OLEH :
NAMA : JULITA
NO BP : 1710423022
KELOMPOK : II B
ANGGOTA KELOMPOK : 1. FANI REFIZA (1710421006)
2. YUNI ZAHRA (1710421030)
3. AFIF AIDIL SAPUTRA (1710423006)
4. DINDA ZAHRA SASKIA (1710423024)
ASISTEN PJK : VIVY HERMANA P
LABORATORIUM TEACHING II
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2019
BAB I PENDAHULUAN
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui prosedur kerja super
ovulasi dan inseminasi buatan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Superovulasi berasal dari kata super yang berarti luar biasa, dan ovulasi adalah
pelepasan ovum dari folikel de Graaf. Superovulasi adalah suatu proses saat hewan
diberi perlakuan FSH secara eksogen, yang menyebabkan hewan betina tersebut
memproduksi ovum lebih dari 1 yang dihasilkan secara normal tiap berahi .
Perlakuan superovulasi dalam interval waktu 45 – 60 hari setelah perlakuan
superovulasi sebelumnya (Bearden and Fuquay, 1987). Perlakuan superovulasi
bertujuan menginduksi banyak folikel berovulasi untuk menghasilkan banyak oosit
sehingga setelah difertilisasi akan dihasilkan banyak embrio layak transfer dan
memberikan tingkat kebuntingan yang diharapkan (Bó et al., 2002).
Superovulasi (multiple ovulation) dapat terjadi secara alamiah dan
buatan. Bila secara alami, akibat superovulasi dapat menyebabkan kelahiran kembar
apabila sel-sel telur itu dibuahi spermatozoa. Sedangkan secara buatan diinduksi
dengan pemberian hormon gonadotrophin eksogen. Superovulasi biasanya
digunakan preparat Gonadotrophin Releazing Hormone (GnRH), yaitu Follicle
Stimulating Hormone (FSH), dan Luteinizing Hormone (LH), dengan merk dagang,
antara lain pluset dan follotrophin. Pregnant Mare’s Serum Gonadotrophin (PMSG),
Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) dengan merk dagang foligon, chorulon,
pregnecol. Superovulasi akan memberikan respon terhadap jumlah ovum, corpus
luteum, embrio yang dikoleksi dan jumlah embrio yang layak ditransfer. Embrio
yang layak ditransfer dalam program transfer embrio (TE) merupakan tolak ukur dari
keberhasilan superovulasi (Yusuf, 1990).
Pada teori masa lalu gelombang folikuler diperkirakan terjadi pada pertengahan
siklus birahi yang sekaligus pertengahan fase luteal, yaitu berkisar antara hari ke 9
sampai ke 12 mengacu pada lamanya siklus birahi sapi yang rata-rata 21 hari (18-24
hari). Hari-hari antara 9-12 itulah yang sementara ini diyakini sebagai hari-hari baik
untuk melaksanakan program superovulasi, yang hasilnya ternyata juga tidak pasti
atau bersifat untung-untungn. Pada penelitian terbaru ternyata gelombang folikuer
tidak selalu terjadi pada pertengahan siklus birahi dan pertengahan fase luteal
sebagaimana keyakinan selama ini. Lebih dari itu gelombang folikuler juga tidak
hanya terjadi satu kali saja (Machmudin, 2008).
Pada katak fase gelombang folikulernya diperkirakan terjadi rata-rata 1-3 hari.
Pada puncak gelombang folikuler inilah saat yang paling penting atau paling ideal
untuk melakukan program superovulasi. Terjadinya gelombang folikuler dapat
dipantau dengan bantuan peralatan melalui ultrasonografi (USG). Dalam perhitungan
perolehan embrio hasil superovulasi dikenal dengan istilah “Non Predictible” yang
mengacu pada resposibilitas dan fertilitas masing-masing karakteristik sapi donor.
Begitu juga pada katak. Namun demikian program superovulasi tidak bersifat
untung-untungan, sepanjang semua standar prosedur operasional yang baku di patuhi
dan dipenuhi sebagaimana mestinya. Semakin terpenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam SOP semakin baik hasil perolehan embrio yang didapat, baik kwalitas maupun
kwantitas (Shearer, 2008).
Kelenjar hipofisa katak yang diambil melalui hiposektomi, merupakan
sumber FSH dan LH dapat dipakai untuk menginduksi ovulasi. Potensi kelenjar akan
turun apabilah berada dalamsuhu kamar beberapa jam. Keberhasilan dalam
menginduksi ovulasi pada katak dapat diketahuidengan melakukan striping setelah
katak tersebut (yang sudah diinjeksi) dua puluh empat jamuntuk mengeluarkan sel
telur. Pada suatu keadaan kerena suatu sebab tertentu, ovulasi tidak terjadi dan untuk
membutuhkan zat pemicu terjadinya ovulasi dari luar. Hingga saat ini, satu-satunya
zat pemicu ovulasi yang telah beredar luas ialah hCG, sementara rh-LH masih
dalampenelitian clinical trial tahap lll. Hipofisa atau kelenjar pituitari adalah sebuah
kelenjar endokrin yang menghasilkan sejumlah hormon dengan fungsi dalam
mengatur metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi.ahli endokrinologi menyebut
hifofisa sebagai master of gland atau pusat dari endrikonologi, karena dapat
mengatur ritme atau irama aktivitas-aktivitas kelenjar endokrin lainnya (Adnan,
2007).
Inseminasi buatan (IB) adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan
campur tanga manusia, yaitu mempertahankan sperma dan sel telur agar dapat terjadi
proses pembuahan (fertilisasi). Teknologi IB dilakukan dengan maksud agar
diiperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih, menghindari
terjadinya penyebaran penyakit melalui sarana reproduksi, atau untuk mengatasi bila
terjadi kendala dalam proses perkawinan alam antara jantan dan betina (Diwyanto,
2007).
Melalui kawin alam seekor ternak atau hewan biasanya hanya mampu
mengawini beberapa puluh ekor betina, sementara teknologi IB memungkinkan
seekor pejantan mengawini ratusan ribu ekor betina yang berada pada lokasi dan
waktu yang berbeda dan berjauhan. Faktor utama yang menjadi dasar potensi teknik
ini adalah bahwa ejakulat seekor hewan dewasa mengandung spermatozoa berlipat
ganda lebih banyak daripada jumlah yang diperlukan bagi keberhasilan fertilisasi
dalam seekor betina (Hunter, 1995).
Konsep dasar dari teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah
memproduksi puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan
untuk membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu
spermatozoon. Potensi terpendam yang dimiliki seekor pejantan sebagai sumber
informasi genetik, apalagi yang unggul dapat dimanfaatkan secara efisien untuk
membuahi banyak betina (Hafez, 1993).
Keberhasilan inseminasi buatan (IB) dapat dinilai dengan mengukur angka
kawin per kebuntingan (S/C). Angka kebuntingan (CR). dan angka tidak diminta
kawin ulang (NR). Toelihere (2001). menyatakan bahwa faktor keberhasilan
inseminasi buatan dipengaruhi oleh pengetahun pertenak dalam gejala birahi,
pelaksanaan inseminasi buatan, pengalaman inseminator dan kualitas sperma.
Selanjutnya Ardikarta (1981) menyatakan bahwa faktor faktor yang memperngaruhi
inseminasi buatan adalah fertilitas, keterampilan inseminator, deteksi birahi, waktu
inseminasi, jumlah sperma, dosis inseminasi dan komposisi semen.
Secara umum IB berfungsi diantaranya untuk perbaikan mutu genetik,
pencegahan penyakit menular, rekording lebih akurat, biaya lebih murah dan
mencegah kecelakaan yang disebabkan oleh pejantan. IB dapat difasilitasi dengan
menggunakan sinkronisasi estrus dan dapat dilakukan pengaturan jenis kelamin
dengan pemanfaatan pemisahan spermatozoa X dan Y. Kelemahan dari IB jika tidak
dikelola dengan baik adalah yatu bila seleksi pejantan salah maka bisa menyebarkan
sifat jelek, membutuhkan keterampilan yang tinggi dari Balai Inseminasai Buatan,
Penyimpanan selama transport, Inseminator juga peternaknya serta bisa
menghilangkan sifat bangsa lokal dalam waktu yang cepat (Susilawati, 2000).
Superovulasi adalah ovulasi sejumlah besar ovum dari seekor betina pada
suatu saat dengan penggunaan berbagai hormone. Hormone-hormon tersebut adalah
Pregnant Mare Serum (PMSG) atau Follicle Stimulating Hormone (FSH), untuk
merangsang pertumbuhan folikular yang di ikuti oleh luteinizing hormone (LH) atau
human chorionic gonadotrophin (HCG) untuk merangsang ovulasi (Frandson,1992).
Sampai saat ini terdapat 2 tipe hormon yang paling sering digunakan untuk tujuan
superovulasi yakni pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan follicle
stimulating hormone (FSH). Kedua hormon ini masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan penggunaan PMSG, respon
ovarium terhadap hormon FSH biasanya lebih baik karena lebih banyak
menghasilkan ovulasi, jumlah folikel anovulasi lebih sedikit, lebih banyak embrio
yang dapat diperoleh, dan kualitas embrio lebih baik. Kelemahan dari FSH adalah
dapat sukar diperoleh di pasar domestik, harganya relatif mahal, dan pemberiannya
harus berulang-ulang sehingga mengakibatkan stress dan menurunkan kualitas
embrio (Putro, 2008).
BAB III PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat bedah, bak bedah, petridish,
pipet tetes, pinset mata, larutan Holfreter, jarum suntik, wadah plastik, kamera, tissu
dan alat tulis. Adapun bahan yang diperlukan adalah Fejervarya sp. dewasa jantan
Fejervarya sp. dewasa betina.
Disediakan katak betina serta larutan Holtfreter pada kaca arloji. Katak jantan
didecapitasi. Rahang bawah katak dibuang kemudian kulit rongga mulut atas juga
dibuang. Buka rongga kepala kemudian diambil hipofisa kemudian dimasukkan ke
dalam larutan Holtfreter. Dilakukan hal yang sama kepada katak jantan berikutnya
sampai hipofisa dirasa sudah cukup. Setelah itu, hipofisa dalam larutan dicacah, lalu
diinjeksikan ke rongga peritoneal posterolateral katak betina. Katak betina
selanjutnya ditempatkan di wadah yang telah berisi air. Dibiarkan katak selama 24
jam dan dilihat apakah katak menghasilkan telur yang banyak.
Disediakan katak jantan lalu didecapitasi kemudian dibedah untuk diambil testisnya.
Testis katak jantan kemudian dimasukkan ke dalam larutan Holtfreter dan dicacah
sampai cukup halus. Selanjutnya, sediakan petridish dan pindahkan telur katak betina
ke petridish dengan jarum suntik. Lalu hasil cacahan testis dimasukkan ke petridish
berisi telur tadi kemudian digoyang petridish ke dua arah yang berlawanan agar
semua telur dapat terfertilisasi.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran