Makalah Lupus
Makalah Lupus
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit multiorgan yang berdasarkan
kelainan imunologik. Organ yang sering terkena yaitu sendi, kulit, ginjal, otak, hati, dan lesi dasar pada
pada organ tersebut adalah suatu vaskulitis yang terjadi oleh karena pembentukan dan pengendapan
ditujukan terhadap komponen inti sel, yaitu DNA, RNA, dan nukleoprotein. Kadang-kadang awalnya
hanya satu organ yang terkena selama beberapa bulan atau tahun yang kemudian berkembang ke
SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa anak dapat menderita
penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada keterlibatan organ penting, sedangkan pada
beberapa anak lain dapat tampak sakit berat serta ada keterlibatan beberapa organ.
Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus, dapat muncul gejala
seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot, lelah, dan kehilangan berat badan yang
nyata. Semua gejala ini tentunya tidak spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk
mendukung maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis dini sangat penting dalam menentukan
terapi yang tepat untuk meminimalkan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. SLE pada anak
biasanya lebih parah daripada pada orang dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.
Lupus adalah penyakit kronik yang tingkat penyebaran dan remisinya tidak dapat diprediksi.
Sekali anak didiagnosis dengan SLE maka ia membutuhkan dukungan keluarganya dan penanganan
multidisiplin ilmu dalam menjalani kehidupan dengan penyakitnya tersebut. Walaupun beberapa
literatur mengatakan bahwa SLE tidak ada obatnya, namun hasil pengobatan jangka panjang pada anak
dengan SLE dapat memberi hasil yang baik apabila ditangani oleh tim medis yang ahli dalam bidangnya
masing-masing.
1
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada beberapa
pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak dengan SLE. Diantaranya keparahan
penyakit, presentase penyakit, pemeriksaan lab yang menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari
pasien tersebut. Hal terpenting dalam menangani anak dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik
untuk pasien dengan mempertimbangkan keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang
berkembang. Pasien harus diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya, pengobatan dan efek-efek
sampingnya, serta hasil pengobatan yang mungkin terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan
kepada pasien dan keluarganya, tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan kemampuannya dalam
keputusan.
2
BAB II
Lupus
II. Tujuan Instruksional Khusus.
Setelah diberikan penyuluhan diharapkan masyarakat setempat mampu :
III. Materi
1. Pengertian Lupus
2. Tanda dan gejala Lupus
3. Faktor penyebab Lupus
4. Cara pencegahan Lupus
IV. Metode
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab
V. Media
1 Powerpoint
2 Leaflet
No Waktu Kegiatan
3
Pembicara Mahasiswa Penanggung Jawab
1 Pembukaan
penyuluhan
2 Penyajian Materi
akan disampaikan
10 Menit Penyaji
2) Menyampaikan materi 2) Mendengarkan dan
tentang : Memperhatikan
a. Pengertian Lupus
b. Tanda dan gejala Lupus
c. Faktor penyebab Lupus
d. pencegahan Lupus
3 Evaluasi
untuk bertanya
3) Menerima
VII. Pengorganisasian.
a. Penyaji : Riski Ariani
b. Moderator : Sandra Afrilla Anwar
c. Observer : Sri Wahyuningsih
d. Fasilitator :
1. Shinta Devi
2. Nurasyiah
3. Welniati Mangesa
e. Pembimbing :
Keterangan:
presenter : : fasilitator
: moderator : observer
: audiens : meja
5
BAB III
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang berbagai
jaringan dan organ tubuh. Istilah ’lupus eritematosus sistemik’ dapat diartikan secara bahasa sebagai
’gigitan serigala’, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu ruam pada wajah penderita
SLE yang perjalanan penyakitnya sudah lama dan belum mendapat terapi.
Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem
dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan
jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama
antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan
karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit seribu wajah
B. ETIOLOGI
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara genetik yang
dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya penyakit autoimun lain, muncul pada
seseorang yang secara genetis rentan terpapar satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di
lingkungan. SLE berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1,
B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-
amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-masing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga
maupun sanak saudara memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang berhubungan dengan
disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal: imunodefisiensi primer, dan keganasan limforetikuler),
Sebenarnya, apa yang menyebabkan berbagai kelainan imunologi yang ditemukan pada SLE
yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun, hipokomplementemia yang
akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan sampai saat ini belum dapat dipastikan. Beberapa fakta telah
6
ditemukan tetapi belum merupakan suatu hipotesis yang mencakup semuanya. Agaknya etiologi SLE
merupakan multifaktor.1 Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 1,6,7
- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat
- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan pasca pubertas
- Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE. Bila pada yang betina
diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik. Sebaliknya pada tikus jantan akan
3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah, stress fisik maupun
mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu
SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat2 berikut:
hydralazine (digunakan untuk hipertensi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama
jantung abnormal), fenitoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan
diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat-obatan
jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika obat-obat tersebut
dihentikan
4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena ditemukan struktur
retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel miksovirus. Tetapi ternyata kemudian
dibantah dan sampai sekarang masih tetap dianggap tidak ada bukti nyata virus sebagai etiologi.
C. EPIDEMIOLOGI
Lupus adalah penyakit langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang pada anak usia
sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja. SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah
umur 15 tahun, dengan 17% orang dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5%
7
diantaranya mulai pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73%
didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan sebagai penyakit pada
usia remaja. SLE dapat muncul pada pria maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya.
Namun diagnosis SLE 4,3 kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki.
Perbedaan ini tidak nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian menunjukkan
perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja. Dalam hal etnis, lupus lebih
sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli Amerika, Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan
ras Kaukasia.
D. PATOGENESIS.
SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang, yang menonjol
hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus, tetapi lambat laun organ-
organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi
terhadap berbagai macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah
terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double stranded (ds-DNA), juga
Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat autoreaktif.
Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang
mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi
Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada
kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik.
Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti
C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan
-DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan interaktif.
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan
kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah perifer
berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen
8
yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA
dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama
aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan respon
diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+,
natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu
pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons
pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka
akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai
dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat
spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun.
Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang
kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem
retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu
banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan
mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh
kompleks imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa autoantibodi terhadap berbagai
antigen. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah
antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat).
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan
mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara
bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini
terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan
terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai
9
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai
petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus,
atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa
penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada adanya kompleks
imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid)
dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk
insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).
Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa
bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen. Akibatnya
terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi,
seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya
antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena
inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh
penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi
karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang
mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan fenotip sitokin
dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4,
10
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi pada
permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai
peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Terjadi
pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan. Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel
apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peranan
penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada
perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi
oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat
LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat
LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan estrogen merupakan karakteristik
pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar hormon FSH ( Follicle-stimulating hormone), LH
(Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, terdapat
peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan
trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat
perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya
belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat
menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.
E. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam, fatigue, dan
kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah sama dengan pada dewasa.
Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah
11
lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam malar yang
khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya sensitifitas yang berlebihan
terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress
emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan
kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat
sembuh sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut
dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan
Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash ) pada anak dengan lupus
Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat menyebabkan parut. Pada
lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit pada lupus diskoid sering ditemukan pada wajah dan
kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit
dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien.
12
Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia. Pada anak
mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan biasanya didiagnosis sebagai Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada sebagian anak.
Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini, khorea lebih umum ditemukan
sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada demam reumatik. Ensefalopati, myelitis atau polineuropati
jarang ditemukan. Fenomena Raynaud sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit lebih dari satu
minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis dengan ’suspect infeksi virus’
sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih
dari seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya dalam minggu
pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan adanya keganasan atau
penyakit inflamasi kronis lain (misal: Crohn disease, atau vaskulitis sistemik).
