Anda di halaman 1dari 8

GANGGUAN BERBAHASA

Proses berbahasa dimulai dengan enkode semantik, enkode gramatika, dan enkode
fonologi. Enkode semantik dan enkode gramatika berlangsung dalam otak., sedangkan encode
fonologi dimulai dari otak kemudian dilanjutkan pelaksanaanya oleh alat-alat bicara yang
melibatkan sistem saraf otak (neuromiskuler) bicara dari otot tenggorokan, otot bibir, mulut,
langit-langit, rongga hidung, pita suara dan paru-paru. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
berbahasa adalah proses mengeluarkan pikiran dan perasaan (dari otak) secara lisan, dalam
dibicarakan bagaimana fungsi dan peranan otak dalam memproduksi bicara bahasa; serta dalam
menerima dan memehami masukan bahasa melalui telinga, dan yang selanjutnya diolah di dalam
otak.
Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat bebahasa dengan baik.
Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai
kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif. Jadi, kemampuan bahasanya
terganggu.
Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat
factor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud denga faktor medis
adalah gangguan, baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat alat-alat bicara. Sedangkan
yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak
alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia
yang sewajarnya.
1. Gangguan Berbicara
Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena
itu , gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, gangguan
mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; dan kedua, gangguan berbicara
psikogenik.
a. Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh
kegiatan terpadu daru pita suara, lidah, otot yang memmbentuk rongga mulut secara
kerongkongan, dan paru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya ini
dapat dirinci menjadi gannguan berbicara akibat kelainan paru-paru (pulmonal), pada pita
suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan
(resonantal).
1. Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh penderita penyakit paru-paru. Para penderita
penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang, sehingga cara bicaranya
diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan terputus-putus,
meskipun dari segi semantic dan sintaksis ada masalah.
2. Gangguan Akibat Faktor Laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang
sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai dengan suara yang
serak atau hilang, tanpa kelainan semantic dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi
semantic dan sintaksis ucapannya bias diterima.
3. Gangguan Akibat Faktor Laringal
Lidah yang sariawan atau luka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah
timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara
semaunya.Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidaj
sempurna, sehingga misalnya, kalimat “Sudah barang tentu dia akan menyangkal”
mungkin akan diucapkan menjadi “Hu ah ba-ang ke-ku ia a-an meng-kay”.
4. Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi
bersengau. Pada orang sumbing, misalnya suaranya menjadi besengau (bindeng) karena
rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui efek
dilangit-langit keras (palatanum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi
terganggu. Ronga langit-langit itu memberikan resonansi yang seharusnya , suaranya
menjadi bersengau.
b. Gangguan Akibat Multifaktorial
Akibatnya gangguan multifakorial atau berbagai faktor bias menyebabkan
terjadinya gangguan berbicara. Antara lain adalah berikut ini.
1. Berbicara Serampangan
Berbucara seramgpangan atau sembrono adalah berbucara dengan cepat sekali, dengan
artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata, sehingga apa
yang diucapkan sukar dipahami. Umpamanya kalimat “Kemarin pagi saya sudah
beberapa kali kesini”
2. Berbicara Propulsif
Berbicara Propulsif biasanya terdapat pada penderita penyakit Parkinson (Kerusakan
pada otak yang menybabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah). Namun, bila sudah
bergerak maka ia dapat terus menerus tanpa henti. Gerak laju terus disebut propulsi.Pada
waktu berbicara cirri khas ini akan tampak pula. Suaranya mula tersendat-sendat,
kemudian terus menerus, dan akhirnya tersendat-sendat kembali.
