Anda di halaman 1dari 4

a.

Posisi dan Lokasi Geografi Negara

Tahun Peristiwa
1969 Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama kali pada
perundingan mengenai batas landas kontinen antara RI dan Malaysia di
Kuala Lumpur (9-12 September 1969). Hasil Kesepakatan: kedua pihak
agar menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang
menyangkut kedua pulau itu sampai penyelesaian sengketa.
1970 Malaysia melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya, dan
beberapa tahun kemudian melakukan pembangunan dan pengelolaan
fasilitas-fasilitas wisata di kedua pulau itu.
1989 Pembahasan sengketa oleh Presiden RI Soeharto dan PM Malaysia
Mahathir Muhammad di Yogyakarta, tahun 1989. Hasil kesimpulan:
sengketa mengenai kedua pulau tersebut sulit untuk diselesaikan dalam
kerangka perundingan bilateral.
1997 Kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut
ke Mahkamah Internasional dengan menandatangani dokumen “Special
Agreement for the Submission to the International Court of Justice on
the Dispute between Indonesian and Malaysia concerning the
Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan” di Kuala Lumpur
pada tanggal 31 Mei 1997.
1998 Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan khusus yang telah
ditandatangani itu kemudian secara resmi disampaikan kepada
Mahkamah Internasional, melalui suatu “joint letter” atau notifikasi
bersama.
2000 Proses argumentasi tertulis (“written pleadings“) dari kedua belah pihak
dianggap rampung pada akhir Maret 2000 di Mahkamah Internasional.
Argumentasi tertulis itu terdiri atas penyampaian “memorial”, “counter
memorial“, dan “reply” ke Mahkamah Internasional.
2002 Proses penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah
Internasional memasuki tahap akhir, yaitu proses argumentasi lisan
(“oral hearing“), yang berlangsung dari tanggal 3-12 Juni 2002. Pada
kesempatan itu, Menlu Hassan Wirajuda selaku pemegang kuasa hukum
RI, menyampaikan argumentasi lisannya (“agent’s speech“), yang
kemudian diikuti oleh presentasi argumentasi yuridis yang disampaikan
Tim Pengacara RI. Mahkamah Internasional kemudian menyatakan
bahwa keputusan akhir atas sengketa tersebut akan ditetapkan pada
Desember 2002.
Pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional di Den Haag
menetapkan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari wilayah
kedaulatan Kerajaan Malaysia atas dasar “efektivitas” karena Malaysia
telah melakukan upaya administrasi dan pengelolaan konservasi alam di
kedua pulau tersebut.
Di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Pulau Sebatik ditemukan sejumlah patok
perbatasan yang memasuki wilayah Indonesia diperkirakan mencapai 84 hektare. Sedangkan
patok perbatasan di Desa Kionokod dan Sumantipal di Kecamatan Lumbis Ogong sejumlah
patok ditemukan berada di wilayah Malaysia.
Komandan Batalion Infanteri 521/Dadaha Yudha Letkol Inf Slamet Winarto
mengungkapkan tiga wilayah perbatasan RI dengan Malaysia masih bermasalah dan
belum terselesaikan hingga saat ini.

"Ketiga wilayah tersebut yaitu tapal batas RI-Malaysia yang berada di Pulau Sebatik,
Desa Kinokod, dan Sumatipal di Kecamatan Lumbis Ogong, di Pelabuhan Pangkalan
TNI AL Kabupaten Nunukan," kata Slamet, Rabu (30/3).

Kondisi patok perbatasan yang mengalami kerusakan seperti miring, patah dan
berpindah tempat disebabkan kondisi alam maupun diperkirakan ulah manusia, telah
dilakukan perbaikan sesuai dengan koordinat yang sebenarnya.

Slamet menegaskan, pihaknya hanya mengikuti petunjuk sesuai kondisi di wilayah


tapal batas itu. Pihaknya tidak berwenang melakukan tindakan di luar jangkauan karena
masalah tapal menjadi kewenangan pemerintah pusat.
https://www.merdeka.com/peristiwa/patok-perbatasan-ri-malaysia-di-pulau-sebatik-
bergeser-84-hektare.html

b. Keadaan dan Kekayaan Alam

c. Keadaan dan Kemampuan Penduduk

d. Ideologi

e. Politik
f. Ekonomi

g. Sosial-budaya
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bakal segera mengambil
langkah menindaklanjuti warisan budaya kuda lumping yang diakui Malaysia. Kemdikbud
akan mengumpulkan bukti-bukti yang menyatakan bahwa kuda lumping merupakan
kebudayaan asli Indonesia.

Setelah bukti-bukti itu terkumpul, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy
akan mengutus perwakilan Indonesia untuk menemui Malaysia.

"Kami utus pertemuan dengan Malaysia. Nanti di pertemuan itu akan saling menunjukkan
bukti-bukti, mana yang paling otentik mana yang tidak," kata Muhadjir saat ditemui usai
penyerahan sertifikat pengakuan 150 warisan budaya tak benda tahun 2017 di Jakarta, Rabu
(4/10) malam.

Muhadjir mengaku akan mengajak Malaysia untuk berdialog. Lewat pertemuan itu, pemilik
bukti-bukti yang paling kuat bakal mendapatkan pengakuan kepemilikan yang sah terhadap
kuda lumping.

Tidak menutup kemungkinan, jika kedua negara punya bukti yang solid, maka kuda lumping
bakal diakui bersama.

Sebagai negara serumpun, Indonesia dan Malaysia sudah punya kebudayaan bersama yang
saat ini tengah diajukan ke UNESCO yakni pantun Melayu.

"Sangat mungkin saja (diakui bersama). Asal mereka menunjukkan itu bersumber sama. Tapi kalau
lebih kuat Indonesia, ya mesti keberatan kalau bersama," tutur Muhadjir.

Polemik kuda lumping berawal ketika Malaysia menyatakan kuda lumping merupakan kebudayaan
asli mereka lewat kostum nasional Malaysia di ajang Miss Grand Internasional 2017.

Beberapa waktu lalu, Miss Grand Malaysia 2017 Sanjeda John memperkenalkan kostum nasional
mereka di ajang tersebut.

Sanjeda John yang mengenakan seragam prajurit dan sepatu boots dari songket itu
membawa anyaman berbentuk kuda di tangan kirinya. Kostum nasional itu disebut Kuda
Warisan.

Kostum itu tampak mirip dengan pakaian para pemain kesenian kuda kepang alias kuda
lumping atau jaran dari Ponorogo, Jawa Timur.
h. Pertahanan-Keamanan

Anda mungkin juga menyukai