Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ACUTE LUNG ODEMA ( ALO )

1. DEFINISI
Acute Lung Odema (ALO) atau edema paru akut adalah terjadinya penumpukan
cairan secara massif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam
kedaruratan respirasi dan ancaman gagal nafas (Gumiwang, 2007).
ALO juga dapat diartikan sebagai penumpukan cairan (serous/serosanguineous) oleh
karena adanya aliran cairan atau darah ke ruang interstisial paru yang selanjutnya ke
alveoli paru, bronkus, bronkiolus, atau interstisial space melebihi cairan balik/kembali
ke arah jantung atau melalui limfatik (Tamashefski, 2000).

2. ETIOLOGI
a. Ketidakseimbangan Starling Forces:
1) Peningkatan tekanan kapiler paru:
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat
sampai melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg
pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-
12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut.
Etiologi dari keadaan ini antara lain:
 Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).
 Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel
kiri.
 Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing
enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.Tetapi hipoalbuminemia
saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler
paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan
menyebabkan edema paru.
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial:
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural,
contoh yang sering menjadi etiologi adalah:
1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress
Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara
kapiler dan alveolar.Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu yang
berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat
ketidakseimbangan Starling Force.
1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO).
3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).
4) Aspirasi asam lambung.
5) Pneumonitis radiasi akut.
6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
7) Disseminated Intravascular Coagulation.
8) Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
9) Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
10) Pankreatitis Perdarahan Akut.
c. Insufisiensi Limfatik:
1) Post Lung Transplant.
2) Lymphangitic Carcinomatosis.
3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
d. Tak diketahui/tak jelas
1) High Altitude Pulmonary Edema.
2) Neurogenic Pulmonary Edema.
3) Narcotic overdose.
4) Pulmonary embolism
5) Eclampsia
6) Post cardioversion
7) Post Anesthesia
8) Post Cardiopulmonary Bypass

e. Kardiogenik
1) Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena
adanya deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk
gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot
jantung yang disuplai oleh arteri tersebut.Akibatnya, otot jantung yang
mengalami gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa.
2) Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik.Menurut
beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat
disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan
alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat
kemoterapi.Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga
tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung
memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak
mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru.
Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
3) Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau
tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi).Hal ini menyebabkan
darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
4) Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada
otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.

3. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan non-
kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat
berbeda.Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun
sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung
Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita
Payah Jantung Kiri Cronic
a. Cardiogenic
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan
pada organ jantung.Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung
memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang
buruk.Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang
buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit
atau kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung
yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi lebih dari jumlah darah yang biasa
dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru.Pada gilirannya, hal ini
menyebabkan cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli
ketika tekanan membesar.
b. Non-Cardiogenic Pulmonary Edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal
berikut:
- Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon
peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang
dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
- Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain,
atau radiasi pada paru-paru.
- Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat
pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut,
dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
- High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang
cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
- Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure
yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di
paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
- Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion
pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis
(pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural
effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat
berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral
pulmonary edema).
- Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
- Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke
paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-
related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia
pada wanita-wanita hamil.

4. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto
toraks).Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar
dideteksi dini.Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi
cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan
tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru.Transudasi ini terjadi tanpa perubahan
pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang
terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas.Sering kali
keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda.
- Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas
CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat
bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin
adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup
pada saat inspirasi.
- Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor
intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal
oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi.Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda
gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran
limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat.Pada pemeriksaan
spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
- Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar.Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia.Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.
Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita
hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia.Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-
hati.Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru.Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteria
koronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat
dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan
menghambat cyclooxygenase atau cyclic phosphodiesterase akan mengurangi
edema' paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada
manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang-kadang penderita
dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya
normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara
radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada
beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder
oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung
(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006).

5. PATOFISIOLOGI
a. Penigkatan tekanan hidrostatik (tekanan yang mendorong cairan keluar sel) pada
kapiler paru terjadi jika kerja pemompaan ventrikel kiri tidak adekuat. Penyebabnya
adalah penurunan kekuatan miokardium atau keadaan yang menuntut peningkatan
kerja miokardium (gagal jantung), stenosis katup mitral atau regurgitasi. Akibatnya,
peningkatan atrium kiri akan dihantarkan ke belakang pembuluh darah paru.
b. Gangguan drainase limfatik mempermudah pembentukan edema paru. Biasanya,
kelebihan cairan filtrasi akan dibuang melalui system limfatik. Jika gagal jantung
kanan bersamaan dengan gagal jantung kiri, tekanan vena sistemik akan meningkat,
begitu pula tekanan pada tempat drainase pembuluh limfatik ke dalam vena sehingga
menghambat drainase limfatik.
c. Tekanan onkotik di kapiler berkurang pada hipoproteinemia, sehingga mendukung
terjadinya edema paru (tidak ada cukup perotein untuk mendorong cairan ke dalam
sel).
d. Pada edema paru interstisial, ruang interstisial di antara kapiler dan alveolus
meningkat. Akibatnya terjadi gangguan difusi yang terutama mengganggu
pengambilan O2. Sehingga pada aktifitas fisik dimana kebutuhan O2 meningkat,
konsentrasi O2 dalam darah akan turun (hipoksemia, sianosis). Tekanan yang terus
meningkat dan kerusakan dinding alveolus menyebabkan filtrasi ke dalam ruang
alveolus. Alveolus yang terisi dengan cairan tidak lagi terlibat dalam proses
pertukaran gas, cairan memasuki jalan nafas sehingga meningkatkan resistensi jalan
nafas.
e. Edema paru memaksa pasien untuk bernafas dalam posisi tegak (ortopneu). Pada
posisi duduk atau berdiri setelah berbaring, aliran balik vena dari bagian tubuh
terbawah akan turun (semakin turun bila dalam posisi tegak) sehingga tekanan atrium
kanan dan curah jantung kanan menurun. Aliran darah ke paru akan berkurang
sehingga menyebabkan penurunan teknan hidrostatik di kapiler paru dan dalam
waktu yang bersamaan, aliran vena pulmonalis dari bagian tubuh di atas paru akan
meningkat. Selain itu, penurunan tekanan vena sentralis membantu drainase limfatik
dari paru. Akibatnya, bendungan paru, serta edema alveolus dan interstisial akan
berkurang.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG
- Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri, atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung.
- Gambaran iskemik, infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan.
- Edema paru non iskemik: gelombang T negative yang lebar dengan QT
memanjang.
b. Laboratorium
- Analisis gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah, kemudian hiperkapnia.
- Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
- Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalisis, enzim jantung (CK-CKMB,
Troponin T) diperiksa.
c. Foto Thoraks
Hilus melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema
interstisial atau alveolar.
1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
2. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)
5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul
milier)

Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak


tinggi

1. Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)


2. Edema “ butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)

d. Ecocardiografi
Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi),
segmental wall motion abnormality (PJK), dan umumnya ditemukan dilatasi
ventrikel dan atrium kiri.

7. PENATALAKSANAAN
a. Posisi setengah duduk
b. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk 
pasien makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60
mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau
tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat  dilakukan intubasi
endotrakeal, suction, dan ventilator/bipep.
c. Infuse emergensi
d. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
e. Nitrogliserin sublingual atau iv.
f. Peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah > 95 mmHg bisa diberikan iv
mulai dosis 3-5 μg/kgBB. Jika tidak memberikan hasil memuaskan, dapat diberikan
nitroprusid.
g. Nitroprusid iv dimulai dosis 0,1 μg/kgBB/menit bila tidak member respons dengan
nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah
sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal
atau selama dapat dipertahankan perfusi ke organ-organ vital.
h. Morfin sulfat: 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis 15 mg.
i. Diuretic : Furosemid 40-80 mg iv bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam.
j. Bila perlu (tekanan darah turun/tanda hiperfusi)  Dopamin 2-5 μg/kgBB/menit atau
Dobutamin 2-10μg/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respons klinis atau keduanya.
k. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien innfark miokardial.
l. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis, atau tidak
berhasil dengan terapi oksigen.
m. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
n. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti regurgitasi, VSD, dan
rupture dinding ventrikel atau korda tendinae.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Identitas : Nama, tanggal lahir, alamat
b. Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa
muda
c. Riwayat Masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis
atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah
menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang
mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
d. Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik
seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan
serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
e. Pemeriksaan fisik
- Sistem Integumen
Subyektif :
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder),
banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
- Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar
stridor, ronchii pada lapang paru,
- Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif : denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas
darah menurun, denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
- Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
- Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
- Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
- Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
- Studi Laboratorik
Hb : menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar
karbon darah meningkat/normal
- Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

2. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial
(penurunan).
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus
(perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli)
3. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru.
4. Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
5. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan keletihan
(keadaan fisik yang lemah).
6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan
kurang terpajang informasi.

3. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan 1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontakilitas miokardial (penurunan).
Tujuan : Curah jantung tercukupi untuk kebutuhan individual
Kriteria hasil : Menunjukkan tanda vital dalam batas normal dan bebas gejala gagal
jantung.
Rencana tindakan :
a) Catat suara jantung
Rasional: S1 dan S2 mungkin lemah karena terdapat kelemahan dalam memompa.
Irama gallop sering ada (S2 dan S3). Murmur merupakan gambaran adanya
ketidaknormalan/stenosis dari katup.
b) Monitor tekanan darah
Rasional: pada awal tekanan darah meningkat karena peningkatan SVR, lama
kelamaan badan/body jantung tidak bisa bertambah panjang agar bisa untuk
kompensasi dan bisa terjadi hipotensi berat.
c) Palpasi denyut peripher
Rasional: Penurunan CO akan menyebabkan kelemhn denyut pada arteri radialis,
poplitea,dorsalis pedis dan posttibial. Denyut dapat yang cepat atau reguler dan
mungkin juga terdapat pulsus alternans (denyut yang kuat di selingi denyut yang
lemah)
d) Lihat warna kulit,pucat,cyanosis
Rasional: Pucat menunjukkan berkurangnya perfusi perifer sebagai akibat sekunder
dari ketidakadekuatnya CO
e) Nilai perubahan tanggapan panca indera seperti: lethargy, kebingungan, disoientasi
cemas dan depresi.
Rasional: Menunjukkan tidak adekuatnya perfusi cerebralsebagai akibat sekunder
dari penurunan CO
f) Collaborative dalam pemberian O2 lewat canul nasal/masker sesuai indikasi.
Rasional: meningkatnya persediaanya O2 untuk kebutuhan myokard untuk
menanggulangi efek hypoxia/iskemia.
g) Collaborative pemberian diuretik
Rasional : Pengurangan preload penting dalam pengobatan pada pasien cardiac out
put yang relative normal yang di sertai oleh gejala-gejala bendungan. Pemberian loup
diuretics akan mengurangi reabsorbsi dari sodium dan air.
h) Collaborative pemberin digoxin
Rasional: meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan melambatkan kecepatan
denyut jantung (heart rate) dengan menurunkan kecepatan konduksi dan
memperpanjng periode retrakter dari AV junction untuk meningkatkan efisiensi
jantung/cardiac out put.

Diagnosa Keperawatan 2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan


membran kapiler-alveolus (perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli) Tujuan:
Pertukaran gas efektif
Kriteria hasil: menunjukkan ventilasi dan oksigenasi jaringan yang adekuat pada jringan
di tunjukkan oleh GDA/oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress
pernafasan
Rencana tindakan:
a) Auskultasi suara nafas, catat adanya krekels
Rasional: Menunjukkan adanya bendungan pulmonal/penumpukan secret yang
membutuhkan penanganan lebih lanjut
b) Atur posisi fowler dan bed rest
Rasional: merangsang pengembangan paru secara maksimal.
c) Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri
Rasional: hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru.
d) Collaborative pemberian O2 sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan konsenterasi O2 alveolar yang akan mengurangi hypoxemia
jaringan
e) Collaborative pemberian obat Diuretic
Rasional: Mengurangi bendungan alveolar sehingga meningkatkan pertukaran gas
f) Bronkodilator
Rasional : Meningkatkan pemasukan O2 dengan jalan dilatasi saluran nafas.
Diagnosa Keperawatan 3. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan
menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
Tujuan: Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil: Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada
pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi nafas
terdengar jelas.
Rencana tindakan:
a. Identifikasi faktor penyebab
Rasional: Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat mengambil tindakan
yang tepat
b. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan yang
terjadi
Rasional: Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien
c. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala
tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat
Rasional: Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa
maksimal
d. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien).
Rasional: Peningkatan RR dan tachicardi merupakan indikasi adanya penurunan
fungsi paru
e. Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam
Rasional: Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paru-paru
f. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif
Rasional: Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-
otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif
g. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto
thorax
Rasional: Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah
terjadinya sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari
berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.

Diagnose keperawatan 4: Cemas atau ketakutan sehubungan dengan adanya ancaman


kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).
Tujuan: Pasien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi
kecemasan.
Kriteria hasil: Pasien mampu bernafas secara normal, pasien mampu beradaptasi dengan
keadaannya. Respon non verbal klien tampak lebih rileks dan santai, nafas teratur
dengan frekuensi 16-24 kali permenit, nadi 80-90 kali permenit.
Rencana tindakan:
a. Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasien. Biasanya dengan semi fowler.
b. Jelaskan mengenai penyakit dan diagnosanya
Rasional: pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat diajak
kerjasama dalam perawatan.
c. Ajarkan teknik relaksasi.
Rasional: Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan
d. Bantu dalam menggunakan sumber koping yang ada
Rasional: Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat bermanfaat
dalam mengatasi stress.
e. Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien
Rasional: Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik
f. Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas
Rasional: Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi
klien dan membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan
g. Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya
Rasional: Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah teridentifikasi
dengan baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.

Diagnose keperawatan 5: Ketidakmampuan melaksanakan aktivitas sehari-hari


sehubungan dengan keletihan (keadaan fisik yang lemah)
Tujuan: Pasien mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.
Kriteria hasil: Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan
bersemangat, personel hygiene pasien cukup
Rencana tindakan:
a. Evaluasi respon pasien saat beraktivitas, catat keluhan dan tingkat aktivitas serta
adanya perubahan tanda-tanda vital
Rasional: Mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.
b. Bantu Px memenuhi kebutuhannya
Rasional: Memacu pasien untuk berlatih secara aktif dan mandiri
c. Awasi Px saat melakukan aktivitas
Rasional: Memberi pendidikan pada Px dan keluarga dalam perawatan selanjutnya.
d. Libatkan keluarga dalam perawatan pasien
Rasional: Kelemahan suatu tanda Px belum mampu beraktivitas secara penuh.
e. Jelaskan pada pasien tentang perlunya keseimbangan antara aktivitas dan istirahat
Rasional: Istirahat perlu untuk menurunkan kebutuhan metabolisme
f. Motivasi dan awasi pasien untuk melakukan aktivitas secara bertahap
Rasional: Aktivitas yang teratur dan bertahap akan membantu mengembalikan pasien
pada kondisi normal.

Diagnose keperawatan 6: Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan


sehubungan dengan kurang terpajan informasi
Tujuan: Pasien dan keluarga tahu mengenai kondisi dan aturan pengobatan
Kriteria hasil:
- Px dan keluarga menyatakan pemahaman penyebab masalah
- Px dan keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala yang memerlukan
evaluasi medik
- Px dan keluarga mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola
hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah
Rencana tindakan:
a. Kaji patologi masalah individu.
Rasional: Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberikan
pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi
terapeutik
b. Kaji ulang tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat (contoh, nyeri
dada tiba-tiba, dispena, distress pernafasan)
Rasional: Berulangnya proses penyakit memerlukan intervensi medik untuk
mencegah, menurunkan potensial komplikasi
c. Kaji ulang praktik kesehatan yang baik (contoh, nutrisi baik, istirahat, latihan).
Rasional: Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat
mencegah kekambuhan.

Rencana Tindakan:
Intervensi
No Diagnosa Tujuan & KH Intervensi Rasional
1 Ketidakefektifan Pola nafas 1. Berikan HE 1. Informasi yang
pola nafas kembali efektif pada pasien adekuat dapat
berhubungan setelah tentang membawa pasien
dengan keadaan dilakukan penyakitnya lebih kooperatif
tubuh yang tindakan dalam memberikan
lemah keperawatan terapi
selama 3 × 24 2. Atur posisi semi 2. Jalan nafas yang
jam, dengan fowler longgar dan tidak
kriteria hasil: ada sumbatan proses
- Tidak terjadi respirasi dapat
hipoksia atau berjalan dengan
hipoksemia lancar.
- Tidak sesak 3. Observasi tanda 3. Sianosis merupakan
- RR normal dan gejala salah satu tanda
(16-20 × / sianosis manifestasi
menit) ketidakadekuatan
- Tidak terdapat suply O2 pada
kontraksi otot jaringan tubuh
bantu nafas 4. Berikan terapi perifer
- Tidak terdapat oksigenasi 4. Pemberian oksigen
sianosis secara adequat dapat
mensuplai dan
memberikan
cadangan oksigen,
sehingga mencegah
5. Observasi terjadinya hipoksia.
tanda-tanda 5. Dyspneu, sianosis
vital merupakan tanda
terjadinya gangguan
nafas disertai dengan
kerja jantung yang
menurun timbul
takikardia dan
capilary refill time
yang
6. Observasi memanjang/lama.
timbulnya gagal 6. Ketidakmampuan
nafas. tubuh dalam proses
respirasi diperlukan
intervensi yang kritis
dengan
menggunakan alat
bantu pernafasan
(mekanical
7. Kolaborasi ventilation).
dengan tim 7. Pengobatan yang
medis dalam diberikan berdasar
memberikan indikasi sangat
pengobatan membantu dalam
proses terapi
keperawatan

2 Gangguan Fungsi 1. Berikan HE 1. Informasi yang


pertukaran gas pertukaran gas pada pasien adekuat dapat
berhubungan dapat maksimal tentang membawa pasien
dengan distensi setelah penyakitnya lebih kooperatif
kapiler dilakukan dalam memberikan
pulmonar tindakan terapi
keperawatan 2. Atur posisi 2. Jalan nafas yang
selama 3 × 24 pasien semi longgar dan tidak
jam dengan fowler ada sumbatan proses
kriteria hasil: respirasi dapat
- Tidak terjadi berjalan dengan
sianosis lancer
- Tidak sesak 3. Bantu pasien 3. Posisi yang berbeda
- RR normal untuk menurunkan resiko
(16-20 × / melakukan perlukaan akibat
menit) reposisi secara imobilisasi
- BGA normal: sering
 partial 4. Berikan terapi 4. Pemberian oksigen
pressure of oksigenasi secara adequat dapat
oxygen mensuplai dan
(PaO2): 75- memberikan
100 mm Hg cadangan oksigen,
 partial sehingga mencegah
pressure of 5. Observasi terjadinya hipoksia
carbon tanda – tanda 5. Dyspneu, sianosis
dioxide vital merupakan tanda
(PaCO2): 35- terjadinya gangguan
45 mm Hg nafas disertai dengan
 oxygen kerja jantung yang

content menurun timbul

(O2CT): 15- takikardia dan

23% capilary refill time

 oxygen yang

saturation memanjang/lama.

