Anda di halaman 1dari 98

LEGALITAS ARREST WARRANT BELGIA: KASUS

ABDOULAYE YERODIA NDOMBASI


SKRIPSI
“Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana”

Oleh :
WILSON GANDAKUSUMA HERIANTO
NRP : 120115006

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM INTERNASIONAL


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada tanggal 11 April 2000, seorang investigating judge negara Belgia

menerbitkan Arrest Warrant atau yang lebih dikenal dengan nama surat

perintah penangkapan internasional terhadap salah seorang pejabat negara

Kongo, yaitu seorang Menteri Luar Negeri Kongo, Abdoulaye Yerodia

Ndombasi, dan mengedarkan surat perintah penangkapan tersebut secara

internasional melalui Red Notice atau Pemberitahuan Resmi yang dikeluarkan

oleh Sekjen Interpol. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Arrest Warrant

Case. Arrest Warrant ini adalah surat yang berisi permohonan negara Belgia

bagi negara-negara lain untuk menangkap, menahan, dan mengekstradisi

Yerodia Ndombasi kepada Belgia untuk diadili di hadapan pengadilan Belgia.

Arrest Warrant ini diterbitkan oleh negara Belgia sehubungan dengan

dugaan terjadinya pelanggaran hukum humaniter internasional yang dilakukan

oleh Yerodia Ndombasi yang berujung pada kematian ratusan suku Tutsi di

Kongo selama periode ke-2 Perang Kongo yang terjadi pada tahun 1998-

2003. Pemerintahan Kongo yang pada masa itu dipimpin oleh Laurent Kabila

berhadapan dengan kelompok pemberontak Rally for Congolese Democracy

1
2

(RCD), yang utamanya adalah suku-suku Tutsi yang berada di Kongo dengan

dibantu oleh negara Rwanda dan Uganda sebagai 2 negara utama yang

menopang persenjataan RCD. Laurent Kabila menggunakan segala upaya

yang ada untuk menghambat gerakan pemberontak, mulai dari mengerahkan

angkatan bersenjatanya, sampai menggunakan bantuan tenaga penduduk sipil.

Laurent Kabila melalui Yerodia Ndombasi memanipulasi penduduk sipil

untuk menghambat gerakan pemberontak dengan menyulut api kebencian

terhadap suku Tutsi. Yerodia Ndombasi dituduh melakukan serangkaian

hated speeches atau ujaran kebencian yang diarahkan secara langsung kepada

suku-suku Tutsi yang berdiam diri di Kongo yang dilakukannya selama bulan

Agustus 1998 yang mengakibatkan kematian ratusan orang-orang Tutsi di

Kongo, pemerkosaan, penganiayaan, dan berbagai tindakan tak

menyenangkan lainnya. (https://trialinternasional.org/latest-post/abdoulaye-

yerodia-ndombasi/)

Tindakan penghasutan oleh Yerodia Ndombasi ini dipandang oleh

komunitas masyarakat internasional sebagai kejahatan serius yang termasuk

dalam kategori war crime atau kejahatan perang yang memicu terjadinya

genosida terhadap suku Tutsi di Kongo yang telah melanggar asas-asas dan

kaidah-kaidah dalam hukum internasional.

Menurut Turangan (2011) dalam pemahaman mengenai kejahatan perang,

kejahatan perang dapat dipahamai sebagai suatu tindakan pelanggaran, dalam


3

cakupan hukum internasional terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa

orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang disebut sebagai

penjahat perang. (hal.5)

Hukum humaniter internasional sendiri adalah istilah lain dari hukum

perang yang merujuk kepada Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yang terdiri

dari 4 konvensi dan 3 protokol. Sebagian akademisi menyebut hukum perang

ini sebagai hukum humaniter internasional karena isi dari hukum perang ini

adalah seperangkat aturan yang dibentuk untuk tujuan membatasi penggunaan

kekerasan dalam konflik-konflik bersenjata yang didasari atas alasan-alasan

kemanusiaan.

Prof. A. Masyhur Effendi (1998), menjelaskan bahwa:

“Hukum humaniter atau hukum perang atau law of war adalah


keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan tertulis maupun tidak tertulis
mencakup hukum perang dan hak-hak asasi manusia. Hukum humaniter
bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat
pribadi seseorang.” (hal. 8)
Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yang menjadi landasan hukum

humaniter internasional atau hukum perang telah mengatur secara tegas

bahwa penduduk sipil harus mendapat perlindungan khusus selama

peperangan terjadi dalam situasi apa pun, bahkan rumusan perlindungan

terhadap penduduk sipil ini telah diatur secara tersendiri dalam Konvensi

Jenewa ke-4 yang mengatur perlindungan penduduk sipil selama perang

berlangsung.
4

Pasal 3 angka 1 Konvensi Jenewa ke-4 menegaskan sebagai berikut:

“In the case of armed conflict not of an international character occurring


in the territory of one of the High Contracting Parties, each Party to the
conflict shall be bound to apply, as a minimum, the following
provisions:
(1) Persons taking no active part in the hostilities, including members of
armed forces who have laid down their arms and those placed hors
de combat……….shall in all circumstances be treated humanely,
without any adverse distinction founded on race, colour, religion or
faith, sex, birth or wealth, or any other similar criteria.
To this end, the following acts are and shall remain prohibited at any
time and in any place whatsoever with respect to the above-
mentioned persons:
(a) Violence to life and person, in particular murder of all kinds,
mutilation, cruel treatment and torture;
Selain itu, di dalam Konvensi Jenewa 1949 ini juga diatur tentang

perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam kategori pelanggaran-pelanggaran

berat menurut konvensi ini, yaitu di dalam pasal 147 Konvensi Jenewa ke-4

yang menegaskan sebagai berikut:

“Grave breaches to which the preceding article relates shall be those


involving any of the following acts, if committed against persons or
property protected by the present convention: willful killing, torture or
inhuman treatment, including biological experiments, willfully causing
great suffering or serious injury to body or health, unlawful deportation
or transfer or unlawful confinement of a protected person, compelling a
protected person to serve in the forces of hostile power, or willfully
depriving a protected person of the rights of fair and regular trial
prescribed in the present convention, taking hostages ad extensive
destruction and appropriation of property, not justified by military
necessity and carried out unlawfully and wantonly.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, jelas bahwa terhadap orang-

orang atau aset-aset yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa 1949 dilarang

untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tersebut di atas, yang meliputi


5

willful killing (pembunuhan disengaja), torture (penyiksaan), dan lainnya

sebagaimana rumusan pasal tersebut. Oleh karena itu, segala perbuatan yang

melanggar ketentuan ini akan dikategorikan sebagai pelanggaran berat

Konvensi Jenewa 1949.

Anis Widyawati (2014) juga menjelaskan bahwa:

“Dalam mukadimah konvensi tentang tidak dapat ditetapkannya statuta


pada kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dijelaskan
juga bahwa kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan adalah di
antara kejahatan-kejahatan yang paling gawat dalam hukum
internasional. Kejahatan perang mengharamkan terdapatnya penduduk
sipil maupun sarana sipil sebagai korban.” (hal. 71)
Hal ini berarti bahwa di dalam peperangan atau konflik bersenjata yang

sedang terjadi, penduduk sipil harus mendapat perlindungan agar terhindar

sebagai korban. Namun apa yang dilakukan oleh Yerodia Ndombasi melalui

ujaran kebenciannya ini justru menjadikan penduduk sipil, dalam hal ini suku

Tutsi di Kongo yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata, sebagai sasaran

serangan yang seharusnya dibedakan dari kelompok pemberontak yang

mengacau di Kongo.

Mengenai hukuman atas pelanggaran-pelanggaran berat terhadap

Konvensi Jenewa 1949 ini, Konvensi Jenewa 1949 tidak mengatur secara

khusus di dalam rumusannya, melainkan memberikan otoritas kepada setiap


6

negara pihak untuk membuat dan menentukan sendiri ancaman hukumannya.

Hal ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 146 ayat 1 Konvensi Jenewa ke-4.

Pasal 146 ayat 1 Konvensi Jenewa ke-4 menegaskan sebagai berikut:

“The High Contracting Parties undertake to enact any legislation

necessary to provide effective penal sanctions for persons committing,

or ordering to be committed, any of the grave breaches of the present

convention defined in the following article.”

Kemudian negara Belgia, dengan berlandaskan pada ketentuan pasal ini

membuat Undang-Undangnya sendiri untuk merumuskan ancaman hukuman

bagi pelaku pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, yaitu dengan membuat

Belgium Law 16 June 1993 yang telah diperbarui dengan Undang-Undang 10

Februari 1999 (Selanjutnya disebut sebagai UU Belgia 10 Februari 1999)

yang mengatur tentang hukuman atas pelanggaran berat hukum humaniter

internasional sekaligus melakukan penuntutan terhadap Yerodia Ndombasi

berdasarkan prinsip Universal Jurisdiction atau Yurisdiksi Universal yang

terkandung di dalam ketentuan pasal 7 ayat 1 UU Belgia 10 Februari 1999.

Pasal 7 ayat 1 UU Belgia 10 Februari 1999 menegaskan sebagai berikut:

“The Belgian courts shall be competent to deal with breaches provided

for in the present Act, irrespective of where such breaches have been

committed.”
7

Prinsip Yurisdiksi Universal ini sendiri sebenarnya juga terkandung

dalam Konvensi Jenewa 1949 yang menjadi landasan hukum bagi negara

Belgia dalam merumuskan kembali prinsip ini dalam hukum nasionalnya.

Prinsip Yurisdiksi Universal ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 146 ayat 2

Konvensi Jenewa ke-4.

Pasal 146 ayat 2 Konvensi Jenewa ke-4 menegaskan sebagai berikut:

“Each High Contracting Parties shall be under the obligation to search


for persons alleged to have committed, or to have ordered to be
committed, such grave breaches, and shall bring such persons,
regardless of their nationality, before its own courts. It may also, if it
prefers, and in accordance with the provisions of its own legislation,
hand such persons over for trial to another High Contracting Party
concerned, provided such High Contracting Party has made out a
prima facie case.”
Kasus ini pun telah sampai pada Badan Penyelesaian Sengketa antar

negara PBB, International Court of Justice (ICJ). Dalam putusan akhirnya,

ICJ memenangkan Negara Kongo yang pada pokoknya menyatakan bahwa

negara Belgia telah gagal untuk menghormati hak kekebalan dari yuridiksi

pidana dan inviolability atau tidak dapat diganggu gugatnya yang dimiliki

oleh Menteri Luar Negeri Kongo, Yerodia Ndombasi, berdasarkan hukum

kebiasaan internasional. Mayoritas hakim ICJ pada saat itu memenangkan

negara Kongo dengan perbandingan perolehan suara 13:3 untuk negara

Belgia. (ICJ’s decision: preambule)


8

Putusan ini pun langsung mengundang protes keras dari negara Belgia

yang dikalahkan. Belgia menganggap putusan dari ICJ ini sangatlah tidak

tepat dan telah merusak tatanan aturan hukum internasional yang berlaku yang

terkait dengan penuntutan terhadap pelaku kejahatan perang dan kejahatan

terhadap kemanusiaan. Belgia menyatakan bahwa dirinya mempunyai hak

untuk mengadili dan menghukum Yerodia Ndombasi karena dianggap telah

melakukan pelanggaran terhadap UU Belgia 10 Februari 1999.

Sikap Belgia yang melakukan penuntutan terhadap Abdoulaye Yerodia

Ndombasi ini sejalan dengan penuntutan terhadap orang-orang yang

melakukan kejahatan di bawah hukum internasional di masa lalu yang

beberapa diantaranya juga memberlakukan prinsip yurisdiksi universal,

seperti pada kasus Augusto Pinochet Ugarte, seorang mantan kepala negara

Chile dan mantan panglima angkatan darat Chile yang dituntut dan diadili

oleh pengadilan negara Inggris atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan

yang dilakukan selama memimpin rezim kediktatorannya. Kasus Augusto

Pinochet atau yang lebih dikenal dengan Pinochet case ini mempunyai

kemiripan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penulisan ini

dimana ia juga ditangkap oleh penegak hukum Inggris dengan surat perintah

penangkapan yang diterbitkan oleh British Magistrate setelah mengetahui

Pinochet ada di negaranya pada tanggal 17 Oktober 1998.

(https://trialinternational.org/latest-post/augusto-pinochet-ugarte-2/)
9

Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin meneliti apakah penerbitan

Arrest Warrant Belgia yang berdasar pada dalil prinsip Yurisdiksi Universal

tersebut sah sehingga Belgia memang dapat dikatakan mempunyai hak untuk

melakukan penuntutan terhadap Abdoulaye Yerodia Ndombasi atau

penerbitan Arrest Warrant tersebut telah melanggar prinsip hukum

internasional yang berlaku sehingga memang telah sesuai dengan putusan ICJ

terhadap Belgia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat penulis sampaikan rumusan

masalah sebagai berikut:

 Apakah penerbitan Arrest Warrant oleh pemerintah Belgia terhadap

Menteri Luar Negeri Kongo, Abdoulaye Yerodia Ndombasi tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional yang

berlaku ?

1.3 Alasan Pemilihan Judul

Adapun alasan penulis memilih judul tentang “Legalitas Arrest Warrant

Belgia: Kasus Abdoulaye Yerodia Ndombasi” ini adalah karena pembahasan

mengenai prinsip Yurisdiksi Universal masih sangat sedikit sekali sehingga

penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap prinsip

Yurisdiksi Universal sehingga dengan begitu dapat diketahui apakah

penerbitan Arrest Warrant oleh pemerintah Belgia terhadap Yerodia


10

Ndombasi ini melanggar prinsip-prinsip dalam hukum internasional yang

berlaku atau tidak dan ingin melihat sejauh mana prinsip Yurisdiksi Universal

diakui dalam penegakan hukum kejahatan internasional, mengingat putusan

ICJ ini juga menimbulkan ketidakpuasan komunitas masyarakat internasional,

terutama para pemerhati Hak Asasi Manusia (Selanjutnya disebut sebagai

HAM) yang tidak ingin Yerodia Ndombasi tidak dihukum atas

pelanggarannya.

1.4 Tujuan Penulisan

Penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu :

a. Tujuan Akademis

Adapun tujuan akademis penelitian ini adalah sebagai persyaratan

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas

Surabaya tahun ajaran 2019.

b. Tujuan Praktis

Tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk mencari tahu dan

menganalisis apakah penerbitan Arrest Warrant oleh pemerintah

Belgia terhadap Menteri Luar Negeri Kongo, Abdoulaye Yerodia

Ndombasi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam hukum

internasional yang berlaku sehingga dengan demikian bisa

diketahui apakah Belgia memang mempunyai hak untuk

melakukan penuntutan terhadap Abdoulaye Yerodia Ndombasi.


11

1.5 Metodologi Penelitian

a. Tipe penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah

penelitian hukum yuridis normatif, yaitu metode penelitian yang

didasarkan pada studi kepustakaan. Metode penelitian yang digunakan

dalam penulisan ini terdiri dari berbagai cara dan kegiatan yang dilakukan

dalam rangka mengumpulkan data, dan bahan-bahan yang diperlukan

dalam penulisan hukum ini.

b. Pendekatan masalah

Ada tiga jenis pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian

ini, yaitu statute approach (pendekatan aturan), conceptual approach

(pendekatan prinsip), dan case approach (pendekatan kasus).

1. Statute approach adalah jenis pendekatan yang dilakukan dengan

menelaah aturan-aturan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang

dibahas, yang dalam hal ini adalah aturan yang berkaitan dengan

prinsip Yurisdiksi Universal diatur dalam berbagai konvensi, yaitu

Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas,

Konvensi PBB 1961 tentang Obat-Obatan Narkotika, Konvensi PBB


12

1984 tentang Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang

Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Lainnya serta UU Belgia

10 Februari 1999 yang merupakan aturan hukum nasional negara

Belgia.

2. Conceptual approach adalah jenis pendekatan yang beranjak dari

prinsip-prinsip, pandangan-pandangan, dan doktrin-doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum.

3. Case approach adalah jenis pendekatan yang dilakukan dengan

melakukan kajian pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum

yang sedang dihadapi, yang dalam hal ini adalah kasus-kasus yang

berkaitan dengan penerapan prinsip Yurisdiksi Universal.

c. Bahan hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan

hukum primer dan sekunder.

 Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai

kekuatan yang mengikat, yaitu peraturan perundang-undangan atau

perjanjian internasional yang menjelaskan mengenai prinsip

Yurisdiksi Universal, yang dalam hal ini penulis menggunakan

treaty Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut


13

Lepas, Konvensi PBB 1961 tentang Obat-Obatan Narkotika,

Konvensi PBB 1984 tentang Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau

Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan

Lainnya serta UU Belgia 10 Februari 1999.

 Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berfungsi untuk

memperjelas bahan hukum primer yang berasal dari pendapat-

pendapat, doktrin dan teori-teori yang diperoleh dari literatur

hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun website yang

terkait dengan penelitian.

