Anda di halaman 1dari 4

Pengertian Terorisme

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak
tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata
tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak
berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris")
layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris
umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-
lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah
jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang".
Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme
negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika
Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang
awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap
berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat
melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme

Terorisme di Indonesia

Terorisme di Indonesia merupakan terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok militan
Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan al-Qaeda ataupun kelompok militan yang menggunakan
ideologi serupa dengan mereka. Sejak tahun 2002, beberapa "target negara Barat" telah diserang.
Korban yang jatuh adalah turis Barat dan juga penduduk Indonesia. Terorisme di Indonesia dimulai
tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta, diikuti dengan empat serangan besar lainnya,
dan yang paling mematikan adalah Bom Bali 2002.

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_di_Indonesia

Upaya Mengatasi Terorisme Menurut Presiden Jokowi

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan empat pemikiran dalam mengatasi terorisme dan
radikalisme. Hal ini disampaikan Jokowi di akhir pidatonya saat berbicara di acara Konferensi
Tingkat Tinggi Arab Islam-Amerika di Conference Hall King Abdulaziz Convention Center, Riyadh,
Arab Saudi, Minggu 21 Mei 2017.

"Pertama, umat Islam se-dunia harus bersatu untuk meningkatkan ukhuwah Islamiyah," kata Jokowi
dalam siaran pers Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Bey Machmudin,
Minggu malam, 21 Mei 2017.

Persatuan umat Islam, kata dia, merupakan kunci keberhasilan memberantas terorisme. "Janganlah
energi kita habis untuk saling bermusuhan," kata Jokowi.

Kedua, kerja sama pemberantasan radikalisme dan terorisme antarnegara harus ditingkatkan. Ini
termasuk pertukaran informasi intelijen, pertukaran cara penanganan Foreign Terrorist Fighters
(FTF), serta peningkatan kapasitas penegak hukum. Semua sumber pendanaan harus dihentikan.
Jokowi mengatakan banyak pihak sudah tahu banyaknya dana yang mengalir sampai ke akar rumput
di banyak negara dalam rangka penyebaran ideologi ekstrem dan radikal. Karena itu semua aliran
dana harus dihentikan.

Ketiga, upaya menyelesaikan akar masalah harus ditingkatkan. Karenanya ketimpangan dan
ketidakadilan harus diakhiri, serta pemberdayaan ekonomi yang inklusif harus diperkuat.

Keempat, Jokowi berharap bahwa semua pihak harus berani menjadi bagian dari solusi, bukan bagian
dari masalah dalam upaya pemberantasan terorisme. "Setiap dari kita harus dapat menjadi bagian
upaya penciptaan perdamaian dunia," kata Jokowi.

Sumber : https://nasional.tempo.co/read/877402/4-ide-jokowi-mengatasi-terorisme-di-dunia

Perbedaan Radikalisme dan Terorisme

Radikalisasi merupakan proses perubahan keyakinan perasaan dan perilaku yang ditujukan untuk
meningkatkan dukungan dalam konflik. Radikalisasi baru berubah menjadi radikal jika digabungkan
dengan pemilihan strategi kekerasan oleh kelompok. Individu yang memelihara ideologi radikal di
masyarakat tidak selalu menunjukkan perilaku yang radikal selama mengambil jarak dengan
kelompok radikal McCauley dan Moskalenko (2010).

Sedangkan terorisme merupakan fenomena yang banyak didekati dengan berbagai disiplin ilmu, di
antaranya politik, sosiologi, psikologi, komunikasi, hukum dan kriminologi. Terorisme didefinisikan
sebagai penggunaan kekerasan yang diperhitungkan atau ancaman kekerasan untuk menghasilkan
ketakutan ditujukan untuk memaksa atau melakukan intimidasi pemerintah atau masyarakat dalam
rangka pencapaian tujuan yang umumnya merupakan tujuan politik, agama maupun ideologi (Davis
2003)

Sementara, Dr Mirra Noor Milla mengemukakan terorisme merupakan hasil dari proses radikalisasi
mulai dari level individu hingga kelompok. Pada kelompok terorisme yang mengatasnamakan Islam
proses tersebut meliputi pra-radikalisasi, identifikasi diri, komitmen dan indoktrinasi serta
ideologisasi jihad.

Pro-radikalisasi, lanjutnya, merupakan interaksi antara predisposisi individu dan lingkungan. Individu
dengan kecenderungan kognitif yang khas, seperti intoleransi ambiguitas, kebutuhan otoritas dan
pembaharuan keyakinan keagamaan sebagai sumber nilai-nilai yang baru. Proses identifikasi diri pada
kelompok mengerucut pada kelompok yang dapat memenuhi kebutuhan individu sesuai dengan
identitas yang baru.

Keterkaitan antara paham radikal dan terorisme memang tidak dapat terpisahkan, paham radikial telah
memanifiestasikan pemikiran seseorang untuk bertindak menyimpang dalam menjalankan suatu hal
yang mengatasnamakan agama. Terorisme merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat
ditanggulangi hanya dengan sebuah kebijakan, namun harus ada juga dukungan dari masyrakat untuk
dapat lebih memahami menganai paham-paham yang dibawa oleh suatu komunitas. Terutama pada
kalangan mahasiswa, karena pada kalangan ini pemahaman yang bersifat radikal sangat mudah untuk
disebar luaskan, maka dari itu pemerintah juga harus melakukan peninjauan terhadap kurikulum dan
penggunaan ruang pendidikan yang ada.

Sumber : https://www.kompasiana.com/rismanmanggaukang/terorisme-dan-radikalisme-remahaman-
membawa-bencana_5907ec20b5937386048b4570
Kasus

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafe’i mengapresiasi kinerja
Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam menangani kasus terorisme dan intoleransi
umat beragama. Namun, ia mempertanyakan mengapa kasus penyerangan di Gereja Santa Lidwina
Bedog Trihanggo Gamping di Sleman, atas tersangka Suliono, langsung ditetapkan sebagai kasus
tindak pidana terorisme.

Hal tersebut menurutnya sangat berlebihan, karena dari paparan Kapolda pelaku hanya sendiri dan
tidak memiliki jaringan bahkan senjata yang digunakan baru saja dibeli sehari sebelum pelaku
melakukan penyerangan dan tidak ada rentetan peristiwa, apakah ini ancaman atau lain sebagainya.

“Saya bertanya kepada Pak Kapolda mengapa terlalu cepat menyimpulkan kasus penyerangan ini
sebagai kasus tindak pidana terorisme, yang menyebabkan kondisi akan berdampak rawan,” papar
politisi yang akrab disapa Romo ini saat pertemuan Tim Komisi III dengan Kapolda DIY, di
Yogyakarta, Senin (02/4/2018)

Politisi Gerindra ini meminta ke depanya harus ada definisi yang jelas apa sebenarnya yang disebut
terorisme. Hal ini agar gangan sampai persoalan yang tidak terlalu besar menjadi sangat krusial.

Menanggapi pernyataan tersebut, Kapolda Daerah Istimewa Yogjakarta Brigjen Pol Ahmad Dofiri
menjelaskan bahwa pihak kepolisian tidak semerta-merta dalam melakukan penetapan namun terlebih
dahulu mempelajari duduk persoalannya,

“Kita bekerja secara fakta, mengapa kita sebut ini kasus terorisme karena kita ambil arti dari kamus
besar berbahasa Indonesia, dimana dalam pengertiannya tindakan penyerangan ini adalah tindakan
kekerasan yang menimbulkan ketakutan yang sangat meluas,” jelasnya.

Ditambahkannya, saat berbicara mengenai kasus penyerangan ini hanya sebatas penganiyayan,
banyak mendapat komentar di media sosial. "Ribuan orang membully atas pernyataan yang
disampaikan," imbuhnya.

Hal yang berbeda diungkapkan Anggota Komisi III DPR RI Risa Mariska terkait dengan kasus
penyerangan di Gereja Ledwina ini. Menurutnya jika dilihat dari kronologis beritanya kemudian apa
yang ditimbulkan dari peristiwa itu maka perbuatan itu bisa dikategorikan teror.

