Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM PERKEMBANGAN HEWAN


SUPER OVULASI DAN INSEMINASI BUATAN PADA KATAK

OLEH :

NAMA : JULITA
NO BP : 1710423022
KELOMPOK : II B
ANGGOTA KELOMPOK : 1. FANI REFIZA (1710421006)
2. YUNI ZAHRA (1710421030)
3. AFIF AIDIL SAPUTRA (1710423006)
4. DINDA ZAHRA SASKIA (1710423024)
ASISTEN PJK : VIVY HERMANA P

LABORATORIUM TEACHING II
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2019
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reproduksi merupakan suatu proses perkembang biakan yang diawali dengan


bersatunya sel telur (ovum) dengan sel mani (sperma) sehingga
terbentuk zigot kemudian embrio hingga Fetus dan diakhiri dengan apa yang disebut
dengan kelahiran. Pada proses reproduksi ini menyangkut hewan betina dan jantan.
Secara umum, proses reproduksi ini melibatkan dua hal yakni, sel telur atau yang
biasa disebut dengan ovum dan sel mani atau yang biasanya disebut
dengan Sperma. ovum sendiri dihasilkan olah betina melalui proses ovulasi setelah
melalui beberapa tahap perkembangan folikel (secara umum disebut dengan
proses oogenesis yakni proses pembentukan sel telur atau ovum), sedangkan Sperma
diproduksi oleh jantan melalui proses spermatogenesis (proses pembentukan sel
gamet jantan atau sperma yang terjadi di dalam Testis tepatnya pada tubulus
seminiferus) (Jaling, 2012).
Ovulasi adalah suatu proses terlepasnya sel telur (ovum) dari ovarium sebagai
akibat pecahnya folikel yang telah masak. Mekanisme terjadinya ovulasi dipengaruhi
oleh hormonal, neural, dan perioditas cahaya. Ovulasi pada katak terjadi setelah oosit
melepaskan polaar bodi pertama, dinding teka externa dan folikel sel dari folikel
pecah. Folikel mengalami pertumbuhan karena pengaruh hormon FSH yang
dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior, maka sel-sel folikel mampu menghasilkan
hormon estrogen dan progesteron. Kedua hormon ini dalam jumlah yang kecil
memberi dorongan ke kelenjar hipofisa anterior untuk menghasilkan hormon LH
(Luteinizing Hormone). Hormon LH memegang peranan penting dalam menggertak
terjadinya ovulasi (Adnan, 2008).
FSH dan LH adalah hormone yang paling bertanggung jawab terhadap
siklusreproduksi normal. FSH menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan folikel
pada ovariumselama 10 sampai 14 hari pertama dari siklus. Sekitar hari ke-12 hingga
hari ke-16 kelenjarhipofisis meningkatan produksi LH, ini disebut LH Surge. Lecut
LH menyebabkan folikelmengandung sel telur matang, kemudian pecah dan
dilepaskan sebagai ovulasi. Inilah waktu yang baik untuk fertilisasi. Periode ini
berlangsung sekitar 2 sampai 4 hari (Putro, 2008).
Superovulasi atau sering juga disebut multipleovulasi adalah sebagai salah
satu upaya meningkatkan efisien reproduksi, terutama terhadap hewan yang secara
alami tergolong beranak tunggal. Istilah superovulasi lebih populer dari pada
multipleovulasi. Pada multipleovulasi cenderung mengacu hanya pada arti kwantitas
atau jumlah yang lebih banyak. Sedangkan superovulasi dapat meliputi kedua
pengertian, yaitu kwantitas dan kwalitas atau lebih baik dan lebih banyak (Yatim,
1994).
Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu cara atau teknik untuk
memasukkan mani (Sperma atau Semen) yang telah dicairkan dan telah diproses
terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina
dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut 'insemination gun'.
Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak berabad-
abad yang lampau. Perkawinan alami merupakan perkawinan dimana pejantan
memancarkan Sperma langsung ke dalam alat reproduksi betina secara langsung,
tanpa perantara alat buatan. Perkawinan terjadi secara alami dimana pejantan lebih
agresif sedangkan betina bersifat Responsif (menunggu). Namun terkadang
perkawinan alami memiliki banyak kendala, seperti terbatasnya kemampuan pejantan
dalam membuahi sejumlah betina, Motilitas Sperma yang dikeluarkan pejantan saat
perkawinan, respon betina yang terkadang mengeluarkan kembali Sperma yang telah
masuk dan lain sebagainya, sebenarnya cara ini lebih efektif dan paling banyak
dilakukan para peternak terutama masyarakat tradisional (Feradis, 2010).
Praktikum Super Ovuasi dan Inseminasi Buatan kali ini dilakukan untuk
mengetahui prosedur kerja super ovulasi dan inseminasi buatan, serta memahami
proses yang terjadi di dalam tubuh katak saat super ovulasi itu terjadi dan perbedaan
super ovulasi dengan inseminasi buatan.

