Anda di halaman 1dari 5

Sumber Hukum Islam

Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan
ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata
sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu,
ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum
yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.

A. Al Qur’an

Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi

Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas.

Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.

Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada

hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala

perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya

Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.

1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah

SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar

2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta

etika kehidupan.

3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.

4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat

5. B. Hadits

6. Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun

ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah

mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad

SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT

7. Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu

maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)

8. Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung

nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan
mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti

yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:

9. Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan

kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)

C. Ijtihad

Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik

dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-

cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini

berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri

Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu

masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an,

Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan

tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan

Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-

nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam

menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.

Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:

1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum

2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits

3. mengetahui soal-soal ijma

4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.

Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah

ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:

( ‫طأ َ فَلَهُ اَجْ ٌر ) رواه البخارى و مسلم‬


َ ‫ان َو اِذَا َحك ََم َواجْ ت َ َهدَ ث ُ َّم ا َ ْخ‬
ِ ‫اب فَلَهُ ا َ َج َر‬
َ ‫ص‬َ َ ‫اِذَا َحك ََم ْال َحاك َِم فَاجْ ت َ َهدَ ث ُ َّم ا‬
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar,

maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan

ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
D. Pembagian Hukum dalam Islam

Hukum dalam Islam ada lima yaitu:

1. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang

mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa

2. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa

3. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala,

sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya yang artinya:

Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian

(rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu

niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri

niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu

mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

4. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan

diberi pahala

5. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu

juga kalau ditinggalkan.

Dalil fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama menambahkan yaitu istihsan, istidlal,

‘urf dan istishab.

Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam.

1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya menunjukkan kepada hukum itu

Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak

membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam

syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib

mengikutinya.

2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.

Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid

boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau

tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
ِ َ‫ان بِ ْالخِ ي‬
‫ار َما لَ ْم يَتَف ََّرقا‬ ِ َ‫ا َ ْلبَ ْيع‬

Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya belum berpisah. Kata

“berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini mungkin berpisah badan atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul.

Sperti wajib menyapu semua kepala atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:

Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS Al Maidah : 6)

Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah.

َ ِ‫َما ا َ ْن َه َر الدَّ َم َو ذُ ك َِر اِس َْم هللا‬


‫علَيْ ِه‬

Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.

1. Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat

(ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya

Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di

sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum

yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah

SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan,

sedangkan Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul

mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata

hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.

2. Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum

itu. Seperti yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat

seorang mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan lingkungannya

masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan

berubahnya keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak

membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana mujtahid pertama telah memberi (menetapkan)

hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan

tinjauan yang lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti

ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang-orang yang

meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum diubahnya.

Anda mungkin juga menyukai