1.6 Langkah Penelitian

Langkah-langkah penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan melalui

Studi kepustakaan yang diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum

yang terkait kejahatan serius terhadap hukum internasional, khususnya

kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan penindakannya,

penerapan hukum internasional dalam negara, serta pemahaman prinsip

tentang Yurisdiksi Universal; Kemudian dilakukan klasifikasi bahan hukum

yang terkait, yaitu bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder; Lalu

dilakukan sistematisasi untuk lebih mempermudah dalam membaca dan

memahami penelitian ini; Terakhir, penulis melakukan pembahasan dengan

menggunakan penalaran yang bersifat deduktif, yaitu penalaran yang berawal

dari pengetahuan yang bersifat umum melalui prinsip-prinsip, teori-teori, dan


14

doktrin-doktrin yang diperoleh penulis dari treaty yang berlaku, literatur-

literatur, dan pendapat para ahli di bidangnya, serta melalui perbandingan

kasus-kasus serupa dengan permasalahan yang sedang dibahas.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab dan masing-

masing-masing bab akan terdiri dari subbab-subbab yang akan diuraikan lebih

lanjut agar pembaca bisa lebih mudah memahami permasalahan yang dibahas.

Bab I Pendahuluan, terdiri dari beberapa subbab yang meliputi latar

belakang yang menjadi gambaran permasalahan secara singkat, rumusan

masalah, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metodologi penelitian,

langkah penelitian, dan pertanggung jawaban sistematika.

Bab II Tinjauan Pustaka, akan membahas tentang asas, teori, dan prinsip-

prinsip yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam

penulisan ini yang akan diuraikan lebih lanjut dalam beberapa subbab, yaitu

tinjauan yurisdiksi kriminal negara, pengertian perjanjian internasional,

implementasi perjanjian internasional di pengadilan nasional, dan teori

kekebalan pejabat dari negara lain.

Bab III Pembahasan, dalam bab ini akan dilakukan analisis terhadap

permasalahan hukum yang sedang dibahas dengan menggunakan landasan

teori yang telah diuraikan dalam bab terdahulu. Penulis akan melakukan
15

kajian terhadap prinsip Yurisdiksi Universal yang menjadi dasar bagi Belgia

dalam melakukan penuntutan terhadap Abdoulaye Yerodia Ndombasi dengan

menggunakan landasan teori yang telah disusun sebelumnya. Selain itu,

penulis juga akan melakukan kajian terhadap penerapan kekebalan pejabat

dari yurisdiksi negara lain sehingga nantinya dapat diketahui apakah Arrest

Warrant yang diterbitkan oleh Belgia bertentangan dengan prinsip-prinsip

dalam hukum internasional yang berlaku yang juga akan dijadikan sebagai

dasar penilaian terhadap putusan ICJ yang telah dijatuhkan.

Bab IV Penutup, pada bab ini terdapat kesimpulan dan saran dari

pembahasan sebelumnya. Pada bagian kesimpulan akan diuraikan secara

singkat hasil yang didapat dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

mengenai apakah Arrest Warrant Belgia terhadap Abdoulaye Yerodia

Ndombasi bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional

yang berlaku atau tidak yang nantinya akan menunjukkan tepat tidaknya

putusan yang telah dijatuhkan oleh ICJ dan ada tidaknya hak Belgia untuk

melakukan penuntutan terhadap Abdoulaye Yerodia Ndombasi, Sedangkan

pada bagian saran berisi harapan penulis terhadap hasil kesimpulan yang telah

dicapai.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG YURISDIKSI KRIMINAL NEGARA,
PENGERTIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL, IMPLEMENTASI
PERJANJIAN INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL DAN
TEORI KEKEBALAN PEJABAT DARI YURISDIKSI NEGARA LAIN

2.1 Yurisdiksi Kriminal Negara

2.1.1. Pengertian Yurisdiksi Kriminal

Persoalan yurisdiksi adalah persoalan dasar yang dihadapi oleh tiap-

tiap negara dalam penegakkan hukum pidana internasional. Di dalam

penegakkannya, tidak jarang terjadi tumpang tindih yurisdiksi kriminal

atau saling klaim yurisdiksi antara satu negara dengan negara lainnya atas

suatu peristiwa tindak pidana yang terjadi. Secara sederhana, yurisdiksi

berkenaan dengan permasalahan sejauh mana suatu negara dapat

menerapkan hukum nasionalnya. Oleh karena itu, yurisdiksi kriminal dapat

diartikan sebagai suatu kondisi yang menentukan sejauh mana suatu negara

dapat menerapkan hukum nasionalnya terhadap individu-individu yang

diduga telah melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum

pidananya.

Anis Widyawati (2014) menjelaskan bahwa:

“Negara mempunyai yurisdiksi karena hukum internasional yang


memberikannya sebagai konsekuensi atas kedaulatan atau kekuasaan
tertinggi yang dimiliki oleh negara tersebut, sehingga mempunyai
hak dan kekuasaan untuk menjalankan setiap tindakannya. Jadi,
yurisdiksi diturunkan dari kedaulatan negara. Yurisdiksi merupakan
kewenangan suatu negara yang berdaulat untuk menerapkan

17
18

ketentuan hukum atas orang maupun benda yang dapat ditundukkan


oleh hukum nasional yang bersangkutan, sehingga lebih bersifat
yuridis.” (hal. 168)

Berdasarkan penjelasan Anis Widyawati tersebut, terlihat bahwa

yurisdiski merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara,

kedaulatan suatu negara tidak akan diakui apabila ia tidak mempunyai

yurisdiksi.

Kata yurisdiksi sendiri sebenarnya berasal dari bahasa latin Yurisdictio

yang terdiri dari dua suku kata, yaitu yuris yang berarti kepunyaan menurut

hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, dan firman. Oleh

karena itu, yurisdiksi dapat berarti sebagai berikut:

a. Kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum;

b. Hak menurut hukum;

c. Kekuasaan menurut hukum;

d. Kewenangan menurut hukum.

Berkaitan dengan yurisdiksi dan kedaulatan negara ini, ada adagium

yang berkembang di dalam hubungan internasional antar negara, yaitu

bahwa antar negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa

memiliki yurisdiksi terhadap pihak lainnya (equal states don’t have

jurisdiction over each other). Adagium tersebut dikenal dengan nama

prinsip hukum par in parem non habet imperium.


19

Hans Kelsen (2002), menjelaskan bahwa prinsip hukum par in parem

non habet imperium ini mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:

a. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui


pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali
negara tersebut menyetujuinya;
b. Suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian
internasional tidak dapat mengadili tindakan negara yang bukan
menjadi anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut;
c. Pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan
tindakan negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah
negaranya. (hal.184)

Berdasarkan penjelasan dari Hans Kelsen tersebut, dapat disimpulkan

bahwa prinsip hukum par in parem non habet imperium ini bukanlah

prinsip hukum yang mutlak tidak bisa disimpangi. Hans Kelsen

menjelaskan terdapat celah bagi negara lain untuk bisa melaksanakan

yurisdiksinya, yaitu apabila telah mendapat izin dari otoritas negara lain

yang akan diintervensi yurisdiksinya atau melalui perjanjian internasional.

Akan tetapi, secara umum prinsip kedaulatan yurisdiksi negara sangat kuat,

sehingga sangat jarang dalam praktiknya ada negara yang ingin

kedaulatannya diintervensi oleh negara lain, kecuali jika negara tersebut

telah memutuskan untuk tunduk terhadap hukum internasional.

2.1.2. Prinsip-Prinsip dalam Yurisdiksi Kriminal Negara

Umumnya, suatu negara hanya dapat menerapkan yurisdiksi kriminal

atas individu-individu yang melanggar aturan-aturan hukum pidana di

wilayah teritorialnya. Yurisdiksi yang demikian ini dinamakan dengan

yurisdiksi teritorial. Yurisdiksi teritorial akan memungkinkan suatu negara


20

untuk menerapkan aturan hukum nasionalnya atas individu-individu atau

badan hukum yang berada di wilayah teritorialnya, hal ini termasuk

mengadili para pelaku yang melanggar aturan hukum pidana negara

tersebut. Penerapan yurisdiksi teritorial ini seperti ketika A membunuh B di

Indonesia, maka hukum pidana Indonesia akan berlaku atas A. A akan

didakwa dengan pasal 338 dengan dakwaan pembunuhan atas B dan

Indonesia mempunyai hak untuk mengadili A.

Namun ada kalanya, dalam hal-hal tertentu yurisdiksi teritorial ini

menjadi lebih luas dan tidak hanya terbatas dalam wilayah teritorial suatu

negara. Yurisdiksi yang demikian ini dinamakan dengan yurisdiksi

ekstrateritorial. Yurisdiksi ekstrateritorial ini mengacu pada kejahatan yang

dilakukan di luar wilayah teritorial suatu negara. Yurisdiksi ekstrateritorial

akan memungkinkan suatu negara untuk menerapkan hukum pidananya

atas dugaan kejahatan yang dilakukan oleh individu-individu di luar

wilayah teritorialnya. Wilayah di atas permukaan kapal atau di dalam

pesawat juga dianggap sebagai yurisdiksi ekstrateritorial negara tempat

kapal atau pesawat itu terdaftar. Yurisdiksi ekstrateritorial dapat dibedakan

menjadi yurisdiksi ekstrateritorial dengan prinsip nasionalitas aktif, prinsip

nasionalitas pasif, dan prinsip perlindungan.

Yurisdiksi ekstrateritorial dengan prinsip nasionalitas aktif

memungkinkan suatu negara untuk menerapkan yurisdiksi kriminalnya atas


21

individu-individu yang diduga melakukan kejahatan karena ia merupakan

warga negara yang bersangkutan walaupun perbuatan tersebut dilakukan di

luar wilayah teritorialnya. Yurisdiksi ekstrateritorial dengan prinsip

nasionalitas aktif ini seperti A merupakan warga negara Australia

melakukan penembakan brutal terhadap orang-orang yang sedang

beribadah di masjid Baitul Rahmat, Selandia Baru. Akibat dari perbuatan

A, sebanyak 10 orang meninggal dalam penembakan tersebut. Di dalam

penerapan prinsip yurisdiksi ekstrateritorial dengan prinsip nasionalitas

aktif ini, Australia dianggap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili A

yang merupakan warga negaranya meskipun perbuatannya dilakukan di

Selandia Baru. Hal ini didasarkan pada pemahaman yang berkembang

bahwa hukum nasional suatu negara selalu mengikuti warga negara yang

bersangkutan. Prinsip nasionalitas aktif memfokuskan perhatian pada

pelaku kejahatan tanpa melihat jatuhnya korban.

Sedangkan yurisdiksi ekstrateritorial dengan prinsip nasionalitas pasif

memungkinkan suatu negara untuk menerapkan yurisdiksi kriminalnya atas

individu-individu yang diduga melakukan kejahatan karena korban dari

perbuatan individu tersebut merupakan warga negara yang bersangkutan

walaupun perbuatan tersebut dilakukan di luar wilayah teritorialnya dan

pelaku bukan warga negaranya. Selama terdapat korban yang merupakan

warga negara yang bersangkutan (negara yang akan menerapkan


22

yurisdiksi), negara tersebut mempunyai yurisdiksi ekstrateritorial dengan

prinsip nasionalitas pasif ini. Penerapan prinsip nasionalitas pasif ini

seperti dalam hal contoh penembakan sebelumnya, terdapat korban warga

negara Indonesia, maka dengan prinsip nasionalitas pasif ini, negara

Indonesia juga mempunyai yurisdiksi untuk mengadili A. Berbeda halnya

dengan prinsip nasionalitas aktif, prinsip nasionalitas pasif memfokuskan

perhatian pada korban karena prinsip ini bertujuan untuk melindungi setiap

warga negara yang berada di negara lain.

Yang terakhir, yaitu yurisdiksi ekstrateritorial dengan prinsip

perlindungan akan memungkinkan suatu negara untuk menerapkan

yurisdiksi kriminalnya atas individu-individu yang melakukan dugaan

kejahatan di luar wilayah teritorialnya karena adanya kepentingan negara

yang terancam.

Anis Widyawati (2014) menjelaskan bahwa:

“Yurisdiksi ini menitikberatkan pada kepentingan yang harus


dilindungi, yaitu kepentingan negara sebagai subjek hukum dari
perbuatan atau kejahatan yang dilakukan di wilayah negara lain yang
ditujukan terhadap keamanan, ketertiban, dan kedamaian negara
tersebut, sehingga yang ditekankan di dalam yurisdiksi ini adalah
perlindungan atas kepentingan negara sebagai pribadi hukum dari
kejahatan yang dilakukan oleh orang asing dari wilayah negara lain
sebagai locus delicti atas kejahatan yang terjadi.” (hal. 170)

Contoh penerapan yurisdiksi ini seperti A, B, C, dan D merupakan

orang-orang yang ahli dalam bidang IT dan merupakan warga negara

Palestina. Melalui keahlian mereka tersebut, mereka membobol keamanan


23

server pusat komputer negara Israel untuk mencuri data yang digunakan

untuk kepentingan negara mereka. Tindakan tersebut dilakukan di Amerika

Serikat. Melalui prinsip perlindungan ini, negara Israel yang telah menjadi

korban atas tindakan tersebut akan mempunyai yurisdiksi dan berhak

mengadili A, B, C, dan D karena kepentingan negara mereka terancam atas

pembobolan keamanan server pusat komputer. Bisa saja melalui

pembobolan data tersebut, Iran bermaksud menyerang pusat-pusat

kekuatan militer Israel.

2.1.3. Prinsip Yurisdiksi Universal

Selain yurisdiksi teritorial dan ekstrateritorial ini, di dalam

perkembangan penegakkan hukum pidana internasional, ternyata muncul

jenis yurisdiksi baru yang mempunyai cakupan yang jauh lebih luas dari

keduanya. Yurisdiksi baru ini mempunyai cakupan global atau tidak

mengenal batas-batas teritorial suatu negara. Yurisdiksi yang demikian ini

dinamakan dengan Yurisdiksi Universal. Yurisdiksi universal akan

memungkinkan suatu negara untuk menerapkan yurisdiksi kriminalnya

atas individu-individu yang diduga melakukan kejahatan terlepas dari

hubungan apa pun dari perbuatan individu tersebut, baik itu tempat

dilakukannya perbuatan, nationality atau kebangsaan pelaku, sampai

kebangsaan orang yang menjadi korban dari perbuatan pelaku tersebut.

Suatu negara akan dapat melakukan penuntutan sekalipun negara tersebut


24

sama sekali tidak mempunyai hubungan apa pun dengan peristiwa tindak

pidana yang sedang terjadi.

Yurisdiksi universal murni hanya didasarkan pada sifat kejahatan.

Pengadilan suatu negara bisa melaksanakan yurisdiksi universal untuk

melakukan penuntutan terhadap individu-individu yang melakukan

perbuatan-perbuatan tertentu yang diakui termasuk ke dalam kategori

kejahatan internasional serius atau kejahatan tertentu yang dianggap

paling berbahaya yang dihukum di bawah hukum internasional. Jadi, tidak

semua kejahatan dapat diterapkan prinsip yurisdiksi universal ini,

melainkan hanya atas kejahatan-kejahatan tertentu yang diakui termasuk

ke dalam kategori kejahatan internasional serius yang diatur oleh hukum

internasional. Oleh karena itu, kejahatan-kejahatan yang hanya diatur oleh

hukum nasional tidak termasuk ke dalam kategori ini.

Bassiouni (2006) menjelaskan elemen kejahatan internasional


meliputi:

1. Unsur internasional, termasuk ke dalam unsur:


a. Ancaman secara langsung atas perdamaian dan keamanan di
dunia (direct threat to world peace and security);
b. Ancaman secara tidak langsung atas perdamaian dan keamanan
di dunia (indirect threat to world peace and security);
c. Menggoyahkan perasaan kemanusiaan (shocking to the
conscience of humanity).

2. Unsur nasional, termasuk ke dalam unsur:


a. Tindakan yang mempunyai dampak terhadap lebih dari satu
negara (conduct affecting more than one state);
25

b. Tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap


warga negara dari lebih satu negara (conduct including or
affecting citizens of more than one state);
c. Sarana dan prasarana serta metode-metode yang digunakan
melampaui batas-batas teritorial suatu negara (means and
methods tranced national boundaries).
3. Unsur kebutuhan termasuk ke dalam unsur kebutuhan akan
kerjasama antar negara untuk melakukan penanggulangan
(cooperation of states necessary to enforce). (hal. 88-89)

Lebih lanjut, Bassiouni (2014) juga menjelaskan bahwa dalam

perjanjian-perjanjian internasional yang mengenai kejahatan internasional,

idealnya harus terdapat sifat-sifat atau karakter-karakter pidana sebagai

berikut:

1. Pengakuan secara eksplisit tindakan-tindakan yang dipandang


sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional;
2. Pengakuan secara implisit sifat-sifat pidana dari tindakan-tindakan
tertentu dengan menetapkan suatu kewajiban untuk menghukum,
mencegah, menuntut, menjatuhi hukuman atau pidananya;
3. Kriminalisasi atas tindakan-tindakan tertentu;
4. Kewajiban atau hak untuk menuntut;
5. Kewajiban atau hak untuk memidana tindakan tertentu;
6. Kewajiban atau hak untuk mengekstradisi;
7. Kewajiban atau hak untuk bekerja sama di dalam penuntutan,
pemidanaan, termasuk bantuan yudisial di dalam proses
pemidanaan;
8. Penetapan suatu dasar-dasar yurisdiksi kriminal;
9. Referensi pembentukan suatu pengadilan pidana internasional,
dan;
10. Penghapusan alasan-alasan perintah atasan. (hal. 48-49)

Namun demikian, lain halnya dengan Bassiouni, Prof. Romli

Atmasasmita (2000) menjelaskan bahwa suatu kejahatan dapat

dikategorikan sebagai kejahatan internasional cukup dengan kejahatan


26

tersebut mempunyai dampak yang melebihi batas teritorial satu negara

atau lebih dari satu negara.