1.2 Tujuan Praktikum

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui prosedur kerja super
ovulasi dan inseminasi buatan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Superovulasi berasal dari kata super yang berarti luar biasa, dan ovulasi adalah
pelepasan ovum dari folikel de Graaf. Superovulasi adalah suatu proses saat hewan
diberi perlakuan FSH secara eksogen, yang menyebabkan hewan betina tersebut
memproduksi ovum lebih dari 1 yang dihasilkan secara normal tiap berahi .
Perlakuan superovulasi dalam interval waktu 45 – 60 hari setelah perlakuan
superovulasi sebelumnya (Bearden and Fuquay, 1987). Perlakuan superovulasi
bertujuan menginduksi banyak folikel berovulasi untuk menghasilkan banyak oosit
sehingga setelah difertilisasi akan dihasilkan banyak embrio layak transfer dan
memberikan tingkat kebuntingan yang diharapkan (Bó et al., 2002).
Superovulasi (multiple ovulation) dapat terjadi secara alamiah dan
buatan. Bila secara alami, akibat superovulasi dapat menyebabkan kelahiran kembar
apabila sel-sel telur itu dibuahi spermatozoa. Sedangkan secara buatan diinduksi
dengan pemberian hormon gonadotrophin eksogen. Superovulasi biasanya
digunakan preparat Gonadotrophin Releazing Hormone (GnRH), yaitu Follicle
Stimulating Hormone (FSH), dan Luteinizing Hormone (LH), dengan merk dagang,
antara lain pluset dan follotrophin. Pregnant Mare’s Serum Gonadotrophin (PMSG),
Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) dengan merk dagang foligon, chorulon,
pregnecol. Superovulasi akan memberikan respon terhadap jumlah ovum, corpus
luteum, embrio yang dikoleksi dan jumlah embrio yang layak ditransfer. Embrio
yang layak ditransfer dalam program transfer embrio (TE) merupakan tolak ukur dari
keberhasilan superovulasi (Yusuf, 1990).
Pada teori masa lalu gelombang folikuler diperkirakan terjadi pada pertengahan
siklus birahi yang sekaligus pertengahan fase luteal, yaitu berkisar antara hari ke 9
sampai ke 12 mengacu pada lamanya siklus birahi sapi yang rata-rata 21 hari (18-24
hari). Hari-hari antara 9-12 itulah yang sementara ini diyakini sebagai hari-hari baik
untuk melaksanakan program superovulasi, yang hasilnya ternyata juga tidak pasti
atau bersifat untung-untungn. Pada penelitian terbaru ternyata gelombang folikuer
tidak selalu terjadi pada pertengahan siklus birahi dan pertengahan fase luteal
sebagaimana keyakinan selama ini. Lebih dari itu gelombang folikuler juga tidak
hanya terjadi satu kali saja (Machmudin, 2008).
Pada katak fase gelombang folikulernya diperkirakan terjadi rata-rata 1-3 hari.
Pada puncak gelombang folikuler inilah saat yang paling penting atau paling ideal
untuk melakukan program superovulasi. Terjadinya gelombang folikuler dapat
dipantau dengan bantuan peralatan melalui ultrasonografi (USG). Dalam perhitungan
perolehan embrio hasil superovulasi dikenal dengan istilah “Non Predictible” yang
mengacu pada resposibilitas dan fertilitas masing-masing karakteristik sapi donor.
Begitu juga pada katak. Namun demikian program superovulasi tidak bersifat
untung-untungan, sepanjang semua standar prosedur operasional yang baku di patuhi
dan dipenuhi sebagaimana mestinya. Semakin terpenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam SOP semakin baik hasil perolehan embrio yang didapat, baik kwalitas maupun
kwantitas (Shearer, 2008).
Kelenjar hipofisa katak yang diambil melalui hiposektomi, merupakan
sumber FSH dan LH dapat dipakai untuk menginduksi ovulasi. Potensi kelenjar akan
turun apabilah berada dalamsuhu kamar beberapa jam. Keberhasilan dalam
menginduksi ovulasi pada katak dapat diketahuidengan melakukan striping setelah
katak tersebut (yang sudah diinjeksi) dua puluh empat jamuntuk mengeluarkan sel
telur. Pada suatu keadaan kerena suatu sebab tertentu, ovulasi tidak terjadi dan untuk
membutuhkan zat pemicu terjadinya ovulasi dari luar. Hingga saat ini, satu-satunya
zat pemicu ovulasi yang telah beredar luas ialah hCG, sementara rh-LH masih
dalampenelitian clinical trial tahap lll. Hipofisa atau kelenjar pituitari adalah sebuah
kelenjar endokrin yang menghasilkan sejumlah hormon dengan fungsi dalam
mengatur metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi.ahli endokrinologi menyebut
hifofisa sebagai master of gland atau pusat dari endrikonologi, karena dapat
mengatur ritme atau irama aktivitas-aktivitas kelenjar endokrin lainnya (Adnan,
2007).
Inseminasi buatan (IB) adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan
campur tanga manusia, yaitu mempertahankan sperma dan sel telur agar dapat terjadi
proses pembuahan (fertilisasi). Teknologi IB dilakukan dengan maksud agar
diiperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih, menghindari
terjadinya penyebaran penyakit melalui sarana reproduksi, atau untuk mengatasi bila
terjadi kendala dalam proses perkawinan alam antara jantan dan betina (Diwyanto,
2007).
Melalui kawin alam seekor ternak atau hewan biasanya hanya mampu
mengawini beberapa puluh ekor betina, sementara teknologi IB memungkinkan
seekor pejantan mengawini ratusan ribu ekor betina yang berada pada lokasi dan
waktu yang berbeda dan berjauhan. Faktor utama yang menjadi dasar potensi teknik
ini adalah bahwa ejakulat seekor hewan dewasa mengandung spermatozoa berlipat
ganda lebih banyak daripada jumlah yang diperlukan bagi keberhasilan fertilisasi
dalam seekor betina (Hunter, 1995).
Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah
memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan
untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu
spermatozoon. Potensi terpendam yang dimiliki seekor pejantan sebagai sumber
informasi genetik, apalagi yang unggul dapat dimanfaatkan secara efisien untuk
membuahi banyak betina (Hafez, 1993).
Keberhasilan inseminasi buatan (IB) dapat dinilai dengan mengukur angka
kawin per kebuntingan (S/C). Angka kebuntingan (CR). dan angka tidak diminta
kawin ulang (NR). Toelihere (2001). menyatakan bahwa faktor keberhasilan
inseminasi buatan dipengaruhi oleh pengetahun pertenak dalam gejala birahi,
pelaksanaan inseminasi buatan, pengalaman inseminator dan kualitas sperma.
Selanjutnya Ardikarta (1981) menyatakan bahwa faktor faktor yang memperngaruhi
inseminasi buatan adalah fertilitas, keterampilan inseminator, deteksi birahi, waktu
inseminasi, jumlah sperma, dosis inseminasi dan komposisi semen.
Secara umum IB berfungsi diantaranya untuk perbaikan mutu genetik,
pencegahan penyakit menular, rekording lebih akurat, biaya lebih murah dan
mencegah kecelakaan yang disebabkan oleh pejantan. IB dapat difasilitasi dengan
menggunakan sinkronisasi estrus dan dapat dilakukan pengaturan jenis kelamin
dengan pemanfaatan pemisahan spermatozoa X dan Y. Kelemahan dari IB jika tidak
dikelola dengan baik adalah yatu bila seleksi pejantan salah maka bisa menyebarkan
sifat jelek, membutuhkan keterampilan yang tinggi dari Balai Inseminasai Buatan,
Penyimpanan selama transport, Inseminator juga peternaknya serta bisa
menghilangkan sifat bangsa lokal dalam waktu yang cepat (Susilawati, 2000).
Superovulasi adalah ovulasi sejumlah besar ovum dari seekor betina pada
suatu saat dengan penggunaan berbagai hormone. Hormone-hormon tersebut adalah
Pregnant Mare Serum (PMSG) atau Follicle Stimulating Hormone (FSH), untuk
merangsang pertumbuhan folikular yang di ikuti oleh luteinizing hormone (LH) atau
human chorionic gonadotrophin (HCG) untuk merangsang ovulasi (Frandson,1992).
Sampai saat ini terdapat 2 tipe hormon yang paling sering digunakan untuk tujuan
superovulasi yakni pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan follicle
stimulating hormone (FSH). Kedua hormon ini masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan penggunaan PMSG, respon
ovarium terhadap hormon FSH biasanya lebih baik karena lebih banyak
menghasilkan ovulasi, jumlah folikel anovulasi lebih sedikit, lebih banyak embrio
yang dapat diperoleh, dan kualitas embrio lebih baik. Kelemahan dari FSH adalah
dapat sukar diperoleh di pasar domestik, harganya relatif mahal, dan pemberiannya
harus berulang-ulang sehingga mengakibatkan stress dan menurunkan kualitas
embrio (Putro, 2008).
BAB III PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Perkembangan Hewan objek Superovulasi dan Inseminasi Buatan Pada