(SaO2): 94- 6. Kolaborasi 6. Pengobatan yang

100% dengan tim diberikan berdasar

 bicarbonate medis dalam indikasi sangat

(HCO3): 22- memberikan membantu dalam

26 mEq/liter pengobatan proses terapi

 pH: 7.35- keperawatan

7.45

3 Resiko tinggi Infeksi tidak 1. Berikan HE 1. Informasi yang


infeksi terjadi setelah pada pasien adekuat dapat
berhubungan dilakukan tentang kondisi membawa pasien
dengan area tindakan yang dialaminya lebih kooperatif
invasi keperawatan dalam memberikan
mikroorganisme selama .. × 24 terapi
sekunder jam, dengan 2. Observasi 2. Meningkatnya suhu
terhadap kriteria hasil: tanda-tanda tubuh dpat dijadikan
pemasangan - Pasien mampu vital. sebagai indicator
selang mengurangi terjadinya infeksi
endotrakeal kontak dengan 3. Observasi 3. Kebersihan area
area daerah pemasangan selang
pemasangan pemasangan menjadi factor
selang selang resiko masuknya
endotrakeal endotrakheal mikroorganisme
- Suhu normal 4. Lakukan tehnik 4. Meminimalkan
(36,5oC) perawatan organisme yang
secara aseptic kontak dengan
pasien dapat
menurunkan resiko
terjadinya infeksi
5. Kolaborasi 5. Pengobatan yang
dengan tim diberikan berdasar
medis dalam indikasi sangat
memberikan membantu dalam
pengobatan proses terapi
keperawatan

4 Bersihan jalan Keadekuatan 1. Motivasi klien 1. Nafas dalam dapat


napas tidak pola napas untuk napas membantu
efektif b.d tercapai setelah panjang dan membebaskan jalan
sekret yang pemberian dalam apabila napas.
kental atau intervensi tidak terdapat
hipersekresi selama 2x24 kontra indikasi
2. Kolaborasi
sekunder akibat jam. 2. Diuretic dapat
pemberian
ALO Kriteria hasil: membantu proses
diuretik sesuai
- RR dalam pengeluaran cairan
indikasi
rentang dari dalam tubuh
3. Kolaborasi
normal, 14-18 aspirasi cairan 3. Membebaskan jalan
kali/menit paru (pungsi) napas
- Tidak terdapat
sesuai indikasi
retraksi otot
bantu napas
tambahan
- Ekspansi dada
simetris
- Klien
mengatakan
tidak sesak

TERAPI DIURETIK

A. Pengertian
Obat-obatan yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine disebut
Diuretik. Obat-obat ini merupakan penghambat transport ion yang menurunkan
reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti Cl+ memasuki urine dalam jumlah lebih banyak
dibandingkan dalam keadaan normal bersama-sama air, yang mengangkut secara pasif
untuk mempertahankan keseimbangan osmotic. Perubahan Osmotik dimana dalam
tubulus menjadi menjadi meningkat karena Natrium lebih banyak dalam urine, dan
mengikat air lebih banyak didalam tubulus ginjal. Dan produksi urine menjadi lebih
banyak. Dengan demikian diuretic meningkatkan volume urine dan sering mengubah
PH-nya serta komposisi ion didalam urine dan darah (Halimudin, 2007).
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah
diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume
urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut
dalam air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel
kembali menjadi normal (Ahmad, 2009).
Pengaruh diuretik terhadap sekresi zat terlarut penting artinya untuk menentukan
tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk meramalkan akibat penggunaan suatu
diuretik (Ahmad, 2009).

B. Golongan Diuretik
Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu :
1. Diuretik Osmotic
Diuretik osmotik mempunyai tempat kerja :
a. Tubuli proksimal
Diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya.
b. Ansa enle
Diuretik osmotik ini bekerja pada ansa henle dengan cara menghambat reabsorpsi
natrium dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula menurun.
c. Duktus Koligentes
Diuretik osmotik ini bekerja pada Duktus Koligentes dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out, kecepatan aliran
filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain. Istilah diuretik osmotik biasanya
dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal.
Contoh dari diuretik osmotik adalah ; manitol, urea, gliserin dan isisorbid.
2. Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase.
Diuretik ini merintangi enzim karbonanhidrase di tubuli proksimal sehingga di
samping karbonat , juga Na dan K di ekskresikan lebih banyak bersama dengan air.
Khasiat diuretiknya hanya lemah, setelah beberapa hari terjadi tachyfylaxie, maka
perlu digunakan secara selang seling (intermittens). Diuretic bekerja pada tubuli
Proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi bikarbonat. Yang termasuk golongan
diuretik ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.
3. Diuretik golongan tiazid
Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium klorida. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi
tertahan lebih lama (6-48 jam) dan terutama digunakan dalam terapi pemeliharaan
hipertensi dan kelemahan jantung (dekompensatio cardis). Obat-obat ini memiliki
kurva dosis efek datar, artinya bila dosis optimal dinaikkan lagi efeknya (dieresis,
penurunan tekanan darah) tidak bertambah.Obat-obat diuretik yang termsuk
golongan ini adalah ; klorotiazid, hidroklorotiazid, hidroflumetiazid,
bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid, siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon,
kuinetazon, dan indapamid.
4. Diuretik hemat kalium
Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus koligentes
daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan sekresi kalium
dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara langsung
(triamteren dan amilorida).efek obat-obat ini hanya melemahkan dan khusus
digunakan terkombinasi dengan diuretika lainnya guna menghemat ekskresi kalium.
Aldosteron menstimulasi reabsorbsi Na dan ekskresi K. proses ini dihambat secara
kompetitif (saingan) oleh obat-obat ini. Amilorida dan triamteren dalam keadaan
normal hanyalah lemah efek ekskresinya mengenai Na dan K. tetapi pada
penggunaan diuretika lengkungan dan thiazida terjadi ekskresi kalium dengan kuat,
maka pemberian bersama dari penghemat kalium ini menghambat ekskresi K
dengan kuat pula. Mungkin juga ekskresi dari magnesium dihambat.
5. Diuretik kuat
Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan
epitel tebal dengan cara menghambat transport elektrolit natrium, kalium, dan
klorida. Obat-obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6 jam).
Banyak digunakan pada keadaan akut, misalnya pada udema otak dan paru-paru.
Memperlihatkan kurva dosis efek curam, artinya bila dosis dinaikkan Yang
termasuk diuretik kuat adalah ; asam etakrinat, furosemid dan bumetamid.

C. Pengobatan dengan Diuretik


1. Indikasi
Deuretik digunakan untuk menurunkan volume dan cairan interstisialdengan cara
yang meningkatkan ekskresi natrium klorida dan air. Bila deuretik diberikan secar
akut, akan terjadi kehilangan natrium lebih banyak daripada jumah natrium yang
masik dan makanan. Tetapi pada penggunaaan kronis akan dicapai keseimbangan,
sehingga natrium yang keluar sama dengan diet rendah garam.
2. Keadaan yang memerlukan diuresis cepat
Pada oedem paru, pemberian furosemid atau asam etakrinat IV dapat menyebabkan
dieresis cepat. Perbaikan yang terjadi sebagian mungkin disebabkan oleh adanya
perubahan hemodiamik yaitu perubahan pada daya tamping vena (venous
capacintance); tetapi efek duresisnya tetap diperlukan untuk mempertahnkan hasil
tersebut.
3. Oedem
Semua diuretic dapat digunakan untuk keadaan udem. Seringkali udem ini disertai
hiperaldonsteronisme dan karena itu penggunaan deeuretika cenderung disertai
kehilangan kalium. Penyebab utama uden adalah payah jantung ; penyebab lainnya
antara lain penyakit hati dan sindrom nefrotik. Pada semua keadaan ini harus
diusahakan meningkatkan kadar kalium dalam serumdengan pemberian suplemen
kalium atau dengan penggunaan bersama deuretik hemat kalium. Pada penderita
sirosis hati yang disertai asites dan udem, sebaiknya digunakan dahulu diuretic
hemat kalium, kemudian disusul dengan diuretic yang lebih kuat.
Pada oedem yang disertai gagal ginjal penggunaan tiazid kurang bermanfaat,
sebaliknya diuretic kuat sangat bermanfaat. Dalam hal ini perlu dosis besar untuk
mendapatkan efek pada tubuli proksimal; furosemid lebih disukai dibandingkan
dengan asam etakrinat karena asam etakrinat lebih besar atotoksisitasnya. Diuretic
hemat kalium sama sekali tidak boleh diberikan pada gagal ginjal,karena ada
bahaya terjadi karena hiperkalemia yang fatal.
4. Hipertensi
Dasar penggunaan diuretic pada hipertensi terutama karena efeknya terhadap
keseimbangan natrium dan terhadap resistensi perifer.
Furosemid dan asam etakrinat mempunyai natriuresus lebih kuat disbanding dengan
tiazid; tetapi keduanya tidak mempunyai efek fasedilatasi arteriol langsung seperti
tiazid. Oleh karena itu tiazid terpilih untuk pengobatan hipertensi berdasarkan
pertimbangan efektivitas maupun besarnya biaya.

D. Penggunaan klinik diuretic


1. Hipertensi
Digunakan untuk mengurangi volume darah seluruhnya hingga tekanan darah
menurun. Khususnya derivate-thiazida digunakan untuk indikasi ini. Diuretic
lengkungan pada jangka panjang ternyata lebih ringan efek anti hipertensinya, maka
hanya digunakan bila ada kontra indikasi pada thiazida, seperti pada insufiensi ginjal.
Mekanisme kerjanya diperkirakan berdasarkan penurunan daya tahan pembuluh
perifer. Dosis yang diperlukan untuk efek antihipertensi adalah jauh lebih rendah
daripada dosis diuretic. Thiazida memperkuat efek-efek obat hipertensi betablockers
dan ACE-inhibitor sehingga sering dikombinasi dengan thiazida. Penghetian
pemberian obat thiazida pada lansia tidak boleh mendadak karena dapat
menyebabkan resiko timbulnya gejala kelemahan jantung dan peningkatan tensi.
Diuretik golongan Tiazid, merupakan pilihan utama step :
a. Pada sebagian besar penderita. Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid
atau diuretik kuat, bila ada bahaya hipokalemia.
b. Payah jantung kronik kongestif. Diuretik golongan tiazid, digunakann bila fungsi
ginjal normal. Diuretik kuat biasanya furosemid, terutama bermanfaat pada
penderita dengan gangguan fungsi ginja. Diuretik hemat kalium, digunakan
bersama tiazid atau diuretik kuat bila ada bahaya hipokalemia.
c. Oedem paru akut. Biasanya menggunakan diuretik kuat (furosemid)
d. Sindrom nefrotik. Biasanya digunakan tiazid atau diuretik kuat bersama dengan
spironolakton.
e. Payah ginjal akut. Manitol dan/atau furosemid, bila diuresis berhasil, volume
cairan tubuh yang hilang harus diganti dengan hati-hati.
f. Penyakit hati kronik spironolakton (sendiri atau bersama tiazid atau diuretik
kuat).
g. Oedem otak. Diuretik osmotic
h. Hiperklasemia
Diuretik furosemid, diberikan bersama infus NaCl hipertonis.
i. Batu ginjal. Diuretik tiazid
j. Diabetes insipidusDiuretik golongan tiazid disertai dengan diet rendah garam
k. Open angle glaucoma. Diuretik asetazolamid digunakan untuk jangka panjang.
l. Acute angle closure glaucoma. Diuretik osmotik atau asetazolamid digunakan
prabedah. Untuk pemilihan obat Diuretika yang tepat ada baiknya anda harus
periksakan diri dan konsultasi ke dokter.

