Disusun Oleh :
Pembimbing :
Dr. Krispinus Duma, SKM, M.Kes
dr. Misbahuddin Hasan
dr. Zulhijrian Noor
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu
melimpahkan rahmat, anugrah, dan karunianya sehingga kami bisa menyelesaikan
proposal penelitian ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Kami mengucapkan terima kasih kepada
Penulis
2
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... 1
KATA PENGANTAR .................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 4
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 4
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 5
1.3. Tujuan ............................................................................................... 5
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 7
2.1. Difteri ................................................................................................ 7
2.1.1. Definisi ............................................................................................... 7
2.1.2. Etiologi .............................................................................................. 7
2.1.3. Epidemiologi ...................................................................................... 7
2.1.4. Patofisiologi ...................................................................................... 8
2.1.5. Manifestasi Klinis ............................................................................. 9
2.1.6. Klasifikasi ......................................................................................... 10
2.1.7. Diagnosis ........................................................................................... 13
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 13
2.1.9. Penularan ........................................................................................... 14
2.1.10. Penyulit ............................................................................................. 14
2.2. KLB Difteri ....................................................................................... 15
2.3. Surveilans .......................................................................................... 19
2.4. Strategi Pencegahan dan Pengendalian KLB Difteri ........................ 21
2.5. Outbreak Response Immunization ..................................................... 24
BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KONSEP ............................................ 25
3.1. Kerangka Teori ................................................................................. 25
3.2. Kerangka Konsep .............................................................................. 26
BAB 4 METODE PENELITIAN ................................................................. 27
4.1. Desain Penelitian .............................................................................. 27
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ 27
4.3. Informasi Penelitian .......................................................................... 27
4.4. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 27
4.5. Definisi Operasional ......................................................................... 28
4.6. Instrumen Pengambilan Data ............................................................ 28
4.7. Triangulasi ........................................................................................ 29
4.8. Metode Analisa Data ......................................................................... 29
4.9. Alur Penelitian .................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 30
LAMPIRAN ................................................................................................... 32
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
baru KLB difteri di wilayah kerja Puskesmas Lempake. Namun lain halnya pada
tahun 2019 bulan Maret ditemukan kembali adanya kasus suspek difteri sebanyak
satu kasus di wilayah kerja Puskesmas Lempake (Kemenkes, 2017 ; Surveilans
Lempake, 2018).
Outbreak Response Immunization (ORI) merupakan salah satu bentuk
respon yang dilakukan untuk mengatasi KLB difteri. Dinas Kesehatan
memberikan surat edaran berupa petunjuk teknis pelaksanaan ORI bagi daerah
yang memiliki status KLB. Pelaksanaan ORI yang tidak lengkap akan
menimbulkan kesenjangan imunitas atau yang istilahnya disebut dengan immunity
gap. Daya imunitas individu dipengaruhi oleh frekuensi pemberian imunisasi.
Menurut Lubov (2011) Pemberian vaksin dengan frekuensi sebanyak 2 kali
dengan 3 kali sistem imunitas meningkat lebih besar dibandingkan dengan
pemberian vaksin yang hanya dilakukan dengan frekunsi sebanyak 1 kali. Hal ini
menyebabkan kelompok yang tidak mengikuti imunisasi secara lengkap memiliki
potensi lebih besar untuk tertular ataupun menularkan kasus difteri di kemudian
hari (Arifin, 2018).
Berdasarkan uraian permasalahan diatas dan belum dilakukannya evaluasi
mengenai pelaksanaan ORI difteri pada tahun 2017 peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor pendukung dan penghambat
pelaksanaan kegiatan ORI (Outbreak Response Immunization) difteri di wilayah
kerja puskesmas Lempake Samarinda tahun 2017.
5
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Ilmiah
Sebagai sumber informasi data mengenai faktor-faktor pendukung dan
penghambat pelaksanaan kegiatan ORI (Outbreak Response Immunization)
difteri di wilayah kerja puskesmas lempake
Sebagai landasan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Bagi Praktisi Medis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan untuk
meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan kegiatan ORI (Outbreak Response
Immunization) difteri di wilayah kerja puskesmas lempake
1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti
Dengan melakukan penelitian ini diharapakan dapat meningkatkan
kemampuan untuk berpikir kritis dan menemukan solusi untuk permasalahan-
permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan ORI (Outbreak Response
Immunization) difteri, terutama di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DIFTERI
2.1.1 Definisi
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae, suatu bakteri gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai
dengan sakit tenggorokan, demam, malaise, dan pada pemeriksaan ditemukan
pseudo-membran pada tonsil, faring dan/atau rongga hidung. Difteri adalah
penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung, atau droplet dari penderita
(Nelson, 2016).
2.1.2 Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-Loeffler)
merupakan basil gram-positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora
dan berbentuk batang pleomorfis. Tidak semua orang terinfeksi oleh kuman ini
akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah
seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes schick (Nelson,
2016).
2.1.3 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara
mencolok serta penggunaan toksoid difteri secara meluas. Umumnya tetap terjadi
pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak
mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap insidens menurut
usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi,
mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin yang
tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan
7
terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan
imunisasi.
Karier manusia yang asimtomatik dilaporkan menjadi reservoar untuk C.
diphteriae. Infeksi oleh C. diphteriae didapat melalui kontak dengan pembawa
atau penderita aktif dari penyakit ini. Bakteri ini bisa ditransmisikan melalui
droplet ketika batuk, bersin, atau berbicara (Feigin, 2008).
Menurut laporan WHO, difteri tersebar luas di seluruh dunia dan menjadi
endemik di beberapa daerah berkembang di dunia, termasuk Asia, Afrika,
Amerika Selatan, dan daerah Mediterania. Episemik terakhir dimulai pada 1900 di
Federasi Rusia, Ukraina dan beberapa daerah di Uni Soviet (Feigin, 2008).
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih
dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah
15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja
yang tidak diimunisasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering
terjadi adalah infeksi subklinis dan difteri kulit. Difteri merupakan penyebab
kematian yang umum pada bayi dan anak-anak. Pada tahun 2000 diseluruh dunia
dilaporkan 30.000 kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal karena penyakit
ini. Dilaporkan 10% kasus difteri dapat menyebabkan kematian (Soedarmo,
Garna, & Hadinegoro, 2008).
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Sejak ditemukannya vaksin DPT (Diphtheria, Pertusis dan
Tetanus) penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi bakteri
diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih
rentan terhadap penyakit ini dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksin
(Soedarmo, Garna, & Hadinegoro, 2008).
2.1.4 Patofisiologi
Corynebacterium diphteriae masuk ke hidung atau mulut dimana basil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau
8
mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage
menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian
penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman
mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan
untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai
polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan
dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian
meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin,
perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam
tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut
apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri.
Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas
sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita
tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas (Nelson, 2016).
2.1.6 Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
10
Nasal difteri
Gejala permulaan dari nasal difteri sukar dibedakan dari common cold.
Tanda karakteristik adalah dijumpai pengeluaran sekresi hidung tanpa diikuti
gejala lain. Demam bila ada biasanya rendah.
Pengeluaran sekresi hidung ini mula-mula serous, kemudian serosanguinous,
pada beberapa kasus terjadi epistaksis. Pengeluaran sekresi ini bisa hanya berasal
dari salah satu lubang hidung ataupun dari keduanya. Lama kelamaan sekresi
hidung ini bisa menjadi mucopurulent dan dijumpai ekskoriasi pada lubang
hidung sebelah luar dan bibir bagian atas, terlihat seperti impetigo.
Pengeluaran sekresi kadang mengaburkan tentang adanya membrane yang
putih pada sekat hidung. Karena absorpsi toksin yang jelek pada tempat lokasi,
menyebabkan gejala hanya ringan tanpa adanya gejala yang menonjol. Pada
penderita yang tidak diobati, pengeluaran sekresi akan berlangsung untuk
beberapa hari sampai beberapa minggu, dan ini merupakan sumber penularan.
Infeksi dapat diatasi secara cepat dengan pemberian antibiotika (IDAI, 2010).
Tonsillar dan pharyngeal difteri
Penyakit timbul secara perlahan dengan tanda-tanda, malas, anorexia, sakit
tenggorokan, dan panas yang rendah. Dalam waktu 24 jam bercak eksudat atau
membrane dijumpai pada daerah tonsil. Berikutnya terjadi perluasan membran,
yang bervariasi dari hanya melibatkan sebagian dari tonsil sampai menjalar ke
kedua tonsil, uvula, palatum molle dan dinding dari faring. Membran ini rapuh,
lengket dan berwarna putih atau abu-abu, dan bila dijumpai perdarahan bisa
berwarna hitam. Pengangkatan dari membrane akan mudah menimbulkan
perdarahan.
Terlibatnya tonsil dan faring ditandai dengan pembesaran kelenjar, cervical
adenitis dan periadenitis. Pada kasus yang berat, pembengkakan jelas terlihat dan
disebut dengan "bullneck".
