Anda di halaman 1dari 14

Skenario 2

“Tn. X Kejang-Kejang”
Tn. X sudah 3 hari ini dirawat di ICU RS Roemani karena kejang seluruh
tubuh. Tn. X harus diintubasi dan diinjeksi obat-obatan anti kejang. Kejang ini
kumat jika ada suara berisik. Istrinya memberitahu bahwa 2 minggu sebelumnya,
Tn. X terkena paku saat bekerja bakti dan diobati dengan ramuan tumbuh-tumbuhan
untuk mengobati luka. Luka tak kunjung sembuh, malah ditambah kejang-kejang
disertai kesulitan bernafas. Mulut menjadi kaku, sulit dibuka dan sulit untuk makan
meskipun Tn. X masih tetap sadar.

STEP I : Klarifikasi Istilah


1. Kejang : Perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari
aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan1
2. Mulut Kaku (Trismus) : Gangguan motorik N. V, terutama spasme otot
pengunyah dengan kesulitan dalam membuka mulut. 1
3. Intubasi : Pemasangan selang fleksi (tube) ke dalam saluran tubuh atau organ
berongga seperti ke dalam trakea. 1
4. Injeksi : Tindakan memaksa cairan masuk ke dalam suatu bagian, seperti ke
dalam jaringan subcutan, percabangan vaskular, atau suatu organ. 1
5. ICU ( Intensive Care Unit) : Bagian rumah sakit yang dilengkapi dengan staf
khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi,
perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut, cedera, atau
penyulit-penyulit yang mengancam jiwa atau berpotensi mengancam jiwa
dengan prognosis dubia yang diharapkan masih reversibel. 1

STEP II : Analisis Masalah


1. Apa saja indikasi perawatan pasiean kejang di ICU ?
2. Apa saja kemungkinan penyakit yang dapat menimbulkan kejang dan apa saja
jenis-jenis kejang ?
3. Mengapa pasien diberikan injeksi obat anti kejang dan dilakukan intubasi?

1
4. Mengapa pada pasien terjadi kejang, mulut kaku sulit dibuka dan untuk makan,
serta kesulitan bernafas ?
5. Apa diagnosis sementara dari kasus diatas ?

STEP III : Klarifikasi Masalah


1. Indikasi perawatan pasien kejang di ICU
a. Jika kejang terjadi lebih dari 15 menit sehingga menimbulkan apnea
b. Kejang yang dapat menimbulkan kerusakan sistem saraf
c. Dalam kasus tetanus menggunakan skor philips untuk mengetahui pasien
dirawat dimana, yaitu: 2

2
2. Kemungkinan penyakit yang dapat menimbulkan kejang
a. Metabolik: hiponatremia dan hipernatremia
b. Intoksikasi
c. Tumor intrakranial
d. Trauma
e. Infeksi: Virus, bakteri, fungal, protozoa dapat berupa meningitis, abses, dalam
bentuk empiema epidural, subdural atau abses otak
f. Serebrovaskular: Stroke
g. Epilepsi 2, 3

3. Mengapa pasien diberikan injeksi dan intubasi


Berdasarkan skenario pasien mulut kaku dan tidak bisa bernafas,
kesimpulan pasien tidak dapat mengonsumsi obat lewat oral. Oleh karena itu
pasien diberikan injeksi guna memasukkan obat agar lebih cepat dan efektif.
Pasien diberikan intubasi karena pasien terdapat gangguan pernafasan jadi
gunanya untuk memperlancar jalan nafas2

4. Mengapa mulut pasien menjadi kaku, sulit untuk dibuka, gangguan pernafasan
Dikarenakan reaksi dari toksin yang berasal dari Clostridium Tetani.
Yang berawal dari saraf motorik kemudia mengenai ganglion sumsum tulang
belakang dan otak. Di ganglion sumsum tulang belakang mempengaruhi tonus
otot yang nantinya tonus otot meningkat dan menyebabkan kekakuan.
Sedangkan pada otak, toksin menempel pada cerebral ganglionside yang
nantinya menimbulkan kejang pada pasien. Karena ganglion sumsum tulang
belakang dan otak telah terpapar toksin dan menyebabkan kekakuan, akhirnya
akan berpengaruh pada sistem pernafasan yaitu ketidakefektifan jalan nafas dan
gangguan komunikasi verbal 2,4

5. Diagnosis sementara
Jika dilihat dari anamnesis, kemungkinan pasien terkena penyakit
tetanus yang merupakan penyakit yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu

3
sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium Tetani yang menginfeksi
saraf dan otot sehingga otot dan saraf menjadi kaku. 2

STEP IV: Skema

4
STEP VII: Sintesis

1. Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik
dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani. 3

2. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, bakteri anaerob obligat
gram positif. Bakteri ini berspora. Dijumpai pada tinja binatang terutama kuda,
manusia, dan pada tanah yang terkontaminasi oleh tinja binatang tersebut.
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau
sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser
yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan
pemotongan tali pusat yang tidak steril. 3

3. Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi
bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus,
yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal
kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang,
akhirnya menyebar ke SSP. 2, 3

5
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin
terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan
terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter
inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan
spasme. 4
Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter
(trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang
makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia
timbul kejang. 4
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf
otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan,
metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi,
hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul.
Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang
dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan
teliti. 2,4

4. Manifestasi Klinis
a. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya Setelah 2 minggu
kejang mulai hilang.
b. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena
spasme otot masetter.
c. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
d. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .

6
e. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, lengan
kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
f. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis 3,5

5. Penegakan Diagnosis
A. Anamnesis
i. Keluhan utama: kejang
ii. Riwayat penyakit sekarang (sacred seven)
a. Lokasi: seluruh tubuh atau sekitar luka
b. Onset/awitan: Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan
menetap selama 5 -7 hari
c. Kronologi: ada riwayat luka
d. Kualitas
e. Derajat/kuantitas
f. Faktor yang memperberat: cahaya & suara
g. Gejala penyerta: kaku mulut & punggung, susah bernafas
ii. Riwayat penyakit dahulu
iii. Riwayat keluarga
iv. Riwayat sosial ekonomi 2
B. Pemeriksaan Fisik
Menetukan nilai motorik dengan interpretasi :
5 = pasien mampu menahan tahanan kuat dari pemeriksa
4 = pasien hanya mampu menahan tahanan ringan dari pemeriksa
3 = pasien hanya mampu melawan grafitasi
2 = pasien hanya mampu menggeser anggota gerak
1 = hanya ada kontraksi otot
0 = tidak ada gerakan ataupun kontraksi otot
Nb : Pemeriksaan tersebut dilakukan ketika kejang telah selesai
Selanjutnya bisa dilakukan pemeriksaan dengan spatula, masukan
spatula yang bersih kedalam posterior lidah apabila reflek positif (+) maka

7
akan terjadi reflek menggigit, kemudian bial reflek negatif (-) maka akan
terjadi reflek muntah. 4
C. Pemeriksaan Penunjang
i. Darah rutin: biasanya normal atau menigkat sedikit
ii. Kultur: bakteri clostridium tetani (+)
iii. SGOT: meningkat
iv. Cairan cerebrospinal normal 2

6. Penatalaksanaan
A. Umum
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan
luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),
membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H2O2, dalam
hal ini penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah
ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus,
makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita
4. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus
dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan
yang baru.
6. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2
jam mencegah conjuntivitis
7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA
8. Pasang kateter urin 3,5

8
B. Farmakologi
1. Antibiotika
Parenteral Peniciline 1,2 juta unit/hari selama 10 hari, IM. Tetanus
pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit/KgBB/12 jam
secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan
membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang
dihasilkannya.7
2. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah
kejang klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta
komplikaisnya. Dengan penggunaan obat–obatan sedasi/muscle relaxans,
diharapkan kejang dapat diatasi. 7
Skema pemberian diazepam pada tetanus

9
3. Antitoksin
Dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan
dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin", yang dapat mencetuskan reaksi alergi serius. 7
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus
antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan
cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan
kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena,
pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah
dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar. 6
4. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda
dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M.
Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus
selesai. 6,7

10
7. Diagnosis Banding
a. Meningitis bacterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana
adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar
protein meningkat dan glukosa menurun.
b. Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
c. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.
d. Keracunan strychnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
e. Tetan
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan
fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal
spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.
f. Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
g. Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
h. Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom
ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,
i.
Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,
miositis leher dan spondilitis leher. 4,6

11
8. Komplikasi
Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai adalah laringospams,
kekakuan otot-otot pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa
pneumonia dan atelektase serta kompresi fraktur vertebra dan laserasi lidah
akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal failure. 6

9. Prognosis
Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19
tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia >50
tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi
mempunyai prognosis 2 kali lebih buruk dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus
local mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum. 6
Sistem Skoring
Skor 1 Skor 0
Masa Inkubasi <> ≥ 7hari

Awitan Penyakit <> ≥ 48 jam

Tali pusat, uterus,


fraktur terbuka, Selain tempat pada
Tempat Masuk
postoperative, bekas skor 1
suntikan IM.
Spasme (+) (-)
Panas badan (per
> 38,4ᵒC (>40ᵒC) ≤ 38,4ᵒC (≤40ᵒC)
rectal)
Takikardia <>
≥120x/menit
dewasa

Neonatus ≥150x/menit <>

12
Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus
Tingkat Skor Prognosis
Ringan 0-1 <>
Sedang 2-3 10-20%
Berat 4 20-40%
Sangat Berat 5-6 >50%
Catatan: Tetanus chepalic selalu dinilai berat atau sangat berat.
Dan Tetanus neonatorum selalu dinilai sangat berat. 6

13
Daftar Pustaka

1. Dorland, W. A. Newman. 2012. Kamus Kedokteran Dorland; Edisi 28. Jakarta:


EGC

2. Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran; Jilid 2. Jakarta: Media


Aesculapius

3. Ismanoe Gatoet, 2014. Tetanus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Edisi
VI, Jilid I. Jakarta: Interna Publishing

4. Tumbeleka, Alan R. 2005. Kejang Anak dan Dewasa. Jakarta: FK UI

5. Adams. R.D. 1997. Tetanus. Philadelphia: Elsevier

6. Udwadia F. E. Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305

7. Harrison: Tetanus in Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th,


McGrawHill. Inc,New York, 1994, .577-579.

14

Anda mungkin juga menyukai