Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL PENELITIAN

Faktor-Faktor yang Mendukung dan Menghambat Kegiatan ORI


(Outbreak Response Immunization) Difteri di Wilayah Kerja
Puskesmas Lempake Tahun 2017

Disusun Oleh :

Atika Cahyani Putri 1710029044


Dwiki Fitrandy Rezy Rizaly 1710029050
Rosdiana 1710029052

Pembimbing :
Dr. Krispinus Duma, SKM, M.Kes
dr. Misbahuddin Hasan
dr. Zulhijrian Noor

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Puskesmas Lempake Samarinda
April 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu
melimpahkan rahmat, anugrah, dan karunianya sehingga kami bisa menyelesaikan
proposal penelitian ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Kami mengucapkan terima kasih kepada

1. Dr. Krispinus Duma, M. Kes. selaku Kepala Laboratorium IKM-IKK FK


Unmul dan pembimbing yang telah memberikan masukan dalam
penyelesaian makalah ini.
2. dr. Misbahuddin dan dr. Zulhijrian Noor selaku pembimbing, dan seluruh staf
Puskesmas Lempake atas kesediaan menjadi sumber informasi dalam
penyelesaian makalah ini.
3. Seluruh staf Puskesmas Lempake yang telah menerima kami di Puskesmas
Lempake dalam rangka kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat.
4. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2017 yang telah bersedia memberikan
saran kepada penulis.
Kami menyadari bahwa penulisan proposal kami masih terdapat
ketidaksempunaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca agar kedepannya saya dapat memperbaiki dan
menyempurnakan tulisan kami.
Kami Berharap agar proposal yang kami tulis ini berguna bagi pembaca
terutama Dokter Muda FK Unmul dan dapat digunakan sebaik-baiknya sebagai
sumber informasi. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Samarinda, April 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... 1
KATA PENGANTAR .................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 4
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 4
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 5
1.3. Tujuan ............................................................................................... 5
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 7
2.1. Difteri ................................................................................................ 7
2.1.1. Definisi ............................................................................................... 7
2.1.2. Etiologi .............................................................................................. 7
2.1.3. Epidemiologi ...................................................................................... 7
2.1.4. Patofisiologi ...................................................................................... 8
2.1.5. Manifestasi Klinis ............................................................................. 9
2.1.6. Klasifikasi ......................................................................................... 10
2.1.7. Diagnosis ........................................................................................... 13
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 13
2.1.9. Penularan ........................................................................................... 14
2.1.10. Penyulit ............................................................................................. 14
2.2. KLB Difteri ....................................................................................... 15
2.3. Surveilans .......................................................................................... 19
2.4. Strategi Pencegahan dan Pengendalian KLB Difteri ........................ 21
2.5. Outbreak Response Immunization ..................................................... 24
BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KONSEP ............................................ 25
3.1. Kerangka Teori ................................................................................. 25
3.2. Kerangka Konsep .............................................................................. 26
BAB 4 METODE PENELITIAN ................................................................. 27
4.1. Desain Penelitian .............................................................................. 27
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ 27
4.3. Informasi Penelitian .......................................................................... 27
4.4. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 27
4.5. Definisi Operasional ......................................................................... 28
4.6. Instrumen Pengambilan Data ............................................................ 28
4.7. Triangulasi ........................................................................................ 29
4.8. Metode Analisa Data ......................................................................... 29
4.9. Alur Penelitian .................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 30
LAMPIRAN ................................................................................................... 32

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difteri merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan atas akut yang
sangat mudah menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebactherium
diptheriae. Difteri menyerang terutama dimasa kanak kanak, dewasa yang tidak
mendapat imunisasi lengkap, dan pasien yang berada pada peningkatan risiko
untuk terkena difteri. Kematian biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan
nafas, kerusakan otot jantung, serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal.
Apabila tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan, angka kematian
adalah sekitar 50 %, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%,
(CDC Manual for the Surveilans of Vaccine Preventable Diseases, 2017).
Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia yang dibuktikan oleh pencatatan
pada tahun 2014 dimana ditemukan kasus difteri sebanyak 7.347 kasus dan 7.217
kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO South East
Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia pun dilaporkan cukup
banyak, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus
SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari
total kasus SEAR). Pada tiga tahun terakhir kasus difteri mengalami peningkatan
yaitu pada tahun 2015 sebanyak 529 kasus, tahun 2016 sebanyak 591 kasus dan
tahun 2017 sebanyak 622 kasus. Hampir 90% dari orang yang terinfeksi, tidak
memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap (Kemenkes, 2017).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1501/MENKES/PER/X/2010 difteri merupakan salah satu diantara jenis-jenis
penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah. Apabila terdapat satu
kasus difteri probable atau kasus konfirmasi merupakan suatu kejadian luar biasa.
Kelurahan Lempake Samarinda merupakan kelurahan yang dinyatakan berstatus
KLB difteri dikarenakan adanya penemuan kasus suspek difteri sebanyak 3 kasus
yang ditemukan pada tahun 2017. Sehingga tindak lanjut yang dilakukan oleh
pihak Puskesmas adalah pelaksanaan ORI (Outbreak Response Immunization) di
seluruh kelurahan Lempake. Pada tahun 2018, tidak ditemukan lagi adanya kasus

4
baru KLB difteri di wilayah kerja Puskesmas Lempake. Namun lain halnya pada
tahun 2019 bulan Maret ditemukan kembali adanya kasus suspek difteri sebanyak
satu kasus di wilayah kerja Puskesmas Lempake (Kemenkes, 2017 ; Surveilans
Lempake, 2018).
Outbreak Response Immunization (ORI) merupakan salah satu bentuk
respon yang dilakukan untuk mengatasi KLB difteri. Dinas Kesehatan
memberikan surat edaran berupa petunjuk teknis pelaksanaan ORI bagi daerah
yang memiliki status KLB. Pelaksanaan ORI yang tidak lengkap akan
menimbulkan kesenjangan imunitas atau yang istilahnya disebut dengan immunity
gap. Daya imunitas individu dipengaruhi oleh frekuensi pemberian imunisasi.
Menurut Lubov (2011) Pemberian vaksin dengan frekuensi sebanyak 2 kali
dengan 3 kali sistem imunitas meningkat lebih besar dibandingkan dengan
pemberian vaksin yang hanya dilakukan dengan frekunsi sebanyak 1 kali. Hal ini
menyebabkan kelompok yang tidak mengikuti imunisasi secara lengkap memiliki
potensi lebih besar untuk tertular ataupun menularkan kasus difteri di kemudian
hari (Arifin, 2018).
Berdasarkan uraian permasalahan diatas dan belum dilakukannya evaluasi
mengenai pelaksanaan ORI difteri pada tahun 2017 peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor pendukung dan penghambat
pelaksanaan kegiatan ORI (Outbreak Response Immunization) difteri di wilayah
kerja puskesmas Lempake Samarinda tahun 2017.

1.2 Rumusan Masalah


Apa saja faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kegiatan
ORI (Outbreak Response Immunization) difteri di wilayah kerja puskesmas
Lempake Samarinda tahun 2017?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan
kegiatan ORI (Outbreak Response Immunization) difteri di wilayah kerja
puskesmas Lempake Samarinda tahun 2017.

5
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Ilmiah
 Sebagai sumber informasi data mengenai faktor-faktor pendukung dan
penghambat pelaksanaan kegiatan ORI (Outbreak Response Immunization)
difteri di wilayah kerja puskesmas lempake
 Sebagai landasan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Bagi Praktisi Medis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan untuk
meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan kegiatan ORI (Outbreak Response
Immunization) difteri di wilayah kerja puskesmas lempake
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti
Dengan melakukan penelitian ini diharapakan dapat meningkatkan
kemampuan untuk berpikir kritis dan menemukan solusi untuk permasalahan-
permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan ORI (Outbreak Response
Immunization) difteri, terutama di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIFTERI
2.1.1 Definisi
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai
dengan sakit tenggorokan, demam, malaise, dan pada pemeriksaan ditemukan
pseudo-membran pada tonsil, faring dan/atau rongga hidung. Difteri adalah
penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung, atau droplet dari penderita
(Nelson, 2016).

2.1.2 Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-Loeffler)
merupakan basil gram-positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora
dan berbentuk batang pleomorfis. Tidak semua orang terinfeksi oleh kuman ini
akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah
seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes schick (Nelson,
2016).

2.1.3 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara
mencolok serta penggunaan toksoid difteri secara meluas. Umumnya tetap terjadi
pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak
mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap insidens menurut
usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi,
mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin yang
tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan

7
terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan
imunisasi.
Karier manusia yang asimtomatik dilaporkan menjadi reservoar untuk C.
diphteriae. Infeksi oleh C. diphteriae didapat melalui kontak dengan pembawa
atau penderita aktif dari penyakit ini. Bakteri ini bisa ditransmisikan melalui
droplet ketika batuk, bersin, atau berbicara (Feigin, 2008).
Menurut laporan WHO, difteri tersebar luas di seluruh dunia dan menjadi
endemik di beberapa daerah berkembang di dunia, termasuk Asia, Afrika,
Amerika Selatan, dan daerah Mediterania. Episemik terakhir dimulai pada 1900 di
Federasi Rusia, Ukraina dan beberapa daerah di Uni Soviet (Feigin, 2008).
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih
dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah
15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja
yang tidak diimunisasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering
terjadi adalah infeksi subklinis dan difteri kulit. Difteri merupakan penyebab
kematian yang umum pada bayi dan anak-anak. Pada tahun 2000 diseluruh dunia
dilaporkan 30.000 kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal karena penyakit
ini. Dilaporkan 10% kasus difteri dapat menyebabkan kematian (Soedarmo,
Garna, & Hadinegoro, 2008).
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Sejak ditemukannya vaksin DPT (Diphtheria, Pertusis dan
Tetanus) penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi bakteri
diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih
rentan terhadap penyakit ini dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksin
(Soedarmo, Garna, & Hadinegoro, 2008).

2.1.4 Patofisiologi
Corynebacterium diphteriae masuk ke hidung atau mulut dimana basil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau
8
mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage
menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian
penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman
mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan
untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai
polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan
dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian
meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin,
perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam
tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut
apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri.
Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas
sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita
tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas (Nelson, 2016).

2.1.5 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan dan
apakah toksin yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum.
Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya satu hari
dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak
terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang ringan, panas yang tidak
tinggi, berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis
saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membrane putih/keabu-abuan (IDAI, 2010).

Gambaran klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :


a. Gejala umum: kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.
b. Gejala local: yang tampak berupa tonsil yang membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas, dan dapat menyumbat saluran
9
nafas. Pseudomembran ini melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini infeksi berjalan terus,
kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai sapi (bullneck). Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari
jumlah pasien difteri) gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar
bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya
penyakit ini akan meluas ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.
c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf
kranial menyebabakan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan
(Soepardi & Iskandar, 2004).

2.1.6 Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
 Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
 Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
 Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa


tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah:
1. Nasal difteri
2. Tonsillar (faucial) difteri
3. Pharyngeal difteri
4. Laryngeal atau laryngotracheal difteri dan
5. Nonrespiratory difteri. (IDAI, 2010)

10
Nasal difteri
Gejala permulaan dari nasal difteri sukar dibedakan dari common cold.
Tanda karakteristik adalah dijumpai pengeluaran sekresi hidung tanpa diikuti
gejala lain. Demam bila ada biasanya rendah.
Pengeluaran sekresi hidung ini mula-mula serous, kemudian serosanguinous,
pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran sekresi ini bisa hanya berasal
dari salah satu lubang hidung ataupun dari keduanya. Lama kelamaan sekresi
hidung ini bisa menjadi mucopurulent dan dijumpai ekskoriasi pada lubang
hidung sebelah luar dan bibir bagian atas, terlihat seperti impetigo.
Pengeluaran sekresi kadang mengaburkan tentang adanya membrane yang
putih pada sekat hidung. Karena absorpsi toksin yang jelek pada tempat lokasi,
menyebabkan gejala hanya ringan tanpa adanya gejala yang menonjol. Pada
penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekresi akan berlangsung untuk
beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan.
Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotika (IDAI, 2010).
Tonsillar dan pharyngeal difteri
Penyakit timbul secara perlahan dengan tanda-tanda, malas, anorexia, sakit
tenggorokan, dan panas yang rendah. Dalam waktu 24 jam bercak eksudat atau
membrane dijumpai pada daerah tonsil. Berikutnya terjadi perluasan membran,
yang bervariasi dari hanya melibatkan sebagian dari tonsil sampai menjalar ke
kedua tonsil, uvula, palatum molle dan dinding dari faring. Membran ini rapuh,
lengket dan berwarna putih atau abu-abu, dan bila dijumpai perdarahan bisa
berwarna hitam. Pengangkatan dari membrane akan mudah menimbulkan
perdarahan.
Terlibatnya tonsil dan faring ditandai dengan pembesaran kelenjar, cervical
adenitis dan periadenitis. Pada kasus yang berat, pembengkakan jelas terlihat dan
disebut dengan "bullneck".
Berat ringannya penyakit tergantung pada berat tidaknya toksemia. Pada
keadaan ini temperature bisa normal atau sedikit meninggi..

11
Pada kasus yang ringan, membrane akan lepas pada hari ke-7 sampai hari
ke-10, dan penderita sembuh tanpa adanya gejala yang berarti, sedang pada kasus
yang sangat berat, ditandai dengan gejala yang diakibatkan peningkatan toksemia,
yaitu; kelemahan yang amat sangat, pucat sangat menonjol, nadi halus dan
cepat,stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada keadaan penyakit yang
sedang, penyembuhan terjadi secara perlahan dan biasanya sering diikuti dengan
komplikasi miokarditis dan neuritis (Snell, 2006).
Laryngeal difteri
Laryngeal difteri lebih sering merupakan lanjutan dari pharyngeal
diphtheria, jarang sekali dijumpai berdiri sendiri. Penyakit ditandai dengan adanya
demam, suara serak dan batuk. Peningkatan penyumbatan jalan nafas oleh
membrane menimbulkan gejala; stridor inspiratori, retraksi suprasternal, supra
clavicular dan subcostal.
Pada keadaan yang berat laryngeal difteri belanjut sampai ke percabangan
tracheobronchial. Pada keadaan yang ringan, yang biasanya diakibatkan oleh
pemberian antitoxin, saluran nafas tetap baik, dan membrane dikeluarkan dengan
batuk pada hari ke- 6-10.
Pada kasus yang sangat berat, dijumpai penyumbatan yang semakin berat,
diikuti dengan adanya anoxia dan penderita terlihat sakit parah, sianosis,
kelemahan yang sangat, koma dan berakhir dengan kematian. Kematian yang
mendadak bisa dijumpai pada kasus yang ringan yang disebabkan oleh karena
penyumbatan yang tiba-tiba oleh bagian membrane yang lepas.
Gambaran klinik dari laryngeal difteri, serupa dengan gambaran mekanikal
obstruksi dari saluran nafas, yang biasanya disebabkan oleh membran, dan
dijumpai kongesti, oedem, sedang tanda toksemia adalah minimal pada saat
pemulaan terinfeksinya laring, hal ini disebabkan karena absorpsi dari toksin
sangat kecil sekali di daerah laring. Terlibatnya laring biasanya bersamaan dengan
tonsil dan pharyngeal difteri, dengan kosekuensi gejala klinik adalah gambaran
obstruksi dan toksemia yang berat,yang dijumpai secara serentak (Soedarmo,
Garna, & Hadinegoro, 2008).
12
Tipe difteri yang jarang
Infeksi difteri sekali-sekali bisa mengenai tempat lain diluar tempat yang
lazim (saluran pernafasan) yaitu pada kulit, conjunctiva, auricular dan
vulvovaginal.
Pada cutaneous difteri, kelainan yang terjadi adalah khas, berbentuk ulkus,
dengan batas yang tegas, dan pada dasar ulkus dijumpai adanya membran.
Pada konjunctival difteri, yangmula-mula terlibat adalah kelopak mata,
dimana kelopak mata menjadi merah, cedem dan dijumpai membran.
Terlibatnya liang telinga luar biasanya ditandai dengan keluarnya cairan
yang purulent yang terus menerus. Sedang lesi vulvovaginal biasanya berbentuk
ulkus yang mengelompok (IDAI, 2010).

