Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan biota laut. Potensi

kehidupan lautnya sebagai sumber senyawa bioaktif sangat besar. Salah satu

contohnya adalah spons. Spons merupakan hewan berpori yang menjadi inang

dari berbagai mikroorganisme, sehingga mampu membentuk asosiasi dengan

berbagai mikroba dan dapat menghasilkan senyawa bioaktif metabolit sekunder

(Taylor et al., 2007).

Spons dan simbion spons merupakan sumber yang sangat bagus untuk

penemuan senyawa bahan alam karena aktivitas komponen bioaktifnya dalam

menghambat enzim, penghambatan pembelahan sel, antimikroba, antiinflamasi,

antitumor, dan sitotoksik (Lee et al., 2001). Senyawa aktif yang diproduksi oleh

spons sebagai hasil metabolit sekunder kemungkinan dihasilkan oleh adanya

mikroba pada jaringan spons yang berperan sebagai simbion, baik simbion

intraselular maupun ekstraselular (Barnes, 1994). Metabolit yang sebelumnya

dianggap berasal dari spons kemungkinan juga disintesis oleh mikroba

simbionnya. Jika beberapa senyawa yang berasal dari mikroba simbiosis bisa

diperoleh melalui kultur dari mikroba simbionnya akan meningkatkan sumber

senyawa bioaktif (Lee et al., 2001).

Mikroba terutama fungi dan bakteri merupakan sumber senyawa bioaktif yang

menjanjikan. Fungi asosiasi spons merupakan salah satunya. Fungi ini hidup

berasosiasi dengan spons pada lingkungan dengan kadar garam tinggi.

1
Kondisi tersebut akan membuat fungi menghasilkan senyawa untuk bertahan

hidup, oleh karena itu kemungkinan metabolit aktif dapat diperoleh dari fungi

yang berasosiasi. Penelitan terhadapa fungi yang berasosiasi dengan biota laut

mulai banyak dilakukan. Pada tahun 2006 hingga 2010 dilaporkan sudah lebih

dari 100 senyawa dihasilkan fungi asosiasi yang hidup di laut. Hal tersebut

menjadi sumber yang bagus untuk terus dieksplorasi, sehingga akan

meningkatkan jumlah marine drug yang tersedia di masa datang (Rateb dan Ebel,

2011; Saleem et al., 2007).

Penyakit semakin berkembang seiring dengan kemampuan para agen

pengifenksi penyakit yang berevolusi. Selaras dengan itu pengetahuan terhadap

pengendalian penyakit infeksi juga semakin maju. Sampai saat ini penyakit infeksi

pada manusia yang disebabkan oleh mikroba patogen merupakan permasalahan

yang cukup serius dan pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik (Utami,

2012). Namun banyak kasus yang kemudian bermuculan tentang resistensi bakteri

terhadap antibiotik yang diberikan. Hal tersebut mendorong untuk dilakukannya

penelitian terhadap senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai agen antimikroba.

Fungi asosiasi spons dan senyawa bioaktif yang dihasilkannya dapat menjadi

salah satu alternatif produk farmasetik yaitu sebagai antibiotik. Beberapa fungi

asosiasi spons telah diteliti mempunyai aktivitas sebagai antimikroba salah

satunya adalah fungi yang berasosiasi dengan Rhabdermia sp. menghasilkan

senyawa turunan isokumarin yang memiliki efek antimikroba terhadap bakteri

Gram positif dan bakteri Gram negatif serta Candida albicans (Prompanya et al.,

2014).

2
Penelitian terhadap fungi SAL 9 asosiasi spons Stylissa flabelliformis yang

berasal dari Pulau Menjangan Taman Nasional, Bali Barat belum pernah

dilakukan sebelumnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bioaktivitas

dari fungi SAL 9 asosiasi spons Stylissa flabelliformis terhadap aktivitas

antimikrobanya.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah ekstrak etil asetat hasil fermentasi fungi SAL 9 asosiasi spons

Stylissa flabelliformis memiliki aktivitas sebagai antimikroba ?

