Anda di halaman 1dari 3

NAMA : JODY DEWA SETIAWAN

NIM : 180110201043

PRODI : SASTRA INDONESIA

MATKUL : FOLKLORE (B)

RANGKUMAN ARTIKEL “SUMPAH POCONG”

Di beberapa wilayah di Jawa Timur, atau lebih populernya di wilayah Tapal Kuda,
barangkali idiom sumpah pocong bukanlah merupakan sesuatu yang baru dan
menghebohkan. Tampaknya sebagian besar masyarakat Jawa Timur akrab di telinganya
untuk sekedar mendengar frase tersebut, meskipun mereka belum tentu mengetahui realitas
empiris dari upacara ritual sumpah pocong. Secara umum, frase sumpah pocong
menimbulkan image dan persepsi yang cenderung berorientasi pada sesuatu yang
mengerikan, dekat dengan maut, dan berbau kematian. Di sisi lain, muncul juga kesan
atmosfer yang bernuansa kuno, tribal, terbelakang, dan irasional.

Pranata sumpah pocong merupakan salah satu potensi kearifan lokal Jawa Timur yang
dapat dimanfaatkan secara praktis untuk mengatasi masalah sosial. Masalah sosial yang dari
waktu ke waktu selalu muncul dalam kontak sosial adalah konflik sosial, di antaranya
kekerasan sosial. Kekerasan tidak selalu terbatas pada tindakan yang tampak dan bersifat
fisik, tetapi juga tindakan yang tersembunyi (Windhu, 1992). Kekerasan dapat terjadi
antarindividu, antarkelompok, kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara, bahkan
kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan dalam kemasan budaya (Husken & Jonge,
2003; Wiyata, 2002). Dalam bentuk apa pun dan terjadi dalam hubungan dengan siapa pun,
kekerasan selalu menyisakan penderitaan.

Jika ditelusuri secara historis, khususnya dalam konteks tradisi Islam, sumpah pocong
bukanlah ajaran yang ada di dalam Islam. Islam memang mengenal dan mengajarkan
sumpah, tetapi bukanlah sumpah pocong. Kata pocong dalam frase sumpah pocong lebih
sebagai adaptasi transformatif dari sumpah dalam ajaran Islam. Istilah pocong dikonstruksi
oleh budaya masyarakat setempat dengan diparalelkan adanya sugesti tentang maut atau
kematian. Dalam tradisi Islam, orang yang meninggal akan dikubur dengan cara dipocong.
Dengan demikian, kata pocong memberi tanda atau simbol bahwa bagi orang atau pihak
tertentu yang berani melanggar norma atau moral, ketika dilakukan sumpah pocong maka
dirinya akan menemui maut hingga ajal menjemput. Format pocong juga mampu memberi
sugesti akan kekuatan sumpah tersebut, yang diasumsikan berakhir dengan kematian pada
pihak yang salah atau berbohong sebagai bagian dari laknat Allah.

Pranata peradilan tradisional berupa sumpah pocong biasanya digunakan sebagai


katub penyelamat sekaligus pereda ketegangan social, atau sebagai media integrasi social atas
perilaku menyimpang/disharmoni. Munculnya perilaku dishamoni secara umum dipengaruhi
oleh dua hal, yakni karakteristik internal seseorang dan lingkungan yang menjadi konteks
pergaulan sosial. Secara garis besar, dalam konteks artikel ini, perilaku disharmoni dikaitkan
dengan empat latar belakang yang menjadi penyebabnya, yakni (1) aspek kekuatan
supranatural atau ngelmu gaib, (2) aspek politik atau kekuasaan, (3) aspek ekonomi, dan (4)
aspek etika sosial.