2.1.7 Diagnosis
Diagnosa difteri ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan
laboratorium. Ditemukan kuman difteria dengan pewarnaan gram secara langsung
kurang dapat dipercaya. Diagnosis pasti dengan isolasi C. Diptheriae dengan
pembiakan pada media Loeffler atau dengan media baru Amies dan Stewart
dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes
Elek) Gejala klinik merupakan pegangan utama dalam menegakkan diagnosa,
karena setiap keterlambatan dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada
penderita. Secara klinik diagnose dapat ditegakkan dengan melihat adanya
membrane yang tipis dan berwarna keabu-abuan, mirip seperti sarang laba-laba
dan mudah berdarah bila diangkat (IDAI, 2010).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif.
Untuk mengetahui toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek.
Pengambilan sampel kultur dilakukan pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7. Media yang
digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu Loeffler atau telurit.
Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia kurang dari 10%, sehingga
13
diupayakan untuk menggunakan PCR untuk diagnosis pasti. Sampel diambil dari
jaringan di bawah atau sekitar pseudomembran. Pemeriksaan sediaan langsung
dengan mikroskop atau pewarnaan Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di
rongga mulut banyak terdapat bakteri berbentuk mirip C. diphtheriae (difteroid)
(IDAI, 2010).

2.1.9 Penularan
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak.
Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan
bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang
membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga
ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali
penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita
difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan
(IDAI, 2010).

2.1.10 Penyulit
Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin. Maka penyulit difteri dapat dikelompokkan dalam obstruksi
jalan napas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf, ginjal serta infeksi
sekunder oleh bakteri lain (Adams, 2013). Obstruksi jalan napas disebabkan oleh
tertutupnya jalan napas oleh membran difteri atau oleh edema pada tonsil, faring,
daerah submandibular dan servikal.
Dampak toksin dapat bemanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang
dapat terjadi baik pada difteri ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada
pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya
penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini ataupun
lambat sekitar minggu ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardi, suara
jantung redup, terdengar bising jantung atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal
14
jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen
ST, perpanjangan interval PR dan heart block.
Penyulit pada saraf biasanya lambat dan bersifat bilateral, terutama
mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada
palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal,
kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke-5,
meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisis ekstrimitas bersifat
bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon refleks, peningkatan kadar
protein dalam likuor serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu
ke-5 dan ke-7 sebagai akibat neuritis frenikus dan dapat menyebabkan kematian
apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada
pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung (Nelson, 2016).

2.2 KLB Difteri (Kemenkes RI, 2017)


2.2.1 Definisi Operasional KLB Difteri
Suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan minimal 1 Suspek
Difteri.
2.2.2 Kebijakan
1. Satu suspek Difteri dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan
harus dilakukan penyelidikan dan penanggulangan sesegera mungkin
untuk menghentikan penularan dan mencegah komplikasi dan kematian.
2. Dilakukan tatalaksana kasus di Rumah Sakit dengan menerapkan prinsip
kewaspadaan standar, seperti menjaga kebersihan tangan, penempatan
kasus di ruang isolasi, dan mengurangi kontak kasus dengan orang lain.
3. Setiap suspek difteri dilakukan pemeriksaan laboratorium.
4. Setiap suspek difteri dilakukan ORI (respon pemberian imunisasi pada
KLB) sesegera mungkin, pada lokasi kejadian dengan sasaran sesuai
kajian epidemiologi.
5. Laporan kasus difteri dilakukan dalam 24 jam secara berjenjang ke Ditjen
P2P cq. Subdit Surveilans.
15
2.2.3 Langkah-Langkah Penanggulangan Difteri
1) Setiap suspek Difteri dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) dan
mencari kasus tambahan dan kontak.
2) Dilakukan rujukan segera kasus Difteri ke Rumah Sakit untuk
mendapatkan pengobatan dan perawatan.
3) Pemberian profilaksis pada kontak dan karier.
4) Melaksanakan Outbreak Response Immunization (ORI) sesegera
mungkin di lokasi yang terjadi KLB Difteri dengan sasaran sesuai
dengan kajian epidemiologi sebanyak tiga putaran dengan interval waktu
0-1-6 bulan tanpa memandang status imunisasi.
5) Meningkatkan dan mempertahankan cakupan imunisasi rutin Difteri
(baik imunisasi dasar maupun lanjutan) agar mencapai minimal 95%.
6) Edukasi mengenai difteri, berupa penegakkan diagnosis, tatalaksana, dan
pencegahan kepada tenaga kesehatan dan pemerintah daerah, serta
bekerjasama dengan media masa untuk melakukan edukasi pada
masyarakat mengenai difteri.
7) Edukasi kepada masyarakat untuk segera ke pelayanan kesehatan bila
ada tanda dan gejala nyeri tenggorok, serta menggunakan masker
termasuk di tempat umum bila mengalami tanda dan gejala infeksi
saluran pernafasan.

2.2.4 Kegiatan Surveilans Epidemiologi


 Penyelidikan Epidemiologi
 Data record review
 Identifikasi Faktor Risiko
 Pengambilan Spesimen
Tatalaksana spesimen difteri memegang peranan penting. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan sensifitas hasil pemeriksaan lab Target pengambilan
specimen terhadap kasus probable (kasus klinis) dan orang dengan kontak
erat dengan kasus probable.
16
 Identifikasi dan Tatalaksana Kontak
 Tatalaksana pada Karier
 Penilaian cakupan imunisasi secara cepat (Rapid Convenience
Assessment).
 Pelaporan.