Berat ringannya penyakit tergantung pada berat tidaknya toksemia. Pada
keadaan ini temperature bisa normal atau sedikit meninggi..
11
Pada kasus yang ringan, membrane akan lepas pada hari ke-7 sampai hari
ke-10, dan penderita sembuh tanpa adanya gejala yang berarti, sedang pada kasus
yang sangat berat, ditandai dengan gejala yang diakibatkan peningkatan toksemia,
yaitu; kelemahan yang amat sangat, pucat sangat menonjol, nadi halus dan
cepat,stupor, koma dan meninggal dalam 6-10 hari. Pada keadaan penyakit yang
sedang, penyembuhan terjadi secara perlahan dan biasanya sering diikuti dengan
komplikasi miokarditis dan neuritis (Snell, 2006).
Laryngeal difteri
Laryngeal difteri lebih sering merupakan lanjutan dari pharyngeal
diphtheria, jarang sekali dijumpai berdiri sendiri. Penyakit ditandai dengan adanya
demam, suara serak dan batuk. Peningkatan penyumbatan jalan nafas oleh
membrane menimbulkan gejala; stridor inspiratori, retraksi suprasternal, supra
clavicular dan subcostal.
Pada keadaan yang berat laryngeal difteri belanjut sampai ke percabangan
tracheobronchial. Pada keadaan yang ringan, yang biasanya diakibatkan oleh
pemberian antitoxin, saluran nafas tetap baik, dan membrane dikeluarkan dengan
batuk pada hari ke- 6-10.
Pada kasus yang sangat berat, dijumpai penyumbatan yang semakin berat,
diikuti dengan adanya anoxia dan penderita terlihat sakit parah, sianosis,
kelemahan yang sangat, koma dan berakhir dengan kematian. Kematian yang
mendadak bisa dijumpai pada kasus yang ringan yang disebabkan oleh karena
penyumbatan yang tiba-tiba oleh bagian membrane yang lepas.
Gambaran klinik dari laryngeal difteri, serupa dengan gambaran mekanikal
obstruksi dari saluran nafas, yang biasanya disebabkan oleh membran, dan
dijumpai kongesti, oedem, sedang tanda toksemia adalah minimal pada saat
pemulaan terinfeksinya laring, hal ini disebabkan karena absorpsi dari toksin
sangat kecil sekali di daerah laring. Terlibatnya laring biasanya bersamaan dengan
tonsil dan pharyngeal difteri, dengan kosekuensi gejala klinik adalah gambaran
obstruksi dan toksemia yang berat,yang dijumpai secara serentak (Soedarmo,
Garna, & Hadinegoro, 2008).
12
Tipe difteri yang jarang
Infeksi difteri sekali-sekali bisa mengenai tempat lain diluar tempat yang
lazim (saluran pernafasan) yaitu pada kulit, conjunctiva, auricular dan
vulvovaginal.
Pada cutaneous difteri, kelainan yang terjadi adalah khas, berbentuk ulkus,
dengan batas yang tegas, dan pada dasar ulkus dijumpai adanya membran.
Pada konjunctival difteri, yangmula-mula terlibat adalah kelopak mata,
dimana kelopak mata menjadi merah, cedem dan dijumpai membran.
Terlibatnya liang telinga luar biasanya ditandai dengan keluarnya cairan
yang purulent yang terus menerus. Sedang lesi vulvovaginal biasanya berbentuk
ulkus yang mengelompok (IDAI, 2010).
2.1.7 Diagnosis
Diagnosa difteri ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan
laboratorium. Ditemukan kuman difteria dengan pewarnaan gram secara langsung
kurang dapat dipercaya. Diagnosis pasti dengan isolasi C. Diptheriae dengan
pembiakan pada media Loeffler atau dengan media baru Amies dan Stewart
dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes
Elek) Gejala klinik merupakan pegangan utama dalam menegakkan diagnosa,
karena setiap keterlambatan dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada
penderita. Secara klinik diagnose dapat ditegakkan dengan melihat adanya
membrane yang tipis dan berwarna keabu-abuan, mirip seperti sarang laba-laba
dan mudah berdarah bila diangkat (IDAI, 2010).
2.1.9 Penularan
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak.
Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan
bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang
membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga
ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali
penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita
difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan
(IDAI, 2010).
2.1.10 Penyulit
Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin. Maka penyulit difteri dapat dikelompokkan dalam obstruksi
jalan napas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf, ginjal serta infeksi
sekunder oleh bakteri lain (Adams, 2013). Obstruksi jalan napas disebabkan oleh
tertutupnya jalan napas oleh membran difteri atau oleh edema pada tonsil, faring,
daerah submandibular dan servikal.
Dampak toksin dapat bemanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang
dapat terjadi baik pada difteri ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada
pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan antitoksin. Pada umumnya
penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini ataupun
lambat sekitar minggu ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardi, suara
jantung redup, terdengar bising jantung atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal
14
jantung. Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen
ST, perpanjangan interval PR dan heart block.
Penyulit pada saraf biasanya lambat dan bersifat bilateral, terutama
mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada
palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal,
kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke-5,
meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Paralisis ekstrimitas bersifat
bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon refleks, peningkatan kadar
protein dalam likuor serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu
ke-5 dan ke-7 sebagai akibat neuritis frenikus dan dapat menyebabkan kematian
apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada
pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung (Nelson, 2016).
17
bulan, dan antara putaran kedua dan ketiga adalah 6 bulan.
Vaksin yang digunakan adalah:
a. anak usia 1 - < 5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib,
b. anak usia 5 - <7 tahun menggunakan vaksin DT
c. anak usia ≥ 7 tahun menggunakan vaksin Td
18
Gambar 2.1 Algoritma untuk diagnosis, terapi dan follow up tersangka
difteri dan kontak terinfeksi
20
2.4 Strategi Pencegahan dan Pengendalian KLB Difteri (Kemenkes RI, 2017)
1. Penguatan imunisasi rutin Difteri sesuai dengan program imunisasi
nasional.
2. Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus Difteri.
3. Semua kasus Difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi.
4. Semua kasus Difteri dirujuk ke Rumah Sakit dan dirawat di ruang isolasi.
5. Pengambilan spesimen dari kasus dan kasus kontak erat kemudian dikirim
ke laboratorium rujukan Difteri untuk dilakukan pemeriksaan kultur atau
PCR.
6. Menghentikan transmisi Difteri dengan pemberian profilaksis terhadap
kontak dan karier.
7. Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) di daerah KLB
Difteri.
a. Imunisasi
Penyakit Difteri dapat dicegah dengan Imunisasi Lengkap, dengan jadwal
pemberian sesuai usia. Saat ini vaksin untuk imunisasi rutin dan imunisasi
lanjutan yang diberikan guna mencegah penyakit Difteri ada 3 macam,
yaitu:
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus,
Hepatitis B dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh
Haemophylus infuenzae tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).
Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:
1. Imunisasi dasar:
TINGKAT PUSKESMAS
Kegiatan Pokok:
Menyediakan dukungan logistik (APD: masker bedah, penutup
kepala, dan sarung tangan) serta biaya operasional (Penyelidikan
Epidemiologi, Money, dll)
a. Penemuan kasus
Kasus Difteri dapat ditemukan di pelayanan statis (puskesmas dan RS)
maupun kunjungan lapangan di wilayah kerja Puskesmas.
Setiap kasus Difteri yang ditemukan dilakukan investigasi dengan
format individual (Format penyelidikan difteri (lampiran 1)).
Penderita dirujuk ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pengobatan
lebih lanjut dan dilakukan pencarian kasus tambahan dan karier.
Melakukan komunikasi risiko ke masyarakat.
b. Pengambilan dan pengiriman specimen
Setiap suspek Difteri harus dilakukan konfirmasi laboratorium.
Pengambilan sampel Difteri dilakukan oleh petugas kesehatan terlatih. Untuk
22
tatacara Pengambilan dan pengiriman spesimen, dapat dilihat pada Bab IV
laboratorium surveilans Difteri.
c. Pencatatan dan Pelaporan
Setiap suspek Difteri dilaporkan sebagai KLB dalam waktu 1 x 24
jam dengan menggunakan format W1 dan dicatat pada format daftar
kasus individu (format lampiran 2) dan dilaporkan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten / Kota.
Hasil laboratorium dicatat pada format daftar kasus individu.
Setiap minggu dibuat rekapitulasi jumlah kasus yang menggunakan
EWARS dan terintegrasi dengan penyakit potensial KLB lainnya serta
dilaporkan Ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai alat SKD KLB.
Setiap bulan dibuat rekapitulasi jumlah kasus menggunakan format
laporan integrasi PD3I dan dilaporkan setiap tanggal 5 bulan berikutnya
ke Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dengan melampirkan format daftar
kasus individu.
Melaporkan hasil investigasi kasus difteri ke Dinas Kesehatan Kab/kota.
d. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi.
Setiap minggu dilakukan analisa data untuk mengetahui adanya
peningkatan kasus berdasarkan wilayah kejadian.
Umpan balik dapat dilakukan melalui lokakarya mini dan rapat lintas
sektor tingkat kecamatan.
RUMAH SAKIT
Kegiatan Pokok:
a. Penemuan kasus
24
BAB 3
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
PE
Kasus Baru KLB
Difteri
Rujuk RS
Difteri FKTP
Profilaksis
Wawancara Informan
Outbreak Response
Immunization
Faktor Faktor
Imunisasi Rutin Pendukung Penghambat
Keterangan :
Edukasi
: diteliti Faktor Internal & Eksternal
: tidak diteliti
Evaluasi Pelaksanaan
25
ORI Difteri di PKM
Lempake
3.2 KERANGKA KONSEP
Wawancara Informan
Faktor Faktor
Pendukung Penghambat
Evaluasi Pelaksanaan
ORI Difteri di PKM
Lempake
26
BAB IV
METODE PENELITIAN
27
agar memudahkan dalam wawancara, penggalian data dan informasi (Moleong,
2012). Data sekunder dalam penelitian ini didapat melalui dokumen berupa
pencatatan dan pelaporan mengenai KLB difteri di wilayah kerja Puskesmas
Lempake.
28
4.7 Triangulasi
Triangulasi yaitu merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan
melakukan pengecekan atau perbandingan terhadap data yang diperoleh dengan
sumber atau kriteria lain untuk meningkatkan keabsahan data.
Untuk menjaga validitas data maka dilakukan dengan triangulasi sumber
yang berarti mendapatkan data dari sumber yang berbeda dengan teknik yang
sama, yakni dengan memilih informan yang dianggap dapat memberikan jawaban
sesuai dengan pertannyaan yang diajukan (Moleong, 2012).
29
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Difteria pada buku ajar infeksi dan pediatric tropis. Jakarta: Badan
Penerbit: IDAI; 2010. H.312-21
Dhillon, R. S., East, C. A., 1999, Ear, Nose, and Throat and Head and Neck
Surgery, Second Edition, Churchill Livingstone: London, halaman 73
Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 173-176
Lee, K. J., 2003, Essential Otolaryngology: Head and Neck Surgery, Eighth
Edition, McGraw-Hill Company: New York, halaman 452
30
Snell. Buku Ajar Anatomi Klinik Jilid VI. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta. 2006.
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku Infeksi dan Pediatri Tropis.
Ed ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 312-21.
T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18
31
LAMPIRAN
32
6. Apakah ada kendala dari segi pembiayaan untuk program penanggulangan
KLB difteri terutama dalam pelaksanaan ORI difteri serta dari mana saja
sumber dana yang diperoleh?
7. Apakah alat dan bahan yang tersedia sudah tercukupi dalam
penanggulangan KLB difteri terutama dalam pelaksanaan ORI difteri?
8. Apakah ada penatalaksanaan lebih lanjut setelah penanggulangan KLB
difteri di Puskesmas?
1. Sebagai dokter penanggung jawab program difteri, apa saja tugas dokter?
2. Dalam program penatalaksanaan ORI difteri, apakah dokter memiliki
peran?
3. Apa saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penanggulangan difteri
di puskesmas? Bila iya, bagaimana cara untuk menindaklanjuti hal
tersebut?
4. Apakah ada hal yang mendukung dalam pelaksanaan program
penatalaksanaan ORI difteri di puskesmas?
5. Apakah saran untuk program penatalaksanaan ORI difteri?
6. Apakah dokter melakukan edukasi secara langsung kepada masyarakat
yang telah mendapatkan ORI? Bila iya, edukasi apa yang diberikan?
7. Bagaimana kerjasama antara dan koordinasi dinkes, RS AWS dan
Puskesmas dalam hal ini?
33
5. Bagaimana pelaporan tim survailans kepada dinkes terhadap
penanggulangan difteri?
6. Apakah ada saran dari survailans terhadap program difteri di puskesmas?
1. Apa saja tugas dari juru imunisasi terhadap program difteri di Puskesmas?
2. Apakah sebelum pelaksanaan ORI terdapat data-data yang diberikan oleh
pihak puskesmas mengenai siapa saja yang akan mendapatkan ORI? Jika
iya, apakah yang mendapatkan ORI sudah sesuai dengan data yang
diperoleh?
3. Apakah terdapat ketidaksesuaian permintaan alat dan bahan (vaksin)
dengan persediaan?
4. Apakah terdapat kendala yang dialami dari segi penyimpanan dan
pemantauan kualitas vaksin?
5. Apakah ada saran dari juru imunisasi terhadap kendala yang dialami
selama ini?
34