MODUL
PENURUNAN KESADARAN
KASUS I
Perempuan 21 tahun dibawa ke Puskesmas dalam keadaan tidak sadar. Setelah
diletakkan di tempat tidur dan diperiksa, penderita tidak memberi respon dan tetap
mendengkur dengan irama napas 40 kali/menit. Muka kelihatan pucat, nadi radial
tidak teraba. Ditemukan jejas pada daerah pelipis kanan, bahu kanan, dan perut kiri
bawah. Dari beberapa orang yang mengantar tidak satupun yang tinggal dan dapat
memberi keterangan tentang keadaan dan apa yang terjadi pada penderita tersebut.
KATA KUNCI
Perempuan 21 tahun
Keadaan tidak sadar
Tidak members respond
Mendengkur dengan irama napas 40x/menit
Muka pucat
Nadi radial tidak teraba
Jejas pada daerah pelipis kanan, bahu kanan dan perut kiri bawah.
PERTANYAAN
1. Bagaimana penatalaksanaan awal pada pasien?
Jawab :
Survey ABCDE
a. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas
dengan bebas ? Jika ada obstruksi maka lakukan :
• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
b. Breathing
c. Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah
jalan nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka
lakukan :
d. Disability
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua
cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang
belakang, maka imobilisasi in-line harus dikerjakan.
A. Langkah-langkah
• Suara berkumur
• Apnea
• Hipoksia
Sianosis .
Flail chest .
Sucking wounds .
Catatan Khusus
Jenis-jenis syok :
• Kontusioo miokard
• Tamponade jantung
• Pneumotoraks tension
Jawab :
Secondary Survey dilakukan hanya setelah survai primer telah selesai, resusitasi
dilakukan dan ABC-nya penderita dipastikan. Secondary Survey adalah
pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe examination), termasuk
pemeriksaan tanda vital. Pada penderita yang tidak sadar atau gawat,
kemungkinan untuk luput mendiagnosis cukup besar. Pada Secondary Surveyini
dilakukan pemeriksaan neuorologis lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila
belum dilakukan dalam survai primer. Pada Secondary Surveyini juga dikerjakan
foto ronsen yang diperlukan.
Prosedur khusus seperti lavase peritoneal, evaluasi radiologis dan
pemeriksaan laboraorium dikerjakan juga pada kesempatan ini. Secondary
Surveyini juga telah disebut sebagai “tubes in every orifice”.
A. Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai
riwayat perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapat dari penderita
sendiri, dan harus didapat dari petugas lapangan atau keluarga. Riwayat AMPLE
patut diingat :
A : Alergic (Alergi)
M : Medication (Medikasi sebelumnya)
P : Past illness (riwayat penyakit)
L : Last meal
E : Event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kejadian
perlukaan)
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Petugas
lapangan seharusnya melaporkan mekanisme perlukaan. Jenis perlukaan dapat
diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
Secondary Survey dimulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala dan
kepalan harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena
kemungkinan edema akan terjadi beberapa saat kemudian, mata harus diperiksa
akan adanya :
a. Acies visus
b. Ukuran pupil
c. Perdarahan konjungtiva dan fundus
d. Luka tembus pada mata
e. Lensa kontak (ambil sebelum terjadi edema)
f. Dislocatio lentis
Acies visus dapat diperiksa dengan membaca gambar Snellen, atau membaca
huruf pada botol infus atau bungkus perban.
2. Maksilo fasial
Trauma maksilo fasial tanpa gangguan jalan nafas atau tanpa perdarahan
hebat, baru dikerjakan setelah penderita stabil sepenuhnya. Pengelolaan defenitif
dapat ditunda dengan aman. Penderita dengan luka pada wajah bagian tengah
mungkin ada fraktur juga pada lamina cribrosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter
lambung harus melalui jalan oral.
3. Vertebra servikalis dan leher
Penderita dengan trauma kapitis atau maksilo fasial dianggap ada fraktur
servikal atau ada kerusakan ligamentous servikal; pada servikal kemudian
dilakukan immobilisasi sampai vertebra servikal telah diteliti. Tidak adanya
kelainan neurologis tidak menyingkirkan adanya fraktur servikal, dan tidak adanya
fraktur servikal hanya ditegakkan dengan pemeriksaan ronsen servikal selesai.
Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi. Nyeri daerah vertebra
servikalis, emfisema subkutan, deviasi trachea, dan fraktur larynx dapat
ditemukan pada pemeriksaan yang teliti. Dilakukan palpasi dan auskultasi pada
arteri carotis. Adanya jejas pada a. carotis harus dicatat karena kemungkinan
adanya perlukaan pada arteri carotis. Penyumbatan atau diseksi a. carotis dapat
terjadi secara lambat, tanpa gejala dini.
4. Thoraks
Inspeksi akan menunjukan adanya flail chest, hemothorax, atau
pneumothorax. Palpasi harus dilakukan pada setiap iga dan klavikula. Penekanan
pada sternum dapat mengakibatkan nyeri bila ada fraktur sternum atau ada
costochondral separation. Kontusio dan hematoma pada pada dinding dada
mungkin disertai kelainan dalan rongga thoraks. Kelainan berat thoraks akan
disertai nyeri dan atau dipsnoe. Evaluasi bagian dalam toraks dapat dilakukan
dengan auskultasi disusul foto toraks. Bising nafas diperiksa pada bagian atas
toraks untuk menentukan pneumothrax dan bagian posterior untuk menentukan
hemothorax. Auskultasi mungkin sulit bila lingkungan berisik, tetapi sangat
bermanfaat. Bunyi jantung yang lemah disertai nadi yang kecil mungkin
disebabkan temponade jantung. Adanya temponade jantung atu tension
pneumothorax dapat terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis, walaupun
adanya ahipovolemia akan meniadakan tanda ini. Melemahnya bising nafas
disertai syok mungkin satu - satunya tanda akan adanya tension pneumothorax,
yang menandakan perlunya dekompresi segera. Dekompresi dengan jantung
besar disusul WSD. Foto toraks dapat menunjukan adanya hemato atau
pneumothorax. Mungkin ada fraktur iga yang tidak terlihat pada foto toraks.
Mediastinum yang melebar atau penyimpangan NGT ke arah kanan dapat
merupakan tanda ruptur aorta.
5. Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Diagnosis tepat tidak
perlu dibutuhkan, yang penting adalah adanya indikasi untuk operasi segera.
Penemuan normal pada pemeriksaan abdomen pada saat baru datang, tidak
menyingkirkan diagnosis perlukaan abdomen, karena gejala mungkin timbul agak
lambat. Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi ketat, kalau bisa oleh
petugas yang sama. Diperlukan konsultasi dengan ahli bedah.
Penderita dengan hipotensi sebab tidak jelas, kelainan neourologis,
gangguan kesadaran karena alkohol dan/atau obat dan penemuan pemeriksaan
abdomen yang meragukan, harus dipertimbangkan diagnostik peritoneal lavage
(DPL). Fraktur iga - iga bawah atau pelvis dapat menyulitkan pemeriksaan, karena
nyeri dari daerah ini akan mempersulit palpasi abdomen.
6. Perineum / rectum / vagina.
Perineum diperiksa akan adanya kontusio, hematoma, laserasi, dan
perdarahan uretra. Colok dubur penting dilakukan pada survai sekunder. Harus
diteliti akan kemungkinan adanya darah dalam lumen rektum, prostat letak tinggi,
fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rektum dan tonus m. sfinkter ani. Pada wanita
pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah atau laserasi dalam
vagina. Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
7. Muskuloskeletal
Ekstermitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang
kurang jelas dapat ditegakkan dengan memeriksa adanya nyeri, krepitasi atau
gerakkan abnormal. Pada fraktur pelvis dilakukan tes kompresi pada kedua SIAS
dan simfisis osis pubis. Penilaian pulsasi dapat menentukan adanya gangguan
vaskular. Perlukaan berat pada ekstermitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.
Kerusakan ligamen dapat menyebabkan sendi tidak stabil. Kerusakan otot tendo
akan mengganggu pergerakkan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya
kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan saraf perifer atau iskemia
(termasuk karena sindrom kompartemen). Adanya fraktur torako lumbal dapat
diduga dari pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan pada bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini
hanya dapat didiagnosis dengan pemeriksaan ronsen.
8. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemakaian GCS baik
untuk pemantauan. Adanya paralisis atau paresis mungkin disebabkan kerusakan
kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisai penderita dengan short atau long
spine board, kolar servikal dan alat imobilisasi lai dilakukan sampai terbukti tidak
ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan
fiksasi kepala dan leher saja, sehingga penderita masih bisa bergerak dengan leher
sebagai sumbu. Jelaslah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi.
Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau
tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra
kranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis harus
diteliti ulang perfusi, oksigenasi dan ventilasi (ABC). Ahli bedah saraf akan
menentukan tindakan bagi perdarahan epidural, subdural atau fraktur kompresif.
Harus dilakukan evaluasi ulang secara kontinyu, sehingga gejala yang baru
timbul dapat dikenal, dan penurunan keadaan dapat ditangani secepatnya. Bila
pada saat awal masalah yang mengancam nyawa di tangani, maka masalah gawat
lainnya dapat timbul kemudian. Penyakit penyerta dapat menjadi manifest.
Kewaspadaan yang tinggi akan memungkinkan diagnosis dini dan terapi segera.
Penanganan rasa nyeri penting, namun harus diingat bahwa obat golongan opiat
dapat menyebabkan depresi pernafasan, menghilangkan gejala neurologis dan
menyebabkan kesulitan pemeriksaan kemudian. Dengan demikian, maka opiat
dan obat analgesik lain baru dipakai setelah konsultasi bedah selesai.
Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan adalah:
• CT scan kepala, abdomen
• USG abdomen, transoesofagus
• Foto ekstremitas
• Foto vertebra tambahan
• Urografi dengan kontras
• EKG
Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena pemerik-
saan tambahan biasanya dilakukan di ruangan lain. Monitoring tanda vital dan
keluaran urin penting. Produksi urin pada orang dewasa adalah sebaiknya 50
cc/jam, pada anak 1 cc/kg BB/jam. Bila penderita dalam keadaan kritis dapat
dipakai pulse oximetri dan End-tidal CO2 monitoring. Harus dipertimbangkan
kembali untuk rujukan penderita. Jika ada syok hipovolemik, diberikan obat ep-
inefrin 1 mg IV. Jika terjadi aritmia, diberikan lidocaine 1 – 1,5 mg/kgbb bolus iv.
3. Keadaan apa saja yang menyebabkan kesadaran menurun?
Jawab :
1. Pengertian
2. Etiologi
c. Gangguan metabolisme
d. Neoplasma
e. Trauma kepala
f. Epilepsi
- Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan
status epileptikus
g. Intoksikasi
Jawab :
3. Faktor
a. Trauma fisik
b. Suhurendah
Suhu rendah mengakibatkan vasokontriksi dan mengacaukan perbekalan
darah untuk sel. Jejas pada pengaturan vasomotor dapat disertai vasodilatasi,
bendungan aliran darah dan kadang-kadang pembekuan intravaskular. Bila suhu
menjadi cukup rendah aliran intrasel akan mengalami kristalisasi.
c. Suhu Tinggi
Suhu tinggi yag merusak dapat membakar jaringan, tetapi jauh sebelum
titik bakar ini dicapai, suhu yang meningkat berakibat jejas dengan akibat
hipermetabolisme. Hipermetabolisme menyebabkan penimbunan asam
metabolit yang merendahkan pH sel sehingga mencapai tingkat bahaya.
d. Radiasi
Kontak dengan radiasi secara fantastis dapat menyebabkan jejas, baik
akibat ionisasi langsung senyawa kimia yang dikandung dalam sel maupun karena
ionisasi air sel yang menghasilkan radikal “panas” bebas yang secara sekunder
bereaksi dengan komponen intrasel. Tenaga radiasi juga menyebabkan berbagai
mutasi yang dapat menjejas atau membunuh sel.
e. Tenaga Listrik
Tenaga listrik memancarkan panas bila melewati tubuh dan oleh karena itu
dapat menyebabkan luka bakar dan dapat mengganggu jalur konduksi saraf dan
berakibat kematian karena aritmi jantung.
a. Defisiensi protein-kalori
b. Avitaminosis.
8. Penuaan.
5. Bagaimana hubungan jejas dengan kesadaran menurun?
Jawab:
1. Anatomi Abdomen
2. Definisi
Kata trauma ini berasal dari kata Yunani untuk luka sehingga defin-
isi sederhana adalah bahwa trauma adalah cedera yang dihasilkan dari
kekuatan fisik eksternal (Hamilton, 2013). Trauma abdomen didefinisikan
sebagai trauma yang melibatkan daerah antara diaphragma atas dan
panggul bawah (Guilon, 2011).
Mekanisme
Terdapat empat mekanisme untuk trauma tumpul :
- Tenaga kompresi (hantaman)
Kompresi external dari arah lateral atau antero-posterior
akan menggangu organ yang terfiksasi pada bagian rongga
perut. Organ- organ yang berada pada peritoneal seperti
hepar, limpa dan duodenojejunal (DJ) flexure rentan ter-
hadap trauma seperti ini karena ia berada pada bagian visera
retroperitoneal. Ruptur langsung juga bisa terjadi jika ber-
laku pendarahan.
- Shearing
Pasokan pada abdomen dengan tenaga deselerasi dan
akselerasi akan menyebabkan organ bergerak dan dirobek
dan ini akan menyebabkan pendarahan yang signifikan ban-
yak.
- Bursting
Kompresi external ke rongga perut akan menghasilkan
peningkatan pada tekanan intra abdominal dan pada lumen
organ yang berongga dan akan menyebabkan efek bursting.
Bagian yang paling rentan kepada bursting adalah pada ba-
gian oesophagogastric pada kasus ruptur diaphragma.
- Penetrasi
Cedera tumpul ke tulang panggul, tulang belakang lum-
bosakral, atau tulang rusuk dapat menghasilkan spikula tu-
lang yang menembus kedua organ berongga dan pada.
- Cedera khusus
a) Diafragma
Cedera ataupun robekan pada diafragma terjadi
pada bagian-bagian tertentu ataupun pada kedua-dua di-
afragma. Bagian yang paling sering cedera adalah pada
bagian kiri dan juga sering disebabkan oleh bursting. Bi-
asanya pada luka tusuk, bagian diafragma mempunyai
potensi untuk cedera. Cedera pada bagian ini disebabkan
oleh trauma tumpul ataupun trauma tembus. Selain itu,
cedera diafragma dapat terjadi dalam arah yang berla-
wanan dengan tempat terjadi tembusan dari bagian
thorax kepada bagian abdomen. Lebih dari setengah dari
kasus trauma pada bagian diafragma akan berkaitan
dengan cedera pada hepar dan haemopneumothoraks.
b) Hati
Walaupun dilindungi oleh iga kanan, hati merupa-
kan organ yang paling sering mengalami kecederaan da-
lam kasus trauma abdomen. Pada kasus trauma tumpul,
kompresi dan shearing merupakan faktor paling domi-
nan dalam mekanisme kecelakaan. Hati diselaputi oleh
kapsul fibrosa dan diikat pada dinding abdomen oleh lig-
amentum falciform. Apabila mengalami tekanan atau-
pun kompresi, paling sering di iga bawah, hati tidak dapat
dilindungi sehingga menyebabkan terjadinya laserasi
pada parenkim.
c) Limfa
Kebanyakan kecederaan pada limfa sama seperti
kecederaan di hati. Walaupun berada pada posisi yang
dilindungi oleh iga, limfa sering mengalami kecederaan
disebabkan oleh trauma tumpul. Kecederaan pada limfa
paling sering disebabkan oleh motor vehicle
crashes(MVCs), dan kecelakaan olahraga dan ruptur
secara langsung juga menjadi penyebab.
d) Ginjal
Ginjal selalunya dilindungi di bagian retroperito-
neum dan hanya terjadi kecederaan jika mengalami
trauma yang berat (cedera pada bagian ginjal hanya ber-
laku sebanyak kira-kira 10% dari kasus trauma abdo-
men). Cedera daripada kompresi haruslah dengan
kekuatan yang tinggi karena perlindungan yang terdapat
pada bagian tersebut adalah dari dinding abdomen yang
posterior tetapi rentan kepada cedera deselerasi. Kasus
yang menyebabkan kecederaan pada ureter atas juga ja-
rang terjadi (Nerli dan Patil dan Devaraju dan Hiremath,
2015).
e) Pankreas
Kebanyakan cedera pada pancreas umumnya
disebabkan oleh trauma tumpul, dan mekanismenya
adalah melalui kompresi. Trauma ini disebabkan oleh
kompresi apabila pemandu kenderaan mengalami
hentaman pada bagian torso pada kemudi mobil, dan
menghancurkan pancreas (Smith et,al,2011)
f) Perut
Cedera pada bagian ini umumnya sering terjadi
karena trauma tembus daripada trauma tajam. Pada ka-
sus trauma tumpul, kenaikan tekanan intra abdominal
akan menyebabkan bursting dan pada gastro-esophageal
junction terjadi shearing (Smith et at, 2011). Gastric rup-
ture juga terjadi tetapi jarang (Hermosa Jl, 2008).
Gejala Klinis
Gejala klinis untuk trauma tumpul adalah nyeri abdomen,
iritasi peritoneal, dan sehingga terjadi shock hipovolemik
(Schaider, 2012). Selain itu, bisa kelihatan Cullen’s sign, dan Grey
Turner’s sign pada abdomen dan pada bahu terdapat Kehr’s sign
(Queensland Ambulance Service, 2015).
Diagnosa
- Anamnesis
Mekanisme cedera harus dieksplorasi seperti posis jatuh,
asal ketinggian, jenis alat yang melukai, kecepatan dan se-
bagainya
- Pemereriksaan Fisis:
Kadang-kadang dijumpai jejas di dinding abdomen
Tanda rangsangan peritoneum: nyeri tekan, nyeri ketok,
nyeri lepas, dan defans muscular.
Darah atau cairan yang cukup banyak dapat dikenali dengan
shifting dullness sedangkan udara bebasdapat deketahui
dengan beranjaknya pekak hati
Bising usus dapat melemah atau menghilang
Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan curiga
trauma usus.
- Pemeriksaan Penunjang
Darah perifer lengkap: tanda infeksi dan pendarahan
Urinalisis dapat dilakukan untuk menunjang kemungkinan
diagnosis cedera saluran kemih
Roentfen abdomen 3 posisi digunakan untuk mengetahui
adanya udara bebas
Sistogram dan IVP apabila dicurigau trauma saluran kemih
Roentgen toraks: pneumoperitonium, isi abdomen(ruptur
hemidiafragma) atau fraktur iga bawah yang menandakan
kemungkinan cedera limpa dan hepar.
USG: melihat adanya cairan intraperitoenal bebas seperti
pada region spesifik kantong Morison, kuadran kiri atas dan
pelvis.
CT scan digunakan untuk melihat cedera pada organ seperti
ginjal, derajat cedera hati dan limpa terutama pada pasien
yang memiliki hemodinamik stabil
Bilasan rongga perut(peritoneal lavage) diagnostic dapat dil-
akukan apabila tidak terdapat indikasi laparotomi yang jelas,
kondisi pasien hipotensi atau syok. Bilasan dilakukan
dengan memasukan cairan garam fisiologis hingga 1000mL
melalui kanul setelah sebelumnnya pada pengisipan tidak
ditemukan cairan. Kriteria standar hasil positif pada trauma
tumpul adalah aspirasi minimal 10 mL darah, cairan keme-
rahan, ditemukan eritrosit >100.000/mm3, leukosit
>500/mm3, amylase >175 IU/dL atau terdapat bakteri,
cairan empedu, serat makanan.
Ultrasound FAST akan memberikan cara yang cepat, nonin-
vasive, akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperito-
neum. Ini juga dapat dilakukan sebagai bedside diagnostic di
kamar resusitasi. Sesudah scan pertama dilakukan, scan
kedua dilakukan lagi idealnya atau scan control 30 menit
berikut. Scan kontrol ditujukan untuk melihat pertambahan
hemoperitoneum pada pasien dengan pendarahan yang
berangsur-angsur (Eastern Association for the Surgery of
trauma, 2001)
Berikut adalah algoritme untuk mendiagnostik trauma tumpul
abdomen
5) Penatalaksanaan
5) Gejala Klinis
6) Diagnosa
a) Anamnesis/Mekanisme trauma tembus perlu ditanyakan dengan
keterangan selengkap mungkin seperti senjata yang melukai,
arah tusukan atau bagaimana terjadinya kecelakaan (Wibisono
dan Jeo, 2014 ). Juga ditanyakan untuk mengetahui organ intra
abdominal yang berpotensi mengalami trauma (Smith, et al,
2010).
b) Pemeriksaan Fisis:
Inspeksi abdomen: jejas di dinding perut
Tanda-tanda peritonitis, sepsis, syok, dan penurunan
kesadaran.
Perforasi di daerah atas(misalnya lambung): perangsangan
segera terjadi dan timbul peritonitis hebat
Perforasi organ pencernaan yang lebih distal; perangsangan
peritoneum memerlukan waktu karena mikroorganisme bu-
tuh waktu untuk berkembang biak.
Colok dubur apabila dicuragai cedera anorektal;
Adanya eviserasi pada usus omentum.
c) Pemeriksaan Penunjang :
- Darah perifer lengkap: tanda anemia dan infeksi (leukosito-
sis);
- Ultrasonografi untuk menemukan adanya cedera organ cairan
intraperitoneal dan pendarahan.
- CT-scan pada kasus yang lebih stabil untuk menunjang tata
laksana berikutnya (Wibisono, et al, 20).
- Untuk pasien unstable, USG harus dilakukan secepat mung-
kin sebagain primary survey(circulation). FAST yang positif
menunjukkan bahwa terdapat pendarahan intraabdominal dan
ini menyebabkan hipotensi.
- Untuk pasien stable, terdapat tiga cara untuk mendiag-
nosa:/US: Screening awal boleh dilakukan untuk pasien he-
modinamik stabil.
Diagnostik peritoneal lavage (Schaider, et al, 2012).
8) Penatalaksanaan
Pasien trauma abdomen tajam yang harus dilakukan
tatalaksana secara non operatif haruslah berdasarkan dua faktor
iaitu stabil secara haemodinamik dan negatif peritonitis. Semua
bagian yang cedera haruslah dieksplorasi terlebih dahulu dan jika
ia menembus peritoneum, tindakan lapratomi haruslah dilakukan
(Butt, et al, 2009). Menurut Gonzalez (2001), apabila ada prolaps
visera, peritonitis, syok, terdapat darah dalam lambung, lavase
peritoneal yang positif merupakan indikasi untuk melakukan lapa-
rotomi.
TRAUMA CAPITIS
A. Definisi
Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan
otak dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial
atau sebagai gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi
otak. (Black, 1997)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tu-
lang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala.
B. Etiologi
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan
C. Patofisiologi :
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan Oksigen dan Glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan
aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak
tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glu-
kosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi
cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pem-
buluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi pen-
imbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asi-
dosis metabolik.Dalam keadaan normal cerebal blood flow (CBF) adalah 50–60
ml/menit/100gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypi-
cal-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom
pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi
atrium dan ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, di-
mana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan ber-
kontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah
arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
D. Manifestasi Klinis
1. Cedera Kepala Ringan
1) cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tadak pingsan, tidak
muntah, tidak ada tanda-tanda neurology.
2) Komusio serebri ditandai denga tidak sadar kurang dari 10 menit, muntah, nyeri
kepala, tidak ada tanda-tanda neurology.
2. Cedera Kepala Sedang
Ditandai dengan pingsan lebih dari 10 menit, muntah, amnesia, dan tanda-tanda
neurology.
3. Cedera Kepala Berat
1) laserasi serebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulan-bulan, ke-
lumpuhan anggota gerak, biasanya disertai fraktur basis kranii.
2) Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-sebentar kemudian sadar
lagi namun beberapa saat pingsan lagi, mata sembab, pupil anisokor, bradikardi,
tekanan darah dan suhu meningkat.
3) Perdarahan subdural ditandai dengan perubahan subdural, nyeri kepala, TIK
meningkat, lumpuh
E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel
pergeseran cairan otak.
2. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.EEG : memperlihatkan
keberadaan/ perkembangan gelombang.
4. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran
struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
5. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak..
6. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada
otak.
7. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
8. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi
yang akan dapat meningkatkan TIK.
10. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
11.Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
F. Penatalaksanaan
1. Penaganan terhadap 5B yaitu :
1) Breathing : Bebaskan obstruksi, suction, intubasi, trakeostomi
2) Blood : Monitor TD, pemeriksaan Hb, leukosit
3) Brain : Ukur GCS
4) Bladder : Kosongkan bladder karena urine yang penuh dan merangsang
mengedan.
5) Bower : Kosongkan dengan alasan dapat meningkatkan TIK
2. Penatalaksanaan Medik
1) Konservatif
a) Istirahat baring di tempat tidur.
b) Analgetik untuk mengurangi rasa sakit.
c) Pemberian obat penenang
d) Pemberian obat gol osmotic diuretic ( manitol). Untuk mengatasi edema
serebral.
e) Setelah keluhan-keluhan hilang, maka mobilisasi dapat dilakukan secara ber-
tahap, dimulai dengan duduk di tempat tidur, berdiri lalu berjalan.
2) Operatif
Operasi hanya dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti pada perdarahan epidural
dan perdarahan subdural dengan maksud menghentikan perdarahan dan memper-
baiki fraktur terbuka jaringan otak yang menonjol keluar, atau pada fraktur dimana
fragmen-fragmen tulang masuk ke jaringan otak
G. Komplikasi
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini,
minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik
DAFTAR PUSTAKA
Advance Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. (2004). Edisi 7. Jakarta:
IKABI
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
EGC
Sherwood Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke sistem. Edisi 6. Jakarta:
EGC