Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN THT-KL REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

RHINOSINUSITIS

Disusun oleh:
Christa Gisella Pirsouw
2018-84-048

Pembimbing :
dr. Billy Y. R. Talakua, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGORAKAN
KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan hidayah-Nya, maka saat ini penulis dapat menyelesaikan pembuatan
Refarat dengan judul “Rhinosinusitis” ini dengan baik. Refarat ini dibuat dalam
rangka tugas kepaniteraan klinik pada bagian ilmu kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepada dan Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas
Pattimura Ambon tahun 2019.
Penulis menyadari bahwa Refarat ini masih banyak kekurangan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan, dan semoga Refarat
ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Akhir kata penulis mengucapkan terima aksih atas segala pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian pembuatan referat ini.

Ambon, April 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
I.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 3
II.1. Anatomi Telinga Tengah ................................................................. 3
II.1.1. Membran Timpani .................................................................. 3
II.1.2. Kavum Timpani ....................................................................... 5
II.1.3. Prosesus Mastoideus ….. ......................................................... 7
II.1.4. Tuba Eustachius ....................................................................... 8
II.2. Fisiologi Telinga Tengah ................................................................ 9
II.3. Infeksi Telinga Tengah ................................................................... 12
II.1.1. Definisi ................................................................................... 12
II.1.2. Etiologi .................................................................................... 14
II.1.3. Klasifikasi dan Penatalaksanaan .............................................. 15
II.1.3.1. Otitis Media Supuratif ...................................................... 15
II.1.3.2. Otitis Media Non Supuratif .............................................. 26
II.1.3.3. Otitis Media Lain ............................................................ 29
II.1.4. Komplikasi dan Penatalaksanaan ............................................ 31
BAB III PENUTUP ................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 47

3
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang
mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran
finansial masyarakat.1,2 Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi
menjadi kelompok akut, subakut dan kronik.2
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia dengan dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya
kesehatan, dan dampak ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya
menurun. Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat
untuk pengobatan rinosinusitis. Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-
nasional Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10%
dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari rinosinusitis kronis juga dilaporkan
terjadi pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi meningkat seiring
dengan peningkatan usia dimana pada kelompok usia 20-29 tahun dan 50 -59 tahun
mencapai 2,7% dan 6,6%. Data dari respiratory surveillance program
menunjukkan bahwa rinosinusitis paling banyak ditemukan pada etnis kulit putih.
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Rinosinusitis lebih sering ditemukan
pada musim dingin atau cuaca yang sejuk ketimbang hangat.
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga
sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit
inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya.
Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga
penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan

4
yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit
rinosinusitis ini.2
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan klinis, di bantu
pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan sering secara konservatif dengan
pengobatan medika mentosa empirik dan bisa meningkat dengan tindakan operatif
pada kasus dengan komplikasi atau pada kasus kronis yang gagal dengan
pengobatan medika mentosa.1,3
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi
bakteri. Yang berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan
intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor
predisposisi yang tak dapat dihindari.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasalis


II.1.1 Anatomi Hidung
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.1,2
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana.
Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral
belakang berbatasan dengan orbita: sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa
pterygopalatina, fossa pterigoides.1,2

Gambar 2.1 Anatomi Hidung1,3

A. Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os
palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan

6
tulang-tulang os nasale, os frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os
sphenoidale. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri
atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os vomer.
Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan
subkutis, dan kartilago alaris major.1,2

B. Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta
konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Bagian terpenting pada dinding lateral adalah empat buah
konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil
adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter.1,2
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan
superior.1,2
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka os
spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinussfenoid.1,2
Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnyaterdapat
celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara atau fisura
berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus
unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dansel-sel etmoid anterior
bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-seletmoid anterior biasanya

7
bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara
sinus frontal.1,2
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai
3,5 cm di belakang batas posterior nostril.1,2

C. Septum Hidung
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan
inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine dan krista sfenoid.1,2

Gambar 2.2 Anatomi Septum1

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang


a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yang
disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.1,2
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke V.oftalmika

8
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
hingga ke intrakranial.1,3

Gambar 2.3 Vaskularisasi Hidung1

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalisanterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensorisdari
n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.1

9
Gambar 2.4 Inervasi Hidung

Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu padamukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.1,3

II.1.2 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:2
1) Fungsi respirasi
Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.
2) Fungsi penghidu
Hidung memiliki mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
3) Fungsi fonetik
Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi udara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.

