Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit multiorgan yang berdasarkan

kelainan imunologik. Organ yang sering terkena yaitu sendi, kulit, ginjal, otak, hati, dan lesi dasar pada

pada organ tersebut adalah suatu vaskulitis yang terjadi oleh karena pembentukan dan pengendapan

kompleks antigen-antibodi. SLE ditandai dengan pembentukan bermacam-macam antibodi yang

ditujukan terhadap komponen inti sel, yaitu DNA, RNA, dan nukleoprotein. Kadang-kadang awalnya

hanya satu organ yang terkena selama beberapa bulan atau tahun yang kemudian berkembang ke

beberapa organ lain.

SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa anak dapat menderita

penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada keterlibatan organ penting, sedangkan pada

beberapa anak lain dapat tampak sakit berat serta ada keterlibatan beberapa organ.

Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus, dapat muncul gejala

seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot, lelah, dan kehilangan berat badan yang

nyata. Semua gejala ini tentunya tidak spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk

mendukung maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis dini sangat penting dalam menentukan

terapi yang tepat untuk meminimalkan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. SLE pada anak

biasanya lebih parah daripada pada orang dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.

Lupus adalah penyakit kronik yang tingkat penyebaran dan remisinya tidak dapat diprediksi.

Sekali anak didiagnosis dengan SLE maka ia membutuhkan dukungan keluarganya dan penanganan

multidisiplin ilmu dalam menjalani kehidupan dengan penyakitnya tersebut. Walaupun beberapa

literatur mengatakan bahwa SLE tidak ada obatnya, namun hasil pengobatan jangka panjang pada anak

dengan SLE dapat memberi hasil yang baik apabila ditangani oleh tim medis yang ahli dalam bidangnya

masing-masing.

1
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada beberapa

pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak dengan SLE. Diantaranya keparahan

penyakit, presentase penyakit, pemeriksaan lab yang menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari

pasien tersebut. Hal terpenting dalam menangani anak dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik

untuk pasien dengan mempertimbangkan keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang

berkembang. Pasien harus diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya, pengobatan dan efek-efek

sampingnya, serta hasil pengobatan yang mungkin terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan

kepada pasien dan keluarganya, tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan kemampuannya dalam

mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta kemampuan dalam mengambil

keputusan.

2
BAB II

SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok Bahasan : Penyakit Lupus (SLE)

Sub pokok bahasan : Perawatan penyakit Lupus

Hari/tanggal : Jumat, 15 Maret 2019

Jam : 09.30 WIB

Tempat : Poli Anak RSUD Abdul Wahab Sjahranie

Sasaran : Orang tua / Keluarga pasien

Penyuluh : Mahasiswa Program Profesi Ners Stikes Wiyata Husada Samarinda.

I. Tujuan Instruksional Umum


Setelah diberikan penyuluhan masyarakat setempat dapat mengerti dan memahami tentang penyakit

Lupus
II. Tujuan Instruksional Khusus.
Setelah diberikan penyuluhan diharapkan masyarakat setempat mampu :

1. Menjelaskan pengertian Lupus


2. Menjelaskan tanda dan gejala Lupus
3. Menjelaskan faktor penyebab Lupus
4. Menjelaskan cara pencegahan Lupus

III. Materi

1. Pengertian Lupus
2. Tanda dan gejala Lupus
3. Faktor penyebab Lupus
4. Cara pencegahan Lupus

IV. Metode
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab
V. Media
1 Powerpoint
2 Leaflet

VI. Kegiatan Penyuluhan

No Waktu Kegiatan

3
Pembicara Mahasiswa Penanggung Jawab
1 Pembukaan

1) Memberi salam 1) Menjawab salam

2) Memperkenalkan diri 2) Mendengarkan

3) Menyampaikan topik 3) Mendengarkan

4) Menjelaskan tujuan 4) Mendengarkan


5 Menit Moderator
penyuluhan

5) Menjelaskan mekanisme 5) Mendengarkan

penyuluhan

6) Melakukan Kontrak waktu 6) Mendengarkan

2 Penyajian Materi

1) Mengkaji pengetahuan awal 1) Menjawab

dan pengalaman mayarakat

setempat tentang topik yang

akan disampaikan
10 Menit Penyaji
2) Menyampaikan materi 2) Mendengarkan dan

tentang : Memperhatikan

a. Pengertian Lupus
b. Tanda dan gejala Lupus
c. Faktor penyebab Lupus
d. pencegahan Lupus
3 Evaluasi

1) Memberikan kesempatan 1) Bertanya

pada masyarakat setempat


10 Menit Penyaji
atau peserta penyuluhan

untuk bertanya

2) Menanyakan kembali pada

5 Menit peserta penyuluhan tentang 2) Menjawab Moderator

materi yang disampaikan.


4
4 Penutup

1) Menyimpulkan Materi 1) Mendengarkan Moderator


5 Menit
2) Memberi Salam 2) Menjawab salam Fasilitator

3) Menerima

VII. Pengorganisasian.
a. Penyaji : Riski Ariani
b. Moderator : Sandra Afrilla Anwar
c. Observer : Sri Wahyuningsih
d. Fasilitator :
1. Shinta Devi
2. Nurasyiah
3. Welniati Mangesa

e. Pembimbing :

VIII. Seting Tempat

Keterangan:

presenter : : fasilitator

: moderator : observer

: audiens : meja

5
BAB III

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang berbagai

jaringan dan organ tubuh. Istilah ’lupus eritematosus sistemik’ dapat diartikan secara bahasa sebagai

’gigitan serigala’, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu ruam pada wajah penderita

SLE yang perjalanan penyakitnya sudah lama dan belum mendapat terapi.

Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem

dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan

jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama

antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan

karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit seribu wajah

(masquerader, The Great Imitators).

B. ETIOLOGI

Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara genetik yang

dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya penyakit autoimun lain, muncul pada

seseorang yang secara genetis rentan terpapar satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di

lingkungan. SLE berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1,

B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-

amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-masing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga

maupun sanak saudara memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang berhubungan dengan

disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal: imunodefisiensi primer, dan keganasan limforetikuler),

hipergammaglobulinemia, RF, ANA dan penyakit autoimun lainnya.

Sebenarnya, apa yang menyebabkan berbagai kelainan imunologi yang ditemukan pada SLE

yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun, hipokomplementemia yang

akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan sampai saat ini belum dapat dipastikan. Beberapa fakta telah

6
ditemukan tetapi belum merupakan suatu hipotesis yang mencakup semuanya. Agaknya etiologi SLE

merupakan multifaktor.1 Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 1,6,7

1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh beberapa fakta :

- SLE ditemukan pada 70% kembar identik

- Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat

- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat

2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:

- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan pasca pubertas

- Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE. Bila pada yang betina

diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik. Sebaliknya pada tikus jantan akan

menyebabkan gejala SLE bertambah jelek.

3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah, stress fisik maupun

mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu

SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat2 berikut:

hydralazine (digunakan untuk hipertensi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama

jantung abnormal), fenitoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan

untuk tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan ini

diketahui menstimulasi sistem imun dan menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat-obatan

jarang (kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika obat-obat tersebut

dihentikan

4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena ditemukan struktur

retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel miksovirus. Tetapi ternyata kemudian

dibantah dan sampai sekarang masih tetap dianggap tidak ada bukti nyata virus sebagai etiologi.

C. EPIDEMIOLOGI

Lupus adalah penyakit langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang pada anak usia

sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja. SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah

umur 15 tahun, dengan 17% orang dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5%

7
diantaranya mulai pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73%

didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan sebagai penyakit pada

usia remaja. SLE dapat muncul pada pria maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya.

Namun diagnosis SLE 4,3 kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki.

Perbedaan ini tidak nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian menunjukkan

perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja. Dalam hal etnis, lupus lebih

sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli Amerika, Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan

ras Kaukasia.

D. PATOGENESIS.

SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang, yang menonjol

hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus, tetapi lambat laun organ-

organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi

terhadap berbagai macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah

terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double stranded (ds-DNA), juga

anti DNA single stranded (ss-DNA).

Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat autoreaktif.

Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk kompleks imun yang

mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi

reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.

Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50% pada

kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik.

Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti

C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan

-DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan interaktif.

Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan peningkatan

kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di darah perifer

berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen

8
yang merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA

dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama

aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.

Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan respon

diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+,

natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu

pada bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons

pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka

akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai

dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat

spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul aktivitas autoimun.

Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga disebabkan oleh pembersihan yang

kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem

retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu

banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan

mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh

kompleks imun.

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa autoantibodi terhadap berbagai

antigen. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah

antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat).

Umumnya titer anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.

Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan

mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara

bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini

terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan

karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase (antibodi

terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai

9
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat

berperan sebagai penyebab vaskulitis.

Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai

petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus,

atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa

penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.

Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada adanya kompleks

imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid)

dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan

adanya produk aktivasi komplemen.

Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk

insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).

Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa

bantuan autoantibodi.

Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen. Akibatnya

terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi,

seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya

antigen, respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena

inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh

penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi

karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara

antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.

Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang

mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan fenotip sitokin

dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4,

IL-5 dan IL-6.

10
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi pada

permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai

peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Terjadi

pula persistensi sel apoptosis akibat defek pembersihan. Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel

apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+

mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.

Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peranan

penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada

perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi

oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat

LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat

LES.

Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan estrogen merupakan karakteristik

pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar hormon FSH ( Follicle-stimulating hormone), LH

(Luteinizing hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, terdapat

peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan

trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat

perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi

angka kematian penderita jantan.

Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya

belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat

menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.

E. MANIFESTASI KLINIS

Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam, fatigue, dan

kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah sama dengan pada dewasa.

Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah

11
lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik

dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan.

Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam malar yang

khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya sensitifitas yang berlebihan

terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress

emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan

kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat

sembuh sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut

dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan

dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi jari-jari tangan atau kaki.

Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash ) pada anak dengan lupus

Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat menyebabkan parut. Pada

lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit pada lupus diskoid sering ditemukan pada wajah dan

kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit

dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien.

dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE.

Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid

12
Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia. Pada anak

mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan biasanya didiagnosis sebagai Idiopathic

Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada sebagian anak.

Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini, khorea lebih umum ditemukan

sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada demam reumatik. Ensefalopati, myelitis atau polineuropati

jarang ditemukan. Fenomena Raynaud sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya

dihubungkan dengan krioglobulin.

Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit lebih dari satu

minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis dengan ’suspect infeksi virus’

sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih

dari seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya dalam minggu

pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan adanya keganasan atau

penyakit inflamasi kronis lain (misal: Crohn disease, atau vaskulitis sistemik).

Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)

Keadaan umum Mudah lelah

Demam dan malaise

Penurunan berat badan

Limfadenopati
Kulit Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas

Alopesia

Lesi diskoid

Lesi pada kuku

Lupus tumidus

Lupus kutaneus subakut

Purpura vaskulitis
Muskuloskeletal Arthritis / arthralgia non-erosif

Tenosinovitis

Miopati

13
Nekrosis avaskular
Sistem Pencernaan Ulserasi oral dan nasal

Anoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut difus

Dismotilitas esofagus

Kolitis

Hepato-splenomegali

Pankreatitis

Protein losing enteropathy / sindrom malabsorbsi


Kardiovaskuler Fenomena Raynaud

Perikarditis

Lesi valvular

Lesi vaskulitik

Trombophlebitis

Kelainan konduksi jantung

Miokarditis

Endokarditis Libman-Sacks

Accelerated coronary artery disease

Gangren perifer
Sistem Pernapasan Pleuritis, efusi pleura

Subklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru)

Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasis

Perdarahan

Paru menyusut (disfungsi diafragma)

Pneumotoraks
Sistem Persarafan Migrain

Depresi / cemas

Psikosis organik

Kejang

Neuropati saraf pusat dan saraf tepi

14
Khorea

Kelainan serebrovaskular
Sistem Penglihatan Retinopati, cotton wool spots

Papiloedema
Ginjal Glomerulonefritis

Hipertensi

Gagal ginjal
Hematologi Anemia hemolitik dengan Coomb’s positif

Trombositopenia

Sindrom antifosfolipid
Endokrin Hipo / hipertiroidism

Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat. Pada kasus

yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan diagnosis. American College of

Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk klasifikasi SLE.

F. BENTUK-BENTUK LUPUS

1. Nefritis Lupus

Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan ginjal pada suatu masa

dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien lupus dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal dan

diperiksa dengan mikroskop imunofloresensi akan ditemukan kelainan pada hampir semua kasus

meskipun pada pemeriksaan urinalisisnya belum ada kelainan (silent NL).

Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena kelainan patologi anatomik

ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal, yaitu glomerulus, tubulus dan

pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan pada urinalisis, atau hanya edema,

proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran klinis yang berat yaitu sindrom nefrotik,

glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif, atau hipertensi yang dapat

disertai ensefalopati hipertensif.

Diagnosis

15
Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya SLE pada pasien.

Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang telah direvisi pada tahun 1997 seperti yang

telah disampaikan diatas.

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan laboratorium

pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE reaksi (+), peninggian LED, penurunan

kadar komplemen C3, C4, dan komplemen total (CH50), peninggian kadar antibodi antinuklear dan

adanya antibodi terhadap DNA double-stranded (ds-DNA). Pada pemeriksaan urinalisis dapat

ditemukan hematuria, proteinuria, dan macam-macam silinder, antara lain : torak, sel darah merah,

dan sel darah putih. Derajat proteinuria sering berkorelasi dengan beratnya penyakit dan dapat

mencapai kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu >40 mg/jam/m 2. Pemeriksaan darah tepi

juga bervariasi, yaitu dapat berupa leukositosis atau leukopenia, dengan atau tanpa

trombositopenia. Apabila ditemukan anemia, perlu diperiksa uji coombs untuk melihat adanya

anemia hemolitik autoimun. NL dengan anemia dilaporkan mempunyai prognosis yang kurang baik

dan umumnya progresif. Pemeriksaan lain yang kadang-kadang positif yaitu uji reumatoid dan

serologi terhadap sifilis yang merupakan reaksi positif palsu. Pemeriksaan laboratorium yang perlu

dilakukan pada pasien NL ataupun lupus eritematosus sistemik pada umumnya dapat dilihat pada

tabel 3.

Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium pada NL / SLE

1. Urinalisis

2. Darah tepi, termasuk LED

3. Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu

4. Pemeriksaan fungsi ginjal

- darah ureum dan kreatinin

- klirens ureumdan kreatinin

5. Kimia darah

- albumin, globulin, kolesterol

6. Pemeriksaan khusus

16
- Sel LE

- Komplemen darah (C3, C4, CH50)

- C-reaktif protein (CRP)

- Antibodi anti ds-DNA

- Uji coombs

- Uji serologi sifilis

- Serum imunoglobulin, terutama IgG

- Krioglobulin

7. Biopsi ginjal

Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin (anti fosfolipid).

Gambaran Patologi Anatomi (PA)

Gambaran PA pada NL sampai saat ini berdasarkan pada klasifikasi WHO.

Tabel 3. Klasifikasi Histopatologi NL Menurut WHO 1

Tipe I Normal

a. Normal pada semua pemeriksaan

b. Normal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, tetapi ditemukan deposit pada

pemeriksaan mikroskop imun

Tipe II Glomerulonefritis mesangial

a. Pelebaran daerah mesangium dengan/tanpa hiperselular ringan

b. Hiperselular sedang

Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental

a. Dengan lesi nekrosis aktif

b. Dengan lesi sklerosis aktif

c. Dengan lesi sklerosis

Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus

a. Tanpa lesi segmental

b. Dengan lesi nekrosis aktif

17
c. Dengan lesi sklerosis aktif

d. Dengan lesi sklerosis

Tipe V Glomerulonefritis membranosa

a. Murni

b. Disertai gambaran tipe II (a atau b)

Tipe VI Glomerulonefritis sklerosis kronik

Biopsi ginjal terindikasi pada semua pasien nefritis lupus, dengan kata lain pada pasien SLE

dengan kelainan urinalisis atau gejala NL yang lain yaiu hipertensi, peningkatan kadar ureum/kreatinin

darah. Klasifikasi histopatologi ginjal diperlukan untuk: 1. Memastikan diagnosis NL, 2. Menetapkan

klasifikasi pasien NL, 3. Menetapkan jenis pengobatan, 4. Menetapkan prognosis, 5. Menilai

keberhasilan pengobatan (dengan biopsi ulang).

Tipe I Glomerulus normal

Pengertian normal disini termasuk adanya penambahan sedikit matriks dan sel mesangial pada

pemeriksaan mikroskop cahaya. Pada tipe I bila dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi akan

ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, kadar IgA dan IgM di mesangium. Juga pada mikroskop

elektron dapat ditemukan deposit elektron dense di mesangium. Gambaran ini ditemukan pada 6%

NL.

Tipe II Glomerulonefritis mesangeal

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan penambahan matriks dan sel mesangial yang

jelas. Pada pemeriksaan dengan mikroskop imuofluoresensi dan elektron kelainan yang ditemukan

sama dengan tipe I. Tipe I ditemukan pada 20% NL.

Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel mesangial dan endotel yang

bersifat fokal dan segmental. Selain itu pada beberapa tempat (fokal) dapat terlihat nekrosis fibrinoid,

infiltrasi sel neutrofil, dan penebalan membran basal. Pada pemeriksaan dengan mikroskop

18
imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang IgM dan IgA di daerah

mesangial dan beberapa dinding kapiler. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, terlihat deposit

electron dense pada daerah mesangial dan di beberapa tempat subendotel dan subepitel. Tipe III

ditemukan pada 23% NL.

Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel difus mesangial dan endotel

pada semua glomerulus. Pada beberapa kasus dijumpai proliferasi sel epitel glomerulus dan

pembentukan kresen fibroepitelial yang dapat mencapai lebih dari 50%. Juga dapat terlihat nekrosis

fibrinoid disertai infiltrasi sel neutrofil di glomerulus. Membran basal glomerulus menebal dan

menunjukkan gambaran lesi wire loop eosinofilik. Hal ini disebabkan adanya deposit subendotel yang

besar dan difus. Kadang-kadang dapat terlihat arteritis pada arteri dan trombosis pada kapiler

glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop imunofloresensi akan terlihat gambaran deposit granular di

mesangium dan sepanjang dinding kapiler terdiri atas IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang IgA dan IgM.

Kresen epitel memberi warna positif dengan fibrin. Pada pemeriksaan dengan mikroskop

elektron, dijumpai deposit electron dense di mesangium dan daerah subendotel, kadang juga

subepitel. Tipe IV dijumpai pada 40% pasien NL.

Tipe V Glomerulonefritis membranosa

Pada pemeriksaan mikroskop cahaya dijumpai gambaran seperti pada nefropati membranosa

idiopatik yaitu tidak adanya proliferasi sel dan ditemukan penebalan membran basal. Pada pewarnaan

perak dapat dijumpai gambaran sisir (spike). Pada pemeriksaan imunofluoresensi ditemukan deposit

granular IgG, C3, C4, Clq, disepanjang dinding kapiler glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop

elektron, ditemukan deposit elektron dense di daerah subepitel kapiler glomerulus dan kadang-

kadang di daerah mesangial dan subendotel. Tipe V ditemukan pada kurang dari 10%.

Tipe VI Glomerulosklerosis

19
Glomerulosklerosis adalah gambaran akhir dari kerusakan ginjal pada NL yang bersifat

ireversibel. Secara morfologik, akan terlihat gambaran penambahan matriks mesangial, sklerosis

glomerulus, atrofi tubulus, sklerosis vaskular, dan fibrosis interstisial. Tipe VI ditemukan pada 0,7%.

Berbeda dengan gambaran patologi anatomi pada penyakit glomerulus lainnya antara lain

sindrom nefrotik idiopatik pada NL dapat terjadi perubahan morfologi glomerulus dari tipe yang

ringan menjadi yang berat atau sebaliknya. Perubahan dari bentuk ringan tipe II dapat menjadi tipe IV

bila tidak diobati, sedangkan dengan terapi tipe IV proliferatif difus dapat berubah menjadi tipe II

mesangial atau tipe V membranosa yang lebih ringan.

Biopsi kulit akhir-akhir ini mendapat perhatian baik pada NL maupun SLE karena dapat dipakai

dalam diagnosis banding dengan penyakut reumatoid lain dan membedakan NL dengan granulopati

idiopatik. Pada lupus ditemukan deposit granuler pada pertemuan daerah dermis dan epidermis.

Deposit tersebut dengan teknik imunofluoresensi terdiri atas IgG, C3, properdin dan antibodi DNA.

Ada laporan terdapat korelasi antara beratnya gambaran histolologi ginjal dan gambaran deposit di

kulit, tetapi ini belu dapat dikonfirmasi peneliti lain.

Korelasi antara gambaran patologi anatomi dan klinis.

Pada umumnya, terdapat korelasi yang kuat antara gambaran PA dan klinis. Pasien dengan

gambaran PA glomerulus normal (tipe I) dan mesangeal (tipe II) menunjukkan presentasi klinis yang

ringan yaitu urinalisis normal atau minimal dan fungsi ginjal yang normal. Gambaran PA proliferatif

difus (tipe IV) biasanya menunjukkan gambaran PA glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik

dengan hipertensi dan gagal ginjal. Bila tipe IV ini disertai kresen yang > 50% akan disertai gagal ginjal

progresif (glomerulonefritis progresif cepat). Pasien dengan gambaran PA tipe V GN membranosa

menunjukkan gambaran klinis sindrom nefrotik yang bersifat menahun, hipertensi, dan penurunan

fungsi ginjal yang perlahan-lahan (progresif lambat). Tipe V glomerulosklerosis merupakan stadium

lanjut NL yang diakhiri dengan gagal ginjal terminal.

2. Lupus Diskoid

20
Sebesar 2 - 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi kulit diskoid pada

pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan

follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi dan banyak muncul pada kulit yang

sering terkena sinar matahari, sebagaimana halnya pada pasien dewasa. Lesi diskoid sering

menyebabkan timbulnya jaringan parut dan dapat kambuh kembali jika pasien terpapar sinar

ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan menjadi SLE dalam waktu 5 tahun. Walaupun belum ada

penelitian yang menyebutkan lupus diskoid dapat berkembang menjadi SLE pada anak, namun

presentasi lupus diskoid pada anak yang cukup jarang harus mendapatkan perhatian dari dokter

yang merawat. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA)

yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan laboratoris

lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk memantau progresifitas penyakit

ini menjadi SLE.

3. Sistem Saraf Pusat

Gejala SSP muncul pada 20 – 30% pada anak dan dewasa dengan SLE, dan dapat

melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak seperti manifestasi penyakit lain,

keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun pertama penyakit pada 75-85% pasien yang akan

berkembang menjadi penyakit SSP. Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global

dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori.

Gejala neuropsikiatrik ada pada 33 – 60% pasien SLE dewasa dengan kelainan SSP. Resiko pada

wanita delapan kali lebih besar daripada pria, dan resiko tertinggi ada pada wanita kulit hitam.

Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk menyingkirkan ganguan psikososial reaktif,

infeksi, dan metabolik. Disarankan untuk mengkonsultasikan hal ini dengan ahli psikiatri.

Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada anak dan dewasa.

Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi kognitif. Gangguan motorik

(khorea) lebih sering pada anak, mungkin berhubungan dengan adanya antibodi anti-fosfolipid.

Nyeri kepala juga sering menjadi gelaja dari SLE namun penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah

banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan bukan berasal dari kelainan intrakranial, biasanya

21
disebabkan oleh trombosis vena serebralis dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis

bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga,

konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan.

4. Arthritis Lupus

Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri, bengkak

atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul poliarthritis yang mengenai sendi-

sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya lebih mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan

kelainan organ lain pada SLE. Tidak seperti reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan

nyeri yang dirasakan pasien tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan.

Pemeriksaan radiologi pada sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan

pada tulang sendi. Anak dengan RA sendi poliartikular beberapa tahun kemudian dapat menjadi

LES.

5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)

Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada

pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada pasien. Nyeri pleura adalah nyeri dada yang

tajam, yang diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan perubahan tertentu posisi tubuh. Atau

dapat pula muncul sebagai perikarditis, dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction

rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik.

6. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi

karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. 8

7. Gangguan Darah

Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik dengan retikulositosis,

2) Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan, 3) Limfopenia < 1500/mm 3 pada > 2

pemeriksaan, 4) Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat.8

G. LUPUS NEONATUS.

22
Lupus neonatus, merupakan komplikasi kehamilan yang mengenai janin pada ibu dengan SLE.

Bayi-bayi yang terkena dapat menderita ruam, trombositopenia atau blokade jantung kongenital,

kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya Sindrom lupus neonatus dianggap disebabkan

oleh faktor-faktor maternal pada janin, tetapi patogenesis yang tepat belum pasti.

Untuk menegakkan diagnosis lupus neonatus, The Research Registry for Neonatal Lupus

memberikan dua kriteria sebagai berikut :

1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum ibu.

2. Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus. Kelainan konduksi jantung/blok jantung

kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti

SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi

mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi

tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita.

Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro dan Anti

SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibodi

melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada

jantung dan sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi

bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini

ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravena atau plasmaparesis telah gagal

mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat

penting untuk seorang ibu yang menderita SLE dan ingin hamil.

H. PENATALAKSANAAN

Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade terakhir ini telah

mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena penggunaan obat kortikosteroid dan

sitostatik. Gejala ekstra renal akan cepat menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien

23
dengan gejala ekstra-renal ringan, tidak diperluka terapi kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti

malaria (hidroksi klorokuin), atau obat anti inflamasi non steroid.

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus

ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan

proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan

dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.

Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi suportif

tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan program

terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam

menangani penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak,

perawat, petugas sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk

pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan

nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.

1. Kortikosteroid

Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun efek samping

jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap terbaik untuk nefritis lupus dan SLE pada

umumnya. Harus dipertimbangkan, bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk

daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan

terapi yang dijalaninya.

Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera setelah muncul

perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan penyakit anak biasanya

diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali sehari. Pada pertengahan, dosis diturunkan namun

tetap dilanjutkan.

Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari atau 60

mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan secara bertahap; bila terdapat perbaikan gejala

penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah, dan penurunan titer anti ds-DNA.

Penur=unan dosis berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis prednison diturunkan secara bertahap

24
sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi

relaps, pemberian steroid diuah manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul

relaps, dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.

Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah peningkatan berat

badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis tinggi intermitten intravena

disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur

patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan

program exercise yang lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada

pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis

dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15%

pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang. 8 Pada beberapa anak, pota

tidur dapat terganggu karena pengaruh kortikosteroid. Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif,

moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam hari

lebih awal. Beberapa anak dengan terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam

frekuensi BAK malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti

ini, dosis kortikosteroid dapat disesuaikan. Beberapa efek samping kortikosteroid dapat dilihat pada

tabel 4.

Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid

Efek samping Rekomendasi


Peningkatan nafsu makan dan berat Diet rendah garam dan lemak. Konsultasi gizi bila perlu

badan, moon face


Acne Krim anti-acne topikal
Gangguan mood Diskusikan dengan anak dan angota keluarga yang lain

bahwa terkadang perubahan mood ini sulit untuk dikontrol.


Pertumbuhan lebih lambat Beri pengertian tentang kearusan anak mengejar

ketinggalan dalam pertumbuhannya


Osteopenia Suplemen kalsium dan vitamin D
Avaskular nekrosis (AVN) Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan kepada dokter

ahli ortopedi
Mudah terkena infeksi Vaksinasi pneumonia dan varisella jika anak tidak sedang

25
menderita cacar
Tekanan darah meningkat Monitor berkala, obat antihipertensi bila perlu
Katarak Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan. Konsultasikan

kepada dokter spesialis mata


Peningkatan resiko atherosklerosis Cek profil lipid sebelum terapi kortikosteroid maupun

hidroklorokuin.
2. Hidroklorokuin

Hidroklorokuin diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus derajat sedang atau

sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada beberapa studi menunjukkan

pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin

juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko komplikasi kadriovaksular.

Pemakaian jangka panjang. Hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar

diminimalisasi dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari.

3. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS

Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai profilaksis episode

trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi antifosfolipid yang tinggi dan/atau

anak dengan lupus antikoagulan.

Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada muskuloskeletal, yang

dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi.

AINS juga dapat mengobati serositis.

4. Obat-obatan Imunosupresif

Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi dengan

kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan azatioprin. Indikasi

pemakaian obat sitostatik adalah:

- Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk

mengontrol penyakit

- Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid, misalnya hipertensi

- Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan kombinasi

kortikosteroid dan sitostatik.

26
Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan

sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi yaitu dengan memberi bolus

intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada hari pemberian infus anak dianjurkan sering

kencing untuk mencegah timbulnya komplikasi sistitis hemoragik.

Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali sebulan

selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL proliferasi difus. Dosis yang dipakai

adalah 500 mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m 2 pada bulan kedua dan selanjutnya 1 gram/m 2

(dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai

dosis 500 mg/m2. Bila jumlah leukosit <2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis

diturunkan 125 mg/m2.

5. Plasmapharesis

Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang ada manfaatnya

terutama bila dikombinasi dengan kortikosteroid dosis tingi dan siklofosfamid. Namun ini bukanlah

terapi yang efektif.

6. Splenektomi

Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi standar untuk

idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya menjadi efektif. Namun hal ini meningkatkan resiko

terjadinya sepsis, terutama dari kuman-kuman salmonella dan pneumokokus.

7. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca

Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca secara autologous atau alogenik lebih efektif pada

pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi dengan pendekatan terapi

semacam ini, sehingga ini merupakan pilihan terakhir.

I. MEMONITOR PERJALANAN PENYAKIT

Memonitor SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang harus diperatikan dan kesemuanya

harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi dilakukan. Pemeriksaan laboratorium sangat penting

27
dan sebaiknya dikerjakan secara rutin. Pemeriksaan laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte

sedimentation rate), C3, C4, anti ds-DNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin, dan

urinalisis. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai terdiagnosis, sampai

2 bulan sekali ketika penyakit sudah dapat dikontrol.

Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya adalah SLE

Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), the European Consensus Lupus Activity

Measurement (ECLAM), Systemic Lupus Activity Measure (SLAM) dan British Isles Lupus Assessment

Group (BILAG). Skor-skor ini sensitif pada perubahan perjalanan penyakit

1. Proteksi Terhadap Matahari

Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet (terutama UV-A atau

UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus dan juga gejala sistemik seperti nyeri

sendi dan fatigue. bisa juga menyebabkan serangan pertama. Jadi, untuk menghindari pajanan yang

terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien atau siapapun juga harus menggunakan topi atau krim

tabir surya. Pasien yang menggunakan krim tabir surya secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar)

memiliki resiko lebih rendah untuk terkena lupus nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan lebih

sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak dengan SLE sebaiknya selalu menggunakan krim tabir surya

setiap hari pada seluruh kulitnya yang terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada

siang hari, karena awan tidak dapat menghilangkan sinar UV.

2. Imunisasi

Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan virus. Pada anak-anak ini

seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang diwajibkan namun tidak boleh yang mengandung

vaksin hidup.

 Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum pernah terinfeksi virus varicella-

zoster. Termasuk kedalam vaksin hidup (live vaccine) sehingga harus diberikan sebelum terapi

dengan kortikosteroid dimulai.

 Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat diagnosis SLE ditegakkan, dan

setiap 5 tahun. Infeksi pneumokokus yang invasif sering terjadi pada anak dengan SLE.

28
 Vaksin influenza. Anak SLE yang di imunisasi dengan vaksin influenza memiliki respon antibodi

yang protektif, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari anak yang normal.

 Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan pada setiap anak dengan SLE.

3. Diet dan Olahraga.

Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada diet khusus untuk

pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka

perlu dihindari makanan junk food atau makanan mengandung tinggi sodium dan tinggi garam untuk

menghindari kenaikan berat badan berlebih. Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah

raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh

berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.

J. PROGNOSIS.

Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi oleh fase remisi,

dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley, bangkitan diartikan sebagai eksaserbasi atau

perkembangan tanda atau keluhan baru yang memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya

merupakan bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan kulit.

Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi

spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet, infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik

yang membentuk siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan,

serta kehamilan.

Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari bentuk yang

semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral. Sebaliknya, bentuk yang ganas dapat

dikontrol atau seperti sembuh di bawah pengobatan.

SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat

langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis,

sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara

pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.

29
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan, misalnya pada

penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular serebral iskemik) akibat

kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh

keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena harapan

hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.

Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya akibat

kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu sendiri. Pengurangan risiko

infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap semua sumber infeksi serta deteksi dini

terhadap infeksi.

Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian kematian, yaitu satu

puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, dan satu puncak lain yang lebih jauh

akibat komplikasi kortikoterapi.

Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan

bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88% dari pasien mengalami

sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.

K. Kelainan Darah Pada Lupus

Darah terdiri dari cairan darah dan komponen darah. Komponen darah terdiri dari sel darah

merah, sel darah putih dan pembeku darah. Sel darah putih (lekosit) terdiri dari limfosit, netrofil batang,

netrofil segmen dan monosit. Cairan darah (plasma) terdiri dari protein dan faktor-faktor pembekuan.

Ketidaknormalan sel darah dan faktor-faktor pembekuan sering ditemukan pada penderita lupus

eritematosis sistemik. Manifestasi klinis yang utama adalah anemia (penurunan hemoglobin), lekopenia

(penurunan jumlah sel darah putih), trombositopenia (penurunan jumlah sel pembeku darah) dan

sindroma antifosfolipid. Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya kelainan darah pada lupus

eritematosus sistemik adalah :

 Adanya inflamasi/peradangan yang berlangsung terus-menerus (kronik).

 Adanya proses imun (reaksi antibodi dengan sel-sel darah ).

30
 Adanya perdarahan saluran cerna yang bersifat kronik karena efek samping obatobatan yang

digunakan.

1. Kelainan Sel Darah Merah (Eritrosit)

Pada 50% penderita lupus eritematosus sistemik, ditemukan adanya anemia. Anemia adalah

berkurangnya kadar hemoglobin (pada wanita, < 12gr %). 2 Pada lupus eritematosus sistemik, dapat

ditemukan 3 jenis anemia yaitu

a. Anemia karena perdarangan /penyakitkronis.

b. Anemia hemolitik imun : anemia karena penghancuran sel darah merah yang berlebihan

(ditemukan sebanyak 10% anemi pada lupus).

c. Anemia kekurangan zat besi : karena perdarahan yang bersifatkronik.

d. Anemia karena berkurangnya fungsi sumsum tulang.

Tanda dan gejala anemi.

- Pucat.

- Lemah badan.

- Mudah lelah.

- Penglihatan berkunang-kunang.

- Jantung berdebar.

2. Kelainan Sel Darah Putih (Lekosit)

Pada lupus eritematosus sistemik dapat terjadi :

a. Penurunan jumlah lekosit (lekopenia)

Lekopenia adalah penurunan jumlah lekosit di bawah 4500/mm 3. Keadaan ini ditemukan pada

kira-kira 50% penderita, terutama pada keadaan penyakit aktif.

b. Penurunan jumlah netrofil (netropenia)

Netropenia adalah jumlah netrofil batang dan segmen di bawah 2000/mm3. Netropenia dapat

disebabkan karena proses imun, obat – obatan (siklofosfamid, azatioprin),gangguan fungsi

sumsum tulang).

c. Penurunan jumlah limfosit (limfopenia)

31
Limfopenia adalah penurunan jumlah limfosit di bawah 1500/mm 3. Keadaan ini ditemukan pada

kira-kira 20-75% penderita , terutama ditemukan pada keadaaan penyakit aktif. 11

d. Peningkatan lekosit (lekositosis)

Peningkatan lekosit >10.000/mm3 pada lupus eritematosus dapat disebabkan karena

penggunaan steroid atau adanya infeksi.

3. Kelainan Sel Pembeku Darah (Trombosit)

a. Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia)

Trombositopeni adalah penurunan trombosit <150.000/mm 3. Trombositopeni ringan

(trombosit antara 100.000 - 150.000/mm 3) ditemukan pada 25 - 50% penderita lupus. Pada 10%

penderita ditemukan trombosit 50.000/mm3.

Trombositopeni disebabkan karena menempelnya zat anti pada permukaan trombosit

sehingga terjadi penghancuran trombosit di limpa.

b. Peningkatan jumlah trombosit (trombositosis)

Trombositosis adalah peningkatan trombosit >400.000/mm 3. Keadaan ini ditemukan pada

3,7% penderita lupus. Trombositosis dapat disebabkan karena peradangan atau perdarahan

kronik.

Tanda dan gejala penurunan jumlah trombosit.

1) Perdarahan hidung.

2) Perdarahan gusi.

3) Perdarahan kulit.

4) Menstruasi yang banyak dan lama.

Penurunan sel darah merah, seldarah putih dan sel pembeku darah. Keadaan ini disebut

pansitopenia, disebabkan karena kegagalan fungsi sumsum tulang.

Berikut ini penjelasan secara singkat tentang kelainan-kelainan darah yang sering didapatkan

pada lupus eritematosus sestemik :

32
a. Anemi hemolitikimun

Anemihemolitik imun adalah anemi yang disebabkan adanya peningkatan penghancuran sel

darah merah karena adanya antibod ipada permukaan sel darah mera h. Antibodi ini dapat

dideteksi dengan pemeriksaan Coombs dari darah. 14

Pengobatan.

1) Transfusi sel darah merah cuci (washed rell cell) bila terdapat gejala kekurangan oksigen

(sakit kepala, jantung berdebar, sesak nafas).

2) Steroid.

3) Siklofosfamid.

4) Mikofenolat mofetil.

b. ITP(Immune thrombocytopenic purpura).

ITP atau Purpura trombositopeni imun ad alah berkurangnya jumlah trombosit

(trombositopeni) dengan penyeb ab proses imun (adanya zat anti terhadap trombosit) .

Pengobatan direkomendasikan pada penderita dengan trombosit kurang dari 20.000/mm 3 dan

antara 20.000-50.000 dengan perdarahan.

Pengobatan yang dapat diberikan.

1) Steroid.

2) Siklofosfamid.

3) Mikofenolat mofetil.

c. Sindroma Evans

Merupakan kumpulan gejala yang disebabkan karena anemi hemolitik imun dan berkurangnya

trombosit. Pengobatan sama dengan pengobatan anemi hemolitik imun dan purpura

trombositopeni imun.

d. Sindroma antifosfolipid

Sindroma antifosfolipid adalah sekumpulan gejala karakteristik adanya penyumbatan pembuluh

darah (pembuluh darah balik/vena dan nadi/arteri) dan/atau gangguan kehamilan yang

berhubungan dengan tingginya zat anti terhadap plasma protein yang berikatan dengan

33
fosfolipid an ion (antibodi antifosfolipid). Terdapat 3 jenis antibodi antifosfolipid yaitu : lupus

antikoagulan, antibodi antikardiolipin dan antibodi β2-glikoprotein . Frekwensi antibodi

antifosfolipid pada penderita lupus adalah.

- Lupus antikoagulan pada 31% penderita.

- Antibodi antikardiolipin pada 23 -47% penderita.

- Antibodi β2-glikoprotein pada 20 % penderita.

Gejala klinik :

- Penyumbatan pembuluh darah balik (vena) dan pembuluh nadi (arteri) pada tungkai, perut,

mata , otak.

- Penurunan trombosit (trombositopenia).

- Test antikardiolipin antibodipositif dalam 2 kali pemeriksaan dengan jarak 12 minggu.

- Keguguran kehamilan, kelahiranprematur dan kematian bayi dalam kandungan.

Pengobatan :

Pengobatan diberikan bila terjadi penyumbatan pembuluh darah dan/atau gangguan

pada kehamilan. Diberikan obat-obat untuk mencegah pembekuan darah yaitu heparin, warfarin

atau obat untuk mencegah bergumpalnya trombosit yaitu aspirin.

BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu penyakit autoimun yang dicirikan oleh adanya

produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah, yaitu antibodi terhadap double stranded DNA. SLE

34
delapan kali lebih banyak pada wanita daripada pria. Penyebab SLE tidak diketahui, namun, keturunan,

virus, sinar ultraviolet dan obat-obatan, semuanya dapat berperan.

Lebih dari 10% pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan menjadi SLE. Sebelas kriteria

dapat membantu dalam mendiagnosis SLE. Pengobatan SLE secara langsung mengurangi peradangan

dan/atau tingkat aktifitas autoimun.

Pasien dengan SLE dapat mencegah kekambuhan dengan menghindari paparan cahaya

matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba-tiba serta memonitor kondisinya pada

dokter.

35

Anda mungkin juga menyukai