Dalam pelaksanaan prosesi ritual sumpah pocong, penuduh dan tertuduh diminta
untuk berwudhu, yang bermakna pensucian tubuh dari kotoran, baik secara lahir maupun
batin. Kemudian, keduanya dikafani sebagaimana yang terjadi pada orang meninggal, dengan
diikat pada tiga bagian tubuh, yakni ujung kepala, ujung kaki, dan bagian perut, sehingga
membentuk pocongan. Semua bagian tubuh tertutup kain kafan, kecuali bagian muka. Tubuh
yang telah dipocong tersebut selanjutnya dibaringkan dengan kepala di sebelah utara, kaki di
sebelah selatan, muka menghadap ke barat, sebagaimana posisi mayat yang dikuburkan.
Dengan duduk di depan pocongan, kiai memandu pembacaan syahadat dan sumpah. Giliran
pertama, tertuduh mengucapkan syahadat di bawah Al Quran.

Setelah selesai mengucapkan syahadat, selanjutnya tertuduh mengucapkan sumpah,


juga di bawah Al Quran. Karena yang disumpah kedua belah pihak, maka jenis sumpah yang
dilakukan adalah sumpah mubahalah.

Demi Allah, Saya bersumpah bahwa saya tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang dituduhkan oleh
….(nama penuduh) … yakni berbuat …, dan apabila saya melakukan hal tersebut mudah-mudahan kutukan
Allah berupa … (disebutkan berupa apa)…. menimpa saya. Sebaliknya, kalau saya benar, mudah-mudahan
kutukan Allah tersebut menimpa kepada ….(nama penuduh).
Apabila penuduh bersifat kolektif/massa, biasanya yang disumpah hanya yang
tertuduh (sumpah jenis li‟an). Untuk itu, sumpah yang diucapkan tertuduh biasanya seperti
berikut.

Wallahi Billahi (3x)

Inkuntu kaadziban, fa alaiya la’natullah, wal malaikati, wal anbiyaai, wan nasi ajmaain. Wa inkuntu sodikon fa
alaiya rahmatullahi wal malaikati wal anbiyaai wan nasi ajmaain.

(Demi Allah (3x)

Aku bersumpah, kalau aku berbohong, mudah-mudahan laknat Allah, para malaikat, para rosul, kaum muslimin
semuanya, jatuh kepadaku. Kalau aku benar, mudahmudahan rahmat Allah, para malaikat, para rosul, kaum
muslimin semuanya, jatuh kepadaku.)

Selanjutnya, giliran kedua, penuduh mengucapkan syahadat dan sumpah. Sumpah


yang diucapkan penuduh seperti berikut.

Demi Allah,

Saya bersumpah bahwa saya telah menuduh ….(nama tertuduh) … yakni berbuat …. Apabila tuduhan saya
benar, mudah-mudahan kutukan Allah berupa … (disebutkan berupa apa)…. menimpa kepada … (nama
tertuduh). Sebaliknya, kalau tuduhan saya salah, mudah-mudahan kutukan Allah tersebut menimpa kepada
saya.

Tahap berikutnya, kiai dengan diikuti jamaah menyolati kedua pocong dan
membacakan doa-doa, yang intinya bertujuan untuk memperkuat permohonan kedua belah
pihak kepada Allah. Kemudian, keduanya meminum air putih dalam gelas yang telah diberi
doa-doa oleh kiai. Selanjutnya, kiai menyalami keduanya, dan keduanya juga saling
bersalaman. Dengan demikian, upacara ritual pun selesai, sehingga mereka keluar dari masjid
dan membubarkan diri. Usai prosesi sumpah pocong berarti selesai juga
persengketaan/perselisihan kedua belah pihak.

Dengan berakhirnya prosesi ritual sumpah pocong, maka hari-hari berikutnya mereka
lalui sebagaimana ketika belum terjadi persoalan perilaku disharmoni, meskipun hal tersebut
dilalui secara bertahap. Secara umum, orang-orang yang bersengketa/berkonflik, termasuk
tetangga sekitar, merasa lega dengan selesainya pelaksanaan sumpah pocong. Mereka
kembali menjalin interaksi sosial secara normal dan membangun integrasi sosial untuk
mencapai keharmonisan hubungan sosial.

Anda mungkin juga menyukai