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)
Limfadenopati
Kulit Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas
Alopesia
Lesi diskoid
Lupus tumidus
Purpura vaskulitis
Muskuloskeletal Arthritis / arthralgia non-erosif
Tenosinovitis
Miopati
13
Nekrosis avaskular
Sistem Pencernaan Ulserasi oral dan nasal
Dismotilitas esofagus
Kolitis
Hepato-splenomegali
Pankreatitis
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Miokarditis
Endokarditis Libman-Sacks
Gangren perifer
Sistem Pernapasan Pleuritis, efusi pleura
Perdarahan
Pneumotoraks
Sistem Persarafan Migrain
Depresi / cemas
Psikosis organik
Kejang
14
Khorea
Kelainan serebrovaskular
Sistem Penglihatan Retinopati, cotton wool spots
Papiloedema
Ginjal Glomerulonefritis
Hipertensi
Gagal ginjal
Hematologi Anemia hemolitik dengan Coomb’s positif
Trombositopenia
Sindrom antifosfolipid
Endokrin Hipo / hipertiroidism
Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat. Pada kasus
yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan diagnosis. American College of
F. BENTUK-BENTUK LUPUS
1. Nefritis Lupus
Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan ginjal pada suatu masa
dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien lupus dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal dan
diperiksa dengan mikroskop imunofloresensi akan ditemukan kelainan pada hampir semua kasus
Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena kelainan patologi anatomik
ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal, yaitu glomerulus, tubulus dan
pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan pada urinalisis, atau hanya edema,
proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran klinis yang berat yaitu sindrom nefrotik,
glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif, atau hipertensi yang dapat
Diagnosis
15
Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya SLE pada pasien.
Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang telah direvisi pada tahun 1997 seperti yang
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan laboratorium
pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE reaksi (+), peninggian LED, penurunan
kadar komplemen C3, C4, dan komplemen total (CH50), peninggian kadar antibodi antinuklear dan
adanya antibodi terhadap DNA double-stranded (ds-DNA). Pada pemeriksaan urinalisis dapat
ditemukan hematuria, proteinuria, dan macam-macam silinder, antara lain : torak, sel darah merah,
dan sel darah putih. Derajat proteinuria sering berkorelasi dengan beratnya penyakit dan dapat
mencapai kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu >40 mg/jam/m 2. Pemeriksaan darah tepi
juga bervariasi, yaitu dapat berupa leukositosis atau leukopenia, dengan atau tanpa
trombositopenia. Apabila ditemukan anemia, perlu diperiksa uji coombs untuk melihat adanya
anemia hemolitik autoimun. NL dengan anemia dilaporkan mempunyai prognosis yang kurang baik
dan umumnya progresif. Pemeriksaan lain yang kadang-kadang positif yaitu uji reumatoid dan
serologi terhadap sifilis yang merupakan reaksi positif palsu. Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan pada pasien NL ataupun lupus eritematosus sistemik pada umumnya dapat dilihat pada
tabel 3.
1. Urinalisis
5. Kimia darah
6. Pemeriksaan khusus
16
- Sel LE
- Uji coombs
- Krioglobulin
7. Biopsi ginjal
Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin (anti fosfolipid).
Tipe I Normal
b. Hiperselular sedang
17
c. Dengan lesi sklerosis aktif
a. Murni
Biopsi ginjal terindikasi pada semua pasien nefritis lupus, dengan kata lain pada pasien SLE
dengan kelainan urinalisis atau gejala NL yang lain yaiu hipertensi, peningkatan kadar ureum/kreatinin
darah. Klasifikasi histopatologi ginjal diperlukan untuk: 1. Memastikan diagnosis NL, 2. Menetapkan
Pengertian normal disini termasuk adanya penambahan sedikit matriks dan sel mesangial pada
pemeriksaan mikroskop cahaya. Pada tipe I bila dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi akan
ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, kadar IgA dan IgM di mesangium. Juga pada mikroskop
elektron dapat ditemukan deposit elektron dense di mesangium. Gambaran ini ditemukan pada 6%
NL.
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan penambahan matriks dan sel mesangial yang
jelas. Pada pemeriksaan dengan mikroskop imuofluoresensi dan elektron kelainan yang ditemukan
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel mesangial dan endotel yang
bersifat fokal dan segmental. Selain itu pada beberapa tempat (fokal) dapat terlihat nekrosis fibrinoid,
infiltrasi sel neutrofil, dan penebalan membran basal. Pada pemeriksaan dengan mikroskop
18
imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang IgM dan IgA di daerah
mesangial dan beberapa dinding kapiler. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, terlihat deposit
electron dense pada daerah mesangial dan di beberapa tempat subendotel dan subepitel. Tipe III
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel difus mesangial dan endotel
pada semua glomerulus. Pada beberapa kasus dijumpai proliferasi sel epitel glomerulus dan
pembentukan kresen fibroepitelial yang dapat mencapai lebih dari 50%. Juga dapat terlihat nekrosis
fibrinoid disertai infiltrasi sel neutrofil di glomerulus. Membran basal glomerulus menebal dan
menunjukkan gambaran lesi wire loop eosinofilik. Hal ini disebabkan adanya deposit subendotel yang
besar dan difus. Kadang-kadang dapat terlihat arteritis pada arteri dan trombosis pada kapiler
glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop imunofloresensi akan terlihat gambaran deposit granular di
mesangium dan sepanjang dinding kapiler terdiri atas IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang IgA dan IgM.
Kresen epitel memberi warna positif dengan fibrin. Pada pemeriksaan dengan mikroskop
elektron, dijumpai deposit electron dense di mesangium dan daerah subendotel, kadang juga
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya dijumpai gambaran seperti pada nefropati membranosa
idiopatik yaitu tidak adanya proliferasi sel dan ditemukan penebalan membran basal. Pada pewarnaan
perak dapat dijumpai gambaran sisir (spike). Pada pemeriksaan imunofluoresensi ditemukan deposit
granular IgG, C3, C4, Clq, disepanjang dinding kapiler glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop
elektron, ditemukan deposit elektron dense di daerah subepitel kapiler glomerulus dan kadang-
kadang di daerah mesangial dan subendotel. Tipe V ditemukan pada kurang dari 10%.
Tipe VI Glomerulosklerosis
19
Glomerulosklerosis adalah gambaran akhir dari kerusakan ginjal pada NL yang bersifat
ireversibel. Secara morfologik, akan terlihat gambaran penambahan matriks mesangial, sklerosis
glomerulus, atrofi tubulus, sklerosis vaskular, dan fibrosis interstisial. Tipe VI ditemukan pada 0,7%.
Berbeda dengan gambaran patologi anatomi pada penyakit glomerulus lainnya antara lain
sindrom nefrotik idiopatik pada NL dapat terjadi perubahan morfologi glomerulus dari tipe yang
ringan menjadi yang berat atau sebaliknya. Perubahan dari bentuk ringan tipe II dapat menjadi tipe IV
bila tidak diobati, sedangkan dengan terapi tipe IV proliferatif difus dapat berubah menjadi tipe II
Biopsi kulit akhir-akhir ini mendapat perhatian baik pada NL maupun SLE karena dapat dipakai
dalam diagnosis banding dengan penyakut reumatoid lain dan membedakan NL dengan granulopati
idiopatik. Pada lupus ditemukan deposit granuler pada pertemuan daerah dermis dan epidermis.
Deposit tersebut dengan teknik imunofluoresensi terdiri atas IgG, C3, properdin dan antibodi DNA.
Ada laporan terdapat korelasi antara beratnya gambaran histolologi ginjal dan gambaran deposit di
Pada umumnya, terdapat korelasi yang kuat antara gambaran PA dan klinis. Pasien dengan
gambaran PA glomerulus normal (tipe I) dan mesangeal (tipe II) menunjukkan presentasi klinis yang
ringan yaitu urinalisis normal atau minimal dan fungsi ginjal yang normal. Gambaran PA proliferatif
difus (tipe IV) biasanya menunjukkan gambaran PA glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik
dengan hipertensi dan gagal ginjal. Bila tipe IV ini disertai kresen yang > 50% akan disertai gagal ginjal
menunjukkan gambaran klinis sindrom nefrotik yang bersifat menahun, hipertensi, dan penurunan
fungsi ginjal yang perlahan-lahan (progresif lambat). Tipe V glomerulosklerosis merupakan stadium
2. Lupus Diskoid
20
Sebesar 2 - 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi kulit diskoid pada
pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan
follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi dan banyak muncul pada kulit yang
sering terkena sinar matahari, sebagaimana halnya pada pasien dewasa. Lesi diskoid sering
menyebabkan timbulnya jaringan parut dan dapat kambuh kembali jika pasien terpapar sinar
ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan menjadi SLE dalam waktu 5 tahun. Walaupun belum ada
penelitian yang menyebutkan lupus diskoid dapat berkembang menjadi SLE pada anak, namun
presentasi lupus diskoid pada anak yang cukup jarang harus mendapatkan perhatian dari dokter
yang merawat. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA)
yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan laboratoris
lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk memantau progresifitas penyakit
Gejala SSP muncul pada 20 – 30% pada anak dan dewasa dengan SLE, dan dapat
melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak seperti manifestasi penyakit lain,
keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun pertama penyakit pada 75-85% pasien yang akan
berkembang menjadi penyakit SSP. Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global
dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori.
