Anda di halaman 1dari 7

ZERO BULLYING: SEBUAH GEBRAKAN UNTUK MENEKAN ANGKA

BULLYING

Karya Ini Disusun untuk Mengikuti Lomba Esai


“Inovasi Untuk Indonesia”

Penulis :
SITI MUSAYAROH
Pendahuluan
Baru-baru ini media Indonesia tengah digegerkan dengan pemberitaan bullying
yang dilakukan oleh siswa SMP di Thamrin City, Tanah Abang, Jakarta Pusat
(14/7/2017). Aksi bullying tersebut terungkap setelah videonya viral di dunia maya dan
menjadi konsumsi publik. Video yang berdurasi sekitar 50 detik itu dengan jelas
mempertontonkan bagaimana si pelaku yang bergerombol dengan sok berkuasanya
membully satu siswa perempuan.
Kejadian diatas mengingatkan kepada kita bahwa betapa dekatnya bullying
dengan kehidupan anak-anak. Bullying bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Setiap
anak berpotensi menjadi pelaku maupun korban bullying. Namun kesadaran orang tua
dan guru tentang pentingnya memperhatikan anak dari bahaya perilaku bullying masih
nol besar.
Menurut data LSM Plan International dan International Center for Research on
Women (IRCW) yang melakukan riset terkait bullying pada tahun 2015, memaparkan
bahwa sebanyak 84% anak di Indonesia mengalami bullying di sekolah. Yang tak kalah
mengejutkan adalah ternyata angka tersebut lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain
di kawasan Asia, seperti Vietnam, Kamboja, Nepal dan Pakistan (geev.com). Tidak
menutup kemungkinan, angka tersebut terus merangkak naik mengingat bahwa belum
ada penanganan serius dari pemerintah Indonesia terkait masalah bullying di sekolah.
Seperti filosofi taman siswa yang dirintis Ki Hajar Dewantara, sekolah harusnya
menjadi tempat yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi semua anak untuk belajar,
bermain, menjalin pertemanan dan berproses tumbuh kembang. Kemunculan kata
sekolah berasal dari bahasa Prancis “Schulee” yang berarti taman. Itulah sebabnya Ki
Hajar Dewantara menamai sekolah yang dirintisnya dengan “Taman Siswa”, dengan
harapan anak-anak dapat belajar dengan menyenangkan seperti berada di taman.
Sistem pembelajaran yang menyenangkan dan suasana yang nyaman, saat ini
bukanlah menjadi prioritas utama bagi orang tua dan guru. Yang menjadi hal penting bagi
orang tua saat ini adalah sekolah yang mencetak prestasi, namun hanya diukur dengan
deretan nilai. Jam sekolah yang padat, sistem pembelajaran yang kurang menyenangkan
dan tuntutan yang mensyaratkan semua siswa jago dalam semua mata pelajaran dapat
membuat siswa tertekan ketika berada di sekolah sehingga sebagian dari mereka
melampiaskannya dengan menjadi pelaku bullying.
Menilik statistika angka kasus bullying di Indonesia yang sangat tinggi tersebut,
isu bullying di Indonesia masih perlu mendapat perhatian khusus. Jika tidak, Indonesia
yang tengah mendapatkan bonus demografi ini, akan kehilangan kesempatan untuk
mencicipi masa-masa “Indonesia Emas” beberapa tahun kedepan. Untuk itu, isu bullying
perlu dibahas dan dikaji secara mendalam, bukan hanya sekedar berbagi definisi dan
dampaknya saja tapi bagaimana harusnya kita menjadi agen perubahan dalam mengatasi
kasus bullying. Tulisan ini hadir untuk memberikan solusi bagaimana cara menekan
angka bullying di sekolah.
Bullying dan Payung Hukum
Kata bullying berasal dari kata bully, yang dalam kamus bahasa inggris berarti
ancaman. Bullying dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perundungan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, rundung memiliki arti yaitu mengganggu, mengusik
terus-menerus, atau menyusahkan. Jadi, bullying atau perundungan adalah perbuatan