E. Mekanisme Kerja Diuretik


Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretikini. Pertama, tempat kerja
diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium sedikit,
akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diure- tik yang bekerja
pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak. Kedua, status fisiologi dari organ.
Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal ginjal. Dalam keadaan ini
akan memberikan respon yang berbeda terhadap diuretik. Ketiga, interaksi antara obat
dengan reseptor (Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar , 2008).
Kebanyakan bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga pengeluarannya
lewat kemih dan juga air diperbanyak. Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli,
tetapi juga ditempat lain, yakni:
1. Tubuli proksimal.
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorpsi secera aktif
untuk 70%, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena
reabsopsi belangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan
tetap isotonis terhap plama. Diuretik osmosis bekerja di tubulus proksimal dengan
merintangi rabsorpsi air dan natrium (Sunardi, 2009).
2. Lengkungan Henle.
Di bagian menaiknya ca 25% dari semua ion Cl – yang telah difiltrasi direabsorpsi
secara aktif, disusul dengan raborpsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air, hingga
filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan bekerja terutama di sini dengan
merintangi transpor Cl– begitupula reabsorpsi Na+, pengeluaran air dan
K+diperbanyak (Sunardi, 2009).
3. Tubuli distal.
Dibagian pertmanya, Na+ dirabsorpsi secara aktif tanpa air hingga filtrat menjadi lebi
cair dan lebih hipotonis. Senyawa tiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini
dengan memperbanyak eksresi Na+ dan Cl– sebesar 5-10%. Pada bagian keduanya,
ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+ proses ini dikendalikan oleh hormon
anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron dan zat-zat penghemat kalium bekerja di
sini dengan mengekskresi Na+ dan retensi K+ (Sunardi, 2009).
4. Saluran Pengumpul.
Hormon antidiuretik (ADH) dan hipofise bekerja di sini dengan mempengaruhi
permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini (Sunardi, 2009)
F. Efek samping
Efek-efek samping yang utama yang dapat di akibatkan diuretika adalah:
1. Hipokalemia
Kekurangan kalium dalam darah. Semua diuretic dengan ttitik kerja dibagian muka
tubuli distal memperbesar ekskresi ion K dan H karena ditukarkan dengan ion Na.
akibatnya adalah kandungan kalium plasma darah menurun dibawah 3,5 mmol/liter.
Keadaan ini terutama dapat terjadi pada penanganan gagal jantung dengan dosis
tinggi furosemida, mungkin bersama thiazida. Gejala kekurangan kalium ini
bergejala kelemahan otot, kejang-kejang, obstipasi, anoreksia, kadang-kadang juga
aritmia jantung tetapi gejala ini tidak selalu menjadi nyata. Thiazida yang digunakan
pada hipertensi dengan dosis rendah (HCT dan klortalidon 12,5 mg perhari), hanya
sedikit menurunkan kadar kalium. Oleh karena itu tidak perlu disuplesi kalium
(Slow-K 600 mg), yang dahulu agak sering dilakukan kombinasinya dengan suatu zat
yang hemat kalium suadah mencukupi. Pasien jantung dengan gangguan ritme atau
yang di obati dengan digitalis harus dimonitor dengan seksama, karena kekurangan
kalium dapat memperhebat keluhan dan meningkatkan toksisitas digoksin. Pada
mereka juga d khawatirkan terjadi peningkatan resiko kematian mendadak (sudden
heart death).
2. Hiperurisemia
Akibat retensi asam urat (uric acid) dapat terjadi pada semua diuretika, kecuali
amilorida. Menurut perkiraan, hal ini diebabkan oleh adanya persaingan antara
diuretikum dengan asam urat mengenai transpornya di tubuli. Terutama klortalidon
memberikan resiko lebih tibggi untuk retensi asam urat dan serangan encok pada
pasien yang peka.
3. Hipergligemia
Dapat terjadi pada pasien diabetes, terutama pada dosis tinggi, akibat dikuranginya
metabolisme glukosa berhubung sekresi insulin ditekan. Terutama thiazida terkenal
menyebabkan efek ini, efek antidiabetika oral diperlemah olehnya.
4. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia ringan dapat terjadi dengan peningkatan kadar koleterol total (juga
LDL dan VLDL) dan trigliserida. Kadar kolesterol HDL yang dianggap sebagai
factor pelindung untuk PJP justru diturunkan terutama oleh klortalidon. Pengecualian
adalah indaparmida yang praktis tidak meningkatkan kadar lipid tersebut. Arti klinis
dari efek samping ini pada penggunaan jangka panjang blum jelas.
5. Hiponatriemia
Akibat dieresis yang terlalu pesat dan kuat oleh diuretika lengkungan, kadar Na
plasma dapat menurun drastic dengan akibat hiponatriemia. Geejalanya berupa
gelisah, kejang otot, haus, letargi (selalu mengantuk), juga kolaps. Terutama lansia
peka untuk dehidrasi, maka sebaiknya diberikan dosis permulaan rendah yang
berangsur-angsur dinaikkan, atau obat diberikan secara berkala, misalnya 3-4 kali
seminggu. Terutama pada furosemida dan etakrinat dapat terjadi alkalosis (berlebihan
alkali dalam darah).
6. Lain-lain
Gangguan lambung usus (mual, muntah, diare), rasa letih, nyeri kepala, pusing dan
jarang reaksi alergis kulit. Ototoksisitas dapat terjadi pada penggunaan
furosemida/bumetamida dalam dosis tinggi.

G. Interaksi
Pada penggunaan diuretic bersama obat-obat lain, hars selal dipikirkan adanya
interaksi yang mungkin terjadi.

Tabel interaksi klinis yang penting pada penggunaaan diuretik


Obat Diuretik Efek
Kortikosteroid Tiazid Meningkatkan
Diuretic kuat hipokalemia
Aminoglikosid Diuretic kuat
Aminoglikosidsefalospori Diuretic kuat Menambah ototoksisitas
Antikolvunsan Furosemid Menambah
Diazoksid Tiazid nefrotoksisitas
Furosemid Menurunkan efek
Digitalis Tiazid natriuretik
Diuretic kuat Hiperglikemia
Indometasin Triamteren, amilorid
Indometasin dan penghambat Tiazid Meningkatkan
prostaglandin yang lain Diuretic kuat intoksikasi digitalis, bila
Litium Tiazid terjadi hipokalemai
Payah ginjal akut
Antikoagulan oral Tiazid (kemungkinan Menurunkan efek
diuretik yang lain) natriuretik dan atau efek
antihipertensinya
Suplemen kalium Diuretic hemat kalum Meningkatkan kadar
Suksinilkolin Diuretic kuat litium dalam serum
Menurunkan efek
Tetrasiklin Kemungkinan semua koagulan akibat
diuretic kosentrasi faktor-faktor
Tubokurarin pembekuan
Tiazid Hiperkalemia
Vitamin D dan produk- Diuretic kuad Efek blockade saraf-otot
produk kalsium Tiazid meningkat
Meningkatkan azotemia
pada penderita gagal
ginjal
Blockade di lempeng
saraf meningkat
Hiperkalsemia
DAFTAR PUSTAKA

NANDA NIC-NOC.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis


&NANDA. Jogjakarta:Mediaction
Wilkinson, J. M.2016. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC
Marmi,Suryaningsih dkk,2011.Asuhan Kebidanan Patologi.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Varney Helen.2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Vol 1.Jakarta:EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Nurarif & Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
Dan NANDA NIC-NOC Jilid I. Yogyakarta: Media Action Publishing

Anda mungkin juga menyukai