3. Berbicara Mutis (Mutisme)
Gangguan Mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari mereka mungkin masih
bisa dianggap membisu. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi
secara verbal saja, seperti dengan gerak gerik, dan sebagainya. Oleh karena itu, tak heran
kalau kita dapatkan berbagai teori dan anggapan dari berbagai pihak tentang mutisme
itu.Dengan begitu seseorang yang bisu sebagai tindakan protes nonverbaldapat dianggap
penderita mutisme, padahal sebenarnya merupakan sindrom konversi histerik. Dewasa ini
apa yang dikenal sebagai mutisme kinetic lebih dikenal sebagai locked in syndromea
Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu apalagi dengan bisu tuli. Dalam hal
kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adanya tiga macam penderta. Pertama, orang
yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehingga ia tidak bisa
memproduksi ujaran bahasa; tetapi alat dengarnya normal sehingga dia dapat mendengar
suara bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat
artiklasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak dapat memproduksi ujaran-ujaran dan
juga tidak bisa mendengar ujaran bahasa orang lain. Ketiga, orang yang bisu sebenarnya
alat artikulasinya normal tida ada kelainan; tetapi alat pendengarannya rusak atau ada
kelainan. Orang golongan ketiga ini menjadi bisu karena dia tidak pernah mendengar
ujaran bahasa orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan bahasa itu.
c. Gangguan Psikogenik
Berbicara psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai gangguan
berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasicara berbicara yang normal , tetapi
yang merupakan ungkapan dari gangguan dibidang mental. Modalitas mental yang
terungkap
oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada. Intonasi, dan intensitas suara,
lafal dan pilhan kata. Gangguan berbicara psikogenik antara lain sebagai berikut.
1. Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) melakukannya meminta perhatian
untuk dimanja. Umpanya, kanak-kanak yang barau terjatuh, terluka, atau mendapat
kecelakaan terdengar adanya perubahan pada cara berbicaranya . fonem atau bunyi {s}
dilafalkan sebagai bunyi {c} sehungga kalimat “Saya sakit, jadi tidak suma makan, sudah
saja, ya” akan diucapkan menjadi “Caya cakit, jadi tidak cuka makan, udah caja, ya”,
dengan berbicara demikian dia mengungkapkan keinginannya untuk dimanja. Gejala ini
memberikan kesan bahwa struktur bahasa memiliki substrat selebral.
2. Berbicara Kemayu
Berbicara kemayu di cirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan
lafat yang dilakukan secara ekstra menonjol atau lemah gemulai dan ekstra memanjang
(Inggris: Lisp; Belanda: Lispelen). Meskipun berbicar seperti ini bukan suatu gangguan
ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologi yang
mengungkapkan gangguan identitas kelamin terutama jika yang dilanda adalah kaum
pria.
3. Berbicara gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti,
lalu mngeulang-ulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah berhasil
mengucapkan kata-kata itu kaimat dapat diselesaikan. Lalu dia memilih kata lain, dan
berhasil menyelesaikan kalimat tersebut meskipun dengan susah payah juga. Dalam
usahanya mengucapkan kata pertama yang barang kali gagal, si pembicara
menampakkan rasa letih dan rasa kecewanya.
4. Berbicara Latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla , yaitu perbuatan membeo, atau menirukan apa
yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri
atas curah verbal repetitive yang bersifat jorok (Koprolalla) Dan gangguan lokomotoril
yang dapat dipancing. Awal mula timbulnya latah ini, menurut ,mereka yang terserang
latah, adalah secara berbicara melihat banyak sekali penis lelaki sebesar dan sepanjang
belut. Kelatahan ini “Excuse” atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkah laku por
no, yang ada pada hakikatnya berimplikasi invitasi seksual (Lihat juga W.F Maramis,
1998 : 416-418).
2. Gangguan Berbahasa
Proses belajar berbicara dan mengerti bahasa adalah proses selebral, dan berarti
proses ekspresi verbal dan komprehensi auditorik itu dilaksanakan oleh sel-sel saraf diota
yang disebut neuron. Proses neuron diota ini sangat rumit sekali untuk bisa dipahami.
Barang kali kalau disederhanakan bisa kita umpamakan dengan alat computer yang dapat
menyimpan (storage) semua nasukan dalam bentuk sendi elektronk (Coding), yang dapat
diangkat kembali (Recall) dari simpanan itu. Gudang tempat menyimpan sandi ekspresi
kata-kata diota adalah didaerah Broca , sedangkan gudang tempat menyimpan sandi
komprehensi kata-kata adalah didaerah wernicke. Untuk dapat berbahasa diperlukan
menegljuarkan kata-kata. Ini berarti, daerah broca dan wernicke harus berfungsi dengan
baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gengguan
bahasa yang disebut afasia, dalam hal ini broca sendiri menamai afemia. Mekanisme
neuronal yang mendasari penyempurnaan gerakan voluntar itu ternyata lebih lengkap dan
lebih rumit hanya pada salah satu belahan otak saja. Belahan otak (Hemisferium) yang
memiliki organisasi nuoronal yang lebih sempurna dikenal sebagai hemisferium yang
dominan. Pada orang kidal hemisferium kananlah yang dominan dan pada orang yang
tidak kidal, hemisferium kirilah yang dominan.
a. Afasia Motorik
Kerusaka pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya
afasia motorik bisa terletak pada lapisan permukaan (leksikortikal) daerah broca.
Atau pada lapisan dibawah permukaan (lesi subkortikal) daerah broca atau juga
daerah otak antara daerah broca dan daerah wernicke (lesi transkortikal) . Oleh
kaeran itu, didapati adanya tiga macam afasia motorik ini.
1. Afasia Motorik Kortikal
Tempat menyimpan sandi-sandi perkataan adalah dikorteks daerah broca. Jadi, afasia
motorik kortikal mengguanakan perkataan. Penderita afasia motorik kortikal ini masih
mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun ekspresi verbal tidak sama sekali ;
sedangkan ekspresi visual (bahasa tulis dan bahasa isyarat) masih bisa dilakukan.
2. Afasia Motorik Subkortikal
Sandi-sandi perkataan disimpan dilapisan permukaan ( korteks ) daerah broca, apaila
kerusakan terjadi pada bagaian bawahnya (subkortikal) semua perkataan masih tersimpan
utuh didalam gudang. Melalui jalur lain tampaknya mengeluarkan perkataan masih dapat
disampaikan kegudang penyimpanan perkataan itu (gudang broca) sehingga ekspresi
verbal masih mungkin dengan pancingan. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual
tidak terganggu, dan ekspresi visualpun berjalan normal.
3. Afasia Motorik Traskortikal
Afasia motorik trankortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca
dan Wernicke. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekpresi bahasa
terganggu. Pada umumnya afasia motorik traskortikal ini merupakan leksikortikal ini
merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah broca. Jadi, penderita afasia
motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih
mungkin menggunakan perkataan subtitusinya. Misalnya untuk mengatakan “pensil”
sebagian jawaban atas pertanyaan “barang yang saya pegang ini namanya apa?” Dia
tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu mengeluarkan perkataan, “itu
tu, tu, tu untuk menulis”. Afasia jenis ini disebut juga dengan afasia nominatif .
b. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia adalah akibat adanya kerusakan pada
lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Kerusakan di
daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar
(pengertian auditorik) terganggu, tetapi juga pngertian dari apa yang dilihat
(pengertian visual) ikut terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan
bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun
hal itu tidak di pahamioleh dirinya sendiri maupun orang lain.
Curah verbalnya merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak
dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada yang
mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatau bahasa; tetapi kebanyakan tidak
sama atau sesuai denga perkataan bahasa apa pun.
Neologismenya itu di ucapkan dengan irama, nada, dan melodi yang
sesuai dengan bahasa asing yang ada. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah,
atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang
didengernya (bahasa verbal yang normal) keduanya sama sekali tidak
dipahaminya.
Sumber : Buku Psikolinguistik Kajian Teoretik (Abdul
Chaer)

Anda mungkin juga menyukai