mengganggu, mengusik terus-menerus atau menyusahkan orang yang lebih lemah
darinya.
Sebagian besar orang menganggap bahwa bullying atau perundungan adalah
perbuatan kekerasaan yang berkaitan dengan kontak fisik. Padahal, ucapan seperti
mengejek dan menghina termasuk jenis bullying verbal. Menurut Wiyani (2012) contoh
perilaku bullying yaitu mengejek, menyebarkan rumor, menghasut, mengucilkan,
menakut-nakuti, mengancam, menindas, memalak atau menyerang secara fisik.
Pemahaman yang keliru mengenai bullying ini mengakibatkan orang tua, guru dan
masyarakat kurang peka tentang kondisi perkembangan anak mereka. Bisa jadi, candaan
yang biasa anak-anak mereka lakukan dan terima adalah tindakan bullying. Meskipun
secara fisik mereka tidak terluka, namun secara psikologis biasanya anak akan terganggu
jika candaan itu ditujukan secara terus menerus. Korban bullying verbal ini sering
terabaikan karena dampak yang ditimbulkan tidak terlihat secara fisik namun lebih ke
arah psikis. Ketidakpekaan orang tua dan guru terhadap perubahan kondisi mental dan
psikis yang dialami anak, juga turut memperparah kondisi para korban bullying verbal.
Dampak bullying tidak boleh dianggap sebagai masalah enteng oleh guru dan
orang tua. Secara psikologis, korban bullying akan merasa cemas, khawatir, takut secara
berlebihan, malu, tertekan, dendam terhadap pelaku, mengasingkan atau menarik diri dari
lingkungan, kurang percaya diri, stress dan depresi. Yang lebih parahnya yaitu
melampiaskan diri dengan menggunakan obat-obatan terlarang, narkotika, minum-
minuman keras, bertindak kriminal atau membalas pelaku bullying dan bahkan
melakukan bunuh diri.
Untuk saat ini, cara pemerintah untuk menangani masalah bullying yaitu dengan
melakukan penyuluhan atau sosialisasi dan memberikan sanksi hukum bagi pelaku
bullying. Berdasarkan pasal 80 (1) UU No. 35 Tahun 2014 menyebutkan bahwa setiap
orang yang membiarkan, melakukan atau terlibat dalam kekerasan anak akan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penyelesaian kasus bullying
secara pidana adalah kurang tepat. Mengingat para pelaku bullying sendiri kebanyakan
adalah siswa. Oleh karenanya jika jalur penyelesaian dilakukan secara pidana maka akan
mengaburkan masa depan mereka.
Jika kita cermati lebih dalam, penyuluhan atau sosialisasi terkait bullying adalah
langkah pemerintah untuk mencegah melonjaknya angka kasus bullying dan payung
hukum adalah langkah mengobati. Permasalahannya adalah upaya pencegahan yang
dilakukan oleh pemerintah masih terlalu loyo. Itu sebabanya mengapa masih banyak
kasus bullying yang terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia. Bukankah mencegah lebih
baik daripada mengobati?
Zero Bullying: Sebuah Gebrakan dalam Menekan Angka Bullying
Dalam ranah pendidikan, Finlandia adalah negara yang mampu mendongkrak
kualitas pendidikan di negaranya dengan signifikan. Tak tanggung-tanggung, setelah
jatuh bangun memperbaiki sistem pendidikannya, negara dengan ibu kota Helsinki
tersebut menyandang predikat sebagai negara yang memiliki kualitas pendidikan nomor
wahid sedunia.
Meski mempunyai kualitas pendidikan terbaik sedunia, Finlandia pun tak
mengelak bahwa kasus bullying juga terjadi di sekolah-sekolah mereka. Namun
pemerintah dengan sigap mendorong Universitas Turku melakukan riset selama kurang
lebih 20 tahun untuk membuat program anti bullying. Adalah Kiva Koulu, program
unggulan Finlandia dalam menangani kasus bullying di sekolah-sekolah. Dengan
