Seperti telah diketahui bahwa negara RIS adala hasil kompromi antara Indonesia dengan Belanda dalam posisi terdesak Indonesia menerima RIS, namun Negara RIS hasil dari KMB tidak sejalan dengan cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia, maka pada tanggal 27 Desember 1949 dirintis untuk kembali kepada Negara kesatuan dengan proses pemulihan kedaulatan sebagai berikut:[6] a. Negara-negara bagian yang menggabungkan diri kepada Negara dengan bagian yang lain (dalam hal ini kepada Negara RIS pemerintahan). b. Penyerahan kekuasaan kepada pemerintah federal oleh negara bagian. c. Persetujuan antara Negara federal dengan Negara bagian. Dengan cara ini ternyata belum berhasil untuk melaksanakan pembentukan kesatuan Negara kesatuan kembali, maka harus dicari jalan lain yaitu harus merubah Konstitusi RIS dengan Konstitusi baru dengan berbagai catatan antara lain: a. Pasal-pasal yang federalisme dalam Konstitusi RIS harus dicabut. b. Negara kesatuan dibentuk dengan cara semua negara bagian yang ada masuk RI, dengan sendirinya RIS bubar. Maka pada tanggal 18 Agustus 1950, UUDS 1950 dinyatakan berlaku, UUDS 1950 ini sangat berbeda dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem pemerintahan yang parlementer, kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana Menteri. Pada periode ini Pemerintahan ini tidak stabil sering terjadi pergantian pemerintahan, untuk itu diadakanlah Pemilihan Umum untuk Konstituante bulan Desember 1955 yang diikuti oleh banyak partai politik, pada tanggal 10 November 1956 Presiden Soekarno membuka dengan resmi sidang pertama Konstituante di Bandung. Presiden Soekarno meminta agar Konstituante agar tidak terlalu lama bersidang untuk menghasilkan UUD. Tetapi setelah itu Konstituante telah menjadi medan perdebatan yang tidak berkesudahan, medan pertarungan bagi partai politik dan pemimpin-pemimpin politik mengenai persoalan-persoalan prinsipil. Disamping itu terjadi pergolakana pada masa kabinet Ali Satro Amidjojo terjadi pemberontakan di daerah oleh PRRI/ Permesta pada akhir 1956, kemudian disusul dengan pengunduran diri wakil Presiden Moh. Hatta. Konstituante yang bersidang untuk membentuk UUD yang permanen telah gagal. 4. Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966) Konstiuante telah menyelanggarakan sidang-sidang membahas rencana penggantian UUDS 1950, akan tetapi kentyataanya Konstituante tidak berhasil membuat rumusan tentang undang-undang dasar yang dapat dijadikan pengganti UUDS 1950. Karena kemacetan kerja Konstituante maka pada tanggal 22 April tahun 1959 Presiden menyampaikan amanat kepada Konstituante yang memuat anjuran kepala negara dan pemerintahan untuk kembali kepapda UUD 1945. Amanat Presiden diperdebatkan dalam suatu pemandangan umum sidang Konstituante tanggal 29 April sampai 13 mei 1959 serta tanggal 16 sampai 26 Mei 1959.[7] Maka dengan pertimbangan keselamatan negara dan bangsa pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan ”Dekrit” yang berisi: pembubaran Konstituante, penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.[8] 5. Orde Baru (11 Maret 1966- 21 Mei 1998) Dengan Dekrit presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit ini ialah Staatsnoodrecht. Dibawah UUD 1945 ini untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan umum pada tanaggal 3 juli 1971, sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No. 15 tahun 1969, undang-undang mana adalah pelaksanaan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XL/MPRS/1966 jo. No. XL II/MPRS/1968.[9] Sebagai hasil dari pemilihan umum tersebut maka pada tanggal 28 Oktober 1971 dilantiklah Dewan Perwakilan Rakyat, dan pada tanggal 1 Oktober 1972 Majelis Permusyawaratan Rakyat dilantik pula. Dalam sidangnya tahun 1973 Majelis Permusyawaratan rakyat telah menetapkan bahwa Pemilihan Umum berikutnya akan diadakan pada akhir tahun 1977 dala Ketetapanya No. VIII/MPRS/1973. Sandaran teoritis yang dikemukakan ialah, bahwa perubahan dengan Dekrit Presiden itu dapat dianggap sah, karena keadaan darurat maka negara dapat memberlakukan hukum tata negara darurat (objective staatsnoodrecht). Dikaitkan dengan lembaga pemilu, ketiga Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia (UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950) juga menuntut adanya lembaga pemilu meskipun ketiganya tidak secara eksplisit menyebutkanya kecuali UUD 1945 pasca amandemen. Tapi dapat dikatakan UUD itu secara implisit memuat adanya pemilu sebab aparatur negara yang demokratis yang harus dilembagakan menurut UUD tersebut secara Konsitusuonal memang menuntut adanya lembaga pemilu