PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Menurut Badan Kesehatan Dunia ( Wold Health Organizition ) ,
kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera meliputi fisik ,mental , dan sosial,
tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Secara analogi kesehatan jiwa
pun bukan hanya tidak adanya gangguan jiwa, melainkan mengandung
berbagai karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan dari kepribadian
yang bersangkutan. Kesehatan mental menurut faham ilmu kedokteran ialah
suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, inteklektual, dan
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras
dengan keadaan ornang lain (DepKes RI,1985)
Upaya peningkatan mutu pelayanan dirumah sakit jiwa adalah suatu
kegiatan yang bertujuan memberikan asuhan atau pelayanan sebaik-baiknya
kepada pasien maupun keluarga pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan,
dimana rumah sakit merupakan satu unit pelayanan pengobatan dengan fasilitas
diagnostik dan terapi yang juga sebagai mata rantai dalam kaitan subsistem
kesehatan itu sendiri (Djoko Wijoyono, 1999)
Pentingnya faktor psikologi lingkungan terhadap pasien jiwa,
menuntut adanya wadah dan fasilitas khusus untuk aktifitas pelayanan jiwa
yang tidak disatukan dengan fasilitas pelayanan kesehatan umum lainnya di
sebuah rumah sakit .
Berdasarkan Undang-Undang No.3 tahun 1966 tentang kesehatan jiwa
maka rumah sakit jiwa yang sebelumnya merupakan tempat isolasi dan
perwatannya bersifat kustodial ( terbatas pada menjaga saja ), berubah menjadi
tempat perawatan yang berkembang dan berorientasi pada masyarakat .
Gangguan jiwa (Psikosis) dengan diagnosa terbanyak setelah pasca
konflik yang didapat dari data kunjungan diunit rawat jalam poliklinik saraf
RSUD Dr. Chasan Boesorie diantaranya Neurosis yaitu suatu perasaan
induvidu yang mengalami rasa takut yang berlebihan, Anxietas dimana
induvidu mengalami kecemasan dan depresi, induvidu juga mengalami suasana
hati atau perasaan tidak nyaman dengan gejala-gejala susah tidur, gairah kerja
tidak ada, gairah sex menurun, sering mengeluh sakit pada daerah lambung
disertai dengan keringat dingin dan masih banyak gejala-gejala lain yang
menyertai dari ketiga diagnosa yang ada (Medical Record, RSUD Chasan
Boesoerie Ternate,2006).
“Kenyataan yang terjadi di kota Ternate adalah semakin banyaknya
orang yang menderita gangguan jiwa dijalan-jalan ini merupakan fenomena
sosial yang harus ada atensi dari dari Disnakersos. Menurut Dr. Chirunnisa
Amal Mkes, Kradis Kesehatan Kota Ternate mengatakan untuk
menyembuhkan orang sakit jiwa tidak mudah dan itu membutuhkan
penanganan khusus dari psikeater dan dirawat di sebuah tempat seperti rumah
sakit jiwa agar mudah terkontrol, namun saat ini untuk Kota Ternate sendiri
belum memiliki Rumah Sakit Jiwa maupun tenaga dokter dan perawat untuk
penderita gangguan jiwa” ( Malut Post 23 mei 2007 )
Berdasarkan rekapitulasi data penderita gangguan jiwa pada Dinas
Kesehatan Propinsi Maluku Utara dan data kunjungan pasien gangguan jiwa
pada poliklinik saraf RSUD Dr. H Chasan Boesoerie pada tahun 2003 – 2007
adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 : Rekapitulasi penderita gangguan jiwa tahun 2003-2007
No Tahun Jumlah Penderita
01 2003 126 Orang
02 2004 146 Orang
03 2005 255 Orang
04 2006 436 Orang
05 2007 518 Orang
Dengan adanya rumah sakit jiwa di Ternate agar dapat membantu mengurangi
jumlah penderita gangguan jiwa di Kota Ternate dan khususnya Propinsi Maluku
Utara, guna mewujudkan program Indonesia sehat .
1.3.1 Tujuan
Perancangan rumah sakit jiwa di Ternate bertujuan sebagai berikut :
a) Menyediakan rumah sakit jiwa yang secara arsitektural dapat menjadi
wadah pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa .
b) Wadah pelayanan psikososial bagi penderita gangguan jiwa.
Perancang rumah sakit jiwa secara arsitekural bertujuan untuk
menciptakan wadah yang didapat menampung penderita gangguan jiwa
sesuai fungsinya , disampi itu pula diharapkan dengan wadah ini
memberikan pelayanan yang bersifat pisikososial bagi kesehatan jiwa .
1.3.2 Sasaran
Mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas, maka diperlukan sasaran yang
dapat antara lain :
a) Merancang fasilitas kesehatan jiwa seoptimal mungkin agar mampu
menjadi daya tarik tersendiri kepada masyarakat untuk datang dan
berobat.
b) Memberikan konstribusi bagi daerah dalam hal peningkatan kesehatan
masyarakat. Dan pentingnya masalah kesehatan , khususnya kesehatan
jiwa .
c) Meninggalkan kesehatan masyarakat dalam upaya membantu
pemerintah mewujudkan proram indonesia sehat .
1.4 Batasan Perancangan
Objek yang akan dibangun mewadahi bidang kesehatan jiwa, maka
permasalahan rancangan yang dihadapi begitu kompleks untuk itu batasan
permasalahan rancangan lebih ditekankan pada hal-hal teknis perancangan
serta kelayakan suatu lingkungan yang direncanakan dari arsitektural. Maka
ditetapkan batasan rancangan sebagai berikut :
a) Pemilik objek adalah pemerintah propinsi Maluku Utara .
b) Lingkup pelayanan dalam skala regional yang mencakup daerah propinsi
Maluku Utara dan sekitarnya .
c) Lokasi objek berada di Kota Ternate sebagai Pusat Pemerintahan.
d) Batasan rancangan objek lebih di tekankan pada tuntutan disiplin ilmu
arsitektur .
1. 5 Metode Perancangan