Katak dilaksanakan pada Rabu, 6 Maret 2019 pukul 10.00–12.30 WIB di
Laboratorium Pendidikan II Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat bedah, bak bedah, petridish,
pipet tetes, pinset mata, larutan Holfreter, jarum suntik, wadah plastik, kamera, tissu
dan alat tulis. Adapun bahan yang diperlukan adalah Fejervarya sp. dewasa jantan
Fejervarya sp. dewasa betina.

3.3 Cara Kerja


3.3.1 Super Ovulasi

Disediakan katak betina serta larutan Holtfreter pada kaca arloji. Katak jantan
didecapitasi. Rahang bawah katak dibuang kemudian kulit rongga mulut atas juga
dibuang. Buka rongga kepala kemudian diambil hipofisa kemudian dimasukkan ke
dalam larutan Holtfreter. Dilakukan hal yang sama kepada katak jantan berikutnya
sampai hipofisa dirasa sudah cukup. Setelah itu, hipofisa dalam larutan dicacah, lalu
diinjeksikan ke rongga peritoneal posterolateral katak betina. Katak betina
selanjutnya ditempatkan di wadah yang telah berisi air. Dibiarkan katak selama 24
jam dan dilihat apakah katak menghasilkan telur yang banyak.

3.3.2 Inseminasi Buatan

Disediakan katak jantan lalu didecapitasi kemudian dibedah untuk diambil testisnya.
Testis katak jantan kemudian dimasukkan ke dalam larutan Holtfreter dan dicacah
sampai cukup halus. Selanjutnya, sediakan petridish dan pindahkan telur katak betina
ke petridish dengan jarum suntik. Lalu hasil cacahan testis dimasukkan ke petridish
berisi telur tadi kemudian digoyang petridish ke dua arah yang berlawanan agar
semua telur dapat terfertilisasi.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Super Ovulasi