2. Kapan waktu panen metabolit sekunder fungi SAL 9 yang paling optimum?

3. Golongan senyawa apakah yang berperan dalam aktivitas antimikroba ?

C. Tujuan Penelitan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. Aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat hasil fermentasi fungi SAL 9 asosiasi

spons Stylissa flabelliformis

2. Waktu panen metabolit sekunder fungi SAL 9

3. Golongan senyawa yang aktif sebagai antimikroba

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

mengenai fungi asosiasi spons Stylissa flabelliformis yang mampu menghasilkan

senyawa aktif antimikroba. Pertumbuhan spons yang relatif lambat akan

menyebabkan keterbatasan dalam mengekstraksi senyawa metabolit sekundernya.


3
Apabila dapat diketahui senyawa aktif fungi yang berasosiasi dengan spons akan

mencegah eksploitasi secara berlebihan dan dapat meningkatkan sumber senyawa

aktif dari perairan laut Indonesia.

E. Tinjauan Pustaka

1. Spons dan Mikroba Simbion

Spons merupakan hewan sederhana dan bersel tunggal yang belum

mempunyai organ dan sistem syaraf. Cara spons dalam memperoleh makanan

dengan cara menyaring air laut dalam jumlah besar. Air laut mengalir melalui

pori-pori yang saling berhubungan karena adanya gerakan flagella (Suharsono,

2014).

Disamping mempunyai fungsi ekologis, spons juga dimanfaatkan dalam

pengobatan. Spons mengandung senyawa aktif yang mempunyai potensi sebagai

obat-obatan. Sejak 1950 hingga saat ini telah ditemukan kurang lebih 3.500

substansi aktif yang berhasil diisolasi dari sekitar 475 jenis spons yang hidup di

laut (Suharsono, 2014).

Simbion pada spons terdapat di dalam maupun diluar sel, dan setiap mikroba

simbion tersebut mempunyai habitat yang spesifik pada inangnya (Gambar 1).

Simbion ekstraselular akan berada di bagain luar dari spons sebagai exosymbionts

atau pada bagian mesofil sebagai endosymbionts. Simbion intraselular atau

intranukleus akan tetap berada pada sel inang atau nukleusnya (Lee et al., 2001).

4
Gambar 1. Diagaram skematik hubungan simbiosis antara spons
dengan mikroorganisme. (A) ekstraselular eksosimbiosis; (B)
ekstaseluler endosimbiosis; (C) intraseluler simbiosis; dan (D)
intranukleus simbiosis (Lee et al., 2001).

Daerah permukaan dan internal pada spons merupakan sumber yang kaya

akan nutrisi daripada air laut sekitarnya oleh karena itu, spons menjadi habitat

simbion untuk mendapatkan makanan. Mikroba yang bersimbiosis membantu

dalam proses nutrisi dengan pencernaan intraselular atau dengan translokasi

metabolit termasuk fiksasi nitrogen, nitrifikasi dan fotosintesis. Mikroba simbion

spons juga berperan dalam sistem pertahanan untuk melawan predator (Lee et al.,

2001).

2. Metabolit sekunder

Metabolit sekunder adalah suatu molekul atau produk metabolik yang

dihasilkan oleh proses metabolisme sekunder mikroba di mana produk metabolik

tersebut bukan merupakan kebutuhan pokok mikroba untuk hidup dan tumbuh.

Metabolit sekunder diproduksi sebagai respon terhadap lingkungan darurat untuk

bertahan hidup pada kondisi nutrisi yang kurang (Pratiwi, 2008).

5
Fungi dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang dapat berpotensi

sebagai antibakteri. Senyawa-senyawa tersebut dapat tergolong terpenoid, steroid,

alkaloid, fenolik, dan poliketida. Setiap golongan senyawa memiliki senyawa

turunan yang beragam dengan potensi sebagai antibakteri (Mousa, 2013).

Berdasarkan jalur biosintesinya, metabolit sekunder digolongkan menjadi :

a. Golongan asetat (C2) : poliketida dan asam lemak

Senyawa C2 digolongkan menjadi 2 yaitu golongan poliketida dan

turunan asam lemak. Asam asetat adalah building block dan kerangka dasar

dari golongan ini. Jumlah karbon golongan metabolit sekunder ini berjumlah

2 dan kelipatannya (C2 x n). Senyawa ini luas distribusinya, mulai dari dari

jasad renik, tumbuhan serta vertebrata menghasilkan senyawa golongan ini.

Oleh karena itu hampir semua makhluk hidup memproduksi senyawa ini, dari

makhluk hidup tingkat rendah bakteri, alga, jamur tumbuhan, dan mamalia

hingga manusia. Selain itu berbagai golongan antibiotik, asam lemak, bahkan

aflatoksin penyebab hepatitis adalah senyawa yang termasuk dalam golongan

ini, yaitu golongan senyawa poliketida. C2 jika membentuk struktur siklik

maka ia akan menjadi poliketida dan jika membentuk rantai alifatik panjang

maka akan membentuk kerangka asam lemak (Saifudin, 2014).

Untuk identifikasi secara fisik dengan menggunakan lampu UV akan

memberikan pemadaman pada 254 nm dan warna tertentu tergantung dari

gugus fungsionalnya pada lampu UV 366 nm. Untuk golongan asam lemak

mudah dicirikan berdasarkan sifat fisik yang meninggalkan noda semi

6
transparan pada kertas serta jika diamati pada UV 366 nm tidak memberikan

pemadaman fluoresensi (Saifudin, 2014).

b. Golongan mevalonat dan deoksisilulosa (C5): terpenoid

Terpenoid adalah senyawa yang tersusun dari kerangka isopren (C5),

yaitu rantai beranggota lima karbon bercabang metil pada karbon nomer 2

atau kelipatannya. Terdapat dua jalur biosintesis pembentuk terpenoid pada

makhluk hidup yaitu jalur mevalonat dan deoksiselulosa. Jalur biosintesis

terpenoid dimulai dari pembentukan isopentil piropospat (IPP) atau

dimetilalil piropospat (DMAPP) yang merupakan starting material terpenoid.

Keberadaan senyawa terpenoid berbobot molekul rendah berlimpah

distribusinya pada tumbuhan dan makhluk hidup tingkat rendah seperti jamur

atau fungi, bakteri dengan struktur sangat beragam. Pada makhluk vertebrata

dan manusia jneis senyawa terpenoid didominasi oleh turunan steroid.

Untuk identifikasinya, karena terpenoid sangat beraneka ragam

strukturnya dan tidak memiliki gugus yang uniform terkait reaktifitas kecuali

ikatan gandanya maka secara kimia terpeonid diidentifikasi dengan

penyemprotan pereaksi vanillin-asam sulfat atau anisaldehid-asam sulfat yang

akan menghasilkan warna-warna ungu, kuning coklat, hitam pada sinar

tampak. Vanilin dan anisaldehid akan memperpanjang rantai terkonjugasi dari

senyawa target. Secara fisik, pada UV 254 nm akan menghasilkan bercak

warna ungu pemadaman dan fluoresensi pada UV 366 nm (Saifudin, 2014).

c. Jalur asam sikimat : Asam amino aromatik dan fenilpropanoid

7
Jalur asam sikimat merupakan jalur biosintesis yang penting pada fungi,

tumbuhan dan mikroba lainnya untuk memproduksi komponen asam amino,

terutama asam amino aromatik fenilalanin, tirosin, dan triptofan. Jalur asam

sikimat ini tidak ada pada hewan, dan asam amino tersebut merupakan asam

amino yang tergolong ke dalam asam amino esensial bagi manusia. Fenilalanin

dan tirosin tidak hanya prekusor penting pada banyak alkaloid tetapi juga pada

fenil propanoid, yang dikenal dengan C6C3 dan banyak ditemukan pada

struktur berbagai macam metabolit sekunder (Hansson, 2013)

Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan dari spons adalah asam

amino, makrolida, porporin, terpenoid, peroksida alifatik siklik dan sterol.

Beberapa senyawa metabolit sudah ditemukan dari simbion yang berasosiasi

dengan spons yaitu, senyawa poliketida yang dapat digunakan untuk antiinfeksi

telah diisolasi dari ekstrak miselia yang dihasilkan oleh fungi Penicillium

rugulosum yang berasosiasi dengan spons Chondrosia reniformis, fungi spesies

Streptomyces dendra sp. nov. yang berasosiasi dengan spons Dendrilla nigra

menghasilkan senyawa antibakteri, fungi Penicillium chrysogenum yang

berasosiasi dengan spons Ircinia fasciculata menghasilkan senyawa dengan

struktur lakton bisiklik yang mempunyai aktivitas sitotoksik, senyawa

poliketida, 14,15-secocurvularin yang diisolasi dari fungi yang berasosiasi

dengan spons Spirastrella vagabunda dari Indonesia mempunyai aktivitas

antibakteri dan senyawa steroid yang diisolasi dari fungi Penicillium citrinum

berasosiasi dengan spons Axinella sp., mempunyai aktivitas antibakteri

(Thomas et al., 2010).

8
3. Fermentasi

Proses fermentasi telah dikenal oleh bangsa Mesir dan Sumeriah sebagai

teknik untuk mengubah butiran pati menjadi alkohol. Pada masa kini, fermentasi

mempunyai beberapa definisi yang berbeda yang lebih dikenal sebagai

perendaman kultur mikroba, sel tanaman dan sel hewan dengan tujuan produksi.

Proses fermentasi adalah seluruh perombakan senyawa organik yang dilakukan

mikroba yang melibatkan enzim yang dihasilkannya sebagai biokatalis dalam

lingkungan yang dikendalikan (McNeil dan Harvey, 2008; Stanbury dan

Whitaker, 1984).

Terdapat 5 grup besar yang secara komersial penting dari fermentasi :

a. Produksi microbial cells atau biomassa sebagai produk

b. Produksi enzim mikrobia

c. Produksi metabolit mikrobia

d. Produksi produk rekombinan

e. Memodifikasi komponen yang ditambahkan ke dalam fermentasi

Fermentasi pada medium cair dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu fermentasi

tertutup (batch culture), fermentasi kontinyu dan fermentasi fed-batch. Pada

fermentasi tertutup, setelah inokulasi tidak dilakukan lagi penambahan medium ke

dalam fermentor, kecuali pemberian oksigen (udara steril), antibuih dan asam atau

basa untuk mengukur pH. Karena itu pada sistem tertutup ini, dengan semakin

lamanya waktu fermentasi, laju pertumbuhan spesifik mikroba semakin menurun

sampai akhirnya pertumbuhan berhenti. Penurunan dan berhentinya pertumbuhan


9
disebabkan karena dengan bertambahnya waktu fermentasi, nutrien-nutrien

esensial dalam medium semakin berkurang atau terjadi akumulasi autotoksin yang

mempengaruhi laju pertumbuhan atau kombinasi dari keduanya. Dengan demikian

pada fermentasi tertutup jumlah sel pada fase stasioner merupakan jumlah sel

maksimum (Stanbury dan Whitaker, 1984).

Pada fermentasi sistem tertutup dengan jumlah nutrien terbatas, biakan

mikroba akan mengalami empat fase pertumbuhan (Gambar 2) yaitu fase adaptasi,

fase eksponensial/logaritmik, fase stasioner, fase kematian (Stanbury dan

Whitaker, 1984).

Gambar 2. Kurva pertumbuhan mikroba (Stanbury dan Whitaker, 1984)

Dengan memperhatikan fase pertumbuhan mikroba dalam medium yang

digunakan, kondisi fermentasi dapat dikendalikan untuk meningkatkan produk

yang diinginkan. Produk metabolism primer dapat ditingkatkan dengan

menggunakan kondisi fermentasi yang memperpanjang fase eksponensial.

Kondisi fermentasi yang memperpendek fase eksponensial dan memperpanjang


10
fase stasioner ataupun mengurangi laju pertumbuhan mikroba dalam fase

eksponensial dapat mempercepat produk metabolisme sekunder (Stanbury dan

Whitaker, 1984).

Dalam fermentasi kontinyu, larutan nutrien steril dalam volume tertentu

ditambahkan ke dalam fermentor secara terus-menerus dan pada saat bersamaan

cairan fermentasi yang mengandung sel dan produk-produk fermentasi

dikeluarkan dari fermentor dengan volume yang sama. Penambahan medium baru

dengan kecepatan tertentu dapat menghasilkan keadaan steady state yaitu keadaan

jumlah sel-sel yang terbentuk sama dengan jumlah sel-sel yang dikeluarkan dari

fermentor (Stanbury dan Whitaker, 1984).

Pada proses fermentasi dengan metode fed-batch culture harus selalu

diberikan nutrisi yang segar berurutan sehingga menyebabkan pertambahan

volume kultur. Konsentrasi substrat yang rendah pada awal penambahan akan

meminimalisir adanya produk yang tidak diinginkan. Dengan teknik ini

kemungkinan organisme akan menghasilkan produk biomassa yang tinggi

sebanding dengan kecepatan laju pertumbuhan yang tinggi (Nair, 2010).

Dalam proses fermentasi terdapat 6 komponen dasar yang harus diperhatikan

(Gambar 3), yaitu:

a. Formulasi media yang digunakan sebagai proses perkembangbiakan

mikroba sejak persiapan inokulum sampai tahap fermentasi untuk produksi

b. Sterilisasi media dan dan peralatan lainnya

c. Produksi biakan aktif dan murni dalam jumlah yang cukup untuk

ditumbuhkan dalam medium produksi

11
d. Pertumbuhan organisme dalam media produksi dalam kondisi optimal

untuk pembentukan produk

e. Ekstraksi produk dan pemurniannya

f. Penanganan limbah produksi (Stanbury dan Whitaker, 1984).

Gambar 3. Prose fermentasi (Stanbury dan Whitaker, 1984)

Faktor-Faktor yang mempengaruhi fermentasi :

a. Media

Formulasi media yang tepat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan

mikroba agar tumbuh sesuai dengan yang diinginkan. Formulasi media yang

ideal perlu memperhatikan komposisi elemen yang dibutuhkan, sumber

energi yang dipakai, produk yang akan dihasilkan (biomassa / metabolit /

keduanya) (McNeil dan Harvey, 2008).

Media dibagi menjadi 3 kategori

1) Media sintetik

Yaitu media yang dibuat secara sintesis kimia. Semua komponen yang

terdapat dalam media sintetik adalah konsentrasi spesifik dari komponen-

komponennya. Media sintetik biasanya sederhana, mengandung karbon /

12
sumber energi, sumber nitrogen dan senyawa anorganik. Untuk organisme

yang membutuhkan komponen pertumbuhan spesifik, kompleksitas media

sintetik akan naik signifikan. Media sintetik berguna untuk eksperimen yang

membutuhkan akurasi data yang tepat dan interpretasi hasil yang jelas.

2) Media semi sintetik

Yaitu media yang dibuat secara sintetis tetapi terdapat komponen yang

tidak spesifik. Media semi sintetik berguna pada skala lab yang tidak

mampu untuk menyediakan komponen media yang murni dalam jumlah

besar.

3) Media kompleks

Yaitu media dengan komposisi yang beragam. Komponen media ini

bergam, dari sumber karbon dan nitrogen yang sumbernya lebih dari satu

macam, terdapat vitamin, faktor pertumbuhan dan elemen-elemen kompleks

yang dibutuhkan oleh sel (McNeil dan Harvey, 2008).

Komponen media fermentasi antara lain :

1) Sumber karbon

Sebagai sumber energi bagi sel dan untuk bahan sintesis metabolit primer

dan sekunder (McNeil dan Harvey, 2008).

2) Sumber Nitrogen

Diperlukan untuk pertumbuhan sel dan sintesis protein serta asam nukleat

(McNeil dan Harvey, 2008).

3) Substrat lain

13
Substrat ini berupa elemen-elemen seperti kalsium, magnesium, fosfat,

natrium, kalium, dan sulfur. Kemudian faktor pertumbuhan seperti

vitamin, purin, pirimidin, dan asam amino. Substrat-substrat tersebut

essensial untuk pertumbuhan mikroba. Kebutuhan substrat-substrat

tersebut sedikit sehingga disebut sebagai mikronutrien (McNeil dan

Harvey, 2008).

4) Inhibitor

Digunakan untuk menekan aktivitas sel yang dapat menghasilkan produk

toksik yang dapat menurunkan pertumbuhan sel dan produksi metabolit

(McNeil dan Harvey, 2008).

b. Aerasi dan agitasi

Aerasi dan agitasi berfungsi untuk meningkatkan keberadaan oksigen

terlarut dalam media fermentasi, sehingga pembentukan metabolit dapat

berjalan optimal (Stanbury et al., 2003).

c. Suhu

Pada suhu yang rendah dapat menyebabkan aktivitas metabolit dari fungi

berhenti, sedangkan pada suhu yang tinggi akan membunuh sel dari fungi

(Merlin et al., 2013).

d. pH

pH pada medium merupakan faktor yang berpengaruh dalam metabolisme

dan biosintesis metabolit sekunder. pH ini berkaitan dengan karakteristik

permeabilitas pada dinding sel dan membran yang dapat menyerap atau

kehilangan nutrisi dari media (Merlin et al., 2013).

14
e. Sterilitas

Proses fermentasi yang terjadi kontaminasi karena kurangnya sterilitas

dapat mengakibatkan (Stanbury et al., 2003) :

1) Media pertumbuhan yang digunakan untuk pertumbuhan organisme

dimanfaatkan oleh kontaminan sehingga produksi metabolit berkurang

2) Kontaminan tumbuh subur di dalam fermentor daripada organisme

utama

3) Terjadi kontaminasi produk akhir

4) Kontaminan menghasilkan senyawa yang menyulitkan ekstraksi

produk akhir

5) Kontaminan mendegradasi produk yang diinginkan

4. Aktivitas Antimikroba

Senyawa dari bahan alam masih menjadi salah satu sumber utama molekul

obat baru saat ini yang berasal dari bakteri prokariotik, mikroba eukariotik,

tanaman dan hewan. Senyawa dari mikroba dan tanaman menjadi sumber utama

untuk penemuan senyawa antimikroba sampai sekarang. Berbagai metode dapat

digunakan untuk mengetahui aktivitas antimikroba dari suatu ekstrak atau

senyawa murni secara invitro (Balouiri, 2016), yaitu:

a. Metode disc diffusion

Merupakan standar pengkuran aktivitas mikroba yang telah disetujui

oleh Clinical and Laboratory Standart Institute (CLSI) untuk uji terhadap

bakteri dan jamur. Prosedur dari metode ini adalah Agar dalam plate

diinokulasikan dengan mikroorganisme uji. Paper disk (diameter 6 mm)


15
yang mengandung senyawa uji diletakkan di atas permukaan Agar dan

diinkubasi di bawah kondisi yang sesuai. Senyawa antimikroba akan

berdifusi ke dalam Agar dan menghambat pertumbuhan mikroba uji

kemudian diameter zona hambat yang terbentuk diukur. Metode disc

diffusion tidak sesuai untuk menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM)

karena tidak mungkin untuk menghitung jumlah senyawa antimikroba yang

berdifusi ke dalam Agar. Metode disc diffusion mempunyai keuntungan

antara lain; sederhana, murah, kemampuan untuk menguji lebih dari satu

agen antimikroba dan mudah untuk menganalisa hasilnya (Balouiri, 2016).

b. Metode Dilusi

Sejumlah zat antimikroba dimasukkan ke dalam medium baik padat

ataupun cair. Biasanya digunakan pengenceran dua kali lipat zat antimikroba.

Medium diinokulasi dengan bakteri dan diinkubasi. Tujuan dari metode ini

adalah untuk mengetahui seberapa banyak jumlah zat antimikroba yang

diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri (Jawetz,

et al., 2007).

5. Mikroba uji
Mikroba uji yang digunakan pada penelitian ini adalah Candida albicans,

Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli.

a. Candida albicans

Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya

untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang

akan berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah yang

16
berbentuk hifa semu. Perbedaan bentuk ini tergantung pada faktor eksternal

yang mempengaruhinya. Candida dapat mudah tumbuh dalam media

Saboraud dengan membentuk koloni ragi dengan sifat khasnya yaitu

menonjol dari permukaan medium, permukaaan koloni halus licin, berwarna

putih kekuning-kuningan dan berbau ragi (Siregar, 2005).

Berdasarkan taksonomi menurut NCBI (2012)

Domain : Eukaryota

Kingdom : Fungi

Phyllum : Ascomycota

Classis : Saccharomycetes

Ordo : Saccharomycetales

Familia : Debaryomycetaceae

Genus : Candida

Spesies : Candida albicans

Candida albicans dapat ditemukan pada saluran pencernaan, mukosa

mulut dan vagina (Kuleta, 2009). Infeksi yang disebabkan C.albicans disebut

sebagai Candisiasis atau Moniliasis. Candisiasis yang paling umum

ditemukan pada vagina disebut Candisiasis vaginalis. Candida albicans yang

menginfeksi membran mukosa mulut pada manusia akan menyebabkan

sariawan sedangkan pada kulit yang luka akan cepat membentuk koloni

(Prescott, 2002).

b. Staphylococcus aureus

17
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat

berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang teratur

seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak

bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 °C, tetapi membentuk

pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25°C). Koloni pada pertumbuhan

media padat berwarna abu-abu sampai kuning emas, berbentuk bulat, lembut

dan mengkilap (Jawetz et al., 2007).

Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut NCBI :

Divisi : Schizomycota

Kelas : Schizomycetes

Bangsa : Eubacteriales

Suku : Micrococcaceae

Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus aureus

c. Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif, tidak berspora dan

mempunyai bentuk basil (Welch, 2006). Bakteri Escherichia coli biasanya

ditemukan pada usus manusia dan infeksi karena bakteri ini biasanya

ditularkan lewat makanan yang terkontaminasi. Gejala yang dialami bila

terinfeksi bakteri ini adalah diare dan kram abdomen. Biasanya infeksi yang

disebabakan oleh bakteri tidak berbahaya, namun pada beberapa kasus infeksi

tersebut bisa mengancam jiwa (Jawetz et al., 1984).

Sistematika bakteri E.coli :

18
Divisi : Proteobacteria

Kelas : Schizomycetes

Bangsa : Enterobacteriales

Suku : Enterobateriaceae

Marga : Escherichia

Jenis : Escherichia coli

Mekanisme penghambatan mikroba oleh agen antimikroba antara lain

(Pratiwi,2008) :

1) Penghambatan sintesis dinding sel

Pada mekanisme ini, senyawa yang berperan sebagai antimikroba

merusak lapisan yang menyusun dinding sel bakteri yaitu peptidoglikan

pada bakteri Gram positif maupun Gram negatif.

2) Merusak membran plasma

Membran plasma bersifat semipermeabel dan mengendalikan transpor

berbagai metabolit ke dalam dan ke luar sel. Adanya gangguan atau

kerusakan struktur pada membran plasma akan menjadi penghamat atau

merusak kemampuannya sebagai barrier osmosis dan dapat mengganggu

proses biosintesis yang diperlukan dalam membran. Pada umumnya

senyawa antimikroba ini merusak membran plasma dengan mengubah

permeabilitas membran plasma.

3) Menghambat sintesis protein

19
Mekanisme penghambatan yang dilakukan yaitu proses yang dapat

mengakibatkan bakteri tidak mampu menyintesis protein yang vital bagi

pertumbuhannya.

4) Menghambat sintesis asam nukleat

Penghambatan terhadap transkripsi dan replikasi mikroorgansime.

5) Menghambat sintesis metabolit esensial

Penghambatan dilakukan dengan adanya kompetitor berupa

antimetabolit yaitu subtansi yang secara kompetitif menghambat metabolit

mikroorganisme, karena memiliki struktur yang mirip dengan substrat

normal bagi enzim metabolisme.

6. KLT-Bioautografi

a. KLT

Kromatografi Lapis Tipis merupakan teknik pemisahan senyawa paling

sederhana. KLT digunakan untuk analisis senyawa secara kualitatif dan

semikuantitatif. Komponen senyawa dalam suatu sampel akan bermigrasi

sesuai dengan tingkat kepolarannnya selama pergerakan fase gerak melalui

fase diam (Sherma, 2003).

Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak

sepanjang fase diam karena pengaruh pengembangan secara mekanik atau

karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun. Fase diam

yang digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme

20
sorpsi yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorbsi (Gandjar dan

Rohman, 2007).

Identifikasi senyawa pada KLT didasarkan pada nilai perbandingan Rf

terhadap referensi standar. Faktor yang menyebabkan nilai Rf bervariasi

adalah jenis wadah atau chamber yang digunakan untuk pengembangan

kromatogram, sifat dan ukuran fase diam, arah aliran fase gerak, volume dan

komposisi fase gerak, kondisi kesetimbangan, dan metode preparasi sampel

sebelum KLT. Deteksi paling sederhana adalah apabila senyawa secara alami

berwarna pada sinar tampak dan berpendar atau menyerap pada sinar UV.

Penyemprotan dengan reagen penampak bercak diperlukan pada beberapa

senyawa agar menghasilkan warna dan fluoresensi (Sherma, 2003).

Reagen untuk deteksi senyawa antara lain :

1. Anisaldehid asam sulfat digunakan untuk mendeteksi adanya senyawa-

senyawa terpenoid, steroid, glikosida, gula, antioksidan, dan sapogenin

(Jork et al., 1990).

2. FeCl3 digunakan untuk mendeteksi senyawa fenolik. Hasil positif didapat

apabila muncul bercak warna biru, violet, kuning, oranye dan coklat

(Spanberg, 2008).

3. Dragendorff digunakan untuk mengidentifikasi senyawa alkaloid atau

senyawa yang memiliki nitrogen pada kerangka strukturnya. Senyawa

alkaloid di reaksikan dengan Dragndorff akan membentuk warna jingga

merah (Spanberg, 2008).

21
4. Dinitrofenilhidrazin (2,4 DNPH) digunakan untuk mendeteksi adanya

ikatan rangkap karbonil, misalnya gugus aldehid dan keton. Hasil positif

ditunjukkan oleh munculnya warna kuning hingga jingga (Spanberg,

2008).

5. Sitroborat merupakan pereaksi yang digunakan untuk mendeteksi adanya

ikatan o-hidroksi pada senyawa. Hasil positif bila terdapat bercak

berwarna kuning setelah disemprot oleh reagen sitroborat (Mabry et al.,

1970).

b. Bioautografi

Bioautografi merupakan metode skrining mikrobiologi yang umumnya

digunakan untuk mendeteksi aktivitas antimikroba. Teknik ini

menggabungkan KLT dengan metode deteksi biologi dan kimia. Keuntungan

metode ini adalah dapat untuk mengidentifikasi senyawa antimikroba

walaupun berada dalam campuran yang kompleks sehingga terdapat

kemungkinan untuk mengisolasi senyawa tersebut. Kerugian dari metode ini

adalah tidak dapat untuk menentukan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM). Terdapat 3 macam teknik

bioautografi yaitu bioautografi kontak, bioautografi langsung, dan overlay

(Balouiri et al., 2016; Choma dan Grzelak, 2011; Pratiwi, 2008).

1) Bioautografi kontak

Senyawa antimikroba akan berdifusi dari plat KLT ke dalam media Agar

yang telah berisi mikroba uji. Setelah beberapa menit plat KLT yang

diletakkan di atas permukaan media Agar diambil dan diinkubasi.

22
Penghambatan pertumbuhan ditandai dengan terbentuknya zona jernih yang

menunjukkan senyawa antimikroba.

2) Bioautografi langsung

Bioautografi langsung merupakan metode yang paling sering digunakan

diantara dua lainnya. Pada metode ini plat KLT dimasukkan ke dalam atau

disemprot suspensi mikroba. Plat KLT diinkubasi pada suhu 25°C selama 48

jam pada kondisi lembab. Bercak yang tampak sebagai agen antimikroba

merupakan zona yang pertumbuhan mikrobanya dihambat. Zona tersebut

divisualisasi dengan reagen yang dapat mendeteksi aktivitas dehydrogenase,

umumnya digunakan garam tetrazolium. Pada mikroba hidup dehydrogenase

akan mengubah tetrazolium menjadi senyawa formazan yang berwarna

akibatnya akan timbul bercak berwana putih dengan latar belakang ungu pada

plat KLT yang menunjukkan agen antimikrobanya.

3) Bioautografi Overlay

Metode ini merupakan kombinasi bioautografi kontak dan bioautografi

langsung. Senyawa antimikroba berdifusi dari plat KLT ke dalam media Agar

seperti pada metode kontak namun, lapisan Agar tetap menempel pada

permukaan plat KLT selama inkubasi. Untuk mengetahui zona hambat yang

terbentuk divisualisasi seperti pada bioautografi langsung (Balouiri et al.,

2016; Choma dan Grzelak, 2011).

23
F. Keterangan Empiris

Fungi SAL 9 asosiasi spons Stylissa flabelliformis mempunyai aktivitas

antimikroba terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan

Escherichia coli ATCC 25922 serta terhadap jamur Candida albicans ATCC

10231. Pada fungi SAL 9 diketahui waktu panen metabolitnya dan golongan

senyawa yang bertanggungjawab terhadap efek antimikroba.

24

Anda mungkin juga menyukai