Gejala neuropsikiatrik ada pada 33 – 60% pasien SLE dewasa dengan kelainan SSP. Resiko pada
wanita delapan kali lebih besar daripada pria, dan resiko tertinggi ada pada wanita kulit hitam.
Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk menyingkirkan ganguan psikososial reaktif,
infeksi, dan metabolik. Disarankan untuk mengkonsultasikan hal ini dengan ahli psikiatri.
Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada anak dan dewasa.
Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi kognitif. Gangguan motorik
(khorea) lebih sering pada anak, mungkin berhubungan dengan adanya antibodi anti-fosfolipid.
Nyeri kepala juga sering menjadi gelaja dari SLE namun penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah
banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan bukan berasal dari kelainan intrakranial, biasanya
21
disebabkan oleh trombosis vena serebralis dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis
bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga,
4. Arthritis Lupus
Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri, bengkak
atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul poliarthritis yang mengenai sendi-
sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya lebih mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan
kelainan organ lain pada SLE. Tidak seperti reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan
nyeri yang dirasakan pasien tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan.
Pemeriksaan radiologi pada sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan
pada tulang sendi. Anak dengan RA sendi poliartikular beberapa tahun kemudian dapat menjadi
LES.
Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada
pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada pasien. Nyeri pleura adalah nyeri dada yang
tajam, yang diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan perubahan tertentu posisi tubuh. Atau
dapat pula muncul sebagai perikarditis, dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction
6. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi
karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. 8
7. Gangguan Darah
Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik dengan retikulositosis,
2) Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan, 3) Limfopenia < 1500/mm 3 pada > 2
G. LUPUS NEONATUS.
22
Lupus neonatus, merupakan komplikasi kehamilan yang mengenai janin pada ibu dengan SLE.
Bayi-bayi yang terkena dapat menderita ruam, trombositopenia atau blokade jantung kongenital,
kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya Sindrom lupus neonatus dianggap disebabkan
oleh faktor-faktor maternal pada janin, tetapi patogenesis yang tepat belum pasti.
Untuk menegakkan diagnosis lupus neonatus, The Research Registry for Neonatal Lupus
2. Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus. Kelainan konduksi jantung/blok jantung
kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti
SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi
mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi
tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita.
Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro dan Anti
SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibodi
melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada
jantung dan sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi
bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini
ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravena atau plasmaparesis telah gagal
mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat
penting untuk seorang ibu yang menderita SLE dan ingin hamil.
H. PENATALAKSANAAN
Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade terakhir ini telah
mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena penggunaan obat kortikosteroid dan
sitostatik. Gejala ekstra renal akan cepat menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien
23
dengan gejala ekstra-renal ringan, tidak diperluka terapi kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus
ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan
proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan
Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif
tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan program
terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam
menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak,
perawat, petugas sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk
pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan
nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.
1. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun efek samping
jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap terbaik untuk nefritis lupus dan SLE pada
umumnya. Harus dipertimbangkan, bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk
daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan
Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera setelah muncul
perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan penyakit anak biasanya
diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali sehari. Pada pertengahan, dosis diturunkan namun
tetap dilanjutkan.
Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari atau 60
mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan secara bertahap; bila terdapat perbaikan gejala
penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah, dan penurunan titer anti ds-DNA.
Penur=unan dosis berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis prednison diturunkan secara bertahap
24
sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi
relaps, pemberian steroid diuah manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul
Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah peningkatan berat
badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis tinggi intermitten intravena
disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur
patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan
program exercise yang lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada
pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis
dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15%
pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang. 8 Pada beberapa anak, pota
tidur dapat terganggu karena pengaruh kortikosteroid. Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif,
moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam hari
lebih awal. Beberapa anak dengan terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam
frekuensi BAK malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti
ini, dosis kortikosteroid dapat disesuaikan. Beberapa efek samping kortikosteroid dapat dilihat pada
tabel 4.
ahli ortopedi
Mudah terkena infeksi Vaksinasi pneumonia dan varisella jika anak tidak sedang
25
menderita cacar
Tekanan darah meningkat Monitor berkala, obat antihipertensi bila perlu
Katarak Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan. Konsultasikan
hidroklorokuin.