Gambar 1. Super Ovulasi pada Fejervarya cancrivora Betina


Keterangan: a) sel telur
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa jumlah telur
katak yang dihasilakan dari super ovulasi lebih banyak dari jumlah normal, pada
bagian super ovulasi terdapat beberapa kelompok yang tidak mendapatkan telur
katak, hal ini bisa disebabkan oleh kesalahan dalam penyuntikan serta kesalahan
dalam mengambil bagian hipofisa katak.
Menurut Langman (2004) superovulasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk
mendapatkan ovum lebih banyak dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan
memberikan hormon dari lua, untuk merangsang terjadinya ovulasi ganda, maka
diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah
besar. Hormon yang banyak digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon
gonadotropin seperti Pregnant Mare’s Serum Gonadotripin (PMSG) dan Follicle
Stimulating Hormone (FSH). Penyuntikan hormon gonadotropin akan meningkatkan
perkembangan folikel pada ovarium (folikulogenesis) dan pematangan folikel
sehingga diperoleh ovulasi sel telur yang lebih banyak. Hormon FSH mempunyai
waktu paruh hidup dalam induk sapi antara 2-5 jam. Pemberian FSH dilakukan
sehari dua kali yaitu pada pagi dan sore hari selama 4 hari dengan dosis 28 - 50 mg
(tergantung berat badan). Perlakuan superovulasi dilakukan pada hari ke sembilan
sampai hari ke 14 setelah berahi.
Salah satu faktor yang diperiksa untuk menentukan faktor
keberhasilan superovulasi adalah penghitungan korpus luteum (CL) yang ada.
Penghitungan CL sering dipakai pada penelitian mengenai superovulasi untuk
mengukur keberhasilan superovulasi. Korpus luteum merupakan kelanjutan dari
rongga folikel yang telah berovulasi yang mengalami proses luteinisasi yang
membentuk tenunan–tenunan dan mensekresikan hormon progesteron. Sehingga
dengan menghitung jumlah CL yang ada maka dapat diketahui tingkat keberhasilan
hormon gonadotropin dalam menginduksi folikel-folikel yang berovulasi pada usaha
superovulasi. Faktor lainnya adalah jumlah embrio yang didapat setelah
diflushing. Efisiensi dari usaha superovulasi sendiri terpengaruhi oleh adanya
abnormalitas yang muncul, seperti adanya folikel anovulatorik atau folikel sisa /
yang tidak terovulasikan dari superovulasi (Hernawati, 2007)
Faktor yang menyebabkan kesalahan dalam percobaankemungkinan terletak
kesalahan pada kelenjar Pituitary. Kelenjar Pituitary yang diambil sebenarnya
bukanlah kelenjar Pituitary yang dimaksudkan. Bentuk dan ukuran kelenjar Pituitary
yag kecil menyulitkan untuk mengenalnya secara jelas, apalagi posisi kelenjar
Pitutary yang agak susah dijangkau. Kemudian faktor lainnya adalah proses
menggerus kelenjar Pituitary dilakukan dengan kurang maksimal, apalagi tidak
didukung oleh alat sentrifuge sehingga suspensi yang dihasilkan tidak benar-benar
halus. Sehingga mengakibatkan kualitas kelenjar Pituitary menurun. Selanjutnya,
suspensi kelenjar Pituitary yag telah didiamkan pada suhu kamar dalam waktu yan
lama juga dapat mengakibatkan kualitas kelenjar Pituitary menurun. Faktor penyebab
lainnya adalah kesalahan saat proses penyuntikan. Kemungkinan suspensi kelenjar
Pituitary yang disuntikkan volumenya sedikit sehingga kurang dapat bekerja secara
maksimal. Alasan lain kesalahan posisi menyuntik. Hal lain yang mempengaruhi
gagalnya ovulasi pada katak juga bisa disebabkan karena belum matangnya kelenjar
Pituitary pada katak jantan sehingga hormon FSH dan LH tidak dapat bekerja
sebagaimana mestiya. Selain faktor kesalahan tersebut, perlu juga diperhatikan
tentang kondisi lingkungan yang efektif untuk katak betina. Penciptaan kondisi
lingkungan yang efektif dapat membantu proses ovulasi katak betina (Putro, 1996).
4.2 Inseminasi Buatan

Gambar 2. Lapisan telur yang terbentuk


Berdasarkan gambar 2, dapat dilihat bahwa terbentuk lapisan telur setalah di goyang
goyang dan terbentuk jelly yang mengapung. Tetapi, setelah beberapa jam, warna
telur berubah menjadi berwarna putih dan telur tidak berkembang. Percobaan
inseminasi buatan kali ini dapat dinyatakan tidak berhasil. Hal ini diperkirakan
terjadi karena adanya kesalahan pada saat praktikum yaitu kesalahan pada saat
pencacahan sperma. Selain itu, dapa dianalisa bahwa telur nya tidak berkembang
karena sperma terlalu lama di Holtfeter sehingga sperma menjadi mati.
Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Sugianto (1996) bahwa ciri telur
yang telah difertilisasi adalah adanya daerah kelabu yang berbentuk sabit (grey
crescent). Hal ini akibat penetrasi sperma sehinggaa pigmen di tempat yang
berlawanan bergeser ke arah masuknya sperma kurang lebih sepertiga pigmen,
pigmen menjadi berkurang dan tampak bagian ini lebih pucat warnanya. Pembelahan
I dilakukan dengan meridional yang arah pembelahannya tepat pada garis tengah
sabit kelabu dari kutub animal ke kutub vegetal menghasilkan dua blastomer. Moore
(1988) menyatakan bahwa pembelahan regional melalui kutub anima dan vegetatif
dan membelah daerah kelabu. Daerah kelabu sangat penting dalam proses
pembelahan. Para ahli telah melakukan beberapa riset mengenai pembelahan pada
telur katak dengan membelah telur yang telah difertilisasi di daerah di luar daerah
kelabu, dan hasilnya pembelahan tidak terjadi.
Menurut Udin (2012) Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu teknologi
yang dapat memberikan peluang bagi pejantan unggul untuk menyebarluaskan
keturunannya secara maksimal, dimana penggunaan pejantan pada kawin alam
terbatas dalam meningkatkan populasi ternak, karena setiap ejakulasi dapat
membuahi seekor betina.
BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Adapun Kesimpulan yang didapatkan yaitu :