2.1.4. Yurisdiksi Universal dalam Instrumen Hukum Internasional

Beberapa instrumen hukum internasional mengakui prinsip yurisdiksi

universal dan mencantumkan dalam rumusan pasalnya. Berikut instrumen

hukum internasional yang mengakui adanya prinsip yurisdiksi universal:

a. Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas

Konvensi ini merupakan konvensi yang mengatur tentang

segala hal yang berkaitan dengan laut lepas, mulai dari definisi laut

lepas itu sendiri, kebebasan-kebebasan yang dinikmati oleh setiap

negara di laut lepas, kekebalan kapal perang, sampai penetapan

perompakan sebagai kejahatan internasional serius. Perompakan,

di dalam konvensi ini, dianggap sebagai suatu kejahatan yang

serius sehingga semua negara harus bekerja sama dalam

memberantas perompakan. Amanat ini terkandung dalam pasal 14

Konvensi Jenewa 1958 yang menegaskan sebagai berikut, “All

States shall cooperate to the fullest possible extent in the

repression of piracy on the high seas or in any other place outside

the jurisdiction of any State”, dan untuk tujuan ini pasal 19

Konvensi Jenewa 1958 menegaskan sebagai berikut,

“On the high seas, or in any other place outside the


jurisdiction of any State, every State may seize a pirate ship
27

or aircraft, or a ship taken by piracy and under the control of


pirates, and arrest the persons and seize the property on
board. The courts of the State which carried out the seizure
may decide upon the penalties to be imposed, and may also
determine the action to be taken with regard to the ships,
aircraft or property, subject to the rights of third parties
acting in good faith.”

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, dijelaskan bahwa setiap

negara, di laut lepas, atau di tempat lain di luar yurisdiksi negara

mana pun, dapat melakukan penyitaan terhadap kapal-kapal

perompak, kapal-kapal negara lain yang dikuasai oleh perompak,

dan melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang berada di

atas kapal-kapal tersebut. Pengadilan negara tersebut dapat

menentukan tindakan yang akan diambil sehubungan dengan

kapal-kapal yang di sita, termasuk menentukan hukuman apa yang

akan dijatuhkan kepada perompak tersebut. Kemampuan setiap

negara untuk menyita dan menangkap perompak di laut lepas ini

menunjukkan adanya prinsip Yurisdiksi Universal dalam konvensi

ini.

b. Konvensi PBB 1961 tentang Obat-Obatan Narkotika

Konvensi ini merupakan konvensi yang dibuat dengan tujuan

untuk mengatur penggunaan obat-obatan narkotika untuk

keperluan medis sehingga tidak disalahgunakan dan merusak

kesehatan penggunanya. Prinsip yurisdiksi universal itu sendiri


28

terkandung dalam rumusan pasal 36 ayat 2 huruf a poin ke-4

Konvensi PBB 1961 yang menegaskan sebagai berikut,

“Serious offences heretofore referred to committed either by


nationals or by foreigners shall be prosecuted by the Party in
whose territory the offence was committed, or by the Party in
whose territory the offender is found if extradition is not
acceptable in conformity with the law of the Party to which
application is made, and if such offender has not already
been prosecuted and judgement given.”

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, dijelaskan bahwa negara

pihak tempat kejahatan serius terjadi, bisa melakukan penuntutan

dan mengadili pelaku atau setiap negara pihak bisa melakukan

penuntutan dan mengadili pelaku jika menemukan orang tersebut

di wilayah teritorialnya apabila negara tersebut menolak

permohonan ekstradisi dari negara yang mempunyai yurisdiksi

terhadap orang tersebut dan jika pelaku belum pernah diadili dan

dijatuhi putusan oleh pengadilan negara lain.

Adapun kejahatan serius yang dimaksudkan dalam pasal

tersebut adalah setiap pengembangan, produksi, manufaktur,

ekstraksi, persiapan, penawaran, penawaran untuk dijual,

distribusi, pembelian, pengiriman dengan istilah apapun, impor

dan ekspor obat-obatan yang bertentangan dengan aturan-aturan

dalam konvensi ini atau tindakan lainnya yang dipandang

bertentangan dengan aturan-aturan dalam konvensi ini oleh negara


29

yang akan menerapkan yurisdiksinya. Hal ini diatur dalam pasal 36

ayat 1 huruf a Konvensi PBB 1961 yang menegaskan sebagai

berikut:

“Subject to its constitutional limitations, each Party shall


adopt such measures as will ensure that cultivation,
production, manufacture, extraction, preparation, possession,
offering, offering for sale, distribution, purchase, sale,
delivery on any terms whatsoever, brokerage, dispatch,
dispatch in transit, transport, importation and exportation of
drugs contrary to the provisions of this Convention, and any
other action which in the opinion of such Party may be
contrary to the provisions of this Convention, shall be
punishable offences when committed intentionally, and that
serious offences shall be liable to adequate punishment
particularly by imprisonment or other penalties of
deprivation of liberty.”

Salah satu bentuk perdagangan obat-obatan yang dilarang oleh

aturan konvensi ini adalah memperdagangkan opium yang

termasuk dalam kategori obat schedule I untuk tujuan yang lain

selain medis dan pengembangan ilmu pengetahuan (pasal 2 ayat 1

Konvensi PBB 1961). Oleh karena itu, apabila ditemukan pelaku

yang memperdagangkan opium ini, maka berdasarkan rumusan

pasal 36 ayat 2 huruf a poin ke-4 Konvensi PBB 1961, negara

yang menemukan pelaku tersebut mempunyai yurisdiksi untuk

mengadilinya sekalipun perbuatan memperdagangkan opium

tersebut dilakukan di negara lain, dan pelaku bukan merupakan


30

warga negara yang bersangkutan asalkan pelaku belum pernah

dituntut dan diadili oleh pengadilan negara lain.

c. Konvensi PBB 1984 tentang Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau

Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan

Lainnya

Konvensi ini merupakan konvensi yang melarang segala

bentuk penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lainnya yang

kejam, tidak manusiawi atau merendahkan yang ditujukan kepada

seseorang untuk mendapatkan informasi atau pengakuan darinya

atau orang ketiga atau menghukumnya atas perbuatan yang ia atau

orang ketiga telah lakukan atau karena alasan yang berdasarkan

pada segala bentuk diskriminasi atas orang tersebut yang dilakukan

oleh pejabat publik atau atas dorongan, persetujuan dari pejabat

publik atau dilakukan oleh seseorang yang bertindak dalam

kapasitas resmi. Hal ini diatur dalam pasal 1 Konvensi PBB 1984

yang menegaskan sebagai berikut:

“........the term "torture" means any act by which severe pain


or suffering, whether physical or mental, is intentionally
inflicted on a person for such purposes as obtaining from him
or a third person information or a confession, punishing him
for an act he or a third person has committed or is suspected
of having committed, or intimidating or coercing him or a
third person, or for any reason based on discrimination of
any kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the
instigation of or with the consent or acquiescence of a public
official or other person acting in an official capacity.”
31

Pada dasarnya pelaku yang melakukan penyiksaan tersebut

hanya dapat dituntut dan diadili oleh negara tempat perbuatan

dilakukan atau oleh negara yang merupakan negara asal pelaku

atau oleh negara yang merupakan negara asal korban. Hal ini

diatur dalam pasal 5 ayat 1 Konvensi PBB 1984 yang menegaskan

sebagai berikut:

“Each State Party shall take such measures as may be


necessary to establish its jurisdiction over the offences referred to
in article 4 in the following cases:
(a) When the offences are committed in any territory under its
jurisdiction or on board a ship or aircraft registered in that
State;
(b) When the alleged offender is a national of that State;
(c) When the victim is a national of that State if that State
considers it appropriate.”
Namun demikian, konvensi ini juga memberikan hak kepada

negara lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan

kejahatan yang terjadi yang tidak termasuk dalam salah satu

kategori di atas. Di sinilah letak prinsip Yurisdiksi Universal itu

berada. Hal ini diatur dalam pasal 5 ayat 2 Konvensi PBB 1984

yang menegaskan sebagai berikut:

”Each State Party shall likewise take such measures as may be


necessary to establish its jurisdiction over such offences in
cases where the alleged offender is present in any territory
under its jurisdiction and it does not extradite him pursuant
to article 8 to any of the States mentioned in paragraph I of
this article.”
32

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, dijelaskan bahwa setiap

negara pihak juga harus mengambil langkah-langkah yang

diperlukan untuk menetapkan yurisdiksinya atas pelanggaran-

pelanggaran dalam hal dimana terduga pelaku hadir di wilayah

yang termasuk yurisdiksi teritorialnya dan negara tersebut tidak

mengekstradisinya sesuai dengan pasal 8 kepada salah satu negara

yang disebutkan dalam ayat 1 pasal ini.

d. Konvensi Jenewa 1949 tentang Hukum Humaniter Internasional

Konvensi ini merupakan konvensi yang terdiri dari 4 macam

konvensi serta 3 protokol tambahan yang pada dasarnya memuat

aturan-aturan yang mengatur tentang tata cara berperang dan

perlindungan terhadap orang-orang dan objek-objek yang

dilindungi oleh konvensi agar perang yang terjadi tidak

menimbulkan penderitaan yang tidak diperlukan. Sama dengan

konvensi-konvensi yang sudah disebutkan sebelumnya, dan

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada awal

penulisan, di dalam Konvensi Jenewa 1949 ini juga memuat

prinsip Yurisdiksi Universal, yaitu di dalam pasal 146 ayat 2

Konvensi Jenewa ke-4 yang mengatur tentang perlindungan

terhadap penduduk sipil selama perang berlangsung.


33

Pasal 146 ayat 2 Konvensi Jenewa ke-4 menegaskan sebagai

berikut:

“Each High Contracting Parties shall be under the obligation


to search for persons alleged to have committed, or to have
ordered to be committed, such grave breaches, and shall bring
such persons, regardless of their nationality, before its own
courts. It may also, if it prefers, and in accordance with the
provisions of its own legislation, hand such persons over for
trial to another High Contracting Party concerned, provided
such High Contracting Party has made out a prima facie
case.”
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, dijelaskan bahwa negara

pihak wajib melakukan pencarian orang-orang yang diduga telah

melakukan atau menyuruh melakukan pelanggaran-pelanggaran

berat konvensi dan mengadili orang tersebut tersebut terlepas dari

kewarganegaraan mereka atau jika negara tersebut menghendaki

dan sesuai dengan legislasinya, negara tersebut dapat menyerahkan

orang tersebut kepada negara lain untuk diadili di sana apabila

telah terdapat bukti awal yang cukup (prima facie case).

2.1.4. Yurisdiksi Universal dalam Kasus-Kasus Hukum Internasional

Dalam penegakkan hukum pidana internasional telah diterapkan

prinsip ini di dalam beberapa kasus, beberapa di antaranya adalah sebagai

berikut:

a. Eichmann trial
34

Eichmann trial adalah istilah yang merujuk pada proses

hukum Adolf Eichmann atas keterlibatannya dalam pembantaian

orang-orang suku Yahudi selama rezim pemerintahan Nazi. Adolf

Eichmann merupakan keturunan orang Jerman asli yang lahir pada

tanggal 19 Maret 1906 di Kota Solingen, Jerman. Pada tahun 1932

ia tergabung dalam partai politik The National Socialist German

Workers' Party yang lebih dikenal dengan nama Nazi Party. Nazi

Party yang menciptakan dan mendukung ideologi Nazisme Jerman

yang terkenal dengan paham nasionalisme yang berlebihannya.

Selanjutnya pada tahun 1933 ia menjadi anggota  Sicherheitsdienst

des Reichsführers-SS (Security Service of the Reichsführer-SS),

atau yang dikenal dengan sebutan SD.

SD sendiri merupakan badan intelijen dari SS (Schutzstaffel),

semacam organisasi militer yang dipimpin oleh Adolf Hitler.

Eichmann, di dalam organisasi SD ini mendapat peran yang vital

yaitu bertanggung jawab atas permasalahan yang menyangkut

suku Yahudi dan pada bulan Agustus 1938, ia diangkat menjadi

kepala departemen untuk emigrasi suku Yahudi. Pada awalnya

Eichmann hanya bertugas mengawasi pemindahan orang-orang

suku Yahudi ke ghetto atau tempat penampungan khusus bagi

orang Yahudi yang telah disediakan di berbagai wilayah yang


35

diduduki oleh Jerman untuk mengucilkan mereka. Namun pada

tahun 1942, kebijakan Nazi Jerman berubah, dari yang semula

hanya mengucilkan orang-orang Yahudi menjadi memusnahkan

orang-orang Yahudi. Kebijakan untuk memusnahkan orang-orang

Yahudi ini dikenal dengan nama Final Solution. Orang-orang

Yahudi ini kemudian dipindahkan ke kamp pemusnahan khusus

untuk kemudian dibunuh dan Eichmann lah yang mengawasi

pemindahan ini.

Atas perbuatannya, Eichmann dituduh menyebabkan

meninggalnya jutaan orang-orang Yahudi atau menyebabkan

penderitaan fisik maupun mental pada mereka selama bulan

Agustus 1941-Mei 1945. Lebih lanjut, Eichmann juga dituduh

telah melakukan kejahatan perang selama periode ini. Kejahatan

tersebut meliputi persekusi, pengusiran, dan pembunuhan yang

ditujukan terhadap orang-orang Yahudi di wilayah-wilayah yang

diduduki oleh Jerman maupun negara-negara sekutu Jerman (Itali

dan Jepang).

Setelah perang dunia ke-2 berakhir, Eichmann kemudian

ditangkap oleh pasukan khusus Israel, Mossad, di Argentina pada

tanggal 11 Mei 1960 dan dipindahkan secara paksa ke Israel untuk


36

diadili setelah sebelumnya melarikan diri dari proses hukum

penjahat-penjahat perang Nazi di Pengadilan Nuremberg, Jerman.

Pada proses persidangan Eichmann di pengadilan distrik

Yerusalem, Eichmann mendapat 15 dakwaan yang dibagi menjadi

beberapa kelompok, yaitu crimes against Jewish people (1-4),

crimes against humanity (5-7, 9-12), war crime (8), belonging to

hostile organization (13-15).

Mendapat dakwaan-dakwaan ini, dalam proses pembelaannya,

penasihat hukum Eichmann mempersoalkan kompetensi

pengadilan. Penasihat hukum Eichmann berpendapat pengadilan

Yerusalem tidak mempunyai kompetensi untuk mengadili karena

Eichmann dibawa secara paksa ke Israel untuk diadili dan tanpa

persetujuan negara asalnya. Selain itu, ia juga mempersoalkan

aturan, yaitu The Law of 1950, Punishment against Nazis and Nazi

Collaborators yang dipakai untuk mendakwa Eichmann yang

menurutnya telah diberlakukan secara retroaktif terhadap

perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Eichmann dan bahwa

meskipun hukum Israel memberikan yurisdiksi kepada pengadilan

Israel, pelaksanaan yurisdiksi itu bertentangan dengan prinsip

territorial sovereignty atau kedaulatan territorial yang mana

menurut penasihat hukum Eichmann hanya negara tempat


37

kejahatan dilakukan atau negara asal pelaku yang mempunyai

yurisdiksi dalam masalah ini. Pembelaan lainnya yang dilakukan

oleh Eichmaan dan penasihat hukumnya adalah dengan berlindung

di balik negara. Eichmann dan penasihat hukumnya menggunakan

alasan bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan murni hanya

sekadar menjalankan perintah dari atasan dan oleh karena itu harus

dianggap sebagai the acts of state atau tindakan negara.

(Eichmann’s Appeal Judgement hal. 3)

Menanggapi bantahan-bantahan penasihat hukum Eichmann

menyangkut prinsip retroaktif dan yurisdiksi ini, pengadilan

menolak semua bantahan yang diajukan.

Lebih lanjut berkaitan dengan prinsip retroaktif ini, Supreme

Court Israel menyatakan hanya akan menerima prinsip hukum

internasional jika prinsip tersebut telah diterima oleh bangsa-

bangsa dan diakui oleh mayoritas negara.

“Will recognize the principles of international law and will


decide in accordance with those principles only if they have
been agreed to by all the other civilized people, so that it is a
necessary assumption that such principles have also been
accepted by that state. A principle of international law must,
therefore, be established by sufficient proof to justify the
conclusion…..that it is recognized and well known by the
majority of states.” (Eichmann’s Appeal Judgement hal. 4
para 7)
38

Dalam hal ini, Supreme Court Israel menjelaskan

bahwa,“There is no rule of general customary international law

forbidding the enactment of norms with retrospective force, so

called ex post facto laws.” Supreme Court Israel menolak jika

dikatakan telah melanggar prinsip retroaktif sebagaimana yang

dibantahkan oleh penasihat hukum Eichmann dengan menganggap

bahwa tidak ada hukum kebiasaan internasional yang melarang

untuk memberlakukan secara surut suatu undang-undang.

