Oleh: YDP/RP
Banyak iklan yang dulu dianggap tabu oleh masyarakat, tetapi saat ini telah
menjadi keseharian yang lumrah. Media, baik secara langsung maupun tidak
langsung telah mendukung eksploitasi terhadap perempuan di dalam iklan.
Banyaknya iklan yang mengandung eksploitasi perempuan sehingga sulit di bedakan
apakah itu eksploitasi atau bukan. Munculnya iklan-iklan melahirkan sebuah realitas
sosial baru dalam masyarakat. Misalnya adanya iklan yang menggunakan daya tarik
perempuan dalam menarik perhatian atau bahkan di pakai sebagai sensual marketing,
bahkan iklan-iklan yang sejatinya sama sekali tidak ada hubungannya dengan peran
perempuan seperti iklan otomotif, acap kali menggunakan perempuan didalam
iklannya dengan menonjolkan bagian tubuh perempuan yang di ekspose dengan
gesture dan engel yang mengandung sensualitas.
Iklan memang tidak terlepas dari budaya kapitalisme yang melemparkan pesan
kepada masyarakat untuk hidup konsumtif yang berujung pada profit dan keuntungan.
Namun disini haruskah perempuan yang di pakai sebagai sensual appeal dengan
didukung oleh sensual marketing, lagi-lagi perempuan di pilih sebagai pemeran
utamannya. Permasalahannya adalah mengapa perempuan di gunakan sebagai objek
dalam periklanan otomotif?
Peran ketiga yang dijalankan oleh pemakai unsur seksual dalam periklanan
adalah tidak lain untuk membangkitkan respon tanggapan emosional seperti perasaan
terangsang bahkan nafsu. Reaksi-reaksi ini bisa meningkatkan pengaruh persuasif
iklan.Tampilnya perempuan sebagai obyek dalam iklan di media massa merupakan
akibat dari posisi perempuan yang dianggap rendah dalam sistem yang dianut
masyarakat.
Contoh iklan “tidak nyambung” yang bertebaran di media massa antara lain
cairan pembersih mobil, rokok, minuman, dan pompa air. Di sisi lain, iklan tertentu
selalu diidentikkan dengan perempuan, padahal laki-laki merupakan konsumen yang
sama besar dari produk tersebut, misalnya sabun mandi, subjek dan objek iklanya
monoton hanya menampilkan perempuan.
Sebagaimana fungsi dasarnya, iklan yang baik adalah iklan yang mampu
berkomunikasi dengan kebudayaan (Frith, 2010). Melihat persoalan eksploitasi
perempuan dalam iklan, pertanyaannya adalah apakah iklan-iklan bias gender
tersebut bekerja tidak sesuai dengan budaya atau justru merefleksikan budaya
masyarakat kita yang sesungguhnya?
Utari Andani Putri Darmawangsa, mahasiswa fakultas hukum unhas, “perempuan dan kepemimpinan:
mampukah perempuan memimpin”. http://eksepsionline.com/2016/12/29/perempuan-dan-kepemimpinan-
mampukah-perempuan-memimpin/.
DR. Amar Ahmad. 2013-2018. Ketua Infokom MUI DKI Periode. https://www.muidkijakarta.or.id/citra-
perempuan-dalam-iklan-media/