10
4) Fungsi Statistik dan Mekanik
Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas.
5) Refleks nasal

II.1.3 Anatomi Sinus Paranasalis


Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung. 1

Gambar 2.5 Sinus Paranasalis1

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa


rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat
anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada orang
sehat, sinus terutama berisi udara. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran

11
pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus
dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. 1
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila
yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung
dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum
etmoid. 1
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan
kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan
oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm
dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal
adalah bagian dari sinus etmoid anterior.2,3
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5

12
cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian
posterior.2,3
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial orbita, karenanya seringkali
disebut sel-sel etmoid. Sel- sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-
rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid
anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara
di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
postero-superior dari perlekatan konka media.2,3
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis
maksila. 2,3
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatsan dengan sinus sfenoid. 2,3
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm.
Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah
dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan
rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid. Batas-
batasnya ialah sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus

13
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.2,3
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara- muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus
unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.2,3

Gambar 2.6 Komples ostiomeatal potongan koronal1

II.1.4 Fungsi sinus paranasal


Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
yakni :2,3
1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung.
2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita
dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

14
3. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
dianggap tidak bermakna.
4. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
5. Membantu produksi mucus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus
ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

II.2 Rhinosinusitis
Istilah sinusitis merujuk pada keadaan inflamasi pada sinus, sedangkan
rhinitis merupakan inflamasi pada membrane mukosa hidung. Secara embriologis
mukosa sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir
selalu didahului dengan rinitis dan gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta
hiposmia dijumpai pada rinitis maupun sinusitis.
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
(EPOS) 2012, rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah satunya termasuk
hidung tersumbat atau obstruksi atau kongesti disertai dengan nyeri wajah dan atau
penurunan sensitivitas pembau.
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan
dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan
dampak ekonomi pada mereka yang produktivitas kerjanya menurun.
Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk
pengobatan rinosinusitis. Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional
Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10% dari

15
keseluruhan populasi. Prevalensi dari rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi
pada 16% orang dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi meningkat seiring dengan
peningkatan usia dimana pada kelompok usia 20-29 tahun dan 50 -59 tahun
mencapai 2,7% dan 6,6%. Data dari respiratory surveillance program
menunjukkan bahwa rinosinusitis paling banyak ditemukan pada etnis kulit putih.
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
dunia. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Rinosinusitis lebih sering ditemukan
pada musim dingin atau cuaca yang sejuk ketimbang hangat.
Berdasarkan waktu perjalanan penyakit, dalam consensus tahun 2004,
rhinosinusitis dibagi dalam bentuk akut (< 4 minggu), subakut (4-12 minggu), dan
kronik (> 12 minggu). Selain itu, rhinosinusitis akut akan dibagi lagi menjadi
rhinosinusitis akut viral dan bakterial.

II.2.1 Rhinosinusitis Akut


II.2.1.1 Definisi
Rinosinusitis akut adalah peradangan pada mukosa rongga hibung dan sinus
paranasal yang berlangsung kurang dari 4 minggu dengan atau tanpa disertai cairan
sinus. Karena kondisi peradangan selalu meluas ke rongga sinus maka dipakai
istilah rinosinusitis daripada sinusitis.

II.2.1.2 Etiologi
Bentuk paling sering rinosinusitis akut adalah rinosinusitis viral akut
(AVRS). Di Amerika Serikat diperkirakan 39% sampai dengan 87% dari infeksi
saluran nafas bagian atas dapat mengakibatkan rinosinusitis viral akut. Rinosinusitis
viral akut adalah penyakit yang sembuh sendiri, mungkin sulit dibedakan dengan
dengan infeksi saluran nafas atas tanpa sinusitis. Infksi saluran nafas atas dalah
faktor resiko utama dalam perkembangan rinosinusitis bakterial akut (ABRS),
dengan kurang lebih 0,5% sampai dengan 2% infeksi saluran nafas bagian atas
berkembang menjadi infeksi bakterial. Rinosinusitis bakterial akut juga merupakan

16
penyakit yang kemungkinan besar sembuh sendiri dengan sekitar 40% sampai 60%
dapat sembuh spontan. Hal ini berdasarkan review sistematik dari penelitian
placebo-controlled clinical trials. Akan tetapi terapi antibiotik pada pasien ABRS
dapat memperpendek lama timbulnya gejala.
Sejak infeksi viral atau bakterial dapat tumpang-tindih pada manifestasi
klinis, hal ini menyebabkan kesulitan untuk membedakan etiologi infeksi tersebut
viral atau bakterial. Pada hari kelima perjalanan penyakit, AVRS dan ABRS
mungkin sulit dibedakan. Perbedaan diagnostik dibuat berdasarkan lama dan
perkembangan dari gejala penyakit. Perkiraan perjalanan klinis penyakit AVRS
ditandai dengan membaiknya gejala dalam 10 hari dari timbulnya gejala infeksi
saluran nafas atas, sedangkan ABRS diperkirakan ketika gejala akut berlangsung
10 hari atau lebih. Rinosinusitis bakterial akut dapat juga didiagnosis bila gejala
kompleks berlangsung kurang dari 10 hari tetapi menunjukkan memburuknya
gejala klinis setelah perbaikan awal. Terdapat 3 presentasi klinis untuk ABRS :
1) Terdapat tanda dan gejala yang persisten selama 10 hari dan tidak membaik.
2) Terdapat perburukan tanda dan gejala pada hari ke 3-4 dari permulaan gejala
seperti demam tinggi minimal 39 celcius dan discar hidung purulent.
3) Terdapat tanda dan gejala AVRS yang membaik kemudian memburuk lagi pada
hari ke 5-6 (double sickening).

II.2.1.3 Patofisiologi
Sinus normal biasanya dalam keadaan yang steril. Bakteri yang masuk ke
sinus dapat dieliminasi dengan cepat melalui sekresi mukus yang dikeluarkan oleh
sel epitel kolumnar bersilia. Mukus itu sendiri dihasilkan oleh sel goblet dan
kelenjar submukosa. Oleh karena itu, jika ada kelainan pada silia, maka proses
eliminasi bakteri pun terhambat (Lane, 2003).
Baik atau tidak baiknya keadaan sinus dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu patensi
ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di
dalam kompleks ostio-meatal (KOM). Mukus sangat bermanfaat dalam menjaga
kesehatan sinus karena mengandung substansi antimikrobial (immunoglobulin) dan

17
zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama-sama dengan udara pernafasan (Soetjipto, 2010).
Inflamasi hidung dan sinus dari berbagai penyebab dapat mengakibatkan
obstruksi ostium-ostium sinus dan menjadi faktor predisposisi terhadap infeksi.
Faktor yang berperan dalam terjadinya acute bacterial sinusitis (ABRS) banyak,
secara garis besar dibagi atas 2 bagian, yaitu faktor manusia dan lingkungan.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita itu sendiri (faktor manusia),
yaitu faktor genetik seperti sindrom silia imotil atau kista fibrosis, abnormalitas
anatomi (konka bulosa, kelainan septum, atau turbinatum paradoksal), penyakit
sistemik, keganasan, dan alergi. Sedangkan faktor lingkungan meliputi infeksi
bakteri, virus, jamur, atau paparan primer maupun sekunder asap tembakau, akut
atau kronik bahan iritan atau bahan kimia berbahaya, faktor iatrogenik termasuk
pembedahan, medikamentosa ataupun pemasangan NGT. Berdasarkan bukti-bukti
yang ada saat ini, para individu dengan riwayat alergi memiliki tingkat insidensi
yang lebih tinggi terjadinya rinosinusitis akut dan kronik (Benninger, 2008).
Rinosinusitis akut biasanya terjadi karena infeksi virus pada saluran
pernafasan bagian atas. Infeksi ini lebih umum terjadi pada individu yang memiliki
faktor-faktor predisposisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Infeksi tersebut akan
menyebabkan pembengkakan mukosa hidung sehingga mengakibatkan oklusi atau
obstruksi ostium sinus (Benninger, 2008). Apapun penyebabnya, sekali saja ostium
mengalami oklusi, hipoksia lokal akan terjadi pada kavum sinus dan sekresi sinus
menjadi terakumulasi. Kombinasi antara keadaan hipoksia dan sekresi yang
tertumpuk tadi akan menyebabkan tumbuhnya bakteri patogen di dalam sinus
(Lane, 2003). Peradangan juga menyebabkan mukus menjadi lebih kental dan
gerakan silia lebih lambat daripada normal.
Alergi sangat berperan penting pada kejadian rinosinusitis. Reaksi antigen-
antibodi pada keadaan alergi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, termasuk
histamin. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular, edema
mukosa, dan pada akhirnya mengakibatkan obstruksi ostia. Walaupun agen
infeksius dapat menjadi penyebab utama inflamasi sinus, mereka juga ditemukan

18
sebagai infeksi sekunder pada individu yang mengalami rinitis alergi (Benninger,
2008).
Rinosinusitis bakterial akut sangat sering berhubungan dengan infeksi virus
pada saluran nafas atas, walaupun demikian alergi, trauma, neoplasma penyakit
granulomatosa dan inflamasi, penyakit yang mendistruksi septum, faktor
lingkungan, infeksi gigi dan variasi anatomi yang dapat mengganggu clearens
normal mukosilier dapat pula menjadi predisposisi infeksi bakteri.

19
II.2.1.4 Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis umumnya ditemukan:
a. Keluhan rinitis akut berupa hidung tersumbat dengan sekret purulen
b. Nyeri/rasa penekanan pada wajah terutama pada daerah sinus
c. Sakit kepala dengan berbagai derajat keparahan
d. Post-nasal drip yang dirasakan sebagai lender yang terasa pada tenggorok
e. Keluhan sistemik berupa demam dan malaise
Diagnosis rinosinusitis terutama berdasarkan riwayat medis dan
dikonfirmasi dengan penemuan pada pemeriksaan fisik. Terdapat panduan dalam
diagnosis rinosin berdasarkan Rhinosiusitis Task Force 1996, yaitu berdasarkan
tanda dan gejala mayor dan minor rinosinusitis.

Tabel 1. Tanda dan gejala yang berhubungan denga rinosinusitis


(Rhinosiusitis Task Force 1996)
Faktor Mayor Faktor Minor
a
Facial pain/pressure Headache
Nasal obstruction Fever (all nonacute)
Nasal discharge/discolored Halitosis
postnasal drip Dental pain
Hyposmia/anosmia Fatigue
Purulence in examination Cough
Fever (acute only)b Ear pain/pressure/fullness

Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila terdapat minimal 2 tanda mayor


atau terdapat 1 tanda mayor dan > 2 tanda minor.
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior serta
endoskopi nasal sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Pada pemeriksaan ini tanda khasnya adalah ditemukan pus di meatus medius
pada rinosinusitis sinus maksilaris, etmoidalis anterior, dan frontalis atau di
meatus superior pada rinosinusitis sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis.

20
Pada rinosinusitis akut, didapatkan mukosa edema dan hiperemis serta pada
anak ditemukan pembengkakan dan kemerahan di kantus medius.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan X-
Ray, CTScan¸ pemeriksaan transiluminasi, dan sinuskopi. Pemeriksaan X-Ray
untuk menilai sinus maksila dilakukan dengan posisi Water, sinus frontalis
dan etmoidalis dengan posisi postero anterior, dan sinus sfenoidalis dengan
posisi lateral. Pemeriksaan X-Ray biasanya hanya mampu menilai kondisi sinus
yang besar seperti sinus maksilaris dan frontalis. Kelainan yang ditemukan
berupa adanya perselubungan, batas udara dan air atau air fluid level, ataupun
penebalan mukosa.
Pemeriksaan CT-scan merupakan gold standard dalam menegakkan
diagnosis rinosinusitis karena pemeriksaan ini dapat menilai anatomi sinus dan
hidung secara keseluruhan. Namun dengan pertimbangan pemeriksaan CT-scan
tergolong cukup mahal, pemeriksaan ini hanya dilakukan pada rinosinusitis kronik
yang tidak membaik dengan pengobatan atau sebagai tindakan pra-operatif
sebagai panduan bagi operator sebelum melakukan operasi sinus.
Pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit dilakukan di ruangan gelap.
Sinus yang mengalami peradangan kemudian akan terlihat berubah menjadi suram
atau gelap. Namun pemeriksaan transiluminasi sudah jarang digunakan karena
manfaatnya terbilang sangat terbatas. Pemeriksaan sinuskopi dilakukan dengan
cara melakukan pungsi menembus dinding medial sinus maksilaris melalui
meatus inferior. Dengan alat endoskopi kemudian dapat dinilai kondisi sinus
maksilaris yang sesungguhnya. Lebih lanjut dapat dilakukan irigasi sinus sebagai
metode penatalaksanaan.

II.2.3 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,

21
diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang
timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat
sinus.1,2
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto
polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia. 1 Penyebab sinusitis dibagi menjadi:

1) Rhinogenik
Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan
sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis
alergi, polip, diaviasi septum dan lain-lain. Alergi juga merupakan predisposisi
infeksi sinus karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang
membengkak menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan
epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.
2) Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan sinusitis
adalah infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar). Bakteri penyebab
adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Streptococcus viridans,
Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis dan lain-lain. Penyebab yang
yang cukup sering terjadinya sinusitis adalah disebabkan oleh adanya kerusakan
pada gigi.1,2
a. Sinusitis Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus
maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang
tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar
gigi, atau inflamasi jaringan periondontal mudah menyebar secara langsung ke

22
sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis
dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus
yang purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang
terinfeksi harus dicabut dan dirawat, pemberian antibiotik yang mencakup
bakteria anaerob. Seringkali juga diperlukan irigasi sinus maksila.1
b. Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang
jarang ditemukan. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya
pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi.
Kondisi yang merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara
lain diabetes mellitus, neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di
rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal
ialah spesis Aspergillus dan Candida.1

2.1.1 Patofisiologi
Berbeda dengan rinosinusitis akut, patofisiologi rinosinusitis kronik masih
belum dapat diketahui secara jelas, namun faktor predisposisi lebih berperan
penting, misalnya seperti penyakit sistemik dan lingkungan (Shah, 2008). Pada
pasien rinosinusitis kronis yang penyebabnya bakteri patogen, organisme terbanyak
adalah Staphylococcus sp. (55%) dan Staphylococcus aureus (20%). Beberapa studi
lain menyebutkan prevalensi yang tinggi ditemukan dengan infeksi enterobakter,
bakteri anaerob, bakteri gram-negatif, dan jamur (Benninger, 2008).

23
2.1.2 Manifestasi Klinik
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai dengan
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam
dan lesu. 1
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain
(referred pain) . nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di
belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoida, nyeri di dahi atau kepala
menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis maksila kadang-kadang terdapat nyeri
alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis,
post-nasal drip yang dapat menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-
kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Sakit kepala kronik
b. Post-nasal drip
c. Batuk kronik
d. Ganguan tenggorok
e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius

24
f. Ganguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), brokietakasis, serangan
asma yang meningkat dan sulit diobati.
Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebakan gastroenteritis.

2.2.7 Diagnosis Kerja


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan
posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang
lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis
maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis
ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan
hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan pada kantus
medius.Untuk membantu diagnosis sinusitis, American Academy of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery (AAO-HNS) membuat bagan diagnosis
yang disebut Task Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996. Bagan ini didasarkan
atas gejala klinis yang dibagi atas kategori gejala mayor dan minor untuk diagnosis
rhinosinusitis.3

RINOSINUSITIS
Major Symptoms Minor Symptoms
Facial pain/pressure Headache
Facial congestion/fullness Fever (non acute)
Nasal obstruction/blockage Halitosis
Nasal discharge/purulence/discolored Fatique
posterior drainage
Hyposmia/anosmia Dental pain
Purulence on nasal exam Cough
Fever (acute rhinosinusitis only) Ear pain/pressure/fullness
Facial pain/pressure alone does not constitute a suggestive history for diagnosis
in the absence of another symptom or sign.

25
Fever in acute sinusitis alone does not constitute a seggustive history for
diangosis in the absence of another symptom or sign.
Tabel 1: Bagan Task force on Rhinosinusitis 19963

Riwayat yang konsisten dengan rinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor


atau 1 mayor dan 2 faktor minor pada pasien dengan gejala lbih dari 7 hari. Ketika
adanya 1 faktor mayor atau 2 atau lebih faktor minor yang ada, ini menunjukkan
kemungkinan di mana rinosinusitis perlu di masukkan ke dalam diagnosa banding.3
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto
polos posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-
sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan,air-fluid level , atau penebalan mukosa. Rontgen sinus dapat
menunjukkan kepadatan parsial pada sinus yang terlibat akibat pembengkakan
mukosa atau dapat juga menunjukkan cairan apabila sinus mengandung pus. Pilihan
lain dari rontgen adalah ultrasonografi terutama pada ibu hamil untuk menghindari
paparan radiasi. 3

26
Gambar 2: Foto rontgen sinus yang menunjukkan air-fluid level pada sinus etmoid4

CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu


menilai secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. CT scan mampu memberikan gambaranyang
bagus terhadap penebalan mukosa, air-fluid level, struktur tulang, dan kompleks
osteomeatal. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis
sinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai
panduan operator saat melakukan operasi sinus.3,4
MRI sinus lebih jarang dilakukan dibandingkan CT scan karena
pemeriksaan ini tidak memberikan gambaran terhadap tulang dengan baik. Namun,
MRI dapat membedakan sisa mukus dengan massa jaringan lunak dimana nampak
identik pada CT scan. Oleh karena itu, MRI akan sangat membantu untuk
membedakan sinus yang terisi tumor dengan yang diisi oleh sekret. 3,4

27
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah,karena
akan nampak perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit.
Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sangat terbatas kegunaannya.
Endoskopi nasal kaku atau fleksibel dapat digunakan untuk pemeriksaan sinusitis.
Endoskopi ini berguna untuk melihat kondisi sinus ethmoid yang sebenarnya,
mengkonfirmasi diagnosis, mendapatkan kultur dari meatus media dan selanjutnya
dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. Ketika dilakukan dengan hati-hati untuk
menghindari kontaminasi dari hidung, kultur meatus media sesuai dengan aspirasi
sinus yang mana merupakan baku emas. Karena pengobatan harus dilakukan
dengan mengarah kepada organisme penyebab, maka kultur dianjurkan. 3,4

2.2.8 Diagnosis Banding


Dokter perlu memahami keluhan pasien yang menggambarkan sinus
mereka bermasalah karena keluhan tersebut mungkin tidak melibatkan sinus.
Banyak kondisi yang mempunyai keluhan nyeri wajah atau sakit kepala yang harus
dipertimbangkan. Sindrom sakit kepala bisa termasuk tension headache, migrain,
cluster headache atau arteritis temporal. Pada keluhan sakit mata harus
dipertimbangkan glaukoma, kesalahan refraksi dan strabismus. Neuralgia
tengkorak, nyeri leher kronis, penyakit gigi dan gangguan temporomandibular juga
harus dipertimbangkan. Sakit kepala mungkin disebabkan dari kontak septum
hidung dengan salah satu konka, disebut sakit kepala rhinologic (rhinologic
headache). Kontak tersebut bisa dikurangkan dengan pengobatan vasomotor atau
rinitis alergi, dapat memperbaiki sakit kepala pada beberapa pasien. Pasien yang
mempunyai sinus sejati mungkin memiliki rhinitis alergi atau oklusi sinus karena
neoplasma. Neoplasma yang sering adalah karsinoma epitel nasofaring yang
biasanya berasal dari sel skuamosa. Kejadian ini lebih banyak di negara
Mediterania dan Timur Jauh. Faktor genetik dan lingkungan juga mungkin
memainkan peranan. DNA virus Epstein-Barr telah dideteksi pada tumor dan
kondisi premaligna, dan beberapa kelompok antigen limfosit manusia(HLA) juga
telah diidentifikasi.5

28
Beberapa penyakit lain yang memiliki manifestasi atau keterkaitan dengan
rinosinusitis yaitu :6
(2) Granulomatosis Wegener melibatkan angiitis yang dikaitkan dengan
nekrosis fokal dan reaksi granulomatosa. Penyakit ini pada awalnya
mempengaruhi saluran pernapasan, tetapi dapat juga berkembang
melibatkan organ lain.
(3) Ataksia - telangiektasia merupakan gangguan autosomal resesif
yang berhubungan dengan sinusitis berulang, infeksi paru,
bronkiektasis, fibrosis paru, tracheomegalli, berkurangnya jaringan
limfoid dan atrofi cerebellar.
(4) Cystic fibrosis adalah gangguan autosomal resesif yang
berhubungan dengan pernapasan, GI, kelainan jantung dan sinus.
(5) Sindrom silia imotil (immotile cilia syndrome) adalah gangguan
autosomal resesif yang terkait dengan infeksi paru berulang dan/atau
konsolidasi paru, sinusitis, bronkiektasis dan sindrom Kartagener.
(6) Sindrom Kartagener adalah penyakit autosomal resesif yang
berhubungan dengan sinusitis, situs inversus, infeksi pernafasan
berulang dan bronkiektasis.
(7) Pasien yang hiperalergik mungkin memiliki polip yang tidak
terhitung mengisi rongga hidung dan menghalangi sinus paranasal,
hal ini dapat memberikan penampilan berkarakteristik pada
pemeriksaan imaging. Penyakit ini sangat berkait erat dengan asma.
(8) Sindrom Wiskott - Aldrich merupakan penyakit genetik yang
bersifat X-linked, resesif dan penyakit defisiensi imun tubuh yang
dikaitkan dengan infeksi berulang saluran pernapasan dan atau
pneumonia, sinusitis dan mastoiditis.
(9) Sindrom Kuku Kuning (Yellow-nail syndrome) dikaitkan dengan
efusi pleura berulang,efusi perikardial, chylothorax, bronkiektasis
dan sinusitis.

29
(10) Sindrom Muda (Young Syndrome) dikaitkan dengan
azoospermia sekunder pada obstruksi epididimis dan infeksi saluran
pernapasan berulang dan sinusitis.

2.2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung pada etiologi dari gejala rhinosinusitis. Jika pada
pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan
atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi
penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui
dengan kelainan yang ditemukan (Waguespack, 1994; Soetjipto, 2000; Ulusoy,
2007). Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial
yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya (Soetjipto,
2000). Tujuan terapi adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah
membuka KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih alami.

2.2.9.1 Medikamentosa
1. Antibiotik
Untuk rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri didapatkan dari
komunitas (community-acquired bakteri), antibiotik mengurangi durasi
penyakit dan membantu membasmi infeksi. Berdasarkan uji klinis, amoksisilin,
doxycycline, atau trimethoprim-sulfametoksazol merupakan antibiotik yang
disukai dan direkomendasikan selama 10 sampai 14 hari. Pilihan lain termasuk
macrolide seperti azitromisin atau klaritromisin, atau sefalosporin generasi
kedua/ketiga. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada
sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan
mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Pada sinusitis, antibiotik
diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Antibiotik
harus disediakan untuk pasien dengan gejala yang disebabkan oleh bakteri.
Namun, gejala rinosinusitis bakteri biasanya tidak berbeda dari yang

30
disebabkan oleh virus. Simptom yang menunjukkan rinosinusitis bakteri
termasuk demam, malaise seluruh badan dan sakit kepala pada bagian frontal
unilateral. Selain itu rinosinusitis bakteri juga merupakan tanda komplikasi dini
dan terjadi pada pasien berisiko (immunodeficiency, usia lanjut, dll). Infeksi
bakteri harus dipertimbangkan jika gejala memburuk atau gagal untuk membaik
dalam 7-10 hari. Karena adanya peningkatan resistensi penisilin pada bakteri
patogen utama pada rinosinusitis, jadi pemilihan antibiotik harus
dipertimbangkan. Pada pasien yang tidak beresiko resisten, amoksisilin
merupkan terapi lini pertama. Alternatif lini pertama yang lain termasuk
trimethoprimsulfamethoxazole atau doxycycline. Flurokuinolon mungkin juga
berguna, tetapi belum disetujui untuk populasi anak. Penggunaan selama 10 hari
dapat memberikan pemberantasan 90 %. Jika tidak ada perbaikan gejala klinis
seperti penurunan batuk, penurunan nanah hidung, resolusi demam atau
berkurangnya hidung tersumbat, standar pendekatan adalah dengan antibiotik
lini kedua dengan spektrum yang lebih luas dan diberikan lebih lama. Jika
responnya kurang pada antibiotik lini pertama, maka antibiotik harus beralih ke
cakupan yang lebih luas. Antibiotik lini kedua termasuk amoksisilin-asam
klavulanat, sefalosporin dan makrolida. Respons klinis dan pengobatan
biasanya tergantung individual. Parameter praktis oleh Joint Task Force on
Practice Parameters for Allergy and Immunology menetapkan penilaian
respons gejala setelah 3-5 hari terapi dan diteruskan untuk tambahan 7 hari jika
ada perbaikan. Namun, jika tiada respon, antibiotik seharusnya ditukar. Peran
antibiotik pada rinosinusitis kronis(CRS) masih dipertanyakan. Pada penyakit
ini sangat penting untuk mengidentifikasikan faktor penyebab seperti rinitis
alergi, kelainan struktur, immunodeficiency, asap tembakau dan faktor
lingkungan atau kerja. Menurut Kelompok Kerja 2008 tentang CRS pada
Dewasa, antibiotik harus disediakan untuk pasien dengan sinus drainase yang
purulen. Lama pengobatan antibiotik masih kontroversial, tapi pengobatan
antibiotik untuk jangka panjang selama 3-6 minggu mungkin lebih efektif
daripada jangka waktu yang lebih pendek.
2. Dekongestan

31
Dekongestan topikal, seperti oxymetazoline, dikombinasikan dengan
dekongestan oral, seperti pseudoephedrine, dapat membantu hidung tersumbat
dan untuk drainase. Pasien dinasihatkan tidak menggunakan vasokonstriktor
nasal topikal untuk jangka masa yang panjang karena adanya risiko rinitis
medikamentosa. Drainase medis dicapai dengan vasokonstriktor topikal dan
sistemik. Vasokonstriktor alpha-adrenergik per oral termasuk pseudoefedrin
dan fenilefrin bisa digunakan selama 10-14 hari untuk mengembalikan fungsi
mukosiliar dan drainase menjadi normal. Vasokonstriktor alpha-adrenergik per
oral bisa menyebabkan hipertensi dan takikardi, maka mereka
dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Obat ini juga
dikontraindikasikan pada atlit yang mau berkompetisi karena peraturan
pertandingannya. Vasokonstriktor topikal (Oxymetazoline hydrochloride)
membantu drainase menjadi baik, tetapi harus digunakan maksimal 3-5 hari,
dengan peningkatan risiko rebound congestion, vasodilatasi dan rinitis
medikamentosa bila digunakan untuk periode yang lama.5,6,7
3. Steroid
Tambahan steroid hidung dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan lebih
tinggi. Kortikosteroid yang digunakan intranasal bisa efektif dengan
melemahkan respon inflamasi, meskipun pada saat ini manfaat mereka masih
tidak menyakinkan. Penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin memiliki
kelebihan dibandingkan dengan penggunaan intranasal, seperti tingkat
terapeutik yang tinggi dan tidak ada risiko pelepasan buruk disebabkan oleh
penyumbatan hidung. Review Cochrane baru-baru ini yang mengenai terapi
kortikosteroid sistemik untuk rinosinusitis akut, melaporkan obat ini
mempunyai efek mengguntungkan jangka pendek.5,8
4. Pengobatan tambahan lainnya
Pengobatan tambahan lainnya termasuk mucoevacuants untuk menipis sekresi
lendir. Ini termasuk guaifenesin dan kalium iodida. Golongan mukolitik
(guaifenesin) secara teori mempunyai manfaat seperti menipiskan sekresi
mukus dan memperbaiki drainase. Ia jarang digunakan untuk praktek klinis
pengobatan sinusitis akut. Belum data tersedia yang menunjukkan bahwa

32
antihistamin bermanfaat pada sinusitis akut. Antihistamin mungkin berbahaya
karena ia mengeringkan membran mukus dan menurunkan klirens sekresi.
Antihistamin bermanfaat untuk mengurangkan obstruksi ostiomeatal pada
pasien dengan alergi dan sinusitis akut; tetapi ia tidak direkomendasikan untuk
penggunaan rutin pada pasien sinusitis akut. Antihistamin mungkin
memburukkan drainase dengan terjadinya penebalan dan
tertumpuknya(pooling) sekresi sinonasal. Antihistamin tidak diberikan rutin
karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental.
Bila ada alergi berat, sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua. Seperti
pada rinosinusitis akut, perawatan lain termasuk steroid topikal dan irigasi
sinus. Steroid oral jangka pendek mungkin bermanfaat dalam mengobati CRS
terutama CRSwNP (chronic rhinosinusitis with nasal polyps). Evaluasi lebih
lanjut diperlukan pada pasien yang gagal terapi medis dan mungkin
memerlukan intervensi bedah. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien
menderita kelainan alergi yang berat.

2.2.9.2 Non Medikamentosa


2.2.10 Komplikasi Rhinosinusitis
2.2.11 Prognosis Rhinosinusitis
Prognosis untuk penderita rhinosinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan
sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa
mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5
%. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang
adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis, brain
abscess, atau komplikasi extra sinuslainnya.
Sedangkan prognosis untuk rhinosinusitis kronik yaitu jika dilakukan
pengobatan yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik. Untuk
komplikasinya bisa berupa orbital cellulitis, cavernous sinus thrombosis,
intracranial extension (brain abscess, meningitis) dan mucocele formation.

33

Anda mungkin juga menyukai