(Eichmann’s Appeal Judgement hal. 5 para 3)

Supreme Court Israel juga menjelaskan bahwa kejahatan yang

dilakukan oleh Eichmann harus dipandang sebagai kejahatan yang

di masa lalu juga dilarang oleh Hukum Bangsa-Bangsa dan

mengakibatkan pertanggungjawaban pidana bagi individu yang

melakukannya yang ditegaskan dalam salah satu pertimbangannya

sebagai berikut, “The first proposition. Our view that the crimes in

question must be seen today as crimes which in the past too, were

banned by the Laws of Nations and entailed individual criminal

liability.” (Eichmann’s Appeal Judgement hal. 12 para 1)

Sedangkan untuk bantahan penasihat hukum Eichmann terkait

yurisdiksi Israel, Supreme Court Israel menjelaskan bahwa Israel

mempunyai Yurisdiksi Universal sehingga berhak untuk


39

mengadili. Yurisdiksi Universal ini diperoleh karena sifat universal

kejahatan yang dilakukan oleh Eichmann yang memberikan

kekuatan kepada setiap negara untuk mengadili mereka yang

terlibat dalam kejahatan yang bersangkutan dan menghukum

mereka karenanya.

Supreme Court Israel menjelaskan sebagai berikut:

“The second proposition. It will be recalled that, according to


this proposition, it is the universal character of the crimes in
question which vests in every state the power to try those who
participated in the perpetration of such crimes and to punish
them therefore.” (Eichmann’s Appeal Judgement hal. 19 para
4)

Supreme Court Israel menggunakan beberapa pertimbangan

dalam memutus ini, salah satunya adalah dari pernyataan

Lauterpacht yang dikutip dari Cambridge Law Journal 1947 vol.

9, p. 348, note 61. Lauterpacht menjelaskan bahwa dalam tidak

adanya ekstradisi yang dilakukan terhadap pelaku kejahatan, setiap

negara dapat mengklaim yurisdiksi atas suatu kejahatan yang

bersifat heinous atau keji, terlepas dari siapa pun yang melakukan

atau di mana pun kejahatan itu dilakukan.

“It would be in accordance with an enlightened principle of


justice, a principle which has not yet become part of the law
of nations, if in the absence of effective extradition, the courts
of a state were to assume jurisdiction over common crimes,
by whomsoever and wherever commited, of a heinous
character.” (Eichmann Appeal Judgement hal. 20 para 7)
40

Pada akhir proses hukum Eichmann, Supreme Court menolak

upaya bandingnya pada tanggal 29 Mei 1962 sehingga Eichmann

dihukum gantung pada tanggal 31 Mei 1962.

(https://trialinternational.org/latest-post/adolf-eichmann/)

b. Polyukhovich vs Commonwealth

Kasus hukum internasional selanjutnya yang menerapkan

prinsip Yurisdiksi Universal adalah proses hukum terhadap Ivan

Polyukhovich yang dikenal dengan nama Polyukhovich vs The

Commonwealth of Australia and another. Ivan Polyukhovich

adalah seorang warga negara Ukraina (sebelumnya termasuk

negara bagian Uni Soviet) yang lahir pada tahun 1924. Setelah

invasi Jerman terhadap Uni Soviet pada tahun 1941, Ukraina

diduduki oleh pasukan Nazi dan beberapa orang Ukraina memilih

untuk bekerja sama dengan mereka, termasuk Ivan Polyukhovich.

Selama bekerja sama dengan Jerman, Polyukhovich diduga

terlibat dalam pembantaian 850 orang-orang Yahudi di ghetto

Yahudi di desa Serniki, Ukraina, dan lebih lanjut Polyukhovich

juga diduga melakukan pembantaian terhadap penduduk sipil di

desa tersebut selama periode Agustus-September 1942. Ketika

pasukan Jerman mundur dari Ukraina, Polyukhovich dan istri


41

keduanya pergi bersama pasukan Jerman dan kemudian bekerja di

Jerman.

Setelah untuk beberapa waktu tinggal di Jerman,

Polyukhovich bersama istri dan kedua putrinya pergi menetap di

Melbourne, Australia pada tanggal 28 Desember 1949 dan lalu

menerima kewarganegaraan Australia pada tahun 1958.

Kasus ini tidak berhenti sampai di sini saja. Pada tanggal 26

Desember 1986, surat kabar yang terbit di kota Adelaide, The

Advertiser, menerima telex (mungkin semacam telegram) dari

pemerintah Uni Soviet yang menguraikan tuduhan-tuduhan

kejahatan perang terhadap Polyukhovich.

Pada tanggal 20 Desember 1988, parlemen federal Australia

meloloskan Rancangan Undang-Undang amandemen kejahatan

perang yang mengizinkan penuntutan terhadap terduga penjahat-

penjahat Eropa di pengadilan Australia dan pada tanggal 25

Januari 1990, Polyukhovich ditangkap menyusul penerbitan surat

perintah penangkapan yang diterbitkan oleh Adelaide Magistrate

Court yang mendakwanya dengan 24 dakwaan pembunuhan dan

keterlibatan dalam 850 dakwaan pembunuhan.

Polyukhovich dituntut berdasarkan Undang-Undang Kejahtan

Perang Australia 1945 yang lalu diamandemen pada tahun 1988


42

yang menegaskan bahwa siapa pun yang melakukan kejahatan

perang di Eropa selama 1 September 1939-8 Mei 1945 dapat

dituntut dengan kejahatan yang dapat didakwa. Orang tersebut

hanya perlu merupakan warga negara Australia atau penduduk

pada saat ia dituntut. Tidak terima dengan penuntutan ini,

Polyukhovich mengajukan upaya hukum semacam judicial review

ke Pengadilan Tinggi Adelaide untuk mempertanyakan keabsahan

Undang-Undang tersebut.

Polyukhovich, di dalam pembelaannya, menyatakan dua

keberatan. Pertama adalah bahwa pengadilan tidak mempunyai

kepentingan apa pun dalam permasalahan ini karena tindakan yang

dilakukan tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Australia

atau tidak ada urusan eksternal dan kedua adalah bahwa pasal 9

Undang-Undang Kejahatan Perang Australia tidak sah karena

berusaha untuk menjadikan tindakan di masa lalu yang

sebelumnya bukan merupakan pelanggaran menjadi pelanggaran.

Menanggapi bantahan-bantahan Polyukhovich ini, maka pada

tanggal 14 Agustus 1991, Judge Mason, salah seorang hakim

Pengadilan Tinggi Adelaide yang menangani kasus ini,

berpendapat bahwa sehubungan dengan ada tidaknya urusan

eksternal ini, cukup bagi parlemen Australia menyatakan bahwa


43

Australia mempunyai kepentingan atau perhatian dalam kasus ini,

maka pengadilan berwenang untuk mengadili.

Judge Mason menjelaskan sebagai berikut:

“In conformity with what I have already said, I arrive at this


conclusion on the footing that it is not necessary that the
court should be satisfied that Australia has an interest or
concern in the subject-matter of the legislation in order that
its validity be sustained. It is enough that Parliament’s
judgement is that Australia has an interest or concern.”
(Australia High Court Judgement 14-8-1991, hal. 6 para 19)

Lebih lanjut, terlepas dari pernyataan Judge Mason ini,

dengan pembagian suara 6 banding 1, Judge Brennan dissenting,

Pengadilan Tinggi memutus bahwa Undang-Undang Kejahatan

Perang adalah pelaksanaan kekuasaan urusan eksternal yang sah.

(www.internationalcrimesdatabase.org/Case/1172/Polyukhovich-

v-Australia/)

Selain itu, Pengadilan Tinggi Adelaide juga menjelaskan

bahwa Undang-Undang tersebut merupakan pelaksanaan hak yang

secara khusus diberikan oleh hukum internasional kepada setiap

negara untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan

internasional, terutama kejahatan perang.

“In the way in which this argument was first put by the
Commonwealth, the Act was said to be a law adapted and
appropriate to the exercise of right which international law
specially confers on each nation to try those charged with the
commission of international crimes, especially war crime.”
(Australia High Court Judgement 14-8-1991, hal. 25 para 32)
44

Pengadilan Tinggi Adelaide juga menjelaskan bahwa penting

bagi perdamaian dan ketertiban internasional untuk mengadili dan

menghukum para pelaku kejahatan yang melanggar Hukum

Bangsa-Bangsa yang memberlakukan prinsip Yurisdiksi Universal.

Pengadilan Tinggi Adelaide menjelaskan sebagai berikut:

“Australia’s international personality would be incomplete if


it were unable to try and to punish offenders against the the
law of nations whose crimes are such that their subjection
to universal jurisdiction is conducive to international peace
and order.” (Australia High Court Judgement 14-8-1991,
hal. 25 para 33)

Setelah Pengadilan Tinggi Adelaide menguatkan legalitas

Undang-Undang Kejahatan Perang yang digugat oleh

Polyukhovich, maka pada tanggal 28 Oktober 1991 jaksa penuntut

menuntut Polyukhovich di Adelaide Magistrate Court. Namun

sayang sekali, setelah melewati proses hukum yang panjang, pada

akhirnya Polyukhovich dibebaskan dari semua dakwaan karena

kurangnya bukti dalam perkara ini pada tanggal 18 Mei 1993.

c. Pinochet case

Kasus selanjutnya yang menerapkan prinsip Yurisdiksi

Universal adalah Pinochet case. Pinochet case merupakan istilah

yang merujuk pada proses hukum terhadap Augusto Pinochet


45

Ugarte. Pinochet adalah seorang mantan Jenderal Chile sekaligus

kepala negara Chile yang lahir pada tanggal 25 November 1915.

Jenderal Pinochet mulai berkuasa di Chile menyusul kudeta

pada tanggal 11 September 1973 yang menggulingkan Presiden

Chile saat itu, Salvador Allende. Setelah ia menggulingkan

Salvador Allende, ia langsung mengambil alih posisi tertinggi

seorang kepala negara Chile dan langsung menerapkan sistem

military juncta atau pemerintahan berbasis militer. Selama

Pinochet menjabat sebagai kepala negara, ia mulai menekan

parlemen dan menekan pihak-pihak yang tidak suka dengan

kepemimpinannya. Sebuah laporan resmi memperkirakan kurang

lebih 3197 orang meninggal dan 967 orang menghilang selama 17

tahun kepemimpinan Pinochet.

Pada tahun 1990, Pinochet mundur dari posisinya sebagai

kepala negara, tetapi tetap sebagai Jenderal Chile sampai Maret

1998. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Jenderal, Pinochet

menjabat sebagai senator tetapi hanya sampai tahun 2002 karena

kondisi kesehatannya yang memburuk.

Pada tahun 1998, Pinochet pergi ke Inggris untuk berobat.

Mengetahui hal ini, Spanish Magistrate meminta ekstradisi


46

Pinochet sehubungan dengan dugaan berbagai pelanggaran HAM,

terutama tindakan penganiayaan selama ia menjadi kepala negara.

Menyusul permintaan ekstradisi dari Spanyol pada tanggal 16

Oktober 1998 sehubungan dengan dakwaan terhadap Pinochet oleh

Pengadilan Spanyol pada tahun 1996, British Magistrate

menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Pinochet dengan

berdasarkan Undang-Undang Ekstradisi 1989. Pinochet kemudian

ditangkap di London pada tanggal 17 Oktober 1998.

Pada tanggal 28 Oktober 1998, Pengadilan Tinggi Inggris

memutus bahwa penangkapan Pinochet tidak sah karena

melanggar kekebalan yang dimilikinya sebagai seorang kepala

negara. Namun pada tanggal 25 November 1998, The House of

Lords, pengadilan tertinggi Inggris membatalkan putusan

Pengadilan Tinggi. House of Lords menjelaskan bahwa Pinochet

hanya bisa menikmati kekebalan sehubungan dengan tindakan-

tindakan yang dijalankan dalam lingkup pelaksanaan tugasnya dan

itu tidak termasuk melakukan kejahatan internasional seperti

tindakan penganiayaan dan penyaderaaan. Menyusul putusan ini,

negara Prancis, Belgia, dan Swiss juga meminta ekstradisi

Pinochet.
47

Kemudian pada tanggal 15 Januari 1999, House of Lords

mengesampingkan putusan awalnya dan menunjuk panel hakim

baru yang terdiri dari 5 orang hakim karena protes dari Pinochet

atas keterlibatan salah satu hakim di Amnesty International.

Namun putusan House of Lords pada tanggal 24 Maret 1999 tetap

menjelaskan bahwa Pinochet tidak berhak atas kekebalan yang

dimilikinya sehubungan dengan dugaan tindakan penganiayaan

yang dilakukannya setelah Inggris menjadi negara pihak Konvensi

PBB Anti Penyiksaan 1984.

Lord Millet dan Lord Philips, hakim House of Lords

menyatakan bahwa penganiayaan adalah sebuah kejahatan yang

diakui oleh hukum kebiasaan internasional dan karenanya memicu

penerapan prinsip Yurisdiksi Universal. Hukum kebiasaan

internasional telah berkembang sedemikian rupa ke titik bahwa

seorang kepala negara tidak dapat mengklaim kekebalan untuk

kejahatan-kejahatan terhadap hukum internasional seperti

penganiayaan. Sementara ke-4 hakim House of Lords lainnya

berpendapat bahwa hanya penundukkan negara-negara terhadap

Konvensi Anti Penyiksaan 1984 yang menghilangkan kekebalan

yang dimiliki oleh seorang kepala negara.


48

Pada akhirnya, Pinochet memang batal diadili di Inggris

karena kondisi kesehatannya yang memburuk sehingga kemudian

Pinochet dipulangkan ke negara asalnya, Chile, untuk diadili di

sana pada tanggal 3 Maret 2000. Kemudian pada tahun 2004,

Hakim Chile Juan Guzman Tapia memutus bahwa kondisi

kesehatan Pinochet sehat sehingga layak untuk diadili dan

menempatkannya dalam tahanan. Namun belum sampai selesai

proses hukum terhadap Pinochet, Pinochet meninggal terlebih

dahulu pada tanggal 10 Desember 2006 dan pada saat ia meninggal

sekitar 300 dakwaan terhadapnya masih menunggu sehubungan

dengan berbagai pelanggaran HAM yang dilakukannya.

(https://trialinternational.org/latest-post/augusto-pinochet-ugarte-

2/)

2.2. Pengertian Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional dalam hukum internasional dikenal dengan istilah

“Treaty” dan diatur dalam Vienna Convention 1969 on the Law of Treaties

(Selanjutnya disebut sebagai Konvensi Wina 1969) yang menjadi hukum yang

mengatur tentang perjanjian internasional.

Konvensi Wina 1969 mengartikan perjanjian internasional sebagai suatu

kesepakatan internasional di antara negara-negara dalam bentuk tertulis yang

diatur oleh hukum internasional, baik itu diwujudkan dalam satu atau lebih
49

instrumen. Hal ini diatur dalam pasal 2 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1969 yang

menegaskan sebagai berikut, “Treaty means an international agreement

concluded between states in written form and governed by international law,

whether embodied in a single instrument or in two or more instruments and

whatever its particular designation.”

Kesepakatan internasional diantara negara-negara tersebut diwujudkan

melalui pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian internasional yang

bersangkutan dan pernyataan persetujuan tersebut bisa dilakukan dengan

berbagai cara. Berdasarkan pasal 11 Konvensi Wina 1969, persetujuan negara

untuk terikat pada perjanjian internasional dapat dinyatakan dengan cara-cara

sebagai berikut:

a. By signature (penandatanganan);
b. Exchange of instruments constituting a treaty (tukar-menukar instrumen
perjanjian internasional);
c. Ratification (ratifikasi);
d. Acceptance (penerimaan);
e. Approval or accession (persetujuan atau aksesi);
f. Any other means if so agreed (cara lain yang disetujui bersama).

Dari berbagai cara untuk menyatakan persetujuan terikat pada perjanjian

internasional di atas, cara yang paling lazim digunakan oleh negara-negara

adalah dengan ratifikasi. Di dalam Konvensi Wina 1969 ratifikasi hanya

diartikan sebatas persetujuan suatu negara untuk terikat pada perjanjian

internasional di tingkat internasional, sama dengan acceptance, approval, dan

accession. Hal ini diatur dalam pasal 2 ayat 1 (b) Konvensi Wina 1969 yang
50

menegaskan sebagai berikut, “For the purposes of the present convention:

ratification, acceptance, approval, and accession mean in each case the

international act so named whereby a state establishes on the international

plane its consent to be bound by a treaty.”

Ratifikasi dalam praktiknya mempunyai pengertian lebih dari sekadar

persetujuan suatu negara untuk terikat pada perjanjian internasional. Ratifikasi

yang sebenarnya adalah proses pengesahan perjanjian internasional oleh badan

yang berwenang di negaranya. Dalam hal demikian, Mochtar Kusumaatmadja

(1983) mengingatkan bahwa, “Persetujuan pada perjanjian internasional yang

diberikan dengan penandatanganan itu masih bersifat sementara dan masih harus

disahkan, proses pengesahan atau penguatan inilah yang dinamakan ratifikasi.”