melibatkan peran orang tua, guru dan anak, program Kiva Koulu berhasil mereduksi
angka bullying di sekolah-sekolah Finlandia. Lantas, akankah program ini juga berhasil
jika diterapkan di negara kita?
Terinspirasi dari program-program di Finlandia adalah sah-sah saja. Namun,
apabila kita hanya mengcopy paste program-program dari Finlandia, hal tersebut tentu
tak selamanya akan sukses. Karena perlu digaris bawahi bahwa masyarakat Indonesia
memiliki kebergaman dalam hal letak geografis, suku, budaya dan bahasa. Untuk itu perlu
sebuah program inovatif yang menjawab tantangan dari keberagaman masyarakat
Indonesia.
Untuk mengatasi kasus bullying di sekolah-sekolah Indonesia, salah satu cara
yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan program “Zero Bullying”, yaitu suatu
program untuk menekan angka bullying di sekolah melalui kegiatan-kegiatan yang dapat
mengembangkan kemampuan siswa serta melibatkan orang tua dalam pelaksanaannya.
Program-program Zero Bullying harus dikembangkan oleh setiap sekolah itu sendiri
karena yang mengetahui kebutuhan, kelebihan dan kekurangan setiap siswa adalah
masing-masing guru di sekolah tersebut serta para orang tua. Kenapa harus melibatkan
orang tua? Karena sejatinya masalah anak di sekolah bukan sepenuhnya tanggung jawab
guru. Yang menjadi catatan merah pendidikan di Indonesia adalah kurang melibatkan
peran orang tua dalam pemantauan proses tumbuh kembang anak. Selama ini peran orang
tua dalam pendidikan bagi anak-anaknya adalah hanya sebatas sebagai penyedia dana.
Padahal yang terpenting adalah keterlibatan aktif dari orang tua dalam mendidik putra
putrinya.
Program Zero Bullying ini dilakukan dengan berbagai langkah. Hal pertama yang
dilakukan adalah pihak sekolah terlebih dulu merumuskan program-program Zero
Bullying yang meliputi kegiatan-kegiatan yang ditawarkan untuk siswa dan materi yang
ditujukan oleh orang tua, guru dan siswa itu sendiri. Kegiatan-kegiatan yang ditawarkan
kepada siswa harus kegiatan-kegiatan yang secara tidak langsung mengajarkan apa itu
kerja sama, tolong menolong, sportivitas, tanggung jawab dan nilai-nilai karakter lainnya
serta kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pengembangan diri siswa. Dimana dengan
kegiatan tersebut, siswa menjadi lebih percaya diri karena mereka memiliki suatu
kemampuan yang dapat dibanggakan dan diapresiasi oleh lingkungan sekitar. Kegiatan-
kegiatan tersebut bisa berupa kegiatan ekstrakurikuler, outbound per semester, class
meeting serta kejuaraan antar kelas. Sedangkan, materi yang ditujukan kepada orang tua
dan guru adalah materi yang berisi bagaimana memantau perkembangan anak di rumah
dan di sekolah serta bagaimana menyikapi sikap dan perubahan yang terjadi pada anak.
Dengan begitu, setiap proses tumbuh kembang dan perilaku anak akan terpantau dengan
baik. Dan materi untuk siswa itu sendiri lebih berkaitan bagaimana cara menghindari
perilaku bullying, menyikapi atau merespon, melawan dan melaporkan perilaku bullying
yang dilakukan siswa lain.
Setelah program terumuskan, maka langkah selanjutnya adalah menjalin kerja
sama dengan orang tua siswa. Namun sekolah perlu melakukan sosialisasi terlebih dahulu
dengan para orang tua untuk menyamakan persepsi terkait program Zero Bullying. Orang
tua disini mempunyai peran yang sama penting dengan guru. Mereka adalah super team
yang saling bertukar informasi mengenai perkembangan anak. Disini, orang tua dituntut
untuk terus berkomitmen dalam memantau setiap perkembangan dan perilaku anak.
Tanpa keterlibatan orang tua, guru akan kesulitan mengontrol perilaku anak-anak di
rumah. Karena anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di rumah dari pada di
sekolah, hal terebut memungkinkan bahwa selama di rumah, anak mendapat banyak
pengaruh buruk dari luar seperti pergaulan bebas, masalah keluarga atau pertemanan dan
lain-lain yang dapat menyebabkan diri mereka tertekan dengan masalahnya dan
melampiaskan amarahnya dengan melakukan bullying pada temannya di sekolah.
Selanjutnya, sekolah perlu mendirikan unit layanan Zero Bullying untuk
memudahkan para orang tua melapor apabila anak mereka terindikasi menjadi korban
atau bahkan pelaku bullying. Unit layanan ini dapat berdiri sendiri atau tergabung dengan
unit bimbingan dan konseling yang sudah ada di sekolah. Yang menjadi catatan penting
hanyalah, perlu adanya prosedur yang jelas apabila orang tua ingin melaporkan jika
anaknya menjadi korban atau pelaku bullying atau jika ada siswa yang ingin melapor
ketika mengetahui adanya perilaku bullying di sekolah. Adanya unit layanan ini
diharapkan dapat memberikan ruang kepada orang tua, guru dan siswa untuk
menyelesaikan masalah bullying dengan bijaksana tanpa harus menempuh jalur hukum.
Sebisa mungkin bahwa kasus bullying tidak akan sampai mengaburkan masa depan
pelakunya namun tetap membuat mereka jera sekaligus menjamin rasa aman dan nyaman
bagi korbannya.
Terakhir, monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
program yang dilakukan sudah sesuai dengan kebutuhan dan memberikan hasil yang
maksimal atau belum. Jika belum, maka perlu dilakukan perbaikan atau bahkan
perubahan program secara total. Yang menjadi sasaran monitoring dan evaluasi antara
lain yaitu kegiatan-kegiatan yang ditawarkan oleh siswa, keterlibatan orang tua dalam
implementasi program Zero Bullying serta seluruh proses jalannya program. Monitoring
dan evaluasi bukan hanya dilakukan sekali atau dua kali, tetapi terus menerus atau
sustainable. Dengan begitu, program Zero Bullying akan terus berjalan sesuai koridornya.
Simpulan dan Rekomendasi
Kasus bullying yang terjadi di sekolah bukan hanya menjadi tanggung jawab guru
di sekolah, melainkan juga tanggung jawab orang tua dan anak itu sendiri. Langkah-
langkah dalam implementasi program Zero Bullying yaitu merumuskan program,
menjalin kerja sama dengan orang tua, membangun unit layanan serta melakukaan
monitoring dan evaluasi secara sustainable. Dengan menerapakan program Zero
Bullying, diharapkan angka kasus bullying di sekolah dapat ditekan karena program
tersebut melibatkan peran aktif orang tua, guru dan siswa itu sendiri. Untuk itu, perlu bagi
setiap sekolah untuk membuat program “Zero Bullying” versi sekolah mereka masing-
masing yang didasarkan kepada kebutuhan siswanya. Meski hal tersebut tidak bersifat
wajib bagi setiap sekolah, namun kita perlu menyadari bahwa setiap orang dilarang
menempatkan membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan kekerasan terhadap anak seperti yang tertuang dalam pasal 76C UU No. 35
Tahun 2014. Untuk itu, dengan menerapkan program Zero Bullying, sekolah turut
berperan dalam melindungi siswa dari perilaku kekerasan anak.

Referensi
Geev.com. (2016). Statistik Bullying di Indonesia Tinggi, Hentikan Bullying di Sekolah!.
Diunduh dari www.geev.com, pada tanggal 8 September 2016.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Diunduh
dari www.kpai.go.id, pada tanggal 8 September 2017.
Wiyani, N. Ardy. (2012). Save Our Children from School Bullying. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.

Anda mungkin juga menyukai