenal bebas seperti
pada region spesifik kantong Morison, kuadran kiri atas dan
pelvis.
 CT scan digunakan untuk melihat cedera pada organ seperti
ginjal, derajat cedera hati dan limpa terutama pada pasien
yang memiliki hemodinamik stabil
 Bilasan rongga perut(peritoneal lavage) diagnostic dapat dil-
akukan apabila tidak terdapat indikasi laparotomi yang jelas,
kondisi pasien hipotensi atau syok. Bilasan dilakukan
dengan memasukan cairan garam fisiologis hingga 1000mL
melalui kanul setelah sebelumnnya pada pengisipan tidak
ditemukan cairan. Kriteria standar hasil positif pada trauma
tumpul adalah aspirasi minimal 10 mL darah, cairan keme-
rahan, ditemukan eritrosit >100.000/mm3, leukosit
>500/mm3, amylase >175 IU/dL atau terdapat bakteri,
cairan empedu, serat makanan.
 Ultrasound FAST akan memberikan cara yang cepat, nonin-
vasive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperito-
neum. Ini juga dapat dilakukan sebagai bedside diagnostic di
kamar resusitasi. Sesudah scan pertama dilakukan, scan
kedua dilakukan lagi idealnya atau scan control 30 menit
berikut. Scan kontrol ditujukan untuk melihat pertambahan
hemoperitoneum pada pasien dengan pendarahan yang
berangsur-angsur (Eastern Association for the Surgery of
trauma, 2001)
Berikut adalah algoritme untuk mendiagnostik trauma tumpul
abdomen

Gambar 2.3. Algoritme diagnosa trauma tumpul abdomen


(Butt, Zacharias dan Velmahos, 2009)

5) Penatalaksanaan

Menurut Adams, et al. (2005), pasien tidak stabil yang hipo-


tensif atau takikardi, haruslah memasang jalur infus intravena dan
pasien juga harus mendapat resusitasi cairan iaitu cristaloid. Na-
sogastric tube (NGT) atau orogastric tube (OGT) juga haruslah
dipasang pada pasien kasus ini. Selepas memastikan tidak ada
trauma pada ureter, Foley catheter haruslah dipasangkan. Jika re-
susitasi cristaloid tidak dapat memperbaikan keadaan hae-
modinamik, pemberian darah haruslah dilakukan secepat mung-
kin. Pasien dengan hemodinamiknya tidak stabil, seperti trauma
pada dinding usus dan eccymosis pada dinding abdomen, operasi
harus dilakukan secepat mungkin. Untuk pasien yang tidak stabil
terutama pada pasien trauma multisistem, DPL ataupun pemerik-
saan FAST harus dilakukan.

Untuk pasien stabil dengan trauma tumpul, terdapat be-


berapa faktor untuk menangani kasus tersebut. Pasien dengan
trauma abdomen yang tumpul dan sadar dapat dilakukan be-
berapa pemeriksaan pada departmen emergensi atau di hospital.
Pasien dengan trauma tumpul abdomen dan positif terjumpa
trauma yang lain atau cedera pada bagian retroperitoneal harus-
lah dilakukan CT abdomen. Pasien juga haruslah diikuti dengan
USG, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan hematokrit. Ct dapat
menentukan jika terdapat cedera yang harus ditataksana secara
nonoperatif .

CT pada pasien dengan tes negatif pada FAST dapat men-


gidentifikasi luka pada bagian lain seperti trauma usus. Selain itu,
CT dapat mengidentifikasi cedera pada bagian retroperitoneum,
pelvis, vertebra dan bagian bawah dada

5) Gejala Klinis

Trauma tajam akan menyebabkan hilangnya seluruh atau


sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, pendarahan, dan
nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dind-
ing perut (Smith, et al, 2010).

6) Diagnosa
a) Anamnesis/Mekanisme trauma tembus perlu ditanyakan dengan
keterangan selengkap mungkin seperti senjata yang melukai,
arah tusukan atau bagaimana terjadinya kecelakaan (Wibisono
dan Jeo, 2014 ). Juga ditanyakan untuk mengetahui organ intra
abdominal yang berpotensi mengalami trauma (Smith, et al,
2010).

b) Pemeriksaan Fisis:
 Inspeksi abdomen: jejas di dinding perut
 Tanda-tanda peritonitis, sepsis, syok, dan penurunan
kesadaran.
Perforasi di daerah atas(misalnya lambung): perangsangan
segera terjadi dan timbul peritonitis hebat
Perforasi organ pencernaan yang lebih distal; perangsangan
peritoneum memerlukan waktu karena mikroorganisme bu-
tuh waktu untuk berkembang biak.
 Colok dubur apabila dicuragai cedera anorektal;
 Adanya eviserasi pada usus omentum.

c) Pemeriksaan Penunjang :
- Darah perifer lengkap: tanda anemia dan infeksi (leukosito-
sis);
- Ultrasonografi untuk menemukan adanya cedera organ cairan
intraperitoneal dan pendarahan.
- CT-scan pada kasus yang lebih stabil untuk menunjang tata
laksana berikutnya (Wibisono, et al, 20).
- Untuk pasien unstable, USG harus dilakukan secepat mung-
kin sebagain primary survey(circulation). FAST yang positif
menunjukkan bahwa terdapat pendarahan intraabdominal dan
ini menyebabkan hipotensi.
- Untuk pasien stable, terdapat tiga cara untuk mendiag-
nosa:/US: Screening awal boleh dilakukan untuk pasien he-
modinamik stabil.
 Diagnostik peritoneal lavage (Schaider, et al, 2012).