(hal. 120)

Setelah negara-negara telah menyepakati suatu perjanjian internasional

dengan memberikan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian internasional

yang bersangkutan melalui cara-cara yang di atas, umumnya keberlakuan

perjanjian internasional ditentukan dalam perjanjian itu sendiri. Perjanjian

internasional telah menetapkan kapan dan bagaimana perjanjian tersebut berlaku

bagi negara-negara pihak dalam perjanjian atau dengan cara-cara lain yang telah

disepakati bersama oleh negara pihak. Namun apabila perjanjian internasional

tersebut tidak mengatur kapan dan bagaimana perjanjian itu berlaku atau negara-

negara pihak juga tidak menetapkan kapan perjanjian itu berlaku, maka
51

perjanjian internasional dianggap berlaku seketika setelah semua negara pihak

dalam perjanjian telah menuangkan persetujuan untuk terikatnya. Hal ini diatur

dalam pasal 24 ayat 1 dan 2 Konvensi Wina 1969 yang menegaskan sebagai

berikut:

(1) “A treaty enters into force in such manner and upon such date as it may
provide or as the negotiating States may agree.
(2) Failing any such provision or agreement, a treaty enters into force as
soon as consent to be bound by the treaty has been established for all the
negotiating States.”

Di dalam pelaksanaan suatu perjanjian internasional, negara yang telah

menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut harus

melaksanakan kewajiban-kewajiban internasionalnya yang diamanatkan oleh

perjanjian tersebut dengan itikad baik. Keharusan untuk melaksanakan

kewajiban-kewajiban internasional dalam perjanjian internasional yang telah

disetujui dengan itikad baik ini dikenal dengan nama prinsip Pacta Sunt

Servanda yang diatur dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 sebagai berikut,

“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by

them in good faith.”

Meskipun pada dasarnya tiap negara pihak harus menghormati dan menaati

perjanjian internasional yang telah disepakati sesuai dengan prinsip pacta sunt

servanda, namun ternyata Konvensi Wina 1969 membolehkan dalam hal-hal

tertentu, negara pihak menarik persetujuan untuk terikatnya dan membatalkan


52

perjanjian. Berikut adalah hal-hal yang dapat membatalkan perjanjian

internasional yang telah disepakati:

a. Adanya error atau kesalahan menyangkut fakta atau keadaan pada

waktu perjanjian internasional disepakati (pasal 48);

b. Adanya sikap tidak jujur atau kecurangan dari salah satu negara pihak

pada waktu perjanjian internasional disepakati (pasal 49);

c. Adanya sikap tidak jujur atau kecurangan antara perwakilan negara

pihak yang menyepakati perjanjian internasional tersebut dengan salah

satu negara pihak pada waktu perjanjian internasional disepakati (pasal

50);

d. Adanya sikap pemaksaan untuk menyepakati perjanjian internasional

yang bersangkutan (pasal 51-52);

Selain hal-hal di atas yang menyebabkan suatu perjanjian internasional yang

telah disepakati menjadi batal, suatu perjanjian internasional juga tidak boleh

melanggar norma-norma dasar hukum kebiasaan internasional atau yang dikenal

dengan istilah jus cogens. Hal ini dikarenakan Jus cogens merupakan prinsip-

prinsip dasar dalam hukum internasional yang tidak boleh dilanggar oleh negara

manapun, terhadapnya tidak diperkenankan derogasi atau pembatasan dalam

bentuk apa pun. Setiap perjanjian internasional yang bertentangan dengan jus

cogens harus dinyatakan tidak berlaku. Hal ini diatur dalam pasal 53 Konvensi

Wina 1969 yang menegaskan sebagai berikut:


53

“A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a


peremptory norm of general international law. For the purposes of the
present Convention, a peremptory norm of general international law is a
norm accepted and recognized by the international community of States as
a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can
be modified only by a subsequent norm of general international law having
the same character.”

2.2.1. Konvensi Jenewa 1949

Konvensi Jenewa 1949 atau yang biasa disebut dengan Hukum

Humaniter Internasional atau Hukum Perang adalah kumpulan prinsip-

prinsip dan norma-norma yang mengatur tata cara berperang yang terdiri

dari 4 macam konvensi dan 3 protokol tambahan. Konvensi pertama

mengatur secara khusus tentang perbaikan kondisi orang-orang yang luka

dan yang sakit dalam pertempuran di darat, Konvensi kedua mengatur

perbaikan kondisi orang-orang yang luka, sakit, dan anggota kapal yang

karam dalam pertempuran di laut. Konvensi ketiga mengatur tentang

perlakuan terhadap tawanan perang. Konvensi keempat mengatur tentang

perlindungan terhadap penduduk sipil pada masa perang. Sedangkan

protokol tambahan memperluas aturan-aturan yang telah ada dalam

konvensi, dimana protokol I mengatur tentang perlindungan korban

konflik bersenjata internasional, protokol II mengatur tentang

perlindungan korban konflik bersenjata non internasional, dan protokol

III mengatur tentang lambang pembeda tambahan.


54

Pada dasarnya aturan-aturan dalam Konvensi Jenewa 1949 ini dibuat

dengan tujuan untuk membatasi penggunaan kekerasan dalam perang atau

konflik bersenjata yang sedang terjadi sehingga dengan demikian bisa

menghindarkan penderitaan yang tidak diperlukan. Menurut Effendi

(1998), “Hukum humaniter bertujuan untuk menjamin penghormatan

terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang.” (hal. 8)

Dalam memberlakukan hukum humaniter atau hukum perang harus

mempunyai pedoman yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat

internasional. Dalam hal ini terdapat beberapa asas utama dalam hukum

humaniter yang terdiri sebagai berikut:

a. Asas kepentingan militer (military necessity), yaitu para pihak


yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan
perang;
b. Asas perikemanusiaan (humanity), yaitu pihak yang bersengketa
diharuskan untuk memperhatikan kemanusiaan, di mana mereka
dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka
yang berlebihan dan penderitaan yang tidak diperlukan;
c. Asas kesatria (chivalry), yaitu di dalam perang, kejujuran harus
diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai
macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat
dilarang. (Arlina Permanasari, 1999, hal. 11)

Selain asas-asas tersebut di atas, masih terdapat prinsip-prinsip lain

yang harus diperhatikan dalam konflik bersenjata yang sedang terjadi.

Menurut Yuliantiningsih (2009), prinsip-prinsip itu adalah sebagai

berikut:
55

a. Prinsip pembedaan (distinction principle), yaitu prinsip yang


membedakan antara kombatan dan penduduk sipil dalam
wilayah negara yang sedang berperang. Kombatan ialah
penduduk yang secara aktif turut serta dalam perang dan boleh
dijadikan sebagai sasaran perang, sedangkan penduduk sipil
adalah mereka yang tidak ikut dalam perang sehingga tidak
boleh dijadikan sebagai sasaran perang. Selain itu, anggota
medis juga harus dibedakan dari kombatan sehingga juga
termasuk orang-orang yang harus dilindungi selama perang.
b. Prinsip proporsionalitas (balance principle), yaitu para pihak
dalam perang harus memperhatikan proporsionalitas atau
keseimbangan. Adanya prinsip ini mempunyai tujuan untuk
menyeimbangkan antara kepentingan militer dan resiko yang
akan merugikan penduduk sipil. Penggunaan kekerasan dalam
perang harus disesuaikan dengan ancaman lawan yang dihadapi
dan sebisa mungkin tidak menimbulkan korban jiwa.
c. Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang
bertujuan dalam terjadinya perang untuk menyatakan batasan
sasaran perang, wilayah perang, dan lawan. Penduduk sipil,
anggota medis, dan kombatan yang sudah tidak mampu lagi
bertempur atau yang sudah menyerah tidak boleh dijadikan
sebagai sasaran perang. Selain itu, tempat-tempat tertentu juga
tidak boleh dijadikan sebagai sasaran perang. Tempat-tempat
tersebut antara lain, tempat ibadah, sekolah, dan rumah sakit.
(hal. 114)

2.3. Implementasi Perjanjian Internasional di Pengadilan Nasional

Secara umum terdapat 2 teori yang berkaitan dengan implementasi

perjanjian internasional di pengadilan nasional suatu negara, yaitu teori

Monisme dan Dualisme.

a. Teori Monisme
56

Teori Monisme menerangkan bahwa hukum nasional dengan hukum

internasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem hukum.

Hukum internasional dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan bagi

hakim dalam menjatuhkan putusan tanpa perlu diatur lebih lanjut dalam

hukum nasional atau tanpa perlu pengubahan karena hukum internasional

dianggap sebagai bagian dari sistem hukum nasional suatu negara.

Berkaitan dengan teori ini, ada 2 ajaran yang berkembang, yaitu Mashab

Bon dan Mashab Viena.

i. Mashab Bon (Monism I)

Mashab Bon dipelopori oleh Max Wenzel di Jerman,

menganut paham monisme dengan primat hukum nasional. Inti

ajarannya adalah sebagai berikut:

 Yang utama adalah hukum nasional;


 Hukum internasional merupakan kelanjutan hukum
nasional yang berlaku;
 Hukum internasional, tidak lain dari hukum nasional
untuk urusan-urusan luar negeri suatu negara;
 Hukum internasional pada hakikatnya bersumber pada
hukum nasional;
 Hukum internasional pada hakikatnya hukum nasional
yang berlaku secara internasional. (H.R. Abdussalam,
2006, hal. 54)

Berdasarkan ajaran Bon tersebut, terlihat bahwa meskipun

pada hakikatnya hukum internasional dengan hukum nasional

merupakan dua aspek yang sama dalam satu sistem hukum,

hukum nasional masih dianggap secara hierarki lebih tinggi dari


57

hukum internasional. Adapun dasar pertimbangannya adalah

sebagai berikut:

 Tidak ada satu organisasi yang berada di atas negara-


negara yang mengatur kehidupan negara-negara di
dunia;
 Dasar hukum internasional hubungan internasional
terletak dalam wewenang negara-negara untuk
mengadakan perjanjian-perjanjian internasional
termasuk wewenang konstitusional. (H.R. Abdussalam,
2006, hal. 55)

Pendukung mashab ini percaya bahwa hukum nasional

menang atas aturan-aturan hukum internasional. Oleh karena itu,

hukum internasional sebenarnya tidak ada dengan sendirinya,

hukum internasional hanyalah hukum eksternal dari sistem

hukum nasional. Apabila kedudukan di antara kedua hukum ini

diilustrasikan, hukum nasional merupakan konstitusi negara

sedangkan hukum internasional merupakan hukum lainnya

dalam suatu negara, sehingga dengan demikian konstitusi

(hukum nasional) mempunyai superioritas atas semua hukum

lainnya (hukum internasional) dalam suatu negara.

Oleh karena itu, Max Wenzel (2015) berpendapat bahwa:

“Hukum internasional bukan sebagai seperangkat aturan


yang independen. Hukum internasional hanya dilihat
sebagai seperangkat pedoman yang nilai-nilai aturannya
akan dihapuskan seketika negara yang kuat menganggap
aturan-aturan dalam hukum internasional itu bertentangan
dengan kepentingan-kepentingan mereka.” (hal. 27)
58

Mashab Bon ini juga didukung oleh Karl Bergbohm, Albert

Zorn, Moser, dan Hegel.

ii. Mashab Viena (Monism II)

Mashab Viena dipelopori oleh Hans Kelsen yang menganut

paham monisme dengan primat hukum internasional. Inti

ajarannya adalah sebagai berikut:

 Hukum nasional bersumber pada hukum internasional.


Hukum internasional lebih dahulu dari hukum nasional;
 Hukum internasional secara hierarki lebih fungsi dari
hukum nasional;
 Hukum nasional tunduk dan taat pada hukum
internasional;
 Kekuatan mengikat hukum nasional merupakan
pendelegasian wewenang dari hukum internasional;
 Hukum internasional lebih tinggi dan utama dari hukum
nasional, dan merupakan suatu sistem hukum yang
mengatur keseluruhan kehidupan manusia. (H.R.
Abdussalam, 2006, hal. 56)

Mashab Viena ajaran Hans Kelsen ini merupakan paham

monisme yang sedikit berbeda dengan paham monisme yang

pertama, dimana hukum internasional mempunyai prioritas atau

kedudukan lebih tinggi dari hukum nasional. Teori ini lahir dari

adanya anggapan bahwa hak-hak dan kewajiban yang

terkandung dalam hukum internasional tidak hanya berlaku bagi

negara-negara saja, namun juga termasuk individu-individu di

dalamnya. Menurut Kelsen (2007) Subjek hukum internasional

bukan hanya negara saja, namun juga termasuk individu-


59

individu. Jika hukum internasional hanya mengatur negara-

negara saja, maka kewajiban dan hak-hak yang ditetapkan oleh

hukum internasional tidak akan mempunyai arti sama sekali dan

hukum internasional tidak akan mewajibkan siapa pun untuk

melakukan sesuatu. Oleh karena itu, Kelsen berpendapat bahwa

hukum internasional dan hukum nasional termasuk dalam sistem

hukum yang sama. Kelsen (2007) menjelaskan bahwa,

“.....international law is significant only as a part of universal

legal order which comprises also the domestic orders.” (hal.

363)

Lebih lanjut Kelsen (2007) juga menjelaskan bahwa hukum

internasional menentukan alasan keabsahan semua tatanan

hukum nasional. Oleh karena itu, ia bersikukuh bahwa sumber

hukum dari hukum nasional dan hukum nasional adalah norma

dasar hukum internasional, yaitu hukum kebiasaan internasional,

yang ia jelaskan dengan ungkapan, “The states ought to behave

as they have customarily behaved.” (hal. 369) Semua penjelasan

Kelsen ini akhirnya akan mengarah pada satu kesimpulan, yaitu

Hukum internasional (customary international law) diakui

sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara yang mempunyai

kedudukan lebih tinggi dari hukum nasional. Teori-teori Kelsen


60

tentang hukum internasional dan pendekatan monisnya banyak

dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Principles of General

Theory of Law and State.

Bertentangan dengan paham monisme yang pertama, dalam

monisme ini, semua aturan hukum nasional yang tidak sesuai

dengan hukum internasional harus dianggap tidak berlaku.

Mashab Vienna ini juga didukung oleh seorang filsuf Jerman,

Kaufmann.

Terlepas dari kedua primat hukum monisme di atas, dalam suatu

negara yang murni menganut paham monisme, hukum internasional tidak

perlu diubah ke dalam bentuk hukum nasional, hukum internasional

langsung tergabung menjadi satu dengan sistem hukum nasional. Suatu

tindakan meratifikasi perjanjian internasional segera menggabungkan

ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut ke dalam tata

hukum nasional, dan seseorang dapat menggunakan hukum internasional

untuk mengklaim hak-hak yang diberikan oleh hukum internasional

terhadapnya di pengadilan. Hakim dapat menentukan bahwa hukum

nasional bertentangan dengan perjanjian internasional yang telah

diratifikasi atau sebaliknya, tergantung dari primat hukum manakah yang

dianut oleh negara tersebut. Contoh negara yang menganut paham

Monisme ini adalah negara Amerika Serikat.


61

Amerika Serikat di dalam konstitusinya, mengakui bahwa selain

konstitusi, treaties yang dibuat oleh otoritas Amerika Serikat juga

merupakan hukum tertinggi negara yang mengikat hakim-hakim. Hal ini

ditegaskan dalam pasal 6 klausula ke-2 konstitusi Amerika Serikat yang

menegaskan sebagai berikut:

“Clause 2. This Constitution, and the Laws of the United States


which shall be made in pursuance thereof; and all Treaties made or
which shall be made, under the authority of the United States, shall
be supreme Law of the Land;and the judges in every State shall be
bound thereby;any thing in the Constitution or Law of any State to
the contrary notwithstanding.”

b. Teori Dualisme

Teori dualisme menerangkan bahwa hukum nasional dan hukum

internasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda dan tidak

terikat satu dengan yang lain. Ian Brownlie (1979) menjelaskan bahwa

hukum nasional dan hukum internasional berbeda objek dan lingkup

berlakunya sehingga norma-norma yang satu tidak akan berlaku dalam

ranah norma yang lainnya tanpa suatu tindakan penerimaan atau

pengubahan yang positif. Berlainan dengan pendekatan monisme, pada

negara yang menganut pendekatan dualisme ini, norma-norma dalam

hukum internasional tidak dapat diberlakukan secara langsung ke dalam

sistem hukum mereka, melainkan perlu untuk terlebih dahulu melalui

proses pemberlakuan atau penggabungan tertentu ke dalam hukum

nasional. Norma-norma dalam hukum internasional perlu untuk diubah ke


62

dalam bentuk hukum nasional agar memperoleh kekuatan berlakunya,

jika tidak maka itu bukan hukum sama sekali.

Menurut pendukung paham ini, dalam keadaan bagaimanapun juga,

hukum nasional selalu mempunyai prioritas atas hukum internasional dan

karenanya hukum nasional selalu menang dan secara hierarkis lebih

tinggi dari hukum internasional.

Selain itu, jika suatu negara menerima perjanjian internasional, tetapi

tidak menyesuaikan hukum nasionalnya dengan perjanjian internasional

tersebut atau tidak membuat hukum nasional yang secara eksplisit

menggabungkan perjanjian internasional tersebut, maka negara tersebut

melanggar hukum internasional. Hakim pengadilan nasional tidak bisa

memberlakukan norma-norma dalam hukum internasional (perjanjian

internasional) jika norma-norma tersebut belum diubah ke dalam aturan

hukum nasional walaupun pada kenyataannya memang terjadi

pelanggaran terhadap norma-norma hukum internasional tersebut.

Pendukung teori ini adalah Triepel dan Anzilloti.

Berkaitan dengan paham monisme dan dualisme ini, Antonio Cassese

(2001) menjelaskan terdapat 3 teori yang menjelaskan tentang cara-cara aturan

hukum internasional bisa berlaku dalam suatu negara:

 Teori transformasi (Transformation theory), yaitu hukum internasional


tidak bisa berlaku jika tidak diubah ke dalam aturan hukum nasional.
Negara menggabungkan perjanjian internasional dan norma-norma
hukum internasional ke dalam hukum nasional mereka melalui
63

perangkat pengubah tertentu. Suatu negara bisa menggabungkan


perjanjian internasional yang telah diratifikasi ke dalam sistem hukum
nasional mereka melalui penegasan dalam konstitusi mereka. Apabila
konstitusi negara menggabungkan secara otomatis perjanjian
internasional yang telah diratifikasi ke dalam hukum nasional, maka
tidak diperlukan tindakan legislatif apapun selain ratifikasi dan tindakan
penggabungan hukum internasional secara otomatis ini biasanya juga
termasuk menggabungkan hukum kebiasaan internasional, seperti
Amerika Serikat dalam kasus Filartiga v. Pena Irala;
 Teori delegasi (Delegation theory), yaitu hukum internasional
mendelegasikan kekuasaan membentuk aturan kepada setiap negara,
sesuai dengan prosedur dan sistem yang berlaku pada tiap negara, dan
sesuai dengan konstitusi atau perjanjian internasional yang telah
disetujui dan ditandatangani;
 Teori adopsi khusus (Specific adoption theory), yaitu hukum
internasional tidak bisa berlaku dalam negara berdaulat, kecuali negara
tersebut secara khusus mengadopsi hukum tersebut. Menurut teori ini,
setiap negara berdaulat mempunyai kebebasan untuk menentukan
aturan-aturan hukum internasional manakah yang ingin mereka
berlakukan, dan yang tidak ingin mereka berlakukan. Suatu negara bisa
menentukan perjanjian internasional tertentu berlaku secara otomatis
(self-executing treaty) dalam sistem hukum nasional mereka, sedangkan
yang lainnya tidak bisa atau masih memerlukan pengubahan oleh badan
legislatif ke dalam hukum nasional (non self-executing treaty).
Biasanya, perjanjian internasional yang diberlakukan secara otomatis ini
adalah perjanjian-perjanjian internasional yang mempunyai prinsip jus
cogens di dalamnya, seperti international human rights law yang diakui
mengikat semua negara di dunia. (Gokul Sundar K. Ravi, Relationship
between international law and municipal law, hal. 16)

2.4. Teori Kekebalan Pejabat dari Yurisdiksi Negara Lain

2.4.1. Jenis-jenis Kekebalan

Secara keseluruhan teori kekebalan pejabat dari yurisdiksi negara lain

dapat dibedakan menjadi 2 macam kekebalan, yaitu personal immunity

(immunity ratione personae) atau kekebalan personal dan functional

immunity (immunity ratione materiae) atau kekebalan fungsional.


64

Kekebalan personal merupakan kekebalan yang dimiliki oleh seseorang

karena status resmi yang melekat pada jabatan mereka. Kekebalan personal

ini diberikan oleh hukum internasional kepada orang-orang tertentu yang

mempunyai status tersendiri, yaitu kepada para agen diplomatik dan

konsuler yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan

Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler,

termasuk seorang Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan, Menteri Luar

Negeri dan Menteri Pertahanan. Sedangkan kekebalan fungsional

merupakan kekebalan yang dimiliki oleh seseorang karena melaksanakan

tugas-tugas negara. Semua pejabat negara yang melaksanakan tugas-tugas

negara pada dasarnya menikmati kekebalan fungsional ini. Walaupun

sama-sama memberikan kekebalan kepada seorang pejabat atau agen suatu

negara dari yurisdiksi negara lain, akan tetapi di antara keduanya masih

terdapat perbedaan secara konseptual.

Perbedaan pertama yang ada di antara keduanya adalah mengenai

durasi kekebalan. Kekebalan personal hanya diberikan kepada seseorang

selama masa jabatan mereka, dan akan berhenti apabila orang tersebut

sudah tidak lagi menjabat. Kekebalan personal ini akan melindungi orang

yang menikmati kekebalan untuk tindakan-tindakan yang dilakukan

sebelum dan selama mereka menjabat. Sedangkan kekebalan fungsional


65

berlaku selama masa jabatan mereka dan masih akan berlaku setelah

berakhirnya masa jabatan mereka.

Perbedaan kedua, menurut pandangan yang berlaku namun tidak bulat

dalam literatur-literatur, adalah mengenai cakupan berlakunya kekebalan

tersebut. Kekebalan personal mencakup tindakan tindakan-tindakan pribadi

dan resmi (private and official acts) dari pejabat yang bersangkutan,

sementara kekebalan fungsional hanya mencakup tindakan resmi (official

acts) yang dilakukan dalam lingkup kewajiban mereka. Meskipun begitu,

interpretasi terhadap konsep official acts bisa berbeda pada tiap-tiap orang.

Perbedaan ketiga adalah mengenai dasar keberlakuan kedua jenis

kekebalan ini. Kekebalan personal umum dipandang berdasarkan pada

konsep bahwa tindakan-tindakan resmi dari pejabat melekat atau terhubung

pada diri pejabat yang bersangkutan dan kekebalan tersebut mempunyai

sifat prosedural mengecualikannya dari proses hukum. Sebaliknya, pada

kekebalan fungsional berdasarkan pada konsep bahwa tindakan-tindakan

resmi dari pejabat tidak melekat atau terhubung pada diri pejabat yang

bersangkutan, namun hanya dan selalu melekat pada negara atau dalam

pengertian yang sederhana, pada kekebalan fungsional, tindakan pejabat

akan disamakan dengan tindakan negara. Oleh karena itu, kekebalan

fungsional tidak bersifat prosedural, tetapi harus mewakili pengecualian

substantif dari hukum.


66

Terlepas dari perbedaan-perbedaan di atas, jika kita mengacu pada

hakikat konsep kekebalan fungsional yang memberikan kekebalan pada

semua pejabat negara, maka hal ini berarti pejabat-pejabat tertentu yang

memiliki kekebalan personal juga akan memiliki kekebalan fungsional

karena pada dasarnya mereka juga termasuk pejabat negara.

2.4.2. Kekebalan Pejabat dalam Praktik Hubungan Antarnegara

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kekebalan personal

hanya diberikan pada orang-orang tertentu saja, yaitu kepada para agen

diplomatik dan konsuler, kepala negara atau kepala pemerintahan, menteri

luar negeri, dan kepada menteri pertahanan. Kekebalan ini diberikan

berkaitan dengan status yang melekat pada jabatan mereka. Riccardo

Pisillo Mazzeschi (2015) menjelaskan bahwa apabila para agen diplomatik

dan konsuler memperoleh kekebalan personal ini karena hukum

internasional yang memberikannya secara khusus kepada mereka,

kekebalan personal seorang kepala negara atau kepala pemerintahan,

menteri luar negeri dan menteri pertahanan diberikan oleh hukum

kebiasaan internasional karena berkaitan dengan tugas-tugas mereka dalam

hubungan internasional negara tersebut.

Para agen diplomatik memperoleh kekebalan dari Konvensi Wina

1961 tentang Hubungan Diplomatik, sedangkan para agen konsuler

memperoleh kekebalannya dari Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan


67

Konsuler. Oleh karena itu, baik agen diplomatik maupun agen konsuler

sama-sama mempunyai kekebalan dari yurisdiksi negara lain, walaupun

berbeda cakupan kekebalannya.

Para agen diplomatik mempunyai kekebalan yang jauh lebih luas dari

para agen konsuler. Berdasarkan pasal 31 Konvensi Wina 1961, agen

diplomatik mempunyai kekebalan dari yurisdiksi pidana, perdata dan

administrasi negara penerima, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Tindakan yang berhubungan dengan aset pribadi yang tidak dapat

dipindahkan yang berada di negara penerima, kecuali ia

memilikinya atas nama negara pengirim untuk tujuan misi;

b. Tindakan yang berhubungan dengan suksesi yang mana agen

diplomatik yang bersangkutan terlibat sebagai pelaksana, pengurus,

ahli waris atau penerima warisan sebagai orang pribadi dan bukan

atas nama negara pengirim;

c. Tindakan yang berhubungan dengan kegiatan profesional atau

komersial yang dilakukan oleh agen diplomatik yang bersangkutan

di negara penerima diluar tugas-tugas jabatannya.

Para agen diplomatik juga tidak dapat ditangkap atau ditahan

walaupun pada kenyataannya telah melakukan pelanggaran atau kejahatan.

Hal ini diatur dalam pasal 29 Konvensi Wina 1961 yang menegaskan

sebagai berikut: “The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He


68

shall not be liable to any form of arrest or detention. The receiving state

shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to

prevent any attack on this person, freedom, or dignity.”

Sementara itu, kekebalan yang dimiliki oleh para agen konsuler lebih

sempit dan terbatas keberlakuannya jika dibandingkan dengan kekebalan

yang dimiliki oleh agen diplomatik. Berdasarkan pasal 43 ayat 1 Konvensi

Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, Para agen konsuler mempunyai

kekebalan dari yurisdiksi negara penerima sehubungan dengan tindakan-

tindakan yang dilakukan dalam lingkup pelaksanaan fungsinya. Hal ini

berbeda dengan kekebalan mutlak dari yurisdiksi pidana yang dimiliki oleh

seorang agen diplomatik. Para agen konsuler masih dapat ditangkap dan

ditahan oleh otoritas penegak hukum negara penerima apabila melakukan

tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori kejahatan serius yang

diatur dalam hukum negara penerima. Hal ini diatur dalam pasal 41 ayat 1

Konvensi Wina 1963 yang menegaskan sebagai berikut: “Consular

officers shall not be liable to arrest or detention pending trial, except in

the case of a grave crime and pursuant to a decision by the competent

judicial authority.”

Kekebalan personal yang dimiliki oleh agen diplomatik dan pejabat-

pejabat lainnya yang menikmati kekebalan ini sangat diakui dalam praktik

hubungan antarnegara. Sejarah menunjukkan bahwa banyak agen


69

diplomatik yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum negara

penerima yang tidak diadili karena dilindungi oleh kekebalan ini. Kita

ambil contoh saja peristiwa kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh

seorang diplomat Sudan di Amerika Serikat yang masih tergolong kasus

yang baru. Peristiwa ini terjadi pada bulan Januari 2017 dimana diplomat

Sudan untuk Amerika Serikat bernama Mohammad Abdalla Ali, 49 tahun,

melakukan pelecehan seksual terhadap seorang wanita pada saat berada di

dalam kereta bawah tanah New York City. NYPD (New York Police

Department) atau sebutan untuk kepolisian kota New York sempat

menangkap Ali, namun kemudian melepaskannya setelah ia mengklaim

kekebalannya sebagai agen diplomatik.

(https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/news/amp/magazine-

38576257)

Tak hanya agen diplomatik, seorang kepala negara juga mempunyai

kekebalan dari yurisdiksi negara lain yang diakui oleh hukum kebiasaan

internasional. Beberapa kasus hukum internasional juga menunjukkan

adanya pengakuan terhadap kekebalan ini. Adalah Robert Gabriel Mugabe,

seorang mantan Presiden Zimbabwe, tidak bisa dituntut oleh pengadilan

Inggris setelah aktivis HAM yang bernama Peter Tatchell mengajukan

permohonan ke Pengadilan Inggris untuk mengadili Robert Mugabe atas


70

berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan selama ia menjabat sebagai

Presiden.

Salah seorang hakim magistrates court Distrik London yang

menangani kasus ini, Timothy Workman, menjelaskan bahwa ia tidak bisa

menerbitkan surat perintah penangkapan karena Presiden mempunyai

kekebalan mutlak dari penuntutan sebagai kepala negara. Timothy

Workman menjelaskan sebagai berikut: “Whilst international law evolves

over a period of time, international customary law, which is embodied in

our Common Law, provides absolute immunity to any head of state.”

(https://www.google.com/amp/s/amp.theguardian.com/uk/2004/jan/15/zim

babwe.world)

Kasus serupa dengan Robert Mugabe ini adalah upaya penuntutan

terhadap seorang pemimpin Revolusioner sekaligus kepala negara Kuba,

Fidel Castro, oleh organisasi HAM yang bernama The Foundation for

Human Rights in Cuba (FHRC) yang berbasis di Spanyol. Pada tanggal 5

November 1998, FHRC mengajukan tuntutan terhadap Fidel Castro kepada

pengadilan Spanyol sehubungan dengan dugaan berbagai pelanggaran

HAM. Namun sebagai seorang kepala negara Kuba saat itu, pengadilan

Spanyol merasa tidak bisa untuk mengadili karena kekebalan yang dimiliki

oleh Fidel Castro. Oleh karena itu, pengadilan Spanyol menolak tuntutan
71

ini pada bulan Desember 1998. (https://trialinternational.org/latest-

post/fidel-castro/)
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Kronologi Kasus


Pada tanggal 11 April 2000, seorang investigating judge negara Belgia

menerbitkan Arrest Warrant atau yang lebih dikenal dengan nama surat perintah

penangkapan internasional terhadap salah seorang pejabat negara Kongo, yaitu

seorang Menteri Luar Negeri Kongo, Abdoulaye Yerodia Ndombasi, dan

mengedarkan surat perintah penangkapan tersebut secara internasional melalui

Red Notice atau Pemberitahuan Resmi yang dikeluarkan oleh Sekjen Interpol.

Arrest Warrant ini adalah surat yang berisi permohonan negara Belgia bagi

negara-negara lain untuk menangkap, menahan, dan mengekstradisi Yerodia

Ndombasi kepada Belgia untuk diadili di hadapan pengadilan Belgia.

Arrest Warrant ini diterbitkan oleh negara Belgia sehubungan dengan dugaan

pelanggaran Hukum Humaniter Internasional oleh Yerodia Ndombasi yang

dihukum dengan hukum nasional Belgia, yaitu Law of 16 June 1993

sebagaimana telah diubah menjadi Law of 10 February 1999 (UU Belgia 10

February 1999) yang mengatur tentang hukuman pelanggaran serius Hukum

Humaniter Internasional. Menurut pasal 7 UU Belgia 10 February 1999,

Pengadilan Belgia mempunyai yurisdiksi sehubungan dengan pelanggaran-

pelanggaran terhadap UU ini.

72
73

Peristiwa bermula ketika Pemerintahan Kongo yang pada masa itu dipimpin

oleh Laurent Kabila tidak berhasil dalam menghentikan ketegangan etnis Tutsi

Rwanda dan Banyamulenge dengan etnis lokal setelah ia mengambil alih

kekuasaan pada tahun 1997. Setelah Kabila memimpin, berkembang sentimen

negatif dari penduduk asli Kongo terhadap orang-orang Tutsi Rwanda dan Tutsi

Banyamulenge yang tinggal di wilayah Kongo Timur. Penduduk asli Kongo

tidak suka dengan orang-orang Tutsi Rwanda yang menduduki jabatan-jabatan di

pemerintahan Kongo. Mereka menilai orang-orang Tutsi memiliki kendali yang

cukup besar atas negara mereka sendiri dan hal ini menimbulkan perasaan tidak

suka terhadap orang-orang Suku Tutsi, banyak penduduk asli Kongo yang

melihat Kabila tidak lebih dari sekadar pion yang dikendalikan oleh kekuatan

asing.

Mendapat kritikan ini, Kabila meresponnya dengan mengganti orang-orang

Tutsi Rwanda yang sebelumnya menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan

Kongo dengan penduduk asli Kongo, serta mengusir mereka bersama dengan

segala pasukan Rwanda dan Uganda yang sebelumnya tinggal di wilayah

mereka. Akibat dari sentimen negatif dan pengusiran ini, hubungan antara Suku

Tutsi Banyamulenge yang tinggal di wilayah Kongo Timur dengan etnis lokal

yang sebelumnya buruk semakin bertambah buruk.

Selanjutnya, Rwanda yang tidak terima dengan pengusiran ini, dan melihat

kehidupan Suku Tutsi Banyamulenge di Kongo Timur yang mendapat


74

diskriminasi, serta tidak suka dengan pemerintahan Kabila yang membiarkan

militan Hutu yang lari ke wilayahnya untuk membangun basis militer dan masih

melakukan serangan-serangan lintas batas ke pemerintahan Rwanda, mulai

mendorong Suku Tutsi Banyamulenge dan orang-orang lainnya yang tidak suka

dengan pemerintahan Kabila untuk melakukan upaya pemberontakan terhadap

pemerintahan Kabila dan benar saja pemberontakan pun akhirnya terjadi. Pada

tanggal 2 Agustus 1998, untuk pertama kalinya terjadi pemberontakan yang

dilakukan oleh Suku Tutsi Banyamulenge di Goma yang menandai dimulainya

perang Kongo yang kedua (1998-2003). Mereka bersama dengan orang-orang

yang tidak menyukai pemerintahan Kabila tergabung dalam sebuah kelompok

yang menamakan diri mereka sebagai kelompok pemberontak Rally for

Congolese Democracy (RCD), yang utamanya adalah Suku Tutsi Banyamulenge

dengan dibantu oleh negara Rwanda dan Uganda sebagai 2 negara utama yang

menopang persenjataan RCD.

Meskipun negara Kongo yang dipimpin oleh Kabila saat itu juga

mendapatkan bantuan dari negara-negara Afrika lainnya seperti negara Angola,

Namibia, dan Zimbabwe, namun tetap saja gerakan pemberontakan yang

dilakukan oleh RCD ini sulit dihentikan oleh pasukan gabungan Kabila dan

sekutunya. RCD segera merebut wilayah yang memiliki sumber-sumber

kekayaan alam yang besar di wilayah Kongo timur dan mendirikan basis militer
75

di Goma. RCD juga segera menduduki Kota Bukavu dan Uvira di Kivu, Kongo

Timur, pada awal pemberontakannya.

Segala upaya dikerahkan oleh Kabila untuk membendung gerakan RCD,

termasuk dengan menarik simpati dari penduduk asli Kongo dengan menyulut

permusuhan lebih lanjut terhadap orang-orang Tutsi. Selama bulan Agustus

1998, Kabila melalui kepala kabinetnya saat itu, Yerodia Ndombasi melakukan

serangkaian hated speeches atau ujaran kebencian yang ditujukan terhadap

orang-orang Tutsi di Kongo. Akibat dari seruan Ndombasi ini, banyak penduduk

asli Kongo yang melakukan kekerasan terhadap orang-orang Tutsi yang

dianggap sebagai penjajah oleh mereka dan berakibat meninggalnya ratusan

orang-orang Tutsi di Kongo, pemerkosaan, penganiayaan, dan berbagai tindakan

tak menyenangkan lainnya. (https://trialinternasional.org/latest-post/abdoulaye-

yerodia-ndombasi/)

3.2. Analisis Kasus


Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka

tindakan negara Belgia yang menerbitkan Arrest Warrant tidak melanggar

prinsip-prinsip dalam hukum internasional dan sah secara hukum. Menurut

kamus hukum Duhaime, Warrant adalah suatu dokumen yang memberikan

kewenangan hukum kepada seseorang untuk melakukan tindakan tertentu.

Sementara itu, Black Law Dictionary mendefinisikan Warrant sebagai surat

perintah atau perintah dari otoritas yang berwenang berdasarkan hukum yang
76

berlaku, mengarahkan dilakukannya suatu tindakan dan ditujukan kepada

petugas atau orang lain yang berwenang untuk melakukan perbuatan tersebut.

Oleh karena itu, berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, Arrest Warrant

dapat diartikan sebagai suatu dokumen atau surat perintah dari otoritas yang

berwenang yang memberikan kewenangan hukum kepada seseorang untuk

melakukan penangkapan. Wex Law Dictionary mendefinisikan Arrest Warrant

secara lengkap sebagai suatu dokumen yang diterbitkan oleh hakim atau

pengadilan yang memberikan kewenangan kepada polisi untuk menangkap dan

menahan seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan. Arrest Warrant sah

selama diterbitkan oleh pengadilan dan menyebutkan secara jelas siapa yang

hendak ditangkap.

Lebih lanjut, ex-Lord Chief Justice of England and Wales John Passmore

Widgery menjelaskan bahwa ketika akan menerbitkan Arrest Warrant, seorang

hakim harus setidak-tidaknya mempertimbangkan hal-hal berikut ini:

a. Apakah kejahatan yang dituduhkan diatur oleh hukum yang

bersangkutan dan jika diatur, apakah telah ada bukti mula-mula yang

cukup yang menunjukkan adanya unsur-unsur dasar dari kejahatan

tersebut;

b. Apakah kejahatan yang dituduhkan tidak daluarsa;

c. Apakah pengadilan mempunyai yurisdiksi;

d. Apakah pelapor mempunyai kewenangan untuk mengajukan tuntutan;


77

(https://justice.org.uk/arrest-warrant-international-crime/)

Arrest Warrant yang diterbitkan oleh pengadilan Belgia didasarkan atas

pelanggaran pasal 1 jo. pasal 4 UU Belgia 10 Februari 1999 yang

mengkategorikan tindakan menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran serangan

dalam perang dan hasutan untuk melakukan demikian sebagai suatu kejahatan

perang. Oleh karena itu, poin a sebagai salah satu syarat Arrest Warrant

diterbitkan dari penjelasan John Widgery terpenuhi.

Sebagaimana untuk poin b, di dalam UU Belgia 10 Februari 1999, tidak ada

ketentuan yang mengatur secara khusus tentang daluarsanya pelanggaran-

pelanggaran UU ini. Oleh karena itu, dengan tidak adanya ketentutan tentang

daluarsa ini, maka bisa dikatakan tidak ada daluarsa untuk kejahatan perang.

Beralih ke poin c dan d, pengadilan Belgia jelas mempunyai yurisdiksi

dalam kasus ini, yaitu yurisdiksi universal yang diberikan oleh Konvensi Jenewa

1949 dan oleh karena kasus ini termasuk penerapan yurisdiksi universal maka

tidak perlu kita mempermasalahkan lagi mengenai ada tidaknya kewenangan

pada pelapor untuk mengajukan tuntutan sebab pada hakikatnya tidak perlu ada

hubungan antara pelaku dan pelapor untuk melaksanakan prinsip ini. Tindakan

pengadilan Belgia yang menerbitkan Arrest Warrant telah memenuhi keempat

poin tersebut dan oleh karena itu penerbitan Arrest Warrant terhadap Abdoulaye

Yerodia Ndombasi sah secara hukum.


78

Tindakan pengadilan Belgia yang menerbitkan Arrest Warrant ini bukanlah

perbuatan yang melanggar prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku,

melainkan merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk menegakkan aturan-

aturan hukum internasional terhadap para pelaku kejahatan perang dan Belgia

memang mempunyai hak mengadili para pelaku tersebut. Hak ini merupakan

pemberian dari hukum internasional itu sendiri, yaitu Konvensi Jenewa 12

Agustus 1949 yang mengatur tentang Hukum Humaniter Internasional, dan

Belgia sebagai negara pihak yang telah meratifikasi konvensi ini pada tanggal 3

September 1952 mempunyai hak tersebut.

Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 yang menjadi landasan Hukum

Humaniter Internasional atau hukum perang telah mengatur secara tegas bahwa

penduduk sipil harus mendapat perlindungan khusus selama peperangan terjadi

dalam situasi apa pun, bahkan rumusan perlindungan terhadap penduduk sipil

ini telah diatur secara tersendiri dalam Konvensi Jenewa ke-4 yang mengatur

perlindungan penduduk sipil selama perang berlangsung.

Pasal 3 angka 1 Konvensi Jenewa ke-4 menegaskan sebagai berikut:

“In the case of armed conflict not of an international character occurring in


the territory of one of the High Contracting Parties, each Party to the
conflict shall be bound to apply, as a minimum, the following provisions:
(1) Persons taking no active part in the hostilities, including members of
armed forces who have laid down their arms and those placed hors de
combat……….shall in all circumstances be treated humanely, without
any adverse distinction founded on race, colour, religion or faith, sex,
birth or wealth, or any other similar criteria.
79

To this end, the following acts are and shall remain prohibited at any
time and in any place whatsoever with respect to the above-mentioned
persons:
(b) Violence to life and person, in particular murder of all kinds,
mutilation, cruel treatment and torture;

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, jelas bahwa dalam situasi konflik

bersenjata tidak bersifat internasional, suatu negara tidak boleh melakukan

kekerasan atau segala tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap orang-orang

yang tidak terlibat dalam permusuhan atau konflik bersenjata yang sedang

berlangsung sedangkan apa yang telah dilakukan oleh Yerodia Ndombasi justru

membuat penduduk sipil, dalam hal ini orang-orang Tutsi yang tidak terlibat

dalam konflik bersenjata yang bukan anggota kelompok pemberontak RCD

sebagai korban dengan menghasut permusuhan terhadap orang-orang Tutsi ini.

Akibatnya banyak orang-orang Tutsi yang bukan merupakan anggota kelompok

pemberontak RCD meninggal, baik itu di tangan pasukan bersenjata Kabila

maupun di tangan penduduk asli Kongo. Lebih lanjut, tindakan pembunuhan,

penganiayaan, dan segala tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap penduduk

sipil ini termasuk kategori pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949 karena

penduduk sipil adalah orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi. Hal ini

diatur dalam pasal 147 Konvensi Jenewa ke-4 yang menegaskan sebagai

berikut:

“Grave breaches to which the preceding article relates shall be those


involving any of the following acts, if committed against persons or
property protected by the present convention: willful killing, torture or
inhuman treatment, including biological experiments, willfully causing
80

great suffering or serious injury to body or health, unlawful deportation or


transfer or unlawful confinement of a protected person, compelling a
protected person to serve in the forces of hostile power, or willfully
depriving a protected person of the rights of fair and regular trial
prescribed in the present convention, taking hostages ad extensive
destruction and appropriation of property, not justified by military
necessity and carried out unlawfully and wantonly.”
Atas pelanggaran berat ini, Konvensi Jenewa 1949 menyerukan setiap

negara pihak dalam Konvensi untuk mencari orang yang diduga telah

melakukan atau menyuruh untuk melakukan pelanggaran berat tersebut dan

harus mengadili orang tersebut di hadapan pengadilannya, terlepas kebangsaan

yang dimiliki oleh orang tersebut. Namun demikian, negara yang telah

menangkap orang tersebut dapat juga menyerahkan orang tersebut ke

pengadilan negara lainnya apabila ia menghendakinya dan sesuai dengan

hukum nasionalnya dengan catatan negara yang meminta penyerahan orang

tersebut mempunyai bukti permulaan yang cukup (prima facie) yang

menunjukkan dirinya lebih layak untuk mengadili orang tersebut. Hal ini diatur

dalam pasal 146 ayat 2 Konvensi Jenewa ke-4 yang menegaskan sebagai

berikut:

“Each High Contracting Parties shall be under the obligation to search for
persons alleged to have committed, or to have ordered to be committed,
such grave breaches, and shall bring such persons, regardless of their
nationality, before its own courts. It may also, if it prefers, and in
accordance with the provisions of its own legislation, hand such persons
over for trial to another High Contracting Party concerned, provided such
High Contracting Party has made out a prima facie case.”
Seruan kepada setiap negara pihak dalam Konvensi ini merupakan

kewajiban internasional yang harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh setiap
81

negara pihak yang telah memberikan persetujuan untuk terikatnya pada

Konvensi ini, termasuk negara Belgia yang telah memberikan persetujuan

untuk terikatnya dengan melakukan ratifikasi pada tanggal 3 September 1952.

Kewajiban internasional untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan perjanjian

internasional yang telah disetujui dengan itikad baik ini dikenal dengan nama

prinsip Pacta Sunt Servanda yang sekaligus menjadi alas hak bagi negara

Belgia untuk mengadili Yerodia Ndombasi. Prinsip pacta sunt servanda ini

diatur dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menegaskan bahwa, “Every

treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them

in good faith.”

Seruan kepada setiap negara pihak untuk mencari dan mengadili orang yang

melakukan atau menyuruh melakukan pelanggaran berat dalam Konvensi ini

juga menyiratkan adanya prinsip Universal Jurisdiction atau Yurisdiksi

Universal, yaitu suatu prinsip yang memungkinkan suatu negara untuk

menerapkan yurisdiksi kriminalnya atas individu-individu yang diduga

melakukan kejahatan terlepas dari hubungan apa pun dari perbuatan individu

tersebut, baik itu tempat dilakukannya perbuatan, nationality atau kebangsaan

pelaku, sampai kebangsaan orang yang menjadi korban dari perbuatan pelaku

tersebut. Suatu negara akan dapat melakukan penuntutan sekalipun negara

tersebut sama sekali tidak mempunyai hubungan apa pun dengan peristiwa

tindak pidana yang sedang terjadi.


82

Namun demikian, meskipun Konvensi Jenewa ke-4 ini mengatur

penggolongan tindakan-tindakan yang merupakan pelanggaran berat terhadap

Konvensi, akan tetapi Konvensi ini tidak mengatur secara khusus tentang

upaya-upaya penindakan terhadap pelanggaran berat melainkan memberikan

keleluasaan kepada setiap negara pihak dalam Konvensi untuk merumuskan

sendiri ancaman pidananya dalam hukum nasional masing-masing. Hal ini

diatur dalam pasal 146 ayat 1 Konvensi Jenewa ke-4 yang menegaskan sebagai

berikut,“The High Contracting Parties undertake to enact any legislation

necessary to provide effective penal sanctions for persons committing, or

ordering to be committed, any of the grave breaches of the present convention

defined in the following article.”

Oleh karena itu negara Belgia, dengan berlandaskan pada ketentuan pasal di

atas dapat membuat Undang-Undangnya sendiri untuk merumuskan ancaman

pidana bagi pelaku pelanggaran berat pada Konvensi Jenewa 1949, yaitu

dengan membuat UU Belgia 10 Februari 1999 yang mengatur tentang hukuman

atas pelanggaran berat hukum humaniter internasional sekaligus melakukan

penuntutan terhadap Yerodia Ndombasi berdasarkan prinsip Universal

Jurisdiction atau Yurisdiksi Universal yang terkandung di dalam ketentuan

pasal 7 ayat 1 UU Belgia 10 Februari 1999 yang menegaskan bahwa,“The

Belgian courts shall be competent to deal with breaches provided for in the

present Act, irrespective of where such breaches have been committed.”


83

Prinsip yurisdiksi universal ini sendiri, dalam praktik penegakkan hukum

pidana internasional, telah mendapat cukup pengakuan dari bangsa-bangsa di

dunia dan telah diterapkan pada beberapa kasus penindakan pelaku kejahatan

internasional. Pada kasus Adolf Eichmann misalnya, Supreme Court Israel

menolak bantahan penasihat hukum Eichmann yang mempersoalkan keabsahan

yurisdiksi Israel dalam kasus ini dengan menjelaskan bahwa Israel mempunyai

yurisdiksi universal karena kejahatan yang dilakukan oleh Eichmann bersifat

universal, yang berarti membolehkan setiap negara untuk melakukan

penuntutan terhadapnya.

Supreme Court Israel menjelaskan sebagai berikut, “The second

proposition. It will be recalled that, according to this proposition, it is the

universal character of the crimes in question which vests in every state the

power to try those who participated in the perpetration of such crimes and to

punish them therefore.” (Eichmann’s Appeal Judgement hal. 19 para 4)

Supreme Court Israel menggunakan beberapa pertimbangan dalam memutus

ini, salah satunya adalah dari pernyataan Lauterpacht yang dikutip dari

Cambridge Law Journal 1947 vol. 9, p. 348, note 61. Lauterpacht menjelaskan

bahwa dalam tidak adanya ekstradisi yang dilakukan terhadap pelaku kejahatan,

setiap negara dapat mengklaim yurisdiksi atas suatu kejahatan yang bersifat

heinous atau keji, terlepas dari siapa pun yang melakukan atau di mana pun

kejahatan itu dilakukan.


84

Lauterpacht menjelaskan sebagai berikut:

“It would be in accordance with an enlightened principle of justice, a


principle which has not yet become part of the law of nations, if in the
absence of effective extradition, the courts of a state were to assume
jurisdiction over common crimes, by whomsoever and wherever commited,
of a heinous character.” (Eichmann Appeal Judgement hal. 20 para 7)

Atas dasar sifat universal dari kejahatan yang dilakukan oleh Eichmann

inilah sehingga pada akhir proses hukum, Supreme Court menolak upaya

bandingnya pada tanggal 29 Mei 1962 yang menyebabkan Eichmann dihukum

gantung pada tanggal 31 Mei 1962.

Kasus lainnya yang juga menerapkan prinsip yurisdiksi universal adalah

proses hukum terhadap Ivan Polyukhovich oleh pengadilan Australia. Terlepas

dari kewarganegaraan Australia yang diterima oleh Polyukhovich pada tahun

1958, fakta bahwa Polyukhovich yang pada awalnya merupakan seorang warga

negara Ukraina dan kejahatan yang dituduhkan kepadanya terjadi di desa

Serniki, Ukraina, menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya pengadilan

Australia tidak mempunyai hubungan apa pun sama sekali dengan perbuatan

yang dilakukan oleh Polyukhovich. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa

Pengadilan Australia yang mengadili Polyukhovich murni menerapkan prinsip

yurisdiksi universal sebagai dasar untuk mengadilinya.

Lebih lanjut, sehubungan dengan pembelaan Polyukhovich yang menolak

untuk mengakui yurisdiksi Australia dan mempersoalkan keabsahan Undang-

Undang Kejahatan Perang 1988 Australia, Pengadilan Tinggi Adelaide,


85

Australia, yang menangani keabsahan Undang-undang tersebut menjelaskan

bahwa hukum internasional telah memberikan hak kepada setiap negara untuk

mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan internasional, terutama

kejahatan perang. Oleh karena itu, Pengadilan Tinggi Adelaide menguatkan

keabsahan Undang-Undang tersebut dan menolak judicial review

Polyukhovich.

Pengadilan Tinggi Adelaide menjelaskan sebagai berikut: “In the way in

which this argument was first put by the Commonwealth, the Act was said to be

a law adapted and appropriate to the exercise of right which international law

specially confers on each nation to try those charged with the commission of

international crimes, especially war crime.” (Australia High Court Judgement

14-8-1991, hal. 25 para 32)

Pengadilan Tinggi Adelaide juga menjelaskan bahwa penting bagi

perdamaian dan ketertiban internasional untuk mengadili dan menghukum para

pelaku kejahatan yang melanggar Hukum Bangsa-Bangsa yang memberlakukan

prinsip yurisdiksi universal.

Pengadilan Tinggi Adelaide menjelaskan sebagai berikut, “Australia’s

international personality would be incomplete if it were unable to try and to

punish offenders against the the law of nations whose crimes are such that their

subjection to universal jurisdiction is conducive to international peace and

order.” (Australia High Court Judgement 14-8-1991, hal. 25 para 33)


86

Bagaimanapun juga, terlepas dari dibebaskannya Polyukhovich dari semua

dakwaan yang dituduhkan kepadanya karena dianggap kurang bukti, adanya

proses hukum terhadap Polyukhovich sudah cukup untuk menunjukkan kepada

kita diakuinya prinsip yurisdiksi universal oleh negara Australia dalam kasus

ini.

Selain pengadilan Israel dan Australia, pengadilan Inggris juga menerapkan

prinsip yurisdiksi universal untuk mengadili Augusto Pinochet Ugarte yang

merupakan mantan Jenderal sekaligus kepala negara Chile. Meskipun Pinochet

sempat lolos dari proses hukum terhadapnya karena Pengadilan Tinggi Inggris

mengakui kekebalan yang dimiliki oleh Pinochet sebagai seorang kepala

negara, namun tetap pada akhirnya House of Lords, pengadilan tertinggi

Inggris, mencabut kekebalan tersebut yang sekaligus membatalkan putusan

Pengadilan Tinggi Inggris.

House of Lords menjelaskan bahwa Pinochet hanya bisa menikmati

kekebalan tersebut sehubungan dengan tindakan-tindakan yang dijalankan

dalam lingkup pelaksanaan tugasnya dan itu tidak termasuk melakukan

kejahatan internasional seperti tindakan penganiayaan dan penyanderaan yang

dilakukan oleh Pinochet, serta menjelaskan bahwa kekebalan tersebut tidak lagi

berlaku setelah Inggris telah menjadi negara pihak Konvensi PBB Anti

Penyiksaan 1984.
87

Lord Millet dan Lord Philips, hakim House of Lords menyatakan bahwa

penganiayaan adalah sebuah kejahatan yang diakui oleh hukum kebiasaan

internasional dan karenanya memicu penerapan prinsip yurisdiksi universal.

Hukum kebiasaan internasional telah berkembang sedemikian rupa ke titik

bahwa seorang kepala negara tidak dapat mengklaim kekebalan untuk

kejahatan-kejahatan terhadap hukum internasional seperti penganiayaan.

Proses hukum terhadap Pinochet ini juga menunjukkan kepada kita bahwa

sekalipun seseorang merupakan Jenderal atau bahkan seorang kepala negara

sekalipun, ia tidak kebal hukum, yang berarti tidak ada pengampunan terhadap

para pelaku yang melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang

dihukum di bawah hukum internasional. Meskipun Pinochet pada akhirnya

diekstradisi kembali ke negara asalnya, Chile, di sana ia tetap mendapat proses

hukum dari otoritas setempat. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan yang

dikemukakan oleh Grotius, aut punire aut dedere, either you punish or

extradite, yang berarti bila suatu negara tidak ingin mengadili pelaku kejahatan,

negara tersebut harus mengekstradisi pelaku kepada negara lain yang ingin

mengadilinya. Singkatnya, inti dari prinsip keadilan aut punire aut dedere ini

adalah tidak ada impunitas atau pengampunan bagi orang yang telah melakukan

kejahatan demi tegaknya keadilan bagi korban.

Sesuai dengan prinsip keadilan Grotius ini, maka tindakan Yerodia

Ndombasi yang menghasut permusuhan terhadap suku Tutsi di Kongo tidak


88

bisa dibenarkan sama sekali dan oleh karena itu sudah sepatutnya apabila

Yerodia Ndombasi mendapat proses hukum untuk mempertanggung jawabkan

perbuatannya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, negara Kongo terkesan

tidak berniat untuk mengadili Yerodia Ndombasi dan membiarkannya begitu

saja.

Hal penting lainnya yang perlu kita ketahui adalah bahwa negara Kongo

juga merupakan negara pihak Konvensi Jenewa ke-4, sama seperti negara

Belgia. Negara Kongo meratifikasi Konvensi ini pada tanggal 4 Februari 1967

dan oleh karena itu kepadanya juga melekat kewajiban-kewajiban internasional

yang harus dilaksanakan dengan itikad baik. Kewajiban-kewajiban

internasional itu termasuk kewajiban untuk menghukum siapa pun yang

melanggar Konvensi Jenewa ke-4 ini. Namun pada kenyataannya negara Kongo

tidak mengadili Yerodia Ndombasi, maka dalam hal ini bisa dikatakan negara

Kongo telah melanggar komitmen yang telah dibuatnya sendiri.

Namun demikian, meskipun penerbitan Arrest Warrant sah secara

prosedural, tetapi dalam praktiknya Arrest Warrant ini tetap tidak dapat

dilaksanakan karena seorang Menteri Luar Negeri diakui oleh hukum kebiasaan

internasional memiliki kekebalan personal yang membuatnya tidak dapat diadili

oleh pengadilan negara lain atau kebal dari yurisdiksi negara lain.

Kekebalan personal merupakan kekebalan yang dimiliki oleh seseorang

karena status resmi yang melekat pada jabatan mereka. Kekebalan personal ini
89

diberikan oleh hukum internasional kepada orang-orang tertentu yang

mempunyai status tersendiri, yaitu kepada para agen diplomatik dan konsuler

yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik dan

Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, termasuk seorang Kepala

Negara atau Kepala Pemerintahan, Menteri Luar Negeri dan Menteri

Pertahanan. Kekebalan personal ini akan melindungi orang yang menikmati

kekebalan dari yurisdiksi negara lain untuk tindakan-tindakan yang dilakukan

sebelum dan selama orang tersebut menjabat.

Selain itu, lain halnya dengan kekebalan fungsional yang hanya melindungi

perbuatan-perbuatan yang termasuk sebagai kategori official acts atau tindakan-

tindakan resmi yang termasuk dalam lingkup pelaksanaan fungsi jabatannya,

kekebalan personal memberikan kekebalan untuk tindakan-tindakan yang

termasuk official acts dan private acts atau tindakan-tindakan yang tidak

termasuk pelaksanaan fungsi jabatannya. Bahkan, sekalipun pejabat yang

bersangkutan melakukan kejahatan, praktik kebiasaan internasional

menunjukkan bahwa pejabat tersebut tetap menikmatik kekebalan yang melekat

padanya. Banyak kasus-kasus hukum internasional yang melibatkan seorang

pejabat dengan kekebalannya yang tidak bisa dituntut oleh pengadilan negara

lain.

Kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang Diplomat Sudan untuk

Amerika Serikat yang bernama bernama Mohammad Abdalla Ali, gagalnya


90

proses penuntutan terhadap Robert Gabriel Mugabe dan Fidel Castro,

menunjukkan kepada kita bahwa negara-negara mengakui adanya kekebalan

personal yang melekat pada pejabat-pejabat tertentu yang membuat pejabat

tersebut tidak bisa dituntut oleh pengadilan negara lain. Hal yang sama berlaku

kepada Abdoulaye Yerodia Ndombasi sebagai seorang Menteri Luar Negeri

Kongo yang masih menjabat pada waktu pengadilan Belgia menerbitkan Arrest

Warrant. Sama seperti seorang kepala negara, seorang Menteri Luar Negeri

juga diakui oleh hukum kebiasaan internasional memiliki kekebalan personal

yang membuatnya tidak bisa diadili oleh pengadilan negara lain, dan dalam hal

ini Yerodia Ndombasi tidak bisa diadili oleh pengadilan Belgia karena memiliki

kekebalan personal tersebut.

Konsepsi tentang kekebalan ini akan membuat berlakunya salah satu prinsip

dasar dalam hubungan internasional yaitu prinsip hukum par in parem non

habet imperium. Prinsip hukum par in parem non habet imperium ini

bersumber dari prinsip persamaan kedaulatan negara atau sovereign equality

yang memberikan kepada negara Kongo kekebalan yurisdiksi dari pengadilan

negara lain, dalam hal ini, pengadilan negara Belgia.

Tak bisa dipungkiri bahwa di dalam hubungan internasional, prinsip hukum

par in parem non habet imperium ini merupakan prinsip hukum yang telah

diakui oleh bangsa-bangsa di dunia dan oleh karena itu telah menjelma menjadi

norma jus cogens atau prinsip-prinsip dalam hukum internasional yang tidak
91

boleh dilanggar. Prinsip hukum par in parem non habet imperium ini pada

hakikatnya melarang suatu negara untuk menerapkan yurisdiksinya pada negara

lain, kecuali dalam hal-hal tertentu. Prinsip hukum par in parem non habet

imperium ini lahir dari pemahaman bahwa suatu negara harus menghormati

kedaulatan negara lain atau antar negara yang sama-sama merdeka dan

berdaulat tidak bisa memiliki yurisdiksi terhadap pihak lainnya (equal states

don’t have jurisdiction over each other).

Namun demikian sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Hans Kelsen

prinsip hukum par in parem non habet imperium ini tidak berlaku mutlak,

dalam praktiknya ada beberapa hal yang bisa membuat suatu negara bisa

menerapkan yurisdiksinya pada negara lain atau mengurangi kedaulatan suatu

negara dalam menerapkan yurisdiksinya, yaitu:

a. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi melalui

pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara

tersebut menyetujuinya;

b. Suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional

tidak dapat mengadili tindakan negara yang bukan menjadi anggota atau

peserta dari perjanjian internasional tersebut;

c. Pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan

tindakan negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.


92

Hans Kelsen menjelaskan terdapat celah bagi negara lain untuk bisa

melaksanakan yurisdiksinya, yaitu apabila telah mendapat izin dari otoritas

negara lain yang akan diintervensi yurisdiksinya atau pelanggaran terjadi di

wilayah negara tersebut. Di dalam praktiknya, apabila timbul korban dari

pihaknya atau terdapat kepentingan negara yang terancam, suatu negara juga

bisa mengintervensi yurisdiksi negara lain. Akan tetapi, secara umum prinsip

kekebalan dan kedaulatan negara ini sangat kuat, sehingga sangat jarang dalam

praktiknya ada negara yang ingin kedaulatannya diintervensi oleh negara lain,

kecuali jika negara tersebut telah memutuskan untuk tunduk terhadap hukum

internasional. Tunduk terhadap hukum internasional disini berarti menjadi

negara pihak dalam Konvensi yang mengatur tentang pembentukan Mahkamah

Pidana Internasional dan mengakui kedaulatan Mahkamah Pidana Internasional

memiliki yurisdiksi atas negaranya.

Berdasarkan uraian di atas tentang hal-hal yang dapat membuat suatu negara

melaksanakan yurisdiksinya pada negara lain, dalam kasus Arrest Warrant

terhadap Yerodia Ndombasi ini, negara Belgia tetap dapat melaksanakan Arrest

Warrant tersebut asalkan negara Kongo mencabut kekebalan personal yang

dimiliki oleh Yerodia Ndombasi. Selama negara Kongo tidak mencabut

kekebalan Yerodia Ndombasi dan Yerodia Ndombasi masih menjabat sebagai

seorang Menteri Luar Negeri Kongo, sampai kapan pun negara Belgia tidak
93

bisa melakukan penangkapan terhadapnya karena pengakuan terhadap

kekebalan ini begitu kuat dalam komunitas internasional.

Bagaimanapun juga, selain tidak memenuhi syarat-syarat untuk bisa

mengintervensi yurisdiksi negara seperti yang tersebut di atas dan sebagai

sesama negara yang berdaulat, negara Belgia seharusnya dapat menghormati

kedaulatan negara Kongo dengan menghormati kekebalan personal yang

dimiliki oleh Yerodia Ndombasi. Hal ini sejalan dengan putusan dari ICJ

terhadap kasus ini yang mengakui kekebalan personal Yerodia Ndombasi dalam

putusannya.

Di dalam putusan akhir ICJ, ditegaskan bahwa negara Belgia telah

melanggar kewajiban hukum terhadap negara Kongo sehubungan dengan

kekebalan dari yurisdiksi pidana dan hak tidak dapat diganggu gugat yang

dimiliki oleh Yerodia Ndombasi yang diberikan oleh hukum internasional.

ICJ menegaskan sebagai berikut:

“The Court found, by thirteen votes to three, that the issue against Mr.

Abdoulaye Yerodia Ndombasi of the arrest warrant of 11 April 2000, and

its international circulation, constituted violations of a legal obligation of

the Kingdom of Belgium towards the Democratic Republic of Congo, in

that they failed to respect the immunity from criminal jurisdiction and the

inviolability which the incumbent Minister for Foreign Affairs of the


94

Democratic Republic of the Congo enjoyed under international law.”

(ICJ’s decision on Arrest Warrant case: preambule)

Lebih lanjut, dalam praktik penerapan yurisdiksi universal yang disebutkan

dalam contoh kasus-kasus sebelumnya, tidak ada negara yang menerapkan

yurisdiksi universalnya secara in absentia atau persidangan tanpa hadirnya

pelaku seperti yang dilakukan oleh pengadilan Belgia. Judge Rezek, salah

seorang hakim ICJ yang memberikan suara untuk Kongo juga menjelaskan

bahwa Konvensi Jenewa 1949 tidak memuat gagasan apa pun mengenai

yurisdiksi universal yang dilaksanakan secara in absentia dan menekankan

pentingnya negara-negara untuk menahan diri dalam pelaksanaan yurisdiksi

kriminalnya untuk menghormati prinsip equality atau persamaan kedaulatan di

antara negara-negara sebagai bagian dari komunitas internasional. (Separate

Opinion of Judge Rezek in ICJ’s decision on Arrest Warrant Case, hal. 217)

Terlepas dari ada tidaknya gagasan dalam Konvensi Jenewa 1949 yang

mengatur tentang penerapan yurisdiksi universal secara in absentia ini,

sebagaimana yang dijelaskan oleh Judge Rezek di atas, penting bagi negara-

negara untuk menahan diri dalam pelaksanaan yurisdiksi kriminalnya untuk

menghormati kedaulatan negara lain, negara Belgia juga harus menghormati

kedaulatan negara Kongo. Meskipun prinsip yurisdiksi universal telah

mendapat cukup pengakuan dari bangsa-bangsa, namun tetap saja negara

Belgia tidak bisa menerapkan prinsip yurisdiksi universal ini secara


95

sembarangan dengan mengabaikan kekebalan personal yang dimiliki oleh

Yerodia Ndombasi sebagai seorang Menteri Luar Negeri Kongo yang sedang

menjabat pada saat itu.


BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
 Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya,
maka dapat disimpulkan bahwa meskipun penerbitan Arrest Warrant oleh
pengadilan Belgia terhadap Menteri Luar Negeri Kongo, Abdoulaye Yerodia
Ndombasi tidak melanggar prinsip-prinsip hukum internasional dan sah secara
prosedural, akan tetapi dalam praktiknya pelaksanaan Arrest Warrant tersebut
tidak dapat dilakukan atau setidak-tidaknya sulit untuk dilakukan karena telah
menyinggung kekebalan pejabat negara, yaitu kekebalan personal yang
dimiliki oleh seorang Menteri Luar Negeri. Kekebalan pejabat negara ini
cukup mendapat pengakuan dari mayoritas negara sehingga membuat Yerodia
Ndombasi semakin sulit untuk dituntut di pengadilan Belgia. Oleh karena itu,
satu-satunya jalan bagi negara Belgia untuk mengadili Yerodia Ndombasi di
negaranya adalah dengan pencabutan kekebalan personal yang dimiliki oleh
Yerodia Ndombasi oleh negara Kongo sendiri atau dengan menerbitkan
Arrest Warrant baru saat Yerodia Ndombasi sudah tidak lagi menjabat
sebagai Menteri Luar Negeri sehingga tidak lagi memiliki kekebalan.

4.2. Saran
 Saran dari penulis adalah apabila negara-negara sungguh-sungguh ingin
memberikan hukuman bagi pelaku kejahatan internasional serius dan
memberikan keadilan bagi para korban, maka perlu untuk dilakukan
penguatan terhadap prinsip yurisdiksi universal dalam suatu aturan tersendiri
yang mengatur secara khusus prinsip ini. Negara-negara perlu untuk duduk
bersama membahas dan merumuskan secara lebih jelas prinsip yurisdiksi
universal ini dengan fokus utama pada tidak adanya impunitas bagi para
pelaku kejahatan internasional serius ini seperti yang dilakukan oleh
kelompok peneliti dari University of Princeton, New Jersey, Unites States,
yang merumuskan kembali prinsip yurisdiksi universal dalam aturan tersendiri
yang mereka namakan The Princeton Principles on Universal Jurisdiction. Di
dalam salah satu rumusan pasalnya, yaitu pasal 7 dijelaskan bahwa amnesti
yang diberikan oleh negara kepada pelaku tidak bisa menghalangi
pelaksanaan yurisdiksi universal negara lain. Kita perlu aturan yang jelas yang
mengatur secara tegas bahwa kekebalan pelaku tidak bisa berlaku apabila
telah melakukan kejahatan-kejahatan internasional serius seperti yang

96
97

dirumuskan oleh kelompok peneliti dari Princeton University ini sehingga


tidak ada impunitas bagi pelaku.

Anda mungkin juga menyukai