Anda di halaman 1dari 18

Rhinosinusitis akut dan kronik dan rhinitis alergi

sehubungan dengan komorbiditas, etnis, dan lingkungan

Ruth Hoffmans1, Alex Wagemakers1, Cornelis van Drunen1, Peter Hellings1,2, Wytske
Fokkens1

Abstrak

Latar belakang

Penelitian ini dilakukan untuk menilai efek komorbiditas, etnis, pekerjaan,


merokok dan tempat tinggal terhadap rhinitis alergi (AR), rhinosinusitis akut
(ARS) dan rhinosinusitis kronik (CRS).

Metode

Kuesioner skrining GA2LEN (The Global Allergy and Asthma European Network)
dikirimkan ke sampel random pada populasi Belanda (n=16700) pada tiga area
yang berbeda di Belanda.

Hasil

Lima puluh persen (8347) kuesioner dikembalikan. Total 29% responden (27-31%
di area berbeda) memenuhi kriteria untuk AR, 18% (17-21%) untuk ARS dan 16%
(13-18%) untuk CRS. Faktor risiko untuk AR adalah ruam gatal, eksim,
mengalami efek samping setelah konsumsi anti nyeri, asma, CRS dan ARS.
Selanjutnya, risiko untuk kejadian AR dua kali lebih rendah pada ibu/ayah rumah
tangga dibandingkan pada orang dengan pekerjaan. Risiko untuk ARS dan CRS
secara signifikan lebih tinggi pada responden yang di diagnosis oleh dokter
mengalami CRS, AR, ruam gatal atau merokok. Risiko untuk CRS juga secara
signifikan lebih tinggi pada responden yang mengalami efek samping setelah
konsumsi anti nyeri, merokok aktif atau asma. Orang kaukasia umumnya
cenderung tidak mengalami AR atau CRS dibandingkan orang Amerika-Latin,
Hindustan dan Afrika-Kreol, dan lebih cenderung mengalami CRS dibandingkan
orang Asia, Hindustan, Mediterania dan Afrika-Kreol.

Kesimpulan

Penelitian ini menemukan faktor risiko gabungan dan terpisah untuk AR, ARS dan
CRS, sehingga memberikan dukungan untuk keyakinan bahwa mereka memiliki
gejala gabungan meskipun merupakan penyakit yang berbeda dengan etiologi
yang berbeda.

Pendahuluan

Rhinitis alergi (AR), rhinosinusitis akut (RA) dan rhinosinusitis kronik (CRS)
merupakan penyakit umum pada saluran napas atas. [1-4]. Berdasarkan naskah
posisi Eropa mengenai rhinosinusitis dan polip nasal (EPOS), rhinosinusitis secara
klinis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai
dengan dua gejala atau lebih, salah satunya harus berupa
blokage/obstruksi/kongesti nasal atau discharge nasal (drip nasal
anterior/posterior) dan/atau nyeri/tekanan pada wajah dan berkurangnya
kemampuan menghidu, dikombinasikan dengan gejala objektif penyakit yang
teridentifikasi dengan endoskopi atau CT scan. Definisi tanpa tanda objektif
digunakan dalam penelitian epidemiologis. Ketika onset gejala tersebut akut dan
ketika timbul kurang dari dua belas minggu, maka diagnosisnya adalah ARS.
Ketika gejala tersebut bertahan hingga lebih dari dua belas minggu, diagnosisnya
adalah CRS. [2].

AR secara klinis didefinisikan sebagai kelainan simptomatik hidung yang


diinduksi setelah paparan alergen oleh inflamasi membran nasal yang dimediasi
oleh IgE. Gejalanya meliputi rhinorea (anterior atau posterior), kongesti nasal,
rasa gatal pada hidung, dan bersin. [5] Tidak ada definisi standar untuk penelitian
epidemiologis. Telah digunakan definisi yang berbeda dalam kuesioner pada
penelitian sebelumnya. [5,6]

Terdapat banyak data mengenai efek komorbiditas (contohnya, eksim, urtikaria


dan asma), etnis, pekerjaan, merokok dan tempat tinggal terhadap insidensi AR
[5], namun efek faktor tersebut terhadap CRS masih kurang diketahui [2] dan
masih sedikit yang diketahui mengenai ARS.

Survey GA2LEN dilakukan dibawah asuhan The Global Allergy and Asthma
European Network (GA2LEN). Kuesioner tersebut di desain untuk secara khusus
terfokus pada gejala saluran napas bagian atas dan sebagian penyakit saluran
napas bagian atas seperti rhinitis dan rhinosinusitis, namun juga terdapat beberapa
celah dalam pemahaman ilmiah kami mengenai penyakit alergi dan beberapa
faktor risiko seperti efek samping terhadap obat nyeri, pekerjaan, etnis, paparan
merokok, usia dan jenis kelamin.

Terdapat teori mengenai hubungan antara AR dan ARS dan CRS. Satu teori adalah
bahwa alergi menyebabkan pembengkakan mukosa, yang mengobstruksi ostium
sinus dan mengganggu transpor mukosilier, dan mungkin menginduksi
rhinosinusitis. [2] Teori lain membantah bahwa terdapat inflamasi yang lebih
signifikan (eosinofil) pada sinus maksilaris pasien dengan alergi selama musim
tertentu. [7,8] Proses patofisiologis yang melibatkan saluran napas bagian atas
secara umum mempengaruhi penyakit saluran napas bagian bawah. Mukosa di
telinga, hidung, sinus dan saluran napas bagian bawah sering mengalami inflamasi
di saat yang bersamaan. Mayoritas pasien dengan asma juga mengalami rhinitis
alergi. Diperoleh duukungan untuk teori saluran napas terpadu pada penelitian
epidemiologis, dalam mekanisme patofisiologis gabungan, dan pada efek
pengobatan interaktif. [5, 9-11]

Kami ingin mencari tahu apakah di daerah yang berbeda (dengan kadar polusi
udara yang berbeda) di Belanda (Amsterdam dan Belanda timur) dan/atau etnis
dapat memainkan peran dalam prevalensi dan keparahan ARS, CRS dan AR.
Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan antara AR, ARS dan CRS dan
komorbiditas, etnis, pekerjaan, merokok dan tempat tinggal.
Metode

Desain penelitian

Sebagian besar data dalam penelitian ini diperoleh menggunakan kuesioner


GA2LEN, yang terdiri dari 22 pertanyaan. Kuesioner dikirim ke sampel random
dari populasi Belanda di tiga area yang berbeda di Belanda (Gambar 1) dengan
lokasi geografis, tempat tinggal, kepadatan populasi dan profil etnis yang berbeda:

1. Ouderkerk aan de Amstel, desa pinggiran kota dekat Amsterdam (545


penduduk/km2): 5000 kuesioner.
2. Amsterdam Tenggara (area kota dengan banyak etnis yang berbeda, 4704
penduduk/km2): 6700 kuesioner.
3. Almelo, sebuah kota di daerah yang lebih pedesaan di timur Belanda
(1077 penduduk/km2): 5000 kuesioner.

Dalam survey di Amsterdam dan Almelo (dikirim pada 2009), kami menyertakan
pertanyaan tambahan mengenai rhinosinusitis akut (ARS) dan etnis selain
pertanyaan mengenai rhinosinusitis kronik (CRS) dan rhinitis alergi (AR).

Kuesioner dapat dilihat pada file pendukung (Apendiks S1). Kami


mengirimkannya hingga tiga kali jika tidak mendapat respon.
Definisi relevan berdasarkan pertanyaan di kuesioner

AR : Jawaban positif terhadap pertanyaan: Apakah anda memiliki alergi nasal


apapun termasuk hay fever?

ARS : Jawaban positif terhadap pertanyaan: Dalam dua belas bulan terakhir,
apakah anda pernah mengalami paling tidak satu episode sedikitnya sepuluh hari
dengan hidung tersumbat, discharge nasal yang berubah warna dan nyeri atau rasa
tertekan di sinus?

CRS : Kombinasi dua jawaban positif terhadap pertanyaan berikut (dengan


sedikitnya satu jawaban positif untuk A atau B):

a. Pernahkan hidung anda tersumbat selama lebih dari dua belas minggu
dalam dua belas bulan terakhir?
b. Pernahkan anda mengalami discharge nasal yang berubah warna (ingus)
atau mukus di tenggorokan yang berubah warna selama lebih dari dua
belas minggu dalam dua belas bulan terakhir?
c. Pernahkan anda mengalami nyeri atau rasa tertekan disekitar dahi,
hidung atau mata selama lebih dari dua belas minggu dalam dua belas
bulan terakhir?
d. Pernahkan anda merasakan penurunan atau hilangnya fungsi penghidu
selama lebih dari dua belas minggu dalam dua belas bulan terakhir?

Diagnosis dokter untuk CRS: Jawaban positif terhadap pertanyaan: Pernahkah


dokter memberitahu anda bahwa anda mengalami sinusitis kronik?

Ruam gatal: Jawaban positif untuk pertanyaan: Pernahkan anda mengalami


ruam gatal yang hilang timbul selama setidaknya enam bulan?

Eksim: Jawaban positif untuk pertanyaan: Pernahkan anda mengalami eksim


atau bentuk alergi kulit apapun?

Efek samping setelah konsumsi anti nyeri: Jawaban positif untuk pertanyaan:
Pernahkah anda kesulitan bernapas dalam tiga jam setelah mengonsumsi anti
nyeri?

Perokok aktif: Jawaban positif untuk pertanyaan: Pernahkah anda merokok


selama setahun? DAN apakah anda merokok dalam sebulan terakhir?

Asma: Jawaban positif untuk pertanyaan: Apakah anda pernah mengalami


asma? DAN salah satu dari hal berikut:
 Pernahkah anda mengalami mengi atau bunyi siulan di dada dalam dua
belas bulan terakhir?
 Pernahkan anda bangun dengan perasaan sesak di dada dalam dua belas
bulan terakhir?
 Pernahkah anda terbangun akibat serangan kesulitan bernapas dalam
dua belas bulan terakhir?
 Pernahkan anda terbangun akibat serangan batuk dalam dua belas bulan
terakhir?

Pernyataan etik

Dewan peninjau institusional (komite etik) kami memutuskan bahwa persetujuan


mereka tidak diperlukan untuk memulai penelitian ini karena partisipan tidak
diberikan intervensi.

Analisis statistik

Analisis statistik dilakukan dengan software statistik SPSS 21.0.

Telah dilakukan analisis statistik univariat untuk semua variabel yang berbeda di
masing-masing area. Persentase dihitung menggunakan frekuensi dan data total
dari masing-masing area dan variabel (tanpa menyertakan nilai yang hilang).
Perbedaan signifikan antar area dihitung menggunakan Chi-square atau ANOVA
(analisis variansi) untuk masing-masing variabel.

Analisis univariat kemudian dilakukan untuk tiga variabel keluaran ARS, CRS
dan AR menggunakan Pearson chi-square atau t-test tergantung pada data binari
atau berkelanjutan untuk masing-masing variabel. Variabel independen dengan
nilai p kurang dari 0.20 pada analisis univariat dipilih untuk dilakukan analisis
multivariat. Regresi logistik multivariat disesuaikan dengan menggunakan teknik
eliminasi ke belakang berdasarkan rasio kemungkinan untuk mengidentifikasi
faktor yang mempengaruhi ARS, CRS dan AR secara terpisah. Hubungan antara
variabel independen dinilai menggunakan odds ratio (OR) dan interval
kepercayaan 95% (CI). Hubungan dianggap signifikan jika nilai p kurang dari
0.05.

Hasil

Lima puluh persen (8347) dari 16700 kuesioner dikembalikan (Tabel 1). Rata-rata
usia responden adalah 46 tahun (rentang 6-90); 45% adalah laki-laki.

Analisis univariat

Tabel 2 menyimpulkan hasil analisis univariat.

Total 2274 responden memenuhi kriteria untuk ARS, dimana sebanyak 841 juga
memenuhi kriteria untuk CRS. Sebanyak 841 pasien tersebut dieksklusi dari
kelompok ARS karena mereka telah menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan yang
menjadikan mereka CRS. Prevalensi ARS adalah 18% (1433/8170). Prevalensi
CRS adalah 16% (1281/8227). Totalnya, 29% (2259/7804) responden memenuhi
kriteria untuk AR.

Semua variabel dibandingkan untuk area yang berbeda-beda. AR, ARS, ruam
gatal, efek samping terhadap anti nyeri, merokok (aktif dan sedikitnya satu tahun),
pekerjaan, CRS, asma dan usia berbeda secara signifikan pada masing-masing
area.
Analisis multivariat

ARS. Risiko ARS secara signifikan lebih tinggi pada responden yang didiagnosis
oleh dokter mengalami CRS (OR 2.14), AR (OR 1.70), ruam gatal (OR 1.28) dan
eksim (OR 1.33), pada responden wanita (OR 1.39) atau pada pasien dengan
riwayat merokok sedikitnya satu tahun (OR 1.22). Orang kaukasia memiliki risiko
yang secara signifikan lebih tinggi untuk mengalami ARS dibandingkan orang-
orang dari etnis lainnya dalam survey kami.

Usia yang lebih tua menurunkan risiko ARS dengan OR 0.99 pertahun. Tabel 3
menunjukkan semua signifikansi variabel sehubungan dengan ARS. Tidak
ditemukan adanya hubungan signifikan dengan pekerjaan/profesi atau tempat
tinggal.
CRS. Risiko CRS secara signifikan lebih tinggi pada responden yang didiagnosis
oleh dokter mengalami CRS (OR 6.83), AR (OR 2.87), asma (OR 2.36), efek
samping setelah konsumsi obat nyeri (OR 2.34), ruam gatal (OR 1.71), atau
perokok aktif (OR 1.45). Orang kaukasia lebih kecil kemungkinannya untuk
memenuhi kriteria sebagai CRS dibandingkan orang dengan etnis lainnya (Afrika-
Kreol, Amerika-Latin, Hindustan). CRS juga jarang terjadi pada pasien berusia
lanjut. Tidak ditemukan adanya hubungan signifikan dengan pekerjaan/profesi,
tempat tinggal atau jenis kelamin.

Tabel 4 menunjukkan variabel yang berhubungan secara signifikan dengan CRS.


AR. Risiko AR secara signifikan lebih tinggi pada responden yang mengalami
efek samping setelah konsumsi anti nyeri (OR 4.12), asma (OR 3.24), CRS (OR
2.24) atau didiagnosis oleh dokter mengalami CRS (OR 2.29), ARS (OR 1.74),
eksim (OR 1.60), atau ruam gatal (OR 1.43). Perokok aktif lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami AR (OR 0.74). Ibu/ayah rumah tangga secara
signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami AR dibandingkan
dengan responden yang bekerja (OR 0.46). Orang kaukasia lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami AR dibandingkan Afrika-Kreol, Amerika-
Latin dan Hindustan. Sekali lagi, risiko AR menurun dengan peningkatan usia dan
tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan terhadap jenis kelamin atau
tempat tinggal. Tabel 5 menunjukkan variabel yang berhubungan dengan AR.
Diskusi

Kami mengevaluasi faktor risiko untuk AR, ARS dan CRS dalam penelitian
epidemiologis pada tiga lokasi yang berbeda di Belanda.

Sebagian besar penelitian terdahulu menanyakan subjek apakah mereka memiliki


‘sinusitis’ (di diagnosis oleh dokter), seringkali tanpa membedakan antara ARS
dan CRS. [12-14] Penelitian ini menggunakan kuesioner GA 2LEN sehingga kami
dapat membedakan antara ARS dan CRS berdasarkan gejala yang dilaporkan oleh
pasien dan kemungkinan diagnosis CRS oleh dokter.
Diagnosis CRS oleh dokter dan dignosis CRS berdasarkan gejala jelas sangat
berhubungan (OR 2.29). Namun tidak semua partisipan dengan CRS berdasarkan
gejala telah di diagnosis oleh dokter sebelumnya. Mereka mungkin tidak berobat
atau memiliki keluhan yang lebih ringan. Juga di sistem pelayanan kesehatan
Belanda, dokter umum tidak selalu waspada dengan perbedaan antara
rhinosinusitis akut dan kronik. [15,16] Oleh karena itu partisipan yang berobat ke
dokter umum kemungkinan hanya mendengar diagnosis ‘sinusitis’ dan bukan
‘rhinosinusitis akut’.

Kekuatan diagnosis CRS berdasarkan gejala adalah bahwa partisipan tidak awas
dengan diagnosis mereka. Kami menyadari bahwa kami tidak selalu mampu dapat
membedakan antara penyakit yang berbeda dengan sempurna: AR persisten dan
CRS, contohnya, tidak selalu mudah dibedakan hanya berdasarkan gejala saja.
[17] Namun, menggunakan kuesioner GA2LEN yang sama, Tommasen et al.
menemukan bahwa 62% subjek yang melaporkan CRS berdasarkan gejala juga
memiliki abnormalitas objektif pada pemeriksaan endoskopi. [18] Sebuah
penelitian Korea menghubungkan semua kombinasi gejala CRS yang berbeda
dengan temuan endoskopi nasal dan menemukan bahwa semua kombinasi dengan
penurunan atau kehilangan kemampuan penghidu memiliki OR tertinggi untuk
endoskopi positif. [19]

Kekuatan CRS yang di diagnosis dokter adalah bahwa profesional telah


mengombinasikan gejala dan temuan objektif untuk menghasilkan suatu
diagnosis. Namun sebagian pasien tidak mengunjungi dokter dan beberapa dokter
tidak mengenali CRS, mengakibatkan berkurangnya prevalensi CRS.

Kita harus ingat bahwa bisa terdapat bias partisipasi. Individu dengan gejala nasal
dan sinus lebih mungkin memberikan respon terhadap kuesioner mengenai gejala
tersebut dibandingkan individu tanpa gejala tersebut. Oleh karena itu
prevalensinya bisa jadi lebih banyak dari yang seharusnya. Prevalensi yang
ditemukan pada penelitian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan
untuk Belanda berdasarkan data Ouderkerk saja (CRS 14.3%) dan juga
mengonfirmasi prevalensi CRS yang relatif tinggi di Belanda dibandingkan rata-
rata di Eropa (11%) [20] dan US (12%). [21]
Kami juga menyadari bahwa beberapa subjek melaporkan tes tusuk kulit yang
negatif dan lainnya tidak menyadari alergi berdasarkan keluhan mereka. Dalam
sebuah penelitian Italia, 79% partisipan melaporkan AR dengan tes tusuk kulit
positif atau setidaknya satu pengukuran IgE spesifik ≥0.35 kU/l. [22] Dua puluh
delapan persen partisipan dalam penelitian Turki yang menjawab ‘ya’ untuk
pertanyaan ‘Apakah anda atau pernahkan anda memiliki alergi nasal, termasuk
hay fever?’ memiliki tes tusuk kulit yang positif. [23]

Hubungan yang ditemukan antara AR, ARS, CRS dan asma dan eksim sesuai
dengan penelitian lainnya yang mengevaluasi komorbiditas AR. [24,25]

Kami menemukan bahwa orang Kaukasia lebih kecil kemungkinannya untuk


mengalami AR dibandingkan etnis lainnya. Dalam sebuah penelitian Inggris
dalam praktik umum, secara signifikan terdapat lebih sedikit partisipan Irlandia
Selatan dan lebih banyak wanita India Barat yang konsul ke dokter umum untuk
AR dibandingkan populasi Inggris asli. [26] Sebaliknya, Salo et al. menemukan
bahwa kulit putih non-Hispanis lebih banyak mengalami hay fever dibandingkan
kulit hitam non-Hispanis, Amerika Meksiko dan etnis lainnya. [27]

Menariknya, kami menemukan bahwa ibu/ayah rumah tangga secara signifikan


lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami AR dibandingkan responden yang
bekerja. Temuan ini baru dan kemungkinan dapat dijelaskan dengan AR
okupasional dalam kelompok berikutnya. Telah diketahui bahwa paparan okupasi
berhubungan dengan penyakit saluran napas bagian atas. [28] AR okupasional
dapat berasal dari beragam agen dengan berat molekular tinggi dan beberapa agen
dengan berat molekular rendah. Contoh pekerjaan yang berisiko tinggi adalah
pembuat pakaian bulu, tukang roti, peternak, pekerja pemrosesan makanan, dokter
hewan, petani, perakit produk elektronik/elektrik dan pembuat perahu. [29-31]
Selanjutnya, AR ditemukan lebih sering pada profesional medis dibandingkan
pada pekerja kantoran dan tukang pembersih [32,33].

Status pekerjaan dapat mencerminkan status sosioekonomi dan dapat


mempengaruhi prevalensi ARS, CRS dan AR. Dalam penelitian terbaru oleh
Philpott faktor seperti pekerjaan, kualifikasi akademik terakhir, lokasi kota/desa,
durasi tempat tinggal, kedekatan dengan tanaman, kode pos, pendapatan pertahun,
etnis, hunian rumah tangga dan kelas sosial diteliti sehubungan dengan CRS.
Tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan setelah dilakukan
penyesuaian untuk usia dan jenis kelamin. [34]

Hirsch menggunakan riwayat memperoleh asistensi medis sebagai pengganti


status sosioekonomi dan menemukan bahwa hal tersebut berhubungan dengan
CRS. [21]

Kilty menemukan bahwa partisipan dengan tingkat pendidikan kurang dari SMA
memiliki skor gejala sinus yang lebih tinggi dibandingkan partisipan dengan
pendidikan post-sekunder. Skor Lund MacKay pada CT tidak berbeda secara
signifikan. [35] Hal ini mengindikasikan bahwa faktor sosioekonomi dapat
mempengaruhi pelaporan (keparahan) gejala. Sayangnya, kami tidak memiliki
informasi mengenai status sosioekonomi dari partisipan kami.

Hasil yang berbeda telah ditemukan dalam beberapa penelitian sebelumnya


mengenai efek merokok pada AR. [5,27.36-39] Dalam penelitian kami, kami
menemukan hubungan negatif antara merokok dan AR. Fenomena perokok sehat
dapat menjelaskan mengapa penelitian kami dan beberapa penelitian lainnya
menunjukkan bahwa perokok lebih kecil kemungkinannya mengalami AR
dibandingkan non-perokok. [5,36-38]. Hal ini kemungkinan bahwa subjek dengan
alergi lebih sedikit yang merokok dan lebih banyak berhenti merokok. Merokok
dapat memberikan efek imunosupresif dan menurunkan jumlah sensitisasi IgE.
[27,39]

Dalam analisis multivariat kami, kami tidak menemukan adanya hubungan antara
tempat tinggal dan AR. Namun, beberapa penelitian telah menemukan hubungan
antara lingkungan hidup dan gejala nasal/AR. Orang yang hidup di dekat lalu
lintas yang ramai dan kota lebih sering melaporkan gejala nasal. [40-42] Sangat
mungkin bahwa luasnya rentang kondisi hidup pada tiga lokasi tersebut yang
menyebabkan tidak ditemukannya perbedaan tersebut.

Survey ini mengonfirmasi temuan dalam literatur yang mengindikasikan adanya


hubungan signifikan antara asma dan CRS dan AR, namun bukan antara asma dan
ARS. [43-46] Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa CRS dan AR merupakan
penyakit kronis, begitu juga asma. Temuan yang mendukung teori saluran napas
terpadu dan kesimpulan bahwa ARS dan CRS merupakan dua penyakit yang
berbeda.

Hubungan antara kejadian efek samping yang dirasakan setelah konsumsi anti
nyeri dan CRS (dengan polip nasal) tidak mengejutkan karena mereka sering
terjadi bersamaan dengan asma sebagai bagian dari AERD (aspirin-exacerbated
respiratory disease). [2] Ruam gatal seperti yang didefinisikan dalam penelitian
kami mungkin sesuai dengan diagnosis urtikaria.

Ketika kami mencari hubungan urtikaria dengan ARS dan CRS di penelitian
lainnya, kami menemukan bahwa urtikaria kronik sering berhubungan dengan
infeksi (secara umum) pada beberapa penelitian. [47-50] Apusan nasal positif
sering ditemukan pada pasien dengan urtikaria dibandingkan pada kontrol. [48]

Dalam penelitian ini, orang Kaukasia cenderung memiliki prevalensi ARS yang
lebih tinggi dan prevalensi kondisi respiratorik kronik yang lebih rendah seperti
CRS dan AR dibandingkan etnis lainnya. Sulit untuk membandingkan data
tersebut dengan penelitian sebelumnya karena perbedaan definisi ras/etnis dan
rhinosinusitis (ARS dan CRS tidak diteliti secara terpisah di tempat lain). Data
kami mengonfirmasi penelitian sebelumnya oleh Tan, dimana populasi lokal
Singapura lebih banyak mengalami CRS dibandingkan populasi Kaukasia.
Populasi lokal Singapura terdiri dari China (71.2%), Malay (8.9%), India (13.5%)
dan etnis lainnya (6.6%). [51] Sebuah survey dari US menemukan hubungan
antara prevalensi rhinosinusitis (didefinisikan sebagai respon positif terhadap
pertanyaan: ‘Dalam dua belas bulan sebelumnya, pernahkan anda mengalami
sinusitis atau masalah sinus?’) dan jenis kelamin wanita, ras hitam atau putih non-
Hispanik, status pendapatan yang lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi. [12] Berseberangan dengan data kami, Hirsch et al. menemukan bahwa
non-kulit putih memiliki risiko memenuhi kriteria CRS EPOS yang lebih rendah
dibandingkan kulit putih di Amerika Serikat (OR 0.53). [21]
Kami menemukan bahwa wanita lebih mungkin mengalami ARS, namun bukan
CRS. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Hirsch. [21] Hampir 15% responden
dari National Health Interview Survey of The United States 2002-2005 yang telah
di diagnosis dengan rhinosinusitis pada tahun sebelumnya (diagnosis dokter, tidak
ada perbedaan antara ARS dan CRS). Prevalensi ini lebih rendah pada orang Asia
(7%) dan populasi Hispanik (8.6-8.8%) dibandingkan pada populasi kulit hitam
(13.3-14.4%) dan populasi kulit putih (13.0-16.0%). [13,14]. Dalam sebuah
penelitian retrospektif pada anak ditemukan bahwa terdapat lebih banyak anak
berkulit putih pada kelompok CRS (77%) dibandingkan pada kelompok tanpa
CRS (47%). (Kelompok CRS: 77% kulit putih, 10% kulit hitam, 13% lainnya;
kelompok kontrol: 47% kulit putih, 33% kulit hitam, 20% lainnya) . [52] Tipe
penelitian berbeda dengan populasi berbeda dan definisi etnis dan rhinosinusitis
yang berbeda dapat menjelaskan temuan yang berseberangan pada subjek ini. Hal
tersebut bisa jadi merupakan masalah genetik, namun kebiasaan/lingkungan juga
dapat memainkan peran dalam hal tersebut. Diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk menjelaskan temuan mengenai etnis dalam penelitian ini. Kami tidak
menemukan adanya hubungan yang signifikan antara CRS dan pekerjaan/profesi.
Baru-baru ini, Thilsing et al. menemukan peningkatan prevalensi CRS pada
subjek yang bekerja dengan pekerjaan bersih-bersih. [53] Telah ditemukan juga
hubungan antara paparan okupasional terhadap iritan dengan berat molekul
rendah atau tinggi dan jumlah prosedur FESS (pembedahan sinus endoskopik
fungsional) pada pasien dengan CRS. [54] Namun, penelitian terbaru oleh
Sundaresan yang mengevaluasi 41 artikel yang mendiskusikan pengaruh
pekerjaan dan lingkungan terhadap CRS mengatakan bahwa literatur saat ini
hanya memberikan sedikit kesimpulan mengenai peran pekerjaan berbahaya atau
paparan lingkungan terhadap CRS, meninggalkan adanya celah yang penting
mengenai potensi faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk onset dan progresi
penyakit. [55] Sangat diperlukan lebih banyak penelitian untuk menjelaskan efek
paparan pekerjaan terhadap CRS.

Kami menemukan hubungan positif antara merokok dan CRS dan ARS,
mengonfirmasi penelitian-penelitian lainnya. [3,12,21,53,54]
Kesimpulannya, penelitian ini menemukan hubungan baru antara penyakit saluran
napas bagian atas dan faktor-faktor yang relevan. Telah jelas bahwa penyakit
saluran napas bagian atas seperti AR dan CRS berhubungan dengan faktor lain
dibandingkan penyakit akut seperti ARS.

Diperlukan penelitian lebih banyak untuk mengevaluasi sensitisasi dan tanda


objektif penyakit lainnya untuk lebih lanjut menguraikan temuan ini.

Anda mungkin juga menyukai