2. Hidroklorokuin
Hidroklorokuin diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus derajat sedang atau
sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada beberapa studi menunjukkan
pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin
juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko komplikasi kadriovaksular.
Pemakaian jangka panjang. Hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar
Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai profilaksis episode
trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi antifosfolipid yang tinggi dan/atau
Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada muskuloskeletal, yang
dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi.
4. Obat-obatan Imunosupresif
kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan azatioprin. Indikasi
mengontrol penyakit
26
Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan
sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi yaitu dengan memberi bolus
intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada hari pemberian infus anak dianjurkan sering
Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali sebulan
selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL proliferasi difus. Dosis yang dipakai
adalah 500 mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m 2 pada bulan kedua dan selanjutnya 1 gram/m 2
(dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai
dosis 500 mg/m2. Bila jumlah leukosit <2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis
5. Plasmapharesis
Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang ada manfaatnya
terutama bila dikombinasi dengan kortikosteroid dosis tingi dan siklofosfamid. Namun ini bukanlah
6. Splenektomi
Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi standar untuk
idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya menjadi efektif. Namun hal ini meningkatkan resiko
Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca secara autologous atau alogenik lebih efektif pada
pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi dengan pendekatan terapi
Memonitor SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang harus diperatikan dan kesemuanya
harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi dilakukan. Pemeriksaan laboratorium sangat penting
27
dan sebaiknya dikerjakan secara rutin. Pemeriksaan laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte
sedimentation rate), C3, C4, anti ds-DNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin, dan
urinalisis. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai terdiagnosis, sampai
Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya adalah SLE
Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), the European Consensus Lupus Activity
Measurement (ECLAM), Systemic Lupus Activity Measure (SLAM) dan British Isles Lupus Assessment
Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet (terutama UV-A atau
UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus dan juga gejala sistemik seperti nyeri
sendi dan fatigue. bisa juga menyebabkan serangan pertama. Jadi, untuk menghindari pajanan yang
terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien atau siapapun juga harus menggunakan topi atau krim
tabir surya. Pasien yang menggunakan krim tabir surya secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar)
memiliki resiko lebih rendah untuk terkena lupus nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan lebih
sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak dengan SLE sebaiknya selalu menggunakan krim tabir surya
setiap hari pada seluruh kulitnya yang terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada
2. Imunisasi
Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan virus. Pada anak-anak ini
seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang diwajibkan namun tidak boleh yang mengandung
vaksin hidup.
Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum pernah terinfeksi virus varicella-
zoster. Termasuk kedalam vaksin hidup (live vaccine) sehingga harus diberikan sebelum terapi
Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat diagnosis SLE ditegakkan, dan
setiap 5 tahun. Infeksi pneumokokus yang invasif sering terjadi pada anak dengan SLE.
28
Vaksin influenza. Anak SLE yang di imunisasi dengan vaksin influenza memiliki respon antibodi
yang protektif, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari anak yang normal.
Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan pada setiap anak dengan SLE.
Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada diet khusus untuk
pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka
perlu dihindari makanan junk food atau makanan mengandung tinggi sodium dan tinggi garam untuk
menghindari kenaikan berat badan berlebih. Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah
raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
J. PROGNOSIS.
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi oleh fase remisi,
dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley, bangkitan diartikan sebagai eksaserbasi atau
perkembangan tanda atau keluhan baru yang memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya
merupakan bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan kulit.
Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi
spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet, infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik
yang membentuk siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan,
serta kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari bentuk yang
semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral. Sebaliknya, bentuk yang ganas dapat
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat
langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis,
sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara
pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.
29
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan, misalnya pada
penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular serebral iskemik) akibat
kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh
keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena harapan
Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya akibat
kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu sendiri. Pengurangan risiko
infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap semua sumber infeksi serta deteksi dini
terhadap infeksi.
Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian kematian, yaitu satu
puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, dan satu puncak lain yang lebih jauh
Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan
bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88% dari pasien mengalami
sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.
Darah terdiri dari cairan darah dan komponen darah. Komponen darah terdiri dari sel darah
merah, sel darah putih dan pembeku darah. Sel darah putih (lekosit) terdiri dari limfosit, netrofil batang,
netrofil segmen dan monosit. Cairan darah (plasma) terdiri dari protein dan faktor-faktor pembekuan.
Ketidaknormalan sel darah dan faktor-faktor pembekuan sering ditemukan pada penderita lupus
eritematosis sistemik. Manifestasi klinis yang utama adalah anemia (penurunan hemoglobin), lekopenia
(penurunan jumlah sel darah putih), trombositopenia (penurunan jumlah sel pembeku darah) dan
sindroma antifosfolipid. Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya kelainan darah pada lupus
30
Adanya perdarahan saluran cerna yang bersifat kronik karena efek samping obatobatan yang
digunakan.
Pada 50% penderita lupus eritematosus sistemik, ditemukan adanya anemia. Anemia adalah
berkurangnya kadar hemoglobin (pada wanita, < 12gr %). 2 Pada lupus eritematosus sistemik, dapat
b. Anemia hemolitik imun : anemia karena penghancuran sel darah merah yang berlebihan
- Pucat.
- Lemah badan.
- Mudah lelah.
- Penglihatan berkunang-kunang.
- Jantung berdebar.
Lekopenia adalah penurunan jumlah lekosit di bawah 4500/mm 3. Keadaan ini ditemukan pada
Netropenia adalah jumlah netrofil batang dan segmen di bawah 2000/mm3. Netropenia dapat
sumsum tulang).
31
Limfopenia adalah penurunan jumlah limfosit di bawah 1500/mm 3. Keadaan ini ditemukan pada
(trombosit antara 100.000 - 150.000/mm 3) ditemukan pada 25 - 50% penderita lupus. Pada 10%
3,7% penderita lupus. Trombositosis dapat disebabkan karena peradangan atau perdarahan
kronik.
1) Perdarahan hidung.
2) Perdarahan gusi.
3) Perdarahan kulit.
Penurunan sel darah merah, seldarah putih dan sel pembeku darah. Keadaan ini disebut
Berikut ini penjelasan secara singkat tentang kelainan-kelainan darah yang sering didapatkan
32
a. Anemi hemolitikimun
Anemihemolitik imun adalah anemi yang disebabkan adanya peningkatan penghancuran sel
darah merah karena adanya antibod ipada permukaan sel darah mera h. Antibodi ini dapat
Pengobatan.
1) Transfusi sel darah merah cuci (washed rell cell) bila terdapat gejala kekurangan oksigen
2) Steroid.
3) Siklofosfamid.
4) Mikofenolat mofetil.
(trombositopeni) dengan penyeb ab proses imun (adanya zat anti terhadap trombosit) .
Pengobatan direkomendasikan pada penderita dengan trombosit kurang dari 20.000/mm 3 dan
1) Steroid.
2) Siklofosfamid.
3) Mikofenolat mofetil.
c. Sindroma Evans
Merupakan kumpulan gejala yang disebabkan karena anemi hemolitik imun dan berkurangnya
trombosit. Pengobatan sama dengan pengobatan anemi hemolitik imun dan purpura
trombositopeni imun.
d. Sindroma antifosfolipid
darah (pembuluh darah balik/vena dan nadi/arteri) dan/atau gangguan kehamilan yang
berhubungan dengan tingginya zat anti terhadap plasma protein yang berikatan dengan
33
fosfolipid an ion (antibodi antifosfolipid). Terdapat 3 jenis antibodi antifosfolipid yaitu : lupus
Gejala klinik :
- Penyumbatan pembuluh darah balik (vena) dan pembuluh nadi (arteri) pada tungkai, perut,
mata , otak.
Pengobatan :
pada kehamilan. Diberikan obat-obat untuk mencegah pembekuan darah yaitu heparin, warfarin
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu penyakit autoimun yang dicirikan oleh adanya
produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah, yaitu antibodi terhadap double stranded DNA. SLE
34
delapan kali lebih banyak pada wanita daripada pria. Penyebab SLE tidak diketahui, namun, keturunan,
Lebih dari 10% pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan menjadi SLE. Sebelas kriteria
dapat membantu dalam mendiagnosis SLE. Pengobatan SLE secara langsung mengurangi peradangan
Pasien dengan SLE dapat mencegah kekambuhan dengan menghindari paparan cahaya
matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba-tiba serta memonitor kondisinya pada
dokter.
35