“Perbuatan teror itu jelas menimbulkan rasa takut yang berdampak luas kepada masyarakat yang
secara tidak langsung akan merasa tidak aman,” ungkapnya.

Lanjut Risa perbuatan teror ini bisa dikategorikan terorisme sebagaimana sudah diterapkan oleh
Undang-Undang Terorisme. Kita tidak bisa keluar dari Undang-Undang Terorisme ini.

Jika Kepolisian menyatakan penyerangan ini bukan tindakan terorisme, sambung Riska, di luar sana
tentunya masyarakat akan mempertanyakan mengapa perbuatan penyerangan tersebut bukan tindakan
terorisme dan akan ditanyakan kembali kepada pihak Kepolisian.

“Masyarakat akan bertanya apakah Kepolisian paham atau tidak pengertian dari terorisme," ujar
politisi PDI-P.

Diketahui penyerangan Gereja Santa Lidwina Bedog Trihanggo Gamping di Sleman, dengan
tersangka Suliono, terjadi Selasa 13 Februari 2018 lalu, pelaku melakukan aksi biadab dengan
melakukan pembacokan pada umat dan romo saat sedang berlangsung misa Minggu pagi di Gereja
Santa Lidwina Bedog. Empat orang terluka masih menjalani perawatan intensif hingga saat ini.
Pemboman di Masjid Sinai Utara Aksi Teror Terkutuk

JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengutuk keras aksi pemboman dan penembakan yang
terjadi di Masjid Al Rawdah di Bir al-Abed, di kota El-Arish, Provinsi Sinai Utara, Mesir.

Insiden berdarah tersebut menewaskan lebih dari 230 jiwa dan ratusan lainnya luka-luka. Jumlah
tersebut, kemungkinan akan terus bertambah. mengingat, saat insiden ini terjadi, ratusan orang tengah
mengikuti ibadah sholat Jumat di masjid tersebut.

“Saya mengutuk keras aksi pemboman dan penembakan yang terjadi di Masjid Al-Rawdah, Sinai
Utara Mesir. Apalagi aksi teror dilakukan ketika banyak jamaah sedang melakukan ibadah Jumat.
Pelaku dan otak dari insiden tersebut, harus segera diusut dan ditangkap.” kata Fadli Zon melalui rilis
yang diterima SINDOnews, Sabtu (25/11/2017).

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini juga menyampaikan duka cita yang mendalam kepada
pemerintah dan masyarakat Mesir. “Sejauh ini, saya mendengar tak ada WNI kita yang tinggal di
wilayah El-Arish, lokasi kejadian ledakan. Namun kita tetap meminta KBRI di Kairo untuk
memastikan tak ada WNI yang menjadi korban. Apalagi masih banyak korban belum teridentifikasi.”
terangnya.

Penyandera Warga Papua Teroris

JAKARTA - Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai kelompok kriminal bersenjata yang menyandera
warga Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua merupakan teroris.

Maka itu, dia meminta aparat TNI dan Polri segera menindak tegas kelompok kriminal bersenjata
yang menyandera warga Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Adapun korban penyanderaan merupakan warga yang bekerja di PT.Freeport Indonesia. "Tindak
tegas. Itu dikategorikan itu kan teroris supersif, bersenjata menyandera warga. Kenapa tidak dibilang
teroris? Teror itu. Warganya ditendang divideokan begitu. Tidak ada kompromi soal begitu," ujarnya
di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta Selasa (14/11/2017).

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengungkapkan, Polri memiliki Detasemen Khusus
(Densus) 88 Anti Teror. "Kita punya Densus kan bisa itu nangkap macam-macam. Masa enggak
bisa," paparnya.

Tindakan tegas aparat keamanan kepada kelompok kriminal bersenjata itu dianggapnya perlu agar
masyarakat mengetahui. "Kan kita canggih soal nangkap teroris, kan. Masa ini enggak bisa,
bersenjata, terang-terangan," tuturnya.

Anda mungkin juga menyukai