PENDAHULUAN
Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2% dengan prevalensi tertinggi ditemukan
di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%) dan angka insiden kecelakaan
jalan di Indonesia tercatat masih cukup tinggi.
Tingkat keparahan secara klinis dari cedera otak traumatik dapat dinilai dari Glasgow
Coma Scale (GCS/ Skala Coma Glasgow) (Wahjoepurnomo, 2005; Sadaka, 2012).
Penekanan pada standarisasi penilaian awal dengan pendekatan GCS pada pasien merupakan
salah satu indikator yang nyata dan dapat dipercaya dari cedera otak traumatik dan harus
diulang-ulang untuk menentukan perbaikan atau perburukan sepanjang waktu (Bisri, 2012;
Sadaka, 2012).
Pada cedera otak traumatik yang akan dilakukan operasi kraniotomi, penanganan
edema dimaksudkan untuk mengurangi edema yang dapat mengakibatkan tekanan
intrakranial yang tinggi yang secara langsung mempengaruhi relaksasi otak (Bisri, 2012;
Kass dan Cottrel, 2010).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut ATLS (Advanced Trauma Life Support) terdiri dari 5 lapisan yaitu:
1) Durameter
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula interna
atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya,
sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang subdural yang terletak antara
durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan serta menyebabkan perdarahan subdural. Durameter
membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu : sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus.
Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior
berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial.
Arteri-arteri meningen terletak pada ruang epidural, dimana yang sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis
dapat menimbulkan perdarahan epidural.
2) Arachnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut kolagen.
Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu lapisan yang berhubungan
dengan durameter dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut
dengan piameter. Ruangan diantara membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan
serebrospinal dan sama sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada beberapa daerah,
arachnoid melubangi durameter, dengan membentuk penonjolan yang membentuk
trabekula di dalam sinus venous durameter. Bagian ini dikenal dengan vilus
arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke daerah sinus
venous.
Arachnoid merupakan selaput tipis dan transparan. Arachnoid berbentuk seperti jaring
laba-laba. Antara arachnoid dan piameter terdapat ruangan berisi cairan yang
berfungsi untuk melindungi otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter
kadang-kadang disebut sebagai leptomeninges.
3) Piameter
Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal
bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan
ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial.
4. Otak
Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan
durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat
pusat bicara.
Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior
berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.
Batang otak
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla spinalis.
5. Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau sekitar
500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus yang
terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan
ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal
pada orang dewasa sekitar 120 mL Cairan serebrospinal setelah diproduksi oleh
pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen
interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III, kemudian masuk ke dalam ventrikel IV
melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral
dan 1 foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid,
melalui granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian masuk ke
aliran vena
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal melebihi
jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan serebrospinal yang
berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus.
Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural
absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles. Pelebaran
ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali
asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau
perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran
ventrikel III ke arah bawah hingga fossa pituitary (menyebabkan pituitary
disfunction).
6. Tentorium
Tentorium serebri membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
Supratentorial yang berisi fosa kranii anterior
Infratentorial yang berisi fosa kranii posterior
C. PATOLOGI
1. Definisi
Trauma Brain Injury atau cedera kepala merupakan trauma mekanik terhadap
kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat
temporer maupun permanent (PERDOSI,2006)
Trauma Brain Injury adalah salah satu bentuk trauma yang dapat mengubah
kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual,
emosional, gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan
fungsi otak (Pedoman Penaggulangan Gawat Darurat Ems 119 Jakarta, 2008).
Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009).
2. Etiologi
Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu :
Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma kepala terdiri
dari :
1) Benda tajam.
2) Benda tumpul.
3) Peluru.
4) Kecelakaan lalu lintas
1) Olah raga.
2) Jatuh.
3) Kecelakaan kenderaan bermotor.
4. Gambaran Klinis
5. Balance Tes
Tujuan : Melatih Keseimbangan tubuh
Teknik : minta pasien mempertahankan keseimbangan di atas permukaan
yang tidak stabil dan meraih ke berbagai arah, pertama dengan satu ekstrmitas,
kemudian dengan dua ekstremitas.
6. Latihan Berjalan
Agar pasien dapat secara mendiri melakukan ambulasi maka latihan jalan
secara bertahap. Diawali dengan latihan jalan tanpa menumpu berat badan atau non
weigh bearing, baik menggunakan alat bantu walker maupun ditingkatkan dengan
pemakaian kruk, dengan metode jalan swing yang terdiri dari swing to dan swing
through. Latihan ini bertujuan agar pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri
tanpa bantuan orang lain, walaupun ambulasi masih menggunakan alat bantu, tanpa
menapakkan kaki sebagai penyangga tubuh
BAB III
PROSES FISIOTERAPI
B. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Kelemahan pada kedua tungakai
Letak Keluhan Utama : Kedua tungkai
Riwayat Perjalanan Penyakit : Saat pasien masih balita pernah terjatuh dan terdapat
luka memar kebiruan, Keluarga pasien tidak membawa pasien ke rs karna dianggap
tidak berbahaya. Lalu saat pasien berusia 8-12 bulan keluarga baru menyadari ada
kelainan pada cara berjalan pasien dan terdapat keterlamabatan dalam berpikir dan
merespon sesuatu. Sekitar bulan maret 2019 pasien melakukan MRI di rs wahidin dan
hasilnya terdapat brain swelling dan difrensiasi brain white and grey.
