Anda di halaman 1dari 5

TIMIKA, KOMPAS.

com - Tim Terpadu Penanggulangan KLB Asmat yang melibatkan


Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, Kementerian Kesehatan, TNI, dan Polri terus
bekerja menyisir kampung terisolir di 19 distrik di Kabupaten Asmat. Komandan
Satgas Kesehatan TNI KLB Asmat, Brigjen TNI Asep Setia Gunawan mengatakan, 8
tim satgas terpadu sudah melakukan pemeriksaan di 117 kampung dari 19 distrik di
Kabupaten Asmat, sejak pekan lalu. Dari 117 kampung, sebanyak 12.398 anak
diperiksa. “Dari 12.398 anak, ditemukan 646 anak terkena wabah campak dan 144
anak menderita gizi buruk. Selain itu ditemukan 25 anak suspect campak dan 4 anak
yang terkena campak dan gizi buruk,” kata Asep dalam keterangan tertulisnya,
Kamis (25/1/2018). Komandan Korem 174/ATW Merauke ini menjelaskan, jumlah
anak yang meninggal akibat wabah campak dan gizi buruk sejak September 2017
hingga 24 Januari 2018 tercatat 70 orang. (Baca juga : TNI dan Polri Evakuasi 14
Anak Penderita Campak dan Gizi Buruk di Asmat) Dari 70 korban meninggal, 65
anak meninggal akibat gizi buruk, 4 anak karena campak, dan 1 orang karena
tetanus. Pasien terakhir yang meninggal bernama Musa Amkai (6), warga Distrik Der
Koumur yang meninggal di RSUD akibat campak. “Data di Posko Induk
Penanggulangan KLB Asmat di Agats disebutkan, 37 anak meninggal di Distrik
Pulau Tiga, 15 anak di Distrik Fayit, 8 anak di Distrik Aswi, 4 anak di Distrik Akat dan
6 lainnya meninggal di RSUD Agats,” kata Asep. Dari 8 tim yang diberangkatkan
sepekan lalu, 7 tim sudah kembali ke Agats. Tim 6 yang berada di Distrik Suru Suru
dan Unir Sirow saat ini masih melakukan pelayanan kesehatan di kampung-
kampung. “Tim 6 sudah memberikan pelayanan kesehatan di 6 kampung terhadap
234 orang. Tim kesehatan menemukan 22 kasus campak di Kampung Tomor dan 54
kasus gizi buruk masing-masing 52 di Kampung Tomor dan 2 kasus di Kampung
Birimono,” tutur Asep. (Baca juga : Kapolda Papua Sebut Lebih dari 10.000 Anak
Asmat Bergizi Buruk ) Pasien dirawat inap di RSUD Agats dan Aula Gereja GPI. Hal
ini disebabkan membludaknya pasien di RSUD Agats. "Sejak tim terpadu melakukan
pelayanan kesehatan serentak di 19 distrik, dan melakukan evakuasi terhadap
penderita gizi buruk dan campak yang tidak tertangani di Puskesmas, pasien di
RSUD Agats membludak," ucapnya. Asep menjelaskan, hingga kini ada 93 pasien
yang menjalani rawat inap di Agats, masing-masing 41 pasien menjalani rawat inap
di RSUD Agats dan 52 pasien di Aula Gereja GPI. “Saat ini di RSUD Agats, ada 8
pasien campak dan 23 pasien gizi buruk serta 10 pasien malaria. Pasien yang
dirawat di RSUD adalah pasien yang butuh perhatian khusus dokter, sementara
yang dirawat di aula, yang sudah dinyatakan dokter dalam masa pemulihan,”
pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Satgas Terpadu KLB Asmat Temukan 646
Kasus Campak dan 144 Gizi
Buruk", https://regional.kompas.com/read/2018/01/25/14070311/satgas-terpadu-klb-asmat-
temukan-646-kasus-campak-dan-144-gizi-buruk.
Penulis : Kontributor Jayapura, John Roy Purba
Di Balik Gizi Buruk Asmat
Kematian 72 penduduk Kabupaten Asmat menguak persoalan laten
kesehatan di Provinsi Papua. Puluhan triliun rupiah anggaran yang
diguyurkan pemerintah pusat tiap tahun ternyata tak menambah kualitas
kesehatan penduduk daerah tersebut. Kasus bayi gizi buruk masih terus
muncul tiap tahun. Angka kematian pasien lima kali lipat di atas rata-rata
nasional. (foto: ANTARA)
TEMPURUNG kelapa muda menjadi menu makan siang Fransisca Patatcot dan anak lelakinya
pada Sabtu dua pekan lalu. Duduk bersebelahan di teras kayu Gereja Santo Petrus Paulus,
Distrik Pulau Tiga, Kabupaten Asmat, Papua, mereka asyik mengudap beberapa potong
tempurung yang terhidang di atas piring. Ketika tempurung habis, ia menggantinya dengan
menyantap sabut kelapa. “Yang penting kenyang, toh,” kata perempuan 45 tahun itu
kepada Tempo sambil memangku anak lelaki berusia dua tahun yang terlihat sangat kurus
tersebut.

Gereja Santo Petrus Paulus berada di antara Kampung As dan Atat. Kampung ini terletak di tepi
Sungai Mamat dan dikepung hamparan rawa-rawa. Butuh sekitar tiga jam mengendarai perahu
cepat dari Agats--ibu kota Kabupaten Asmat--untuk menjangkau kampung itu. Menyantap
tempurung kelapa menjadi kebiasaan baru di Asmat. “Sebelumnya tak pernah ada yang makan
itu,” ujar Hendrik Mengga, yang juga berada di gereja itu bersama Fransisca.

Hendrik sehari-hari bertugas sebagai dokter spesialis bedah di Rumah Sakit Umum Daerah
Agats. Kementerian Kesehatan mengutus Hendrik ke sana untuk memeriksa kondisi 150 anak
berusia di bawah lima tahun yang tinggal di kedua kampung itu. Ada 651 orang mengidap
campak dan 223 orang menderita gizi buruk di Kabupaten Asmat sejak September tahun lalu.
Sebanyak 72 di antaranya meninggal.

Kementerian Kesehatan menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk di Asmat sejak
9 Januari lalu. Kampung As dan Atat paling disorot karena warganya menjadi korban meninggal
terbanyak, yakni 31 jiwa. Dua hari setelah kunjungan Hendrik, Kementerian Kesehatan
mencabut status KLB itu. “Kasusnya sudah jauh menurun,” kata Bupati Asmat Elisa Kambu di
Agats, Senin pekan lalu. Kematian massal itu terungkap pertama kali oleh Keuskupan Agats saat
berkunjung ke sana pada akhir Desember 2017.

Hendrik bersama Keuskupan Agats dan petugas kesehatan lain datang untuk memeriksa
kesehatan 71 anak kampung selama dua hari. Saat diperiksa, bocah-bocah yang berusia di
bawah lima tahun itu tampak ceking dan buncit. Meski jumlah penderita gizi buruk dan campak
sudah berkurang jauh dari sebelumnya, mereka masih menemukan penderita keduanya. Ada
juga yang mengidap hernia, tumor, serta jamur kulit.

Saat anak-anak itu dikumpulkan, tubuh mereka mengeluarkan bau apak. Di antara mereka
terdapat anak yang kulitnya dipenuhi jamur hingga membentuk motif seperti kain batik. “Ini
karena mandi di kali yang kotor dan tak memakai sabun,” ujar Hendrik.

Kedatangan tim media ini disambut gembira Victor Paya, 56 tahun, Kepala Kampung As. Ia
mengaku sudah lama kampungnya tak mendapat pelayanan kesehatan. Kondisi itu
mengakibatkan banyak anak dan bayi yang sakit dan kemudian mati tanpa sempat mendapat
perawatan medis. Padahal di sana terdapat pusat kesehatan masyarakat (puskesmas)
pembantu. “Tapi sudah setahun kosong karena ditinggalkan petugasnya,” kata Victor.

PINTU rumah berdinding papan dan berkelir putih itu tertutup rapat dan terkunci. Letaknya persis
di sebelah Gereja Santo Petrus Paulus, Kampung As. Ilalang memenuhi halaman rumah. Dari
celah kaca jendela, di dalam rumah hanya terlihat bangsal tanpa kasur. Rumah itu adalah
Puskesmas Pembantu Kampung As dan Atat. Menurut Victor, tak ada satu pun penduduk yang
menyaksikan kepergian petugas pembantu puskesmas itu.

Bupati Asmat Elisa Kambu menyebutkan banyak puskesmas pembantu yang ditinggalkan
petugasnya. Ia mengaku sulit menghukum para petugas yang kabur. Ia memaklumi alasan
kaburnya para pegawai itu. Mereka kesal karena sering dijadikan sasaran kemarahan keluarga
pasien yang panik di tengah kerabatnya yang sakit. “Ini yang membuat kami menolerir kaburnya
para petugas itu,” ujar Elisa kepada Tempo di Agats, Senin pekan lalu.

Menghadapi penduduk ternyata bukan persoalan utama para petugas itu. Yakob Kono, pegawai
kesehatan di RSUD Agats, mengatakan para petugas yang ditempatkan di puskesmas
pembantu tak mendapatkan upah yang layak. Perawat di puskesmas pembantu yang bertitel
diploma hanya digaji Rp 3 juta per bulan. “Tak ada tambahan insentif dan biaya operasional,”
ujarnya. Yakob menganggap jumlah itu terlalu kecil jika dibandingkan dengan beban dan rute
yang harus mereka hadapi selama di puskesmas pembantu.

Kabupaten Asmat adalah daerah bermedan berat. Perkampungannya hanya bisa dijangkau
dengan menggunakan perahu. Jaraknya pun berjauhan. Penumpang pesawat di Bandar Udara
Ewer, misalnya, harus menggunakan perahu cepat sekitar 20 menit untuk mencapai Agats.
Untuk menuju kampung lain, waktu tempuhnya bisa berjam-jam. Harga sewa perahu di Asmat
mencapai Rp 5-6 juta untuk sekali perjalanan.

Kepala Dinas Kesehatan Asmat Pieter Pajalla tak membantah soal jumlah gaji perawat lulusan
diploma seperti yang disebutkan Yakob. Ia juga merasa aneh karena upah petugas kesehatan
bergelar sarjana justru lebih kecil, yakni Rp 2,2 juta. “Saya tidak tahu kenapa lebih kecil karena
ini sudah ditetapkan dari dulu,” ujar Pieter. Tahun ini, kata dia, pemerintah daerah Asmat sudah
menambah gaji semua petugas kesehatan sebesar Rp 1 juta.

Minimnya tenaga kesehatan bukan satu-satunya faktor meluasnya penderita campak dan gizi
buruk di Asmat. Hendrik bersama tim keuskupan menyimpulkan virus campak meluas karena
asupan gizi anak-anak Asmat yang sangat sedikit. Mereka sebenarnya bisa memperoleh gizi
dan karbohidrat dengan mengkonsumsi sagu dan ikan, seperti yang dilakukan nenek moyang
mereka selama ratusan tahun. Namun masyarakat sudah sangat jarang pergi mengail ikan dan
sesekali mencari sagu.

Selama dua hari Tempo berada di Kampung Kapi, As, dan Atat, hanya ada lima penduduk yang
terlihat mencari ikan. Tak semua keluarga memiliki perahu. Warga di sana juga jarang pergi ke
hutan mencari sagu. Kebanyakan penduduk memilih berdiam diri di dalam rumah. “Mereka lebih
suka menunggu bantuan makanan ketimbang mencari ikan dan sagu,” ujar Heri Ola, pastor di
Keuskupan Agats.

Ikan dan sagu juga bisa memperburuk kesehatan mereka karena kesalahan cara mengolahnya.
Masyarakat terbiasa membakar sagu bersama ikan yang dicuci dengan air keruh. Telur-telur
cacing yang menempel dari air keruh tak mati karena ikan dan sagu sering disajikan setengah
matang. Untuk mencegah anak-anak menderita cacingan, Pieter Pajalla mengklaim tiap bulan
rutin mengirim obat cacing ke kampung-kampung. Klaim ini dibantah penduduk. “Tidak ada,” ujar
Paulus Patar, warga Kampung Atat.

Penduduk Asmat sangat mengandalkan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari. Air sungai sudah
tak layak dikonsumsi karena sangat keruh. Hendrik Hada, pastor lain di Keuskupan Agats,
menuturkan pihaknya pernah mencoba mengebor sumur, tapi gagal karena payau dan terlalu
keruh. Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mengatakan cacing ini turut menggerogoti gizi
anak-anak Asmat. “Perut anak-anak di sana buncit-buncit, tapi isinya cacing,” katanya Kamis
pekan lalu.

Tiap tahun, ratusan miliar rupiah uang negara mengalir ke Papua. Tahun ini, misalnya, Papua
menerima Rp 44,68 triliun dari berbagai pos anggaran, seperti dana otonomi khusus dan dana
alokasi khusus. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2017, Kabupaten Asmat
menganggarkan Rp 173 miliar untuk dana kesehatan. Bupati Elisa Kambu mengatakan salah
satu penggunaan anggaran itu adalah pemberian makanan tambahan untuk anak-anak dan ibu
hamil. Bantuan itu disebarkan ke 13 puskesmas di 23 distrik Kabupaten Asmat. “Tapi
masyarakat tak memanfaatkan program ini karena mereka terlalu jauh tinggal di hutan,” ujar
Elisa.
Bantuan makanan, obat-obatan, serta tenaga medis terus mengalir deras ke Asmat pasca-
penetapan status KLB gizi buruk dan campak. Berton-ton makanan masuk ke Agats dari Timika
melalui jalur udara dan laut. Bantuan ditempatkan di gudang milik Dinas Sosial Kabupaten Agats
di dekat pelabuhan dan di tengah Kota Agats serta di gudang keuskupan. Saat Tempo melongok
ke salah satu gudang, kardus-kardus itu berisi mi instan, susu, biskuit, dan bubur sereal.
“Bantuan makanan mulai melimpah saat KLB ditetapkan,” kata Heri Ola.

Kementerian Kesehatan pun sudah memiliki program pemberian makanan tambahan untuk
warga Papua. Bantuan ini dikhususkan kepada perempuan hamil dan anak-anak dalam bentuk
biskuit. Bantuan ini disebut sudah berjalan sejak Oktober tahun lalu. Direktur Jenderal
Kesehatan Masyarakat Anung Sugihantono mengatakan bantuan itu kerap terhambat karena
pemerintah Papua tak menyalurkannya ke daerah. “Mereka (Pemerintah Provinsi Papua) tidak
cepat merespons,” ujarnya.

Sebaliknya, Bupati Elisa mengaku baru mendapat biskuit tersebut ketika pemerintah
menetapkan kasus campak dan gizi buruk itu sebagai KLB. Pengakuan serupa muncul dari
Victor Paya, Kepala Kampung As. Ia mengklaim tak pernah menerima bantuan makanan
sebelum penetapan KLB. Makanan tambahan untuk warga kampung, kata dia, berasal dari dana
desa yang ia kelola. Ia menghabiskan Rp 20 juta sebulan untuk membeli biskuit bagi anak-anak
dan ibu hamil. Heri Ola turut membantah ada pembagian bantuan makanan dari pemerintah
kabupaten. “Saya juga tak pernah tahu ada kepala kampung membagikan makanan tambahan
kepada penduduk,” ujarnya.

KETIKA wabah campak datang, Bupati Elisa justru menyalahkan penduduk yang tak mau ikut
imunisasi. Ia mempersoalkan kebiasaan masyarakat yang pergi ke hutan untuk mencari
makanan sambil membawa anaknya. “Mereka tak punya kesadaran untuk datang ke
puskesmas,” katanya.

Paulus Patar, penduduk Kampung Atat, menyangkal tuduhan itu. Dia mengaku tak pernah
melihat ada petugas kesehatan yang mengimunisasi anak-anak. Pemberian imunisasi baru
dilakukan setelah ada penetapan status KLB.

Anak Asmat yang divaksinasi saat KLB berjumlah 17.337 orang. Tapi tak semua penduduk ikut
imunisasi. Tempo bertemu dengan penduduk Kampung As dan Atat yang menggendong
anaknya ke keuskupan untuk mendapatkan imunisasi, Sabtu dua pekan lalu. Namun mereka
terlambat karena pekan imunisasi sudah berlalu. Mereka telat menerima kabar ada imunisasi
massal karena berhari-hari menginap di bivak--tempat persinggahan saat mencari makanan di
hutan.

Pemerintah Provinsi Papua sebenarnya memiliki program Kartu Papua Sehat (KPS) untuk
jaminan pelayanan kesehatan penduduk. Namun tiga penduduk yang ditemui di Kampung Kapi
dan As mengaku tak memiliki KPS. Yohanes Irits, misalnya, menggeleng saat ditanyai soal KPS.
Ia malah menunjukkan Kartu Indonesia Sehat yang diterimanya saat menetap di Distrik
Sawaerma. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aloysius Giyai, masyarakat yang
belum memiliki KPS itu karena belum sempat bertemu dengan petugas pembagi kartu.

Pemerintah Provinsi Papua juga menjalankan program Kijang, yang merupakan singkatan dari
kaki telanjang. Ini adalah program pelayanan kesehatan ke pelosok-pelosok permukiman.
Disebut kaki telanjang karena petugas berjalan kaki tiap kali mengunjungi daerah-daerah yang
akan dilayani. Aloysius mengatakan program Kijang sempat dijalankan di Asmat pada 2016.
Program ini berhenti karena medan Asmat yang terlalu berat. “Petugasnya memang sedikit,”
katanya.

Gizi buruk juga akan selalu mengancam Papua. Kantor Staf Presiden mencatat hanya Kota
Jayapura dan Merauke yang masuk “kawasan kuning” gizi buruk di Provinsi Papua. Artinya,
kedua daerah ini masih dianggap aman dari kasus gizi buruk. Daerah lain, khususnya
pegunungan, diberi warna merah atau masuk kategori rawan gizi buruk.

KLB mereda setelah berbagai instansi pemerintah menggempur bantuan kesehatan ke Papua.
Jumlah penderita campak dan gizi buruk kini tinggal sedikit. Sejak pekan lalu, satu per satu
korban gizi buruk dipulangkan setelah berhari-hari dirawat di RSUD Agats. Rumah sakit itu
sebelumnya dipadati penderita gizi buruk dan campak. Senin pekan lalu, pasien yang dirawat
tinggal 12 orang.

Anak perempuan Elias Paok yang berusia tiga tahun salah satu pasien yang masih dirawat di
sana. Warga Kampung Yaun, Distrik Joerat, ini sudah berminggu-minggu dirawat di RSUD
Agats. Tubuh anak itu sangat kurus. Tulang-tulangnya terlihat sangat menonjol. Selang infus
masih melekat di tubuhnya.
Elias Paok mengatakan kondisi putrinya itu tak kunjung membaik sejak awal dirawat. “Anak saya
masih sangat lemas,” ujarnya. Laki-laki 37 tahun ini mengaku sangat khawatir karena, dari
sebelas anak yang dilahirkannya, enam meninggal akibat penyakit kurang gizi. Elias berharap
putrinya itu bisa bertahan dan memutus “kutukan” gizi buruk yang merenggut nyawa buah
hatinya.

Terbit di Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 12-18 Februari 2018


Teks: Erwan Hernawan
Sumber infografis: Penelusuran lapangan

Anda mungkin juga menyukai