2.2.5 Analisa Data Imunisasi Pada KLB


 Validasi data cakupan imunisasi yang dilaporkan untuk
membuktikan bahwa data cakupan imunisasi yang dilaporkan sudah
valid.
 Melihat “valid doses” dari waktu pemberian imunisasi. Untuk
mengetahui bahwa jadwal pemberian imunisasi yang diberikan telah
sesuai dengan prosedur.
 Melihat kualitas dan manajemen cold chain. Kualitas cold chain
yang jelek dan manajemen cold chain yang tidak baik, sangat
berpengaruh pada potensi vaksin tersebut
 Kegiatan imunisasi dalam KLB Difteri antara lain :

1. Penguatan imunisasi dasar dan lanjutan untuk mencegah KLB


difteri:
a. Cakupan imunisasi dasar (DPT3), pada bayi harus mencapai
minimal 95%
b. Cakupan imunisasi lanjutan usia 18 bulan dan anak sekolah
dasar minimal harus mencapai 95%
2. Melakukan Outbreak Response Immunisation (ORI) tanpa
menunggu hasil laboratorium suspek difteri (kasus indeks),
dengan sasaran sesuai dengan kajian epidemiologi tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya. Luas wilayah ORI
adalah minimal tingkat kecamatan dan dilaksanakan 3 putaran
dengan jarak pemberian antara putaran pertama dan kedua 1

17
bulan, dan antara putaran kedua dan ketiga adalah 6 bulan.
Vaksin yang digunakan adalah:
a. anak usia 1 - < 5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib,
b. anak usia 5 - <7 tahun menggunakan vaksin DT
c. anak usia ≥ 7 tahun menggunakan vaksin Td

Cakupan ORI minimal 90% pada lokasi yang telah ditetapkan.


a. Jika pertimbangan epidemiologi mengharuskan, maka seluruh populasi
orang dewasa harus disertakan dalam imunisasi massal.
b. Melakukan Rapid Convenience Assessment (RCA) pada wilayah yang
ada kegiatan imunisasi untuk mengetahui validitas cakupan dan
tanggapan masyarakat yang masih menolak imunisasi.
c. Memantau kualitas dan manajemen rantai vaksin. Potensi vaksin sangat
besar kontribusinya terhadap kualitas pelayanan imunisasi dan
terbentuknya kekebalan.
d. Memantau dan membina kompetensi petugas pengelola vaksin maupun
koordinator program imunisasi. Kualitas pengelola vaksin dan
koordinator program imunisasi yang tidak kualified akan berpengaruh
pada kualitas vaksinasinya.
e. Penderita difteri apabila telah sembuh dan yang tidak pernah
diimunisasi sebaiknya segera diberi satu dosis vaksin yang
mengandung toksoid difteri (sebaiknya Td) dan kemudian lengkapi
imunisasi dasar sekurang-kurangnya 3 dosis.
f. Penderita dengan status imunisasi belum lengkap, harus melengkapi
imunisasi dasar dan lanjutan sesuai jadual program imunisasi nasional.

18
Gambar 2.1 Algoritma untuk diagnosis, terapi dan follow up tersangka
difteri dan kontak terinfeksi

2.3 Surveilans (Kemenkes RI, 2017; Juknis Difteri, 2013)


Surveilans Difteri adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan
terus menerus berdasarkan data dan informasi tentang kejadian penyakit
Difteri serta kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan serta
penularan penyakit Difteri untuk memperoleh dan memberikan informasi
guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan Difteri
secara efektif dan efisien.
Definisi operasional kasus surveilans difteri:
1. Suspek Difteri adalah orang dengan gejala faringintis, tonsilitis, laringitis,
trakeitis, atau kombinasinya disertai demam tidak tinggi dan adanya
pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah berdarah
apabila dilepas atau dilakukan manipulasi
2. Probable Difteri adalah orang dengan suspek Difteri ditambah dengan
salah satu gejala berikut:
19
a. Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu).
b. Imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster.
c. Berada di daerah endemis Difteri.
d. Stridor, Bullneck.
e. Pendarahan submukosa atau petechiae pada kulit.
f. Gagal jantung toxic, gagal ginjal akut.
g. Myocarditis.
h. Meninggal.
3. Kasus konfirmasi laboratorium adalah kasus suspek Difteri dengan hasil
kultur positif Corynebacterium diphtheriae strain toxigenic atau PCR
(Polymerase Chain Reaction) positif Corynebacterium diphtheriae yang
telah dikonfirmasi dengan Elek test.
4. Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi adalah kasus yang memenuhi
kriteria suspek Difteri dan mempunyai hubungan epidemiologi dengan
kasus konfirmasi laboratorium.
5. Kasus kompatibel klinis adalah kasus yang memenuhi kriteria suspek
Difteri namun tidak mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus
konfirmasi laboratorium (butir 1 di atas) maupun kasus konfirmasi
hubungan epidemiologi (butir 2 di atas)
6. Kasus kontak adalah orang serumah, teman bermain, teman sekolah,
termasuk guru dan teman kerja yang kontak erat dengan kasus.
7. Kasus carrier adalah orang yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi
hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan positif Corynebacterium
diphteriae.
Metode laboratorium mikroskopis (Gram stain, Albert, Neisser
stain, Loeffler) tidak direkomendasikan untuk menegakkan diagnosa Difteri

20
2.4 Strategi Pencegahan dan Pengendalian KLB Difteri (Kemenkes RI, 2017)
1. Penguatan imunisasi rutin Difteri sesuai dengan program imunisasi
nasional.
2. Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus Difteri.
3. Semua kasus Difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi.
4. Semua kasus Difteri dirujuk ke Rumah Sakit dan dirawat di ruang isolasi.
5. Pengambilan spesimen dari kasus dan kasus kontak erat kemudian dikirim
ke laboratorium rujukan Difteri untuk dilakukan pemeriksaan kultur atau
PCR.
6. Menghentikan transmisi Difteri dengan pemberian profilaksis terhadap
kontak dan karier.
7. Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) di daerah KLB
Difteri.
a. Imunisasi
Penyakit Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi Lengkap, dengan jadwal
pemberian sesuai usia. Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi
lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit Difteri ada 3 macam,
yaitu:
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus,
Hepatitis B dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh
Haemophylus infuenzae tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).
Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:
1. Imunisasi dasar:

Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval 1


bulan.
2. Imunisasi Lanjutan:

a. Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.

b. Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi


21
Anak Sekolah (BIAS).
c. Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
d. Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td.
Perlindungan optimal terhadap difteri pada masyarakat dapat dicapai
dengan cakupan imunisasi rutin, baik dasar maupun lanjutan, yang tinggi
dan merata. Cakupan harus mencapai minimal 95%, merata di setiap
kabupaten/kota, dan tetap dipertahankan. Selain cakupan yang harus
diperhatikan adalah menjaga kualitas vaksin sejak pengiriman, penyimpanan
sampai ke sasaran. Vaksin difteri merupakan vaksin yang sensitif terhadap
suhu beku dalam pengiriman maupun penyimpanan harus tetap berada pada
suhu 2 - 8° C. Setiap daerah menyediakan biaya operasional untuk
imunisasi rutin dan imunisasi dalam penanggulangan KLB (ORI).

TINGKAT PUSKESMAS
Kegiatan Pokok:
Menyediakan dukungan logistik (APD: masker bedah, penutup
kepala, dan sarung tangan) serta biaya operasional (Penyelidikan
Epidemiologi, Money, dll)
a. Penemuan kasus
 Kasus Difteri dapat ditemukan di pelayanan statis (puskesmas dan RS)
maupun kunjungan lapangan di wilayah kerja Puskesmas.
 Setiap kasus Difteri yang ditemukan dilakukan investigasi dengan
format individual (Format penyelidikan difteri (lampiran 1)).
 Penderita dirujuk ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pengobatan
lebih lanjut dan dilakukan pencarian kasus tambahan dan karier.
 Melakukan komunikasi risiko ke masyarakat.
b. Pengambilan dan pengiriman specimen
Setiap suspek Difteri harus dilakukan konfirmasi laboratorium.
Pengambilan sampel Difteri dilakukan oleh petugas kesehatan terlatih. Untuk
22
tatacara Pengambilan dan pengiriman spesimen, dapat dilihat pada Bab IV
laboratorium surveilans Difteri.
c. Pencatatan dan Pelaporan
 Setiap suspek Difteri dilaporkan sebagai KLB dalam waktu 1 x 24
jam dengan menggunakan format W1 dan dicatat pada format daftar
kasus individu (format lampiran 2) dan dilaporkan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten / Kota.
 Hasil laboratorium dicatat pada format daftar kasus individu.
 Setiap minggu dibuat rekapitulasi jumlah kasus yang menggunakan
EWARS dan terintegrasi dengan penyakit potensial KLB lainnya serta
dilaporkan Ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai alat SKD KLB.
 Setiap bulan dibuat rekapitulasi jumlah kasus menggunakan format
laporan integrasi PD3I dan dilaporkan setiap tanggal 5 bulan berikutnya
ke Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dengan melampirkan format daftar
kasus individu.
 Melaporkan hasil investigasi kasus difteri ke Dinas Kesehatan Kab/kota.
d. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi.
 Setiap minggu dilakukan analisa data untuk mengetahui adanya
peningkatan kasus berdasarkan wilayah kejadian.
 Umpan balik dapat dilakukan melalui lokakarya mini dan rapat lintas
sektor tingkat kecamatan.

RUMAH SAKIT
Kegiatan Pokok:
a. Penemuan kasus

1. Suspek Difteri dapat ditemukan oleh dokter atau tenaga kesehatan


lainnya yang merawat kasus di rumah sakit.
2. Setiap suspek difteri yang ditemukan di Rumah Sakit dilaporkan ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui telpon/SMS
b. Menyediakan ruang isolasi untuk perawatan
23
c. Menyediakan logistik APD (Masker bedah, penutup kepala, sarung tangan
dan gaun), obat-obatan.
d. Melakukan pengambilan specimen laboratorium
e. Melakukan komunikasi risiko kepada keluarga kasus dan pengunjung
RS
f. Pencatatan dan Pelaporan
Setiap kasus Difteri yang ditemukan dicatat kedalam format daftar kasus
individu (format terlampir) dan dibuat rekapitulasi pada formulir STP RS
kemudian ke dua format tersebut dilaporkan setiap bulan ke Dinas kesehatan
Kabupaten/kota.

2.5 Outbreak Respons Immunization atau ORI (IDAI, 2008)


Outbreak Respons Immunization atau ORI adalah strategi yang dilakukan
untuk mengendalikan KLB melalui pemberian imunisasi tambahan yang
dilakukan di wilayah yang sedang terjadi KLB, khusus untuk populasi tertentu
yang berisiko tertular penyakit tersebut (dalam hal ini difteri).
Tujuan ORI adalah untuk meningkatkan kekebalan populasi tersebut
sehingga dapat mencegah meluasnya penularan penyakit, menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit tersebut.
Sasaran ORI adalah anak usia 1 tahun sampai dengan kurang dari 19 tahun
tanpa memandang riwayat imunisasi yaitu dengan menyuntikan vaksin DPT atau
DT atau TD sesuai usia, sebanyak 3 kali. Suntikan pertama disuntikkan 1 kali
pada bulan ini, selanjutaya suntikan kedua diberikan 1 kali dengan jarak 1 bulan
dari suntikan pertama, dan suntikan ketiga diberikan 1 kali berjarak 6 bulan dari
suntikan ke 2. Imunisasi disuntikkan secara intramuskular (IM) diarea deltoid kiri
dengan dosis 0,5 mg.

24
BAB 3
KERANGKA TEORI DAN KONSEP

3.1 KERANGKA TEORI

PE
Kasus Baru KLB
Difteri
Rujuk RS
Difteri FKTP

Profilaksis
Wawancara Informan

Outbreak Response
Immunization
Faktor Faktor
Imunisasi Rutin Pendukung Penghambat

Keterangan :
Edukasi
: diteliti Faktor Internal & Eksternal

: tidak diteliti
Evaluasi Pelaksanaan
25
ORI Difteri di PKM
Lempake
3.2 KERANGKA KONSEP

Outbreak Response Tidak berhasil Kasus Baru KLB


Immunization Difteri

Wawancara Informan

Faktor Faktor
Pendukung Penghambat

Faktor Internal & Eksternal

Evaluasi Pelaksanaan
ORI Difteri di PKM
Lempake

26
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan pendekatan
kualitatif untuk mendeskripsikan informasi tentang faktor-faktor pendukung dan
penghambat pelaksanaan kegiatan ORI (Outbreak Response Immunization) difteri
di wilayah kerja puskesmas Lempake Samarinda tahun 2017. Untuk keabsahan
hasil penelitian dilakukan menggunakan metode triangulasi dengan
membandingkan dan mengenali kebenaran informasi yang diperoleh (Moleong,
2012).

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Lempake.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama bulan April 2019.

4.3 Informasi Penelitian


Pada penelitian kualitatif sampel lebih sering disebut sebagai narasumber,
informan atau partisipan. Informan atau narasumber dalam penelitian ini adalah:
1. Kepala Puskesmas Lempake
2. Dokter
3. Tim Survailans
4. Pemegang program KIA
5. Juru imunisasai

4.4 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yaitu dengan data primer diperoleh dengan cara
Observasi langsung serta wawancara mendalam (Indepth Interview) dan terbuka
dengan menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan kepada informan. Pertanyaan tersebut digunakan oleh pewawancara

27
agar memudahkan dalam wawancara, penggalian data dan informasi (Moleong,
2012). Data sekunder dalam penelitian ini didapat melalui dokumen berupa
pencatatan dan pelaporan mengenai KLB difteri di wilayah kerja Puskesmas
Lempake.

4.5 Definisi Operasional


4.5.1 Faktor Internal
Merupakan faktor-faktor dari puskesmas dalam pelaksanaan kegiatan ORI
(Outbreak Response Immunization) difteri di wilayah kerja puskesmas Lempake
meliputi SDM, fasilitas dan logistik.
a. SDM adalah tenaga kesehatan yang memiliki peran terhadap penanggulangan
KLB difteri seperti tim survailans , dokter, juru imunisasi, kesehatan
lingkungan dan promosi kesehatan.
b. Fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat memudahkan dan melancarkan
pelaksanaan program penanggulangan KLB difteri seperti adanya tempat untuk
pelaksanaan ORI difteri yaitu sekolah dan puskesmas.
c. Logistik adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dalam penanggulangan KLB
difteri seperti, masker, sarung tangan, cool box, vaksin DPT-Hib , td dan DT
serta penyediaan eritromisin tablet dan sirup sebagai profilaksis.
4.5.2 Faktor Eksternal
Merupakan faktor-faktor dari luar puskesmas dalam pelaksanaan kegiatan
ORI (Outbreak Response Immunization) difteri di wilayah kerja puskesmas
Lempake meliputi stigma dan diskriminasi.
a. Stigma adalah persepsi dari orang tua bahwa vaksin merupakan sesuatu yang
haram dan memiliki efek samping yang buruk setelah pemberian vaksin.
b. Pengetahuan adalah pemahaman orang tua mengenai penyakit difteri,
penanggulangan serta pencegahannya.

4.6 Instrumen Pengambilan Data


Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa daftar pertanyaan
sebagai pedoman wawancara kepada informan, alat tulis, dan alat perekam suara.

28
4.7 Triangulasi
Triangulasi yaitu merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
melakukan pengecekan atau perbandingan terhadap data yang diperoleh dengan
sumber atau kriteria lain untuk meningkatkan keabsahan data.
Untuk menjaga validitas data maka dilakukan dengan triangulasi sumber
yang berarti mendapatkan data dari sumber yang berbeda dengan teknik yang
sama, yakni dengan memilih informan yang dianggap dapat memberikan jawaban
sesuai dengan pertannyaan yang diajukan (Moleong, 2012).

4.8 Metode Analisis Data


Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan
cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh
diri sendiri dan orang lain.

4.9 Alur Penelitian

Mendapatkan Perizinan Penelitian

Melakukan wawancara kepada informan mengenai pelaksanaan ORI


difteri di wilayah kerja Puskesmas Lempake

Mengolah data dan analisis hasil

29
DAFTAR PUSTAKA

Adams, GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. BOIES : Buku


Ajar Penyakit THT. Edisi Enam. EGC: Jakarta. 2013.

Anonim. Difteria pada buku ajar infeksi dan pediatric tropis. Jakarta: Badan
Penerbit: IDAI; 2010. H.312-21

Buescher ES. Diphterria (Corynebacterium diphteriae). Dalam: Kliegman


RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, Penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke 20 Chapter 187. USA: Elsevier; 2016. H. 1345-51

Dhillon, R. S., East, C. A., 1999, Ear, Nose, and Throat and Head and Neck
Surgery, Second Edition, Churchill Livingstone: London, halaman 73

Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Textbook of Pediatric Infectious


Disease. 6th ed. Philadelphia:Saunders; 2009. p 1393-1401

Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 173-176

Kemenkes RI. Pedoman pencegahan dan pengendalian difteri. Jakarta:


Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan; 2017.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Pelaksanaan


Imunisasi dan Surveilans Dalam Rangka Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa (KLB) Difteri. Jakarta; 2013.

Lee, K. J., 2003, Essential Otolaryngology: Head and Neck Surgery, Eighth
Edition, McGraw-Hill Company: New York, halaman 452

Moleong, L. J. (2012). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosada Karya.

30
Snell. Buku Ajar Anatomi Klinik Jilid VI. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta. 2006.

Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Infeksi dan Pediatri Tropis.
Ed ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 312-21.

Soepardi E., Iskandar N. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher. Edisi


Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.

T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18

31
LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Umum

1. Bagaimana peran puskesmas dalam penanggulangan KLB difteri ?


2. Siapa saja yang berperan dalam penanggulangan KLB difteri di
puskesmas?
3. Apakah jika terdapat pasien dengan suspek difteri langsung dilakukan
penanggulangan dan pencegahan ?
4. Bagaimana langkah-langkah penanggulangan KLB difteri di puskesmas?
5. Apakah terdapat kendala dari faktor internal puskesmas dalam
penanggulangan KLB difteri di puskesmas? Bila iya, bagaimana cara
untuk menindaklanjuti hal tersebut?
6. Apakah terdapat kendala dari faktor eksternal puskesmas dalam
penanggulangan KLB difteri di puskesmas? Bila iya, bagaimana cara
untuk menindaklanjuti hal tersebut?
7. Apakah pelaksanaan ORI sudah terlaksana sesuai dengan target yang telah
ditentukan ?
Lampiran 2. Daftar Pertanyaan untuk Pimpinan Puskesmas

1. Apakah peran pimpinan puskesmas dalam penanggulangan KLB difteri?


2. Apakah sebelumnya Puskesmas sudah memiliki perencanaan bila terjadi
KLB difteri?
3. Apakah pihak Puskesmas ada bekerja sama dengan pihak luar puskesmas
dalam penanggulangan KLB difteri? Jika ada, siapa saja yang terlibat serta
apa saja peran mereka? dan apakah mereka mendapat pelatihan /
mentoring sebelumnya?
4. Apa saja indikator yang dievaluasi untuk mengetahui hasil pencapaian
program penanggulangan KLB difteri di Puskesmas?
5. Bagaimana cara mengevaluasi hasil pencapaian program ORI difteri di
Puskesmas? dan apakah sudah mencapai target?

32
6. Apakah ada kendala dari segi pembiayaan untuk program penanggulangan
KLB difteri terutama dalam pelaksanaan ORI difteri serta dari mana saja
sumber dana yang diperoleh?
7. Apakah alat dan bahan yang tersedia sudah tercukupi dalam
penanggulangan KLB difteri terutama dalam pelaksanaan ORI difteri?
8. Apakah ada penatalaksanaan lebih lanjut setelah penanggulangan KLB
difteri di Puskesmas?

Lampiran 3. Daftar Pertanyaan untuk Dokter Penanggungjawab Program


Difteri

1. Sebagai dokter penanggung jawab program difteri, apa saja tugas dokter?
2. Dalam program penatalaksanaan ORI difteri, apakah dokter memiliki
peran?
3. Apa saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penanggulangan difteri
di puskesmas? Bila iya, bagaimana cara untuk menindaklanjuti hal
tersebut?
4. Apakah ada hal yang mendukung dalam pelaksanaan program
penatalaksanaan ORI difteri di puskesmas?
5. Apakah saran untuk program penatalaksanaan ORI difteri?
6. Apakah dokter melakukan edukasi secara langsung kepada masyarakat
yang telah mendapatkan ORI? Bila iya, edukasi apa yang diberikan?
7. Bagaimana kerjasama antara dan koordinasi dinkes, RS AWS dan
Puskesmas dalam hal ini?

Lampiran 4. Daftar Pertanyaan untuk Survailans

1. Apa saja tugas dari survailans terhadap program difteri di Puskesmas?


2. Apakah terdapat kegiatan penanggulangan difteri yang tidak terlaksana?
3. Apakah ada hal-hal yang mempermudah dan mempersulit dalam
menjalankan tugas sebagai survailans program difteri?
4. Bagaimana evaluasi tim survailans dalam penanggulangan difteri?

33
5. Bagaimana pelaporan tim survailans kepada dinkes terhadap
penanggulangan difteri?
6. Apakah ada saran dari survailans terhadap program difteri di puskesmas?

Lampiran 5. Daftar Pertanyaan untuk Juru Imunisasi

1. Apa saja tugas dari juru imunisasi terhadap program difteri di Puskesmas?
2. Apakah sebelum pelaksanaan ORI terdapat data-data yang diberikan oleh
pihak puskesmas mengenai siapa saja yang akan mendapatkan ORI? Jika
iya, apakah yang mendapatkan ORI sudah sesuai dengan data yang
diperoleh?
3. Apakah terdapat ketidaksesuaian permintaan alat dan bahan (vaksin)
dengan persediaan?
4. Apakah terdapat kendala yang dialami dari segi penyimpanan dan
pemantauan kualitas vaksin?
5. Apakah ada saran dari juru imunisasi terhadap kendala yang dialami
selama ini?

34

Anda mungkin juga menyukai