1. Fejervarya sp betina yang telah diinjeksikan hipofisa Fejervarya sp jantan


kemudian didiamkan 24 jam, menghasilkan telur berbentuk bulatan hitam yang
sangat banyak.
2. Superovulasi adalah suatu proses terlepasnya sel telur (ovum) dalam jumlah
banyak dari ovarium sebagai akibat pecahnya folikel yang telah masak.
3. Superovulasi ini dilakukan pada Fejervarya sp betina, agar jumlah sel telur yang
dihasilkan jumlahnya meningkat.
4. Ciri telur yang telah difertilisasi adalah adanya daerah kelabu yang berbentuk
sabit (grey crescent).
5. Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu teknologi yang dapat memberikan
peluang bagi pejantan unggul untuk menyebarluaskan keturunannya secara
maksimal,

5.2 Saran

Diharapkan kepada praktikkan untuk aktif dalam praktikum dan memperhatikan


dengan baik setiap pengamatan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, 2007. Struktur Hewan. Makassar: Jurusan Biologi FMIPA UNM.


Adnan, 2008. Perkembangan Hewan. Makassar: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Machmudin, Dadang dan tim. 2008. Embriologi Hewan. Bandung : Biologi
FMIPA UPI.
Ardikarta RJ. 1981. Inseminasi Buatan pada Sapi dan Kerbau. UGM. Yogyakarta
Bó GA, Guerrero DC, Adams GP. 2008. Alternative approaches to setting up donor
cows for superstimulation. Theriogenology 69: 81–87
Diwyanto, K. 2007. Aplikasi Sexing Semen Beku. Komisi Bioetika Nasional.
Singosari.
Feradis, 2010. Bioteknologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung : Alfabeta.
Frandson. 2002. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi Keempat. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Hafez, E.S.E. 1993. Artificial insemination. In: HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction
in Farm Animals. 6th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. pp. 424-439.
Hernawati. 2007. Aspek fisiologis kelenjar endokrin. FMIPA UPI, Bandung.
Hunter, R H F. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Dometik.
ITB. Bandung
Jaling, Sitti. 2012. Ilmu Reproduksi Ternak. Erlangga : Jakarta.
Langman. 2004. Reproduksi dan Embriologi. Tiga Serangkai, Bandung.
Machmudin, Dadang. 2008. Embriologi Hewan. Bandung : Biologi FMIPA UPI
Moore, Keith L.1988. The Developing Human. Canada : W.B Saunders company
Putro, P.P. 1996. Teknik superovulasi untuk transfer embrio pada sapi. Bull. FKH
UGM XIV(1):1-20.
Putro, P. P. 2008. Dampak Crossbreeding Terhadap Reproduksi Induk. Turunannya :
Hasil Studi Klinis. Lokakarya Lustrum VIII Fakultas Peternakan UGM,
Yogyakarta
Sheare, J.K. 2008. Anatomi dan Psikologi Reproduksi. Florida : Universitas Florida
Sugianto, 1996. Perkembangan Hewan. Yogyakarta.Universitas Gadjah Mada Press.
Toelihere, 2001. Prosesing dan Pembekuan Semen serta Pemanfaatan Semen
Beku. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.(LIPI), Cibinong
Udin. 2012. Teknologi Inseminasi |Buatan dan Transfer Embrio Pada Sapi. Penerbit
Sukabina Press, Padang.
Yusuf. T. L. 1990. Pengaruh Prostaglandin F2 alfa Gonadotrophin Terhadap
Aktivitas Estrus dan Super Ovulasi dalam Rangkaian Kegiatan Transfer
Embrio pada Sapi FH, Bali dan PO. Disertasi. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor

Anda mungkin juga menyukai