8) Penatalaksanaan
Pasien trauma abdomen tajam yang harus dilakukan
tatalaksana secara non operatif haruslah berdasarkan dua faktor
iaitu stabil secara haemodinamik dan negatif peritonitis. Semua
bagian yang cedera haruslah dieksplorasi terlebih dahulu dan jika
ia menembus peritoneum, tindakan lapratomi haruslah dilakukan
(Butt, et al, 2009). Menurut Gonzalez (2001), apabila ada prolaps
visera, peritonitis, syok, terdapat darah dalam lambung, lavase
peritoneal yang positif merupakan indikasi untuk melakukan lapa-
rotomi.
TRAUMA CAPITIS
A. Definisi
Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan
otak dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial
atau sebagai gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi
otak. (Black, 1997)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tu-
lang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala.
B. Etiologi
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan
C. Patofisiologi :
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan Oksigen dan Glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan
aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak
tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glu-
kosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi
cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pem-
buluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi pen-
imbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asi-
dosis metabolik.Dalam keadaan normal cerebal blood flow (CBF) adalah 50–60
ml/menit/100gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypi-
cal-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom
pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi
atrium dan ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, di-
mana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan ber-
kontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah
arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

D. Manifestasi Klinis
1. Cedera Kepala Ringan
1) cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tadak pingsan, tidak
muntah, tidak ada tanda-tanda neurology.
2) Komusio serebri ditandai denga tidak sadar kurang dari 10 menit, muntah, nyeri
kepala, tidak ada tanda-tanda neurology.
2. Cedera Kepala Sedang
Ditandai dengan pingsan lebih dari 10 menit, muntah, amnesia, dan tanda-tanda
neurology.
3. Cedera Kepala Berat
1) laserasi serebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulan-bulan, ke-
lumpuhan anggota gerak, biasanya disertai fraktur basis kranii.
2) Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-sebentar kemudian sadar
lagi namun beberapa saat pingsan lagi, mata sembab, pupil anisokor, bradikardi,
tekanan darah dan suhu meningkat.
3) Perdarahan subdural ditandai dengan perubahan subdural, nyeri kepala, TIK
meningkat, lumpuh

E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel
pergeseran cairan otak.
2. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.EEG : memperlihatkan
keberadaan/ perkembangan gelombang.
4. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran
struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
5. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak..
6. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada
otak.
7. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
8. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
10. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
11.Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

F. Penatalaksanaan
1. Penaganan terhadap 5B yaitu :
1) Breathing : Bebaskan obstruksi, suction, intubasi, trakeostomi
2) Blood : Monitor TD, pemeriksaan Hb, leukosit
3) Brain : Ukur GCS
4) Bladder : Kosongkan bladder karena urine yang penuh dan merangsang
mengedan.
5) Bower : Kosongkan dengan alasan dapat meningkatkan TIK

2. Penatalaksanaan Medik
1) Konservatif
a) Istirahat baring di tempat tidur.
b) Analgetik untuk mengurangi rasa sakit.
c) Pemberian obat penenang
d) Pemberian obat gol osmotic diuretic ( manitol). Untuk mengatasi edema
serebral.
e) Setelah keluhan-keluhan hilang, maka mobilisasi dapat dilakukan secara ber-
tahap, dimulai dengan duduk di tempat tidur, berdiri lalu berjalan.
2) Operatif
Operasi hanya dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti pada perdarahan epidural
dan perdarahan subdural dengan maksud menghentikan perdarahan dan memper-
baiki fraktur terbuka jaringan otak yang menonjol keluar, atau pada fraktur dimana
fragmen-fragmen tulang masuk ke jaringan otak
G. Komplikasi
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini,
minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik
DAFTAR PUSTAKA

Advance Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. (2004). Edisi 7. Jakarta:
IKABI

Departemen Kesehatan R.I. (2006). Seri PPGD, Penanggulangan penderita gawat


darurat/general emergency life support (GELS). Sistem Penanggulangan goat da-
rurat terpadu (SPGDT). Cetakan ketiga. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan R.I.

Aster, K. A. (2015). Buku Ajar Patologi Robbins (9 ed.). Singapore: Elsevier.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
EGC

Sherwood Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke sistem. Edisi 6. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai