Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Aquired Immune Defiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala


penyakit yang disebabkan oleh Human immunodeficiency Virus (HIV).
Seorang yang terinfeksi virus HIV atau menderita AIDS sering disebut dengan
Odha singkatan dari orang yang penderita AIDS. Di Indonesia presentasi
infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,6%)
mengikuti kelompok umur 20-24 tahun (17,6 %) dan kelompok umur > 50
tahun (6,7%). (Kementrian Kesehatan tahun 2017).

Strategi penanggulangan HIV-AIDS ditujukan untuk mencegah dan


mengurangi resiko penularan HIV, meningkatkan kwalitas hidup ODHA serta
mengurangi dampak social dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu,
keluarga dan masyarakat agar individu dan masyarakat menjadi produktif dan
bermanfaat untuk pembangunan. Hal ini memerlukan peran aktif multi pihak, baik
pemerintah maupun masyarakat termasuk mereka yang terinfeksi dan terdampak,
sehingga kseluruhan upaya penanggulangan HIV dan AIDS dapat dilakukan
dengan sebaik – baiknya yang menyangkut area pencegahan, pengobatan, mitigasi
dampak dan pengembangan lingkungan yang kondusif.

Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang telah melaksanakan program upaya


penanggulangan HIV-AIDS sejak tahun 2014. Sedangkan UPT Puskesmas Rawat
Inap Cisitu melaksanakannya sejak tahun 2015 telah ada petugas kesehatan yang
diberi pelatihan. UPT Puskesmas Rawat Inap Cisitu sebagai salah satu Puskesmas
di Kabupaten Sumedang ikut serta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV-AIDS dengan mengadakan kegiatan berupa klinik VCT dan IMS, penyuluhan
tentang HIV-AIDS dan IMS ke kelompok resiko tinggi dan kelompok yang rentan
tertular HIV yang menjadi populasi kunci dalam keberhasilan penganggulangan
HIV-AIDS ini.

1
Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT) sebagai salah satu
program pemerintah untuk mencegah penularan HIV-AIDS dari ibu ke bayi yang
dikandungnya. Program tersebut mencegah terjadinya penularan pada perempuan
usia produktif, kehamilan dengan HIV positif, penularan dari ibu hamil ke bayi
yang dikandungnya. Upaya ini diintegrasi dengan layanan kesehatan ibu dan anak
(KIA). Hal ini dilakukan melalui pelayanan antenatal terpadu baik di fasilitas
kesehatan tingkat pertama maupun rujukan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

A. Apa yang diketahui tentang PMTCT ?


B. Bagaimana Pelaksanaan di Institusi pelayanan Puskesmas Cisitu ?

1.3 TUJUAN

A. Untuk mengetahui tentang PMTCT


B. Untuk mengetahui bagaimana pelaksaan PMTCT di Puskesmas
Cisitu

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PMTCT
1. Pengertian
Menurut DEPKES RI (2008), Prevention Mother to Child Transmission
(PMTCT) atau Pencegahan Penulaaran HIV dari Ibu ke Anak (PPIA),
merupakan program pemerintah untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS
dari ibu ke bayi yang dikandungnya
3. Tujuan
Tujuan umum Program PPIA adalah mencegah penularan HIV dan sifilis
dari ibu ke anak dan meningkatkan kualitas hidup ibu dan anak yang
terinfeksi HIV dan sifilis dalam rangka menurunkan kejadian kasus baru
HIV pada bayi dan kejadian sifilis kongenital. Tujuan khususnya sebagai
berikut :
a. Mencegah terjadinya kasus baru HIV pada bayi dan terjadinya sifilis
kongenital melalui pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak.
Meningkatkan kelangsungan hidup ibu dan anak akibat HIV/AIDS dan/atau
sifilis serendah mungkin, khususnya di daerah dengan epidemi HIV meluas
dan terkonsentrasi.
Meningkatkan kualitas hidup ibu hamil dan anak dengan HIV dan sifilis.
2. Kebijakan
Kebijakan Program PPIA sebagai berikut.
a PIA merupakan bagian dari Program Nasional Pengendalian HIV-AIDS
dan IMS dan upaya kesehatan ibu dan anak.
b Pelaksanaan kegiatan PPIA diintegrasikan pada layanan KIA, Keluarga
Berencana (KB) dan Konseling Remaja di setiap jenjang pelayanan
kesehatan dengan ekspansi secara bertahap dan melibatkan peran non-
pemerintah, LSM dan komunitas.
c Setiap perempuan yang datang ke layanan KIA-KB dan remaja yang
mendapat layanan kesehatan diberi informasi tentang PPIA.

3
d Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan di
fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan tes HIV dan sifilis
kepada semua ibu hamil sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium
rutin pada waktu pemeriksaan antenatal sampai menjelang persalinan.
e Di daerah epidemi HIV rendah, tes HIV dan sifilis diprioritaskan pada
ibu hamil dengan IMS,berisiko tertulari HIV, IMS dan TB.
Pemeriksaan dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium
rutin pada waktu pemeriksaan antenatal sampai menjelang persalinan.
f Daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan yang
mampu/berwenang memberikan pelayanan PPIA, pelayanan tersebut
tetap dilakukan dengan cara:
1) merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan HIV yang memadai.
2) pelimpahan wewenang kepada tenaga kesehatan lain yang terlatih
dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan setempat
berdasarkan rekomendasi dari Kepala Laboratorium Rujukan
Provinsi.
3) Penetapan daerah yang memerlukan pelimpahan wewenang petugas
ditetapkan oleh Kepala Dinkes setempat.
4) Setiap ibu hamil yang positif HIV:
wajib diberi obat ARV dan mendapatkan pelayanan perawatan,
dukungan dan pengobatan lebih lanjut (PDP). Demikian pula halnya
dengan ibu hamil yang positif sifilis wajib diberi terapi sifilis yang
memadai pertologan persalinannya, baik pervaginam atau melalui
bedah sesar, dilakukan berdasarkanindikasi medis ibu/bayinya dan
dengan menerapkan kewaspadaan standar untuk pencegahan infeksi
diberi konseling menyusui secara khusus sejak perawatan antenatal
pertama dengan menyam-paikan pilihan yang ada sesuai dengan
pedoman pelayanan, yaitu ASI eksklusif atau susu formula eksklusif.
Bila ibu memilih susu formula, maka ibu, pasangannya serta
keluarga perlu mendapat konseling cara penyiapan dan pemberian
susu formula yang memenuhi persyaratan diberi konseling KB

4
secara khusus dan penjelasan tentang risiko penularan infeksi HIV
dan sifilis dari ibu kepada bayi, sejak perawatan antenatal, dengan
menyampaikan pilihan metoda kontrasepsi yang sesuai dengan
pedoman pelayanan.
5) Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten merencanakan ketersediaan
logistik (obat dan reagen/tes HIV) melalui koordinasi dengan Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan LingkunganKemenkes.
4. Sasaran
Sasaran dari pedoman ini adalah sebagai berikut:
a Pengelola program Kesehatan di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota
dan Puskesmas.
b kepentingan, baik Pemerintah maupun non-pemerintah, yang terkait
dengan penyediaan layanan HIV-AIDS dan IMS.
c Tenaga kesehatan, yaitu dokter spesialis, dokter umum, bidan, perawat dan
tenaga terkait lainnya yangbertugas di fasilitas kesehatan tingkat pertama
dan rujukan tingkat lanjutan, termasuk fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah dan non-pemerintah.

5. Perencanaan

Perencanaan program dilakukan di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota


dan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan ruang lingkup kerja
masing-masing. Di bawah ini diuraikan aspek pokok perencanaan program
di setiap tingkat yang perlu dijabarkan lebih lanjut.

a .Tingkat Pusat
1) Merencanakan pengembangan program PPIA.
2) Merencanakan kebutuhan pengelola program PPIA di tingkat Pusat dan
pengadaan logistik program di tingkat nasional, yang meliputi antara
lain buku pedoman, bahan KIE, obat ARV dan obat sifilis, reagen HIV
dan reagen sifilis serta alat dan obat kontrasepsi.

5
3) Merencanakan sistem pelatihan PPIA secara nasional serta
merencanakan pelatihan, orientasi dan sosialisasi pengelola program
dan pelaksana pelayanan PPIA di tingkat nasional.
4) Merencanakan kebutuhan dan sumber pembiayaan untuk kegiatan
PPIA secara nasional.
5) Merencanakan sistem pemantauan dan evaluasi program PPIA secara
nasional.
6) Merencanakan koordinasi dengan lintas program, lintas sektor dan
pihak terkait.
b Tingkat Propinsi
1) Merencanakan perluasan program PPIA secara bertahap bagi
kabupaten/kota.
2) Merencanakan kebutuhan logistik program tingkat propinsi antara lain
buku pedoman, bahan KIE, obat ARV dan obat sifilis, reagen HIV dan
reagen sifilis serta alat dan obat kontrasepsi.
3) Merencanakan kebutuhan tenaga pengelola di tingkat propinsi dan
pelatihannya di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
4) Merencanakan anggaran APBD Propinsi dan sumber lain untuk
kegiatan PPIA. 5. Merencanakan pelatihan, orientasi dan sosialisasi
pengelola program PPIA dan tenaga kesehatan PPIA di tingkat
propinsi.
5) Merencanakan implementasi, pemantauan dan evaluasi program PPIA
tingkat propinsi.
6) Merencanakan koordinasi dengan lintas program, lintas sektor dan
pihak terkait.
7) 8. Merencanakan pembentukan jejaring rujukan antar-layanan, serta
jejaring dengan Dinas Kesehatan, KPAP, LSM dan Komunitas terkait
PPIA

c Tingkat Kabupaten/Kota

6
1) Merencanakan perluasan layanan PPIA secara bertahap bagi
puskesmas, fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) terkait lainnya
dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL).
2) Merencanakan alokasi kebutuhan anggaran melalui dana APBD dan
sumber dana lain untuk kebutuhan logistik, penyiapan sumberdaya
manusia, operasional dan sistim rujukan.
3) Merencanakan kebutuhan logistik program antara lain buku pedoman,
bahan KIE dan obat sifilis, reagen HIV, reagen sifilis, alat dan obat
kontrasepsi serta bahan logistik lainnya.
4) Merencanakan pelatihan, orientasi dan sosialisasi pengelola program
PPIA dan tenaga kesehatan PPIA serta pelatihannya di tingkat
kabupaten/kota.
5) Merencanakan implementasi, pemantauan dan evaluasi program terkait
PPIA tingkat layanan.
6) Merencanakan koordinasi dengan lintas program, lintas sektor dan
pihak terkait. 7. Merencanakan pembentukan jejaring rujukan antar-
layanan serta jejaring dengan KPAK, LSM dan komunitas terkait PPIA.
d .Rumah Sakit dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
terkait lainnya.
1) Merencanakan pengembangan program PPIA dalam sistem pelayanan
RS.
2) Merencanakan kebutuhan logistik, antara lain obat ARV dan sifilis,
reagen HIV dan sifilis.
3) Menyiapkan tenaga kesehatan sebagai penanggung-jawab dan
pelaksana pelayanan PPIA.
4) Merencanakan pelatihan, orientasi dan sosialisasi PPIA internal RS.
5) Merencanakan kegiatan dan pembinaan jejaring rujukan dengan
puskesmas, LSM/KDS/kader PPIA.
6) Merencanakan sistem jejaring rujukan kasus antar RS dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dalam Layanan Komprehensif
Berkesinambungan (LKB).

7
7) Merencanakan anggaran RS untuk kegiatan PPIA.
8) Merencanakan pemantauan dan evaluasi program PPIA di dalam RS.

e .Puskesmas
1) Merencanakan pengembangan layanan PPIA di Puskesmas dan
jaringannya (Pustu, bidan di desa dan Puskesmas keliling) untuk
menjangkau ibu hamil yang belum terjangkau.
2) Merencanakan pembahasan PPIA dalam mini lokakarya Puskesmas
serta anggaran BOK dan sumber lainnya untuk kegiatan PPIA.
3) Merencanakan kebutuhan logistik, antara lain: alat, reagen HIV, reagen
sifilis, ARV, obat sifilis dan bahan habis pakai.
4) Merencanakan jejaring dengan LSM/KDS/kaderterkait PPIA.
5) Merencanakan jejaring rujukan antara puskesmas dengan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dalam LKB.
6) Merencanakan kegiatan pemantauan dan evaluasi upaya PPIA di
Puskesmas dan jaringannya.
6. Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan
HIV secara komprehensifdan berkesinambungan dalam empat komponen
(prong) sebagai berikut:

a. Prong 1: pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.

Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan


HIV pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduksi
tertular HIV. Komponen ini dapat juga dinamakan pencegahan primer.
Pendekatan pencegahan primer bertujuan untuk mencegah penularan
HIV dari ibu ke bayi secara dini, bahkan sebelum terjadinya hubungan
seksual. Hal ini berarti mencegah perempuan muda pada usia reproduksi,
ibu hamil dan pasangannya untuk tidak terinfeksi HIV. Dengan
demikian, penularan HIV dari ibu ke bayi dijamin bisa dicegah.Untuk
menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE” sebagai berikut.

8
1) A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan
seks bagi yang belummenikah.
2) B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan
seks (tidak berganti-ganti pasangan).
3) C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual
dengan menggunakan kondom.
4) D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.
5) E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang benar
mengenai HIV cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain
sebagai berikut. 1. KIE tentang HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi,
baik secara individu atau kelompok dengan sasaran khusus
perempuan usia reproduksi dan pasangannya. 2. Dukungan psikologis
kepada perempuan usia reproduksi yang mempunyai perilaku atau
pekerjaan berisiko dan rentan untuk tertular HIV (misalnya penerima
donor darah, pasangan dengan perilaku/pekerjaan berisiko) agar
bersedia melakukan tes HIV. 3. Dukungan sosial dan perawatan bila
hasil tes positif.
b. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan
dengan HIV.

Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan


seksama sebelum memutuskan untuk ingin punya anak. Perempuan
dengan HIV memerlukan kondisi khusus yang aman untuk hamil,
bersalin, nifas dan menyusui, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi
kehamilan akibat keadaan daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk
bayi terhadap penularan HIV selama kehamilan, proses persalinan dan
masa laktasi. Perempuan dengan HIV masih dapat melanjutkan
kehidupannya, bersosialisasi dan bekerja seperti biasa bila mendapatkan
pengobatan dan perawatan yang teratur. Mereka juga bisa memiliki anak
yang bebas dari HIV bila kehamilannya direncanakan dengan baik. Untuk
itu, perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu memanfaatkan

9
layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi guna
mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.

c. Prong 3: pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil (dengan
HIV dan sifilis) kepada janin/bayi yang dikandungnya.

Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan
penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko penularan berkisar
antara 20-50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko penularan
dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang
teratur dan perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan
anak yang terbebas dari HIV melalui persalinan pervaginam dan menyusui
bayinya. Pada ibu hamil dengan sifilis, pemberian terapi yang adekuat
untuk sifilis pada ibu dapat mencegah terjadinya sifilis kongenital pada
bayinya. Pencegahan penularan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang
terinfeksi HIV dan sifilis ke janin/bayi yang dikandungnya mencakup
langkah-langkah sebagai berikut.
1) Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV dan sifilis.
2) Menegakkan diagnosis HIV dan/atau sifilis.
3) Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) dan Benzatin Penisilin
(untuk sifilis) bagi ibu.
4) Konseling persalianan dan KB pasca persalianan.
5) Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta
KB.
6) Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.
7) Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.
8) Pemberian profilaksis ARV pada bayi.
9) Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu
selama hamil, bersalin dan bayinya.
Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara
berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi
yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi

10
HIV dan sifilis serta mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada
masa kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran.
d. Prong 4: dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan
HIV beserta anak dan keluarganya.

Ibu dengan HIV memerlukan dukungan psikososial agar dapat bergaul dan
bekerja mencari nafkah seperti biasa. Dukungan medis dan perawatan
diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penurunan daya
tahan tubuh. Dukungan tersebut juga perlu diberikan kepada anak dan
keluarganya.

1. Dukungan Psikososial
Pemberian dukungan psikologis dan sosial kepada ibu dengan HIV dan
keluarganya cukup penting, mengingat ibu dengan HIV maupun
ODHA lainnya menghadapi masalah psikososial, seperti stigma dan
diskriminasi, depresi, pengucilan dari lingkungan sosial dan keluarga,
masalah dalam pekerjaan, ekonomi dan pengasuhan anak. Dukungan
psikososial dapat diberikan oleh pasangan dan keluarga, kelompok
dukungan sebaya, kader kesehatan, tokoh agama dan masyarakat,
tenaga kesehatan dan Pemerintah. Bentuk dukungan psikososial dapat
berupa empat macam, yaitu:
a) dukungan emosional, berupa empati dan kasih sayang.
b) dukungan penghargaan, berupa sikap dan dukungan positif.
c) dukungan instrumental, berupa dukungan untuk ekonomi keluarga.
d) dukungan informasi, berupa semua informasi terkait HIV-AIDS
dan seluruh layanan pendukung, termasuk informasi tentang
kontak petugas kesehatan/LSM/kelompok dukungan sebaya.
2. Dukungan Medis dan Perawatan
Tujuan dari dukungan ini untuk menjaga ibu dan bayi tetap sehat
dengan peningkatkan pola hidup sehat, kepatuhan pengobatan,
pencegahan penyakit oportunis dan pengamatan status kesehatan.
Dukungan bagi ibu meliputi:

11
a) pemeriksaan dan pemantauan kondisi kesehatan.
b) pengobatan dan pemantauan terapi ARV.
c) pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik.
d) konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan.
e) konseling dan dukungan asupan gizi.
f) layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat.
g) kunjungan rumah.
3. Dukungan bagi bayi/anak meliputi:
a) diagnosis HIV pada bayi dan anak.
b) pemberian kotrimoksazol profilaksis.
c) pemberian ARV pada bayi dengan HIV.
d) informasi dan edukasi pemberian makanan bayi/anak.
e) pemeliharaan kesehatan dan pemantauan tumbuh kembang anak.
f) pemberian imunisasi.
Penyuluhan yang diberikan kepada anggota keluarga meliputi:
cara penularan HIV dan pencegahannya dan penggerakan dukungan
masyarakat bagi keluarga.
Alur Kegiatan PPIA Komprehensif dan Berkesinambungan dengan
Pendekatan Prong 1-4

12
7. Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan memerlukan koordinasi dan kerjasama horisontal dan


vertikal di antara para pemangku program terkait, mitra kerja, pelaksana di
lapangan dan masyarakat. Di bawah ini aspek pokok dari pelaksanaan
program menurut tingkatan dan kewenangan masing-masing.
a Tingkat Pusat
1) Melakukan pemetaan situasi epidemi HIV Propinsi: epidemi rendah,
terkonsentrasi atau meluas (generalized) berdasarkan data laporan,
estimasi dan proyeksi.
2) Membuat dan menyebar-luaskan norma, standar, prosedur dan kriteria
(NSPK) terkait dengan PPIA.
3) Menjamin ketersediaan dan distribusi obat ARV dan obat sifilis,
reagen HIV dan sifilis, serta alat dan obat kontrasepsi logistik lainnya.
4) Melakukan training of trainer (TOT) PPIA tingkat Pusat dan Propinsi.
5) Melakukan pertemuan berkala PPIA lintas program/sektor terkait di
tingkat Pusat, termasuk pertemuan koordinasi.
6) Mengembangan metoda, teknologi dan media promosi kesehatan
terkait PPIA, termasuk metoda dan strategi KIE untuk remaja, PUS
dan ODHA.
7) Melakukan pemantauan, evaluasi dan bimbingan teknis kegiatan
PPIA.
8) Mengembangkan dan memberikan acuan kegiatan pencatatan dan
pelaporan, termasuk rekapitulasi pencatatan dan pelaporan dari
propinsi serta memberikan umpan balik kepada semua propinsi untuk
melakukan upaya perbaikan.
9) Melakukan penelitian yang terkait dengan PPIA.
10) Mengupayakan pembiayaan kegiatan PPIA.
11) Membuat dan melaksanakan sistem pemantapan mutu laboratorium.
12) Melakukan akreditasi rumah sakit dan puskesmas.

13
b Tingkat Propinsi
1) Melakukan pemetaan situasi epidemi HIV kabupaten/kota.
2) Mengadakan dan/atau mengusulkan ke tingkat pusat kebutuhan dan
distribusi obat ARV dan sifilis, reagen HIV dan sifilis dan logistik
lainnya, termasuk alat dan obat kontrasepsi untuk penderita HIV
positif, serta mendistribusikannya ke kabupaten/kota.
3) Melakukan dan fasilitasi pelatihan PPIA di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota.
4) Mengembangkan metoda dan teknologi promosi kesehatan terkait
PPIA, termasuk metoda dan strategi KIE untuk remaja, PUS dan
ODHA.
5) Melakukan pertemuan koordinasi lintas program dan lintas sektor
berkala PPIA, termasuk untuk ketersediaan dan distribusi alat
kontrasepsi, di tingkat propinsi.
6) Melakukan pemantauan, evaluasi dan bimbingan teknis kegiatan
PPIA ke kabupaten/kota.
7) Melakukan rekapitulasi pencatatan dan pelaporan dari
kabupaten/kota di wilayah serta memberikan umpan balik kepada
semua kabupaten/kota untuk melakukan upaya perbaikan.
8) Melakukan penelitian yang terkait dengan PPIA.
9) Mengupayakan pembiayaan kegiatan PPIA.
10) Melaksanakan sistem pemantapan mutu laboratorium.
c Tingkat Kabupaten/Kota
Inventarisasi fasilitas kesehatan dan tenaga yang terkait dengan
pengelolaan upaya PPIA, misalnya:
1) RS dalam wilayah kabupaten/kota yang sudah dilatih dan
melaksanakan pelayanan PPIA.
2) Puskesmas dan FKTP terkait lainnya yang sudah dilatih dan
melaksanakan PPIA.

14
3) jumlah tenaga kesehatan, kader peduli HIV-AIDS, KDS ODHA dan
LSM HIV yang ada, terlatih dan belum terlatih dalam PPIA serta
masyarakat peduli HIV dan AIDS.
4) sumber pembiayaan untuk kegiatan PPIA.
5) Pemetaan sasaran program, yaitu:
perempuan usia reproduksi (15-49 tahun), termasuk remaja, PUS ,
populasi kunci dan ibu hamil.
6) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan bidan atau
perawat terlatih yang dapat melakukan tes HIV bila di daerah
tersebut tidak ada tenaga medis dan atau teknisi laboratorium
terlatih.
7) Melaksanakan dan fasilitasi pelatihan PPIA bagi tenaga kesehatan di
puskesmas, RS dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya serta
orientasi PPIA bagi pengelola upaya PPIA di kabupaten/kota.
8) Mengembangan metoda dan teknologi promosi kesehatan terkait
PPIA, termasuk metoda dan strategi KIE untuk remaja, PUS dan
ODHA.
9) Mengadakan reagen HIV dan ARV serta mengusulkan permintaan
reagen dan obat sifilis serta bahan logistik lainnya ke tingkat
Propinsi, termasuk alat dan obat kontrasepsi, dan
mendistribusikannya ke faskes di wilayah kabupaten/kota.
10) Melakukan pertemuan koordinasi berkala PPIA di tingkat
kabupaten/kota dan RS, termasuk untuk ketersediaan dan distribusi
alat kontrasepsi.
11) Membentuk dan membina jejaring kerjasama dengan LSM dan KDS
terkait PPIA serta jejaring rujukan kasus antara RS, Puskesmas,
KDS/LSM dan kader kesehatan.
12) Melaksanakan pemantapan mutu laboratorium.
13) Melakukan rekapitulasi pencatatan dan pelaporan dari faskes di
wilayah kabupaten/kota dan umpan baliknya.

15
d .Rumah Sakit
1) Melakukan peningkatan kapasitas staf di RS melalui orientasi,
sosialisasi dan pelatihan PPIA .
2) Mengajukan permintaan obat ARV kepada Dinas Kesehatan Provinsi
atau Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta mengadakan obat sifilis,
reagen HIV dan sifilis, bahan logistik terkait lainnya dengan
berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
3) Menyusun alur pelayanan dan SPO, termasuk sistem rujukan PPIA
internal dan antar RS.
4) Menyusun alur pencatatan dan pelaporan pelayanan PPIA internal RS
serta melakukan pencatatan dan pelaporan kegiatan PPIA.
5) Melaksanakan kerjasama dengan LSM dan komunitas terkait PPIA
dalam jejaring LKB.
6) Melaksanakan rujukan kasus antar RS dan memberikan jawaban
rujukan ke Puskesmas dan FKTP terkait lainnya.
7) Memberikan pelayanan/konseling sesuai dengan standar:
a) KB dalam upaya PPIA
b) tes HIV dan sifilis pada ibu hamil di layanan antenatal
c) konseling menyusui dan persalinan aman pada ibu hamil HIV
d) pengobatan bagi ibu hamil dengan HIV dan sifilis
e) persalinan pada ibu dengan HIV
f) pengobatan dan perawatan bagi bayi lahir dari ibu dengan HIV
g) pemeriksaan HIV pada bayi lahir dari ibu dengan HIV
h) pemantauan tumbuh kembang bayi dan balita lahir dari ibu HIV
i) KIE dan konseling terkait kesehatan reproduksi termasuk
kontrasepsi, HIV dan IMS kepada masyarakat yang berkunjung ke
RS
8) Melakukan bimbingan teknis terkait PPIA ke Puskesmas.
9) Melaksanakan pemantapan mutu laboratorium untuk tes HIV dan
sifilis.

16
e Puskesmas
1) Menghitung/memperkirakan jumlah:
sasaran ibu hamil yang akan di-tes HIV dan sifilis dan perempuan usia
reproduksi (15-49 tahun), termasuk remaja, PUS dan populasi kunci.
2) Menginventarisasi:
kader kesehatan yang terlatih HIV, KDS ODHA, LSM dan kelompok
masyarakat peduli HIV dan AIDS lainnya.
3) Menghitung kebutuhan reagen HIV dan sifilis untuk ibu hamil serta
mengajukan permintaan reagen tersebut kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
4) Melaksanakan kerjasama dengan kader peduli HIV, KDS ODHA,
LSM terkait PPIA dalam jejaring LKB.
5) Melaksanakan rujukan kasus ke RS dan antar Puskesmas, serta
melakukan kerjasama dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di
wilayah kerja.
6) Memasukkan pembahasan tentang PPIA dalam kegiatan mini
lokakarya Puskesmas.
7) Melakukan peningkatan kapasitas staf (orientasi, sosialisasi, pelatihan
di Puskesmas) tentang PPIA:
petugas terkait di Puskesmas (petugas KIA, KB, BP, konselor,
konseling remaja dan Promkes). petugas kesehatan di
Pustu/Polindes/Poskesdes/BPM. kader kesehatan, PLKB dan pihak
terkait lainnya.
8) Memberikan pelayanan/konseling:
a) KB dalam konteks PPIA, di samping pelayanan KB rutin.
b) tes HIV dan sifilis pada ibu hamil pada layanan antenatal.
c) menyusui dan persalinan aman pada ibu hamil dengan HIV.
d) pengobatan bagi ibu hamil dengan HIV bagi puskesmas yang
memiliki layanan ARV dan rujukan ke RS bila layanan pengobatan
ARV tidak tersedia pengobatan bagi ibu hamil dengan sifilis.

17
e) persalinan pervaginam pada ibu hamil dengan HIV yang telah
mendapatkan pengobatan ARV sesuai dengan standar.
f) pemeriksaan HIV dan pemberian ARV profilaksis pada bayi dari
ibu HIV atau merujuk jika layanan tidak tersedia.
g) pemantauan pengobatan bagi bayi, serta tumbuh kembang bayi dan
balita yang lahir dari ibu dengan HIV
h) rujukan balik ke puskesmas atau Pustu/Polindes/Poskesdes/BPM
9) Melakukan KIE terkait kesehatan reproduksi, termasuk HIV dan
AIDS, di layanan KIA, KB, konseling remaja dan di masyarakat.
10) Melakukan sinkronisasi pencatatan dan pelaporan pelayanan PPIA
di tingkat Puskesmas dengan fasilitas pelayanan kesehatan di
wilayah kerja.
11) Bekerjasama dengan LSM/kader/KDS untuk mendapatkan
dukungan psikologis kepada pasien dan keluarganya.
12) Melaksanakan pemantapan mutu laboratorium dan membuat
jejaring dengan perawat dan bidan di Pustu, Polindes/Poskesdes
dan petugas di FKTP terkait lainnya untuk pemantauan mutu
pemeriksaan laboratorium HIV.
8. Kegiatan
Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat
Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas hingga ke tingkat unit
pelayanan kesehatan yang meliputi: ketersediaan logistik (misalnya: reagen
dan obat), ketenagaan, pembiayaan, pencapaian upaya PPIA, kendala yang
dihadapi terkait dengan upaya PPIA, pertemuan secara berkala untuk
membahas dan menindak-lanjuti hasil pemantauan dan evaluasi.
a Tingkat Pusat
1) Melakukan pemantauan dan evaluasi serta bimbingan teknis PPIA
dalam pelayanan antenatal terpadu.
2) Melakukan pembahasan PPIA dalam rapat koordinasi pengendalian
operasional program dan rapat konsolidasi teknis program kesehatan
ibu.

18
3) Menggunakan hasil pemantauan dan evaluasi untuk memberikan
advokasi, asistensi dan fasilitasi kepada Pemerintah Daerah.
4) Mengadakan pertemuan berkala.
b Tingkat Propinsi
1) Melakukan pemantauan dan evaluasi serta bimbingan teknis PPIA
dalam pelayanan antenatal terpadu.
2) Melakukan pembahasan PPIA dalam raker kesehatan daerah
(Rakerkesda) Program Kesehatan Ibu.
3) Menggunakan hasil pemantauan dan evaluasi untuk:
a) advokasi kepada penentu kebijakan.
b) melakukan asistensi dan fasilitasi kepada kabupaten/kota dan
layanan kesehatan terkait.
4) Mengadakan pertemuan secara berkala:
a) evaluasi tahunan PPIA dalam pelayanan antenatal terpadu
b) tentang layanan dan jejaringnya untuk membahas capaian hasil
kegiatan dibandingkan dengan target yang direncanakan dan
menyusun rencana tindak lanjut.
c Tingkat Kabupaten/Kota
1) Melakukan pemantauan dan evaluasi, serta bimbingan teknis PPIA
dalam pelayanan antenatal terpadu.
2) Melakukan pembahasan PPIA dalam Rakerkesda Program
Kesehatan Ibu.
3) Menggunakan hasil pemantauan dan evaluasi untuk:
a) advokasi kepada penentu kebijakan.
b) asistensi dan fasilitasi kepada layanan dan jejaringnya.
4) Melakukan penyeliaan fasilitatif kepada puskesmas dengan
menggunakan pedoman Penyediyaan Fasilitatif Kesehatan Ibu dan
Anak (PFKIA).
5) Mengadakan pertemuan secara berkala:
a) evaluasi tahunan PPIA dalam pelayanan antenatal terpadu

19
b) tentang layanan dan jejaringnya untuk membahas capaian hasil
kegiatan dibandingkan dengan target yang direncanakan dan
menyusun rencana tindak lanjut.
d Rumah Sakit
1) Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan PPIA di
Rumah.
2) Menggunakan hasil pemantauan dan evaluasi untuk melakukan
asistensi dan fasilitasi kepada semua layanan terkait dengan PPIA dan
untuk advokasi kepada penentu kebijakan.
3) Pertemuan secara berkala layanan dan jejaringnya untuk membahas
hasil layanan dalam jejaring PPIA dan hasil mentoring klinis.
e Puskesmas
1) Melakukan pemantauan melalui PWS KIA.
2) Melakukan penyeliaan fasilitatif kepada jaringan dan jejaringnya
dengan menggunakan pedoman Penyeliaan Fasilitatif Kesehatan Ibu
dan Anak (PFKIA).
3) Menggunakan hasil pemantauan dan evaluasi untuk melakukan
asistensi dan fasilitasi kepada jaringan PPIA dan FKTP lain di wilayah
dan untuk advokasi kepada penentu kebijakan.
4) Pertemuan secara berkala:
a) Puskesmas dan jaringannya tiap bulan.
b) Puskesmas dengan lintas sektor tiap triwulan untuk membahas
capaian hasil kegiatan dibandingkan dengan target yang
direncanakan dan menyusun rencana tindak lanjut dalam mini
lokakarya.
9. Pencatatan
Hasil layanan PPIA dan sifilis pada ibu hamil di unit pelayanan kesehatan
dicatat pada Rekam Medis, Kartu Ibu dan Kohort Ibu, Kohort Bayi dan
Balita, Formulir Registrasi Layanan IMS, Formulir Registrasi Layanan
TIPK dan Formulir Registrasi Layanan PPIA. Pencatatan di fasilitas

20
pelayanan kesehatan mandiri disesuaikan dengan strata fasyankes tersebut
(setara RS atau Puskesmas).
a Puskesmas
1) Hasil pelayanan antenatal terpadu, termasuk layanan terkait dengan
HIV dan sifilis, dicatat di Kartu Ibu, Kohort dan Buku KIA.
2) Formulir Registrasi Layanan TIPK dan Formulir Registrasi Layanan
IMS diisi oleh pemberi layanan.
3) Formulir Registrasi Layanan PPIA hanya diisi bila ibu hamil positif
HIV. Pengelola IMS/petugas yang ditunjuk mengisi formulir dengan
memindahkan data hasil pelayanan dari Kartu Ibu. Data layanan bayi
yang lahir dari ibu dengan HIV diisi oleh petugas pemberi layanan di
Puskesmas.
4) Pemantauan tumbuh kembang bayi/balita lahir dari ibu dengan HIV
dicatat di Kohort Bayi/Balita.
b Rumah Sakit
1) Hasil pelayanan antenatal dicatat di kartu Rekam Medis dan Buku
KIA.
2) Formulir Registrasi Layanan TIPK dan Formulir Registrasi IMS diisi
oleh pemberi layanan.
3) Formulir Registrasi PPIA hanya diisi bila ibu hamil positif HIV.
Pengelola PPIA/petugas yang ditunjuk akan mengisi formulir ini
dengan memindahkan data hasil pelayanan dari kartu Rekam Medis
Ibu. Data layanan bayi yang lahir dari ibu dengan HIV di formulir ini
diisi oleh petugas pemberi layanan.
10. Pelaporan
a Puskesmas
1) Bidan/petugas KIA di polindes/poskesdes, pustu/kelurahan dan
bidan praktek mandiri/klinik swasta akan melaporkan hasil
pelayanan antenatal terpadu ke bidan koordinator Puskesmas.
Selanjutnya, bidan koordinator Puskesmas merekapitulasi data dan
melaporkan hasil pelayanan antenatal terpadu melalui format yang

21
tersedia (F1-F6). Bidan koordinator akan berbagi data dengan
pengelola program IMS/P2/petugas yang ditunjuk.
2) Pengelola program IMS/P2/petugas yang ditunjuk merekapitulasi
data layanan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang berasal dari
Formulir Registrasi Layanan IMS, Formulir Registrasi Layanan
TIPK, formulir registrasi layanan PPIA dan melaporkan dengan
menggunakan format pelaporan yang sudah tersedia/aplikasi SIHA
(Sistem Informasi HIV dan AIDS).
b Rumah Sakit
Petugas pencatatan dan pelaporan rumah sakit yang ditunjuk
merekapitulasi data layanan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang
berasal dari Formulir Registrasi Layanan IMS, Formulir Registrasi
Layanan TIPK, Formulir Registrasi Layanan PPIA dan melakukan
input data ke dalam format pelaporan yang sudah tersedia/aplikasi
SIHA (Sistem Informasi HIV dan AIDS).
c Kabupaten/Kota
1) Pengelola program IMS/P2/Petugas yang ditunjuk melaporkan
data layanan HIV dan sifilis pada ibu hamil dari fasyankes di
seluruh wilayah kabupaten/kota melalui format pelaporan yang
sudah tersedia/aplikasi SIHA dan berbagi data dengan pengelola
KIA.
2) Pengelola KIA merekapitulasi hasil pelayanan antenatal terpadu
di seluruh wilayah kabupaten/kota dan melaporkan melalui
format yang telah tersedia (F1-F6).

B. pelaksaan PMTCT di Puskesmas Cisitu

1. TUJUAN PMTCT di Puskesmas Cisitu


a Mendeteksi dini status HIV pasien.
b Mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi.

22
c Memperluas cakupan test HIV di lingkungan pelayanan medis UPT
Puskesmas Rawat Inap Cisitu.

2. PELAKSANAAN KEGIATAN
a Klien dari rawat jalan, PONED yang disarankan untuk dilakukan test
HIV atau klien yang dirujuk dari Puskesmas Pembantu (Pustu) dan
Poskesdes.
b Konselor menyiapkan perlengkapan form manual PMTCT.
c Konselor memberikan informasi tentang HIV –AIDS sebelum test
(konseling pre tes).
d Bila klien menyetujui untuk dites, konselor memberikan form informed
consent kepada klien untuk diisi dan ditandatangani.
e Konselor mengisi dokumen klien dengan lengkap
f Konselor memberikan surat rujukan pengambilan darah.
g Konselor menjelaskan proses pengerjaan darah di laboratorium, 15-30
menit.
h Konselor mendapatkan hasil dari laboratorium.
i Konselor memulai konseling post tes HIV.

3. SASARAN KEGIATAN
Semua ibu hamil yang ada di wilayah UPT Puskesmas Rawat Inap Cisitu.

4. JADWAL PELAKSANAAN KEGIATAN


Senin – Sabtu : 07.30 – 13.00 WIB
Jum’at : 07.30 – 10.30 WIB

5. CAKUPAN HASIL KEGIATAN


TAHUN SASARAN CAKUPAN
2015 550 550 (100%)
2016 593 593 (100%)

23
2017 538 538 (100%)
Juli 2018 323 323 (100%)

6. PENATALAKSANAAN HAMIL DENGAN HASIL TES HIV POSITIF


Ibu hamil dengan hasil pemeriksaan tes HIV positif, setelah diberikan
konseling post tes HIV akan dirujuk ke Poli Teratai RSUD Kabupaten
Sumedang untuk ditindak lanjuti.

7. PENCATATAN, PELAPORAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN


KEGIATAN
a Kegiatan akan dicatat pada format pencatatan harian dam form manual
TIPK/KTS kemudian akan direkap pada akhir bulan setiap tanggal 25.
b Laporan bulanan program dientry melalui aplikasi SIHA online
kemudian diupload di SIHA.depkes.go.id (Online)
c Laporan bulanan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang.

24
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tingginya penyakit HIV di indonesia membuat pemerintah mengeluarkan
program PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission) yaitu
program pemerintah yang berupaya untuk mencegah penularan penyakit
HIV dari ibu hamil ke janin. Program ini sudah mulai berjalan khusunya di
puskesmas Cisitu kabupaten Sumedang yang dilaksanakan setiap hari senin
sampai sabtu pukul 07.30 – 13.00 WIB dan hari Jum’at pukul 07.30 – 10.30
WIB. Diharapkan dengan adanya progran tersebut dapat menekan tingginya
penderita penyakit HIV khusunya WUS dan ibu hamil.

B. SARAN
Diharapakan semua puskesmas, rumah sakit dan klinik dapat menerapkan
program PMTCT dengan baik. Karena dengan berjalannya program
tersebut dapat mengurangi angka penderita penyakit HIV dan dapat
mengurangi tranmisi penyakit HIV khusunya dari ibu ke bayi.

25

Anda mungkin juga menyukai