Vital Sign :
Tekanan Darah : 90 / 60 mmHg
Denyut Nadi : 80kali / menit
Pernafasan : 22 kali / menit
Suhu Tubuh : 36oC
Riwayat Penyakit Sebelumnya : Tidak ada
C. Inspeksi/ Observasi
Statis : - Saat pasien duduk terkadang mengalami tremor
Dinamis : - Pola berjalan tidak normal, pasien berjalan jinjit
- Tidak mampu berjalan tanpa bantuan
D. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi
1. Tes kognitif : Pasien merespon dengan baik
2. Palpasi : -Suhu normal
- Terdapat atrofi
- Pemendekan otot
- Terdapat spastic
3. Tes refleks : Tidak dilakukan
4. Tes sensorik : Panas dingin : (+)
Kasar dan halus : (+)
Tajam dan tumpul : (+)
5. Manual Muscle Testing ( MMT) :
5 5
4 4
Inspeksi :
Saat pasien duduk terkadang mengalami tremor,pasien berjalan jinjit, Tidak mampu berjalan
tanpa bantuan
Pemeriksaan
spesifik
K
a
s
a
r
d
a
n
F. Diagnosa Fisioterapi
Gangguan Aktivitas Fungsional Paraparase et causa Traumatic Brain Injury
G. Problematik Fisioterapi dan Bagan ICF
Buatlah bagan ICF sesuai dengan problemtik yang ditemukan berdasarkan hasil
assesment terhadap kasus yang anda tangani :
Nama pasien : LA
Umur : 7 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Kondisi/Penyakit :
Gangguan Aktivitas Fungsional Lengan dan Tungkai Hemiparese Dextra Et Causa
Infection Cerebri
H. Tujuan intervensi
1. Tujuan jangka pendek :
o Memperbaiki pola jalan
o Memperkuat otot-otot tungkai bawah
o Menambah massa otot
o Mengembalikan otot yang mengalami atropi
o Memperbaiki tungkai yang mengalami spastic
2. Tujuan jangka panjang :
o Agar pasien kembali dapat bermain dengan teman-teman tanpa adanya
keterbatasan
o Dan pasien dapat kembali bersosialisai dengan lingkungan
I. Program Intervensi Fisioterapi
1. IR (Infra Red)
Tujuan : Melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan metabolisme jaringan dan
elastisitas jaringan otot.
Teknik : Sinar infra merah adalah pancaran gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang 7.700 – 4.000.000
Prosedur aplikasi :
a. Persiapan alat
Antara lain meliputi kabelnya, jenis lampu, besarnya watt. Jenis lampu yang
digunakan adalah lampu generator luminous, gelombang pendek
(penetrating), tidak memerlukan waktu pemanasan.
b. Persiapan penderita
Waktu penyinaran berkisar antara 10-20 menit dan ini tergantung pada
toleransi serta kondisi penyakitnya.
2. Electrical Stimulation
Tujuan : Menstimulasi serabut dan jaringan otot.
Teknik : Posisi tidur terlentang kemudian dilakukan pemasangan pad, satu pad
pada fossa poplitea dan satu lagi di bagian lateral musculus tibialis
anterior. ke tengah lagi dengan menghembuskan napas dari mulut
terbuka.
3. Aktif Exercises
Tujuan :Mencegah agar tidak terjadi atropi dan kontraktur pada otot
Teknik :Pasien dalam keadaan tidur terlentang diatas bed kemudian,
menggerakkan setiap persendian pada ke dua tangan dan tungkai
sebelah kiri.
4. Straightening Exercise
Tujuan : Latihan untuk penguatan otot
Teknik :Pasien dalam keadaan tidur terlentang dan intruksikan pasien untuk
melakukan gerakan aktif kemudian fisioterapis memberikan tahanan.
5. Balance Tes
Tujuan : Melatih Keseimbangan tubuh
Teknik :
Duduk : begitu individu dapat duduk di permukaan yang keras dan
stabil serta mempertahankan keseimbangan saat meraih ke segala
arah dan dengan beban yang bervariasi, tingkatkan menjadi duduk di
permukaan yang tidak stabil.
Berlutut : aktivitas berlutut dapat dilakukan dalam posisi setengah
berlutut (berlutut dengan satu tungkai sementara kaki yang lain
berada di depan dan menapak pada lantai) atau posisi high-kneeling
(berlutut tinggi) dan disertai meraih ke berbagai arah dengan dan
tanpa pembebanan serta merespons terhadap perturbasi pada
permukaan yang stabil dan tidak stabil
Menapak unilateral : mulai dengan meminta pasien berlatih
berdiri dengan satu tungkai pada permukaan stabil, tingkatkan ke
permukaan yang tidak stabil dan berikan perturbasi seperti yang
dijelaskan dalam latihan menapak bilateral.
6. Latihan Berjalan
Initial Contact Pre-Swing (PSw)
Loading Response (LR) Initial Swing (Isw)
Mid Stance (MSt) Midswing (MSw)
Terminal Stance Terminal Swing (TSw)
H. Evaluasi
Setelah beberapa kali pemeberian terapi pada pasien, hasilnya
Pola berjalan pasien mulai mengalami perbaikan
Peningkatan luas gerak sendi
Massa otot bertambah
Spastic pada kedua tungkai mulai berkurang
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan