Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Traumatik brain injury (cedera otak traumatik/COT) yang umumnya didefinisikan


dengan adanya kelainan non degeneratif dan non congenital yang terjadi pada otak, sebagai
akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang berisiko menyebabkan gangguan temporer
atau permanen dalam fungsi kognitif, fisik, dan fungsi psikososial, dengan disertai penurunan
atau hilangnya kesadaran (Wahjoepurnomo, 2005; Dowodu, 2013 ).

Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2% dengan prevalensi tertinggi ditemukan
di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%) dan angka insiden kecelakaan
jalan di Indonesia tercatat masih cukup tinggi.

Tingkat keparahan secara klinis dari cedera otak traumatik dapat dinilai dari Glasgow
Coma Scale (GCS/ Skala Coma Glasgow) (Wahjoepurnomo, 2005; Sadaka, 2012).
Penekanan pada standarisasi penilaian awal dengan pendekatan GCS pada pasien merupakan
salah satu indikator yang nyata dan dapat dipercaya dari cedera otak traumatik dan harus
diulang-ulang untuk menentukan perbaikan atau perburukan sepanjang waktu (Bisri, 2012;
Sadaka, 2012).

Pada cedera otak traumatik yang akan dilakukan operasi kraniotomi, penanganan
edema dimaksudkan untuk mengurangi edema yang dapat mengakibatkan tekanan
intrakranial yang tinggi yang secara langsung mempengaruhi relaksasi otak (Bisri, 2012;
Kass dan Cottrel, 2010).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI SISTEM SARAF PUSAT

1. Kulit Kepala (SCALP)

Menurut ATLS (Advanced Trauma Life Support) terdiri dari 5 lapisan yaitu:

 Skin atau kulit


 Connective Tissue atau jaringan penyambung
 Aponeurosis atau galea aponeurotika à jaringan ikat berhubungan langsung
dengan tengkorak.
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar Merupakan tempat
terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).
 Perikranium
2. Tulang Tengkorak
Terdiri dari Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar dibagi 3 fosa :
 Anterior atautempat lobus frontalis.
 Media atau tempat lobus temporalis.
 Posterior tempat batang otak bawah dan serebelum.
3. Meningen

Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :

1) Durameter
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula interna
atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya,
sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang subdural yang terletak antara
durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan serta menyebabkan perdarahan subdural. Durameter
membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu : sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus.
Perdarahan akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior
berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial.
Arteri-arteri meningen terletak pada ruang epidural, dimana yang sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis
dapat menimbulkan perdarahan epidural.

2) Arachnoid

Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut kolagen.
Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu lapisan yang berhubungan
dengan durameter dan suatu sistem trabekula yang menghubungkan lapisan tersebut
dengan piameter. Ruangan diantara membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan
serebrospinal dan sama sekali dipisahkan dari ruang subdural. Pada beberapa daerah,
arachnoid melubangi durameter, dengan membentuk penonjolan yang membentuk
trabekula di dalam sinus venous durameter. Bagian ini dikenal dengan vilus
arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke daerah sinus
venous.

Arachnoid merupakan selaput tipis dan transparan. Arachnoid berbentuk seperti jaring
laba-laba. Antara arachnoid dan piameter terdapat ruangan berisi cairan yang
berfungsi untuk melindungi otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter
kadang-kadang disebut sebagai leptomeninges.
3) Piameter
Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal
bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan
ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial.
4. Otak
 Serebrum
Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan
durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat
pusat bicara.
 Serebelum
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior
berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.
 Batang otak
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan
kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla spinalis.
5. Cairan Serebrospinalis
Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau sekitar
500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus koroideus yang
terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan
ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal
pada orang dewasa sekitar 120 mL Cairan serebrospinal setelah diproduksi oleh
pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen
interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III, kemudian masuk ke dalam ventrikel IV
melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral
dan 1 foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid,
melalui granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian masuk ke
aliran vena
Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal melebihi
jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan serebrospinal yang
berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus.
Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural
absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles. Pelebaran
ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali
asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau
perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran
ventrikel III ke arah bawah hingga fossa pituitary (menyebabkan pituitary
disfunction).
6. Tentorium
Tentorium serebri membagi rongga tengkorak menjadi ruang :
 Supratentorial yang berisi fosa kranii anterior
 Infratentorial yang berisi fosa kranii posterior

Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak


(pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut
insisura tentorial. Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila
tertekan oleh masa atau edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut2
parasimpatik untuk kontraksi pupil mata berada pada permukaan n. okulomotorius.
Paralisis serabut ini disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila
penekanan berlanjut menimbulkan deviasi bola mata kelateral dan bawah.
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom
klasik herniasi tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang
sama dengan sisi pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu.

B. FISIOLOGI SISTEM SARAF PUSAT


Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak ,cairan serebro-
spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai
sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang
memisahkan hemister serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari
tentorium.
Fenomenal otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila
tekanan darah rata-rata 50-160 mmhg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada
pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas
160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan
intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung
secara linear terhadap tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak
dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal
tersebut , sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah
pasien sebelum cedera). Volume total intrakranial harus tetap konstan (Doktrin Monro –
Kellie : K = V otak + V css + V darah +V massa ). Kompensasi atas terbentuknya lessi
intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk
selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara tajam.

C. PATOLOGI
1. Definisi
 Trauma Brain Injury atau cedera kepala merupakan trauma mekanik terhadap
kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat
temporer maupun permanent (PERDOSI,2006)
 Trauma Brain Injury adalah salah satu bentuk trauma yang dapat mengubah
kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual,
emosional, gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan
fungsi otak (Pedoman Penaggulangan Gawat Darurat Ems 119 Jakarta, 2008).
 Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009).
2. Etiologi

Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu :

1) Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil.


2) Jatuh.
3) Kecelakaan saat olahraga.
4) Cedera akibat kekerasan.

Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma kepala terdiri
dari :

1) Benda tajam.
2) Benda tumpul.
3) Peluru.
4) Kecelakaan lalu lintas

Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala yaitu:

1) Olah raga.
2) Jatuh.
3) Kecelakaan kenderaan bermotor.

3. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi


 Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
 Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.
 Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena
cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

4. Gambaran Klinis

Menurut Hoffman (1996)dan Widyaningrum (2008), manifestasi klinis dari


cedera kepala adalah :

 Tanda dan gejala fisik :


1) Nyeri kepala.
2) Nausea
 Tanda dan gejala kognitif :
1) Gangguan memori.
2) Gangguan perhatian dan berfikir kompleks
 Tanda dan gejala emosional/kepribadian :
1) Kecemasan.
2) Iritabilitas
 Gambaran klinis secara umum :
1) Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran.
2) Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal.
3) Respon pupil mungkin lenyap.
4) Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan
tekanan intracranial.
5) Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK.
6) Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.

D. Intervensi Fisioterapi Intervensi Fisioterapi


1. Infra Red
Tujuan : Melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan metabolisme jaringan dan
elastisitas jaringan otot.
2. Muscle Stimulation
Tujuan : Menstimulasi serabut dan jaringan otot.
Teknik : Posisi tidur terlentang kemudian dilakukan pemasangan pad, satu pad
pada fossa poplitea dan satu lagi di bagian lateral musculus tibialis anterior.
3. Active Exercise
Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan sendi melalui gerakan penuh atau parsial
yang ada sesuai keinginannya sendiri. Tujuan latihan kisaran gerak aktif adalah
menghindari kehilangan ruang gerak yang ada pada sendi. Latihan ini diindikasikan
pada fase awal penyembuhan tulang, saat tidak ada atau sedikitnya stabilitas pada
tempat fraktur.
4. Straightening Exercise
Untuk pelaksanaannya pasien dalam keadaan tidur terlentang dan intruksikan pasien
untuk melakukan gerakan aktif kemudian fisioterapis memberikan tahanan. Teknik
ini digunakan untuk melatih kekuatan otot pasien.

5. Balance Tes
Tujuan : Melatih Keseimbangan tubuh
Teknik : minta pasien mempertahankan keseimbangan di atas permukaan
yang tidak stabil dan meraih ke berbagai arah, pertama dengan satu ekstrmitas,
kemudian dengan dua ekstremitas.
6. Latihan Berjalan
Agar pasien dapat secara mendiri melakukan ambulasi maka latihan jalan
secara bertahap. Diawali dengan latihan jalan tanpa menumpu berat badan atau non
weigh bearing, baik menggunakan alat bantu walker maupun ditingkatkan dengan
pemakaian kruk, dengan metode jalan swing yang terdiri dari swing to dan swing
through. Latihan ini bertujuan agar pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri
tanpa bantuan orang lain, walaupun ambulasi masih menggunakan alat bantu, tanpa
menapakkan kaki sebagai penyangga tubuh
BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien


a. Nama : LA
b. Usia : 7 tahun
c. Tanggal lahir : 26 Maret 2013
d. Jenis kelamin : Laki-Laki
e. Agama : Islam
f. No. Rekam Medik: 875352

B. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Kelemahan pada kedua tungakai
Letak Keluhan Utama : Kedua tungkai
Riwayat Perjalanan Penyakit : Saat pasien masih balita pernah terjatuh dan terdapat
luka memar kebiruan, Keluarga pasien tidak membawa pasien ke rs karna dianggap
tidak berbahaya. Lalu saat pasien berusia 8-12 bulan keluarga baru menyadari ada
kelainan pada cara berjalan pasien dan terdapat keterlamabatan dalam berpikir dan
merespon sesuatu. Sekitar bulan maret 2019 pasien melakukan MRI di rs wahidin dan
hasilnya terdapat brain swelling dan difrensiasi brain white and grey.

Vital Sign :
 Tekanan Darah : 90 / 60 mmHg
 Denyut Nadi : 80kali / menit
 Pernafasan : 22 kali / menit
 Suhu Tubuh : 36oC
Riwayat Penyakit Sebelumnya : Tidak ada

C. Inspeksi/ Observasi
Statis : - Saat pasien duduk terkadang mengalami tremor
Dinamis : - Pola berjalan tidak normal, pasien berjalan jinjit
- Tidak mampu berjalan tanpa bantuan
D. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi
1. Tes kognitif : Pasien merespon dengan baik
2. Palpasi : -Suhu normal
- Terdapat atrofi
- Pemendekan otot
- Terdapat spastic
3. Tes refleks : Tidak dilakukan
4. Tes sensorik : Panas dingin : (+)
Kasar dan halus : (+)
Tajam dan tumpul : (+)
5. Manual Muscle Testing ( MMT) :
5 5
4 4

Keterangan : - Kekuatan ekstremitas superior normal


-Kekuatan ekstremitas inferior terdapat kelemahan
6. Pengukuran ROM sendi : Keterbataan ROM sendi pada exremitas inferior
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
b. EKG
c. ST-SCAN kepala non kontrasi
E. Algoritma Assessmen Fisioterapi
ALGORHITMA ASSESSMEN GANGGUAN AKTIVITAS FUNGSIONAL
LENGAN DAN TUNGKAI HEMIPARESE DEXTRA Et CAUSA INFECTION
CEREBRI

ama paNama pasien : LA Umur : 7 tahun Jenis kelamin : Laki-laki


Kondisi /penyakit :Hemiparese
History Taking :
Saat pasien masih balita pernah terjatuh dan terdapat luka memar kebiruan, Keluarga pasien tidak
membawa pasien ke rs karna dianggap tidak berbahaya. Lalu saat pasien berusia 8-12 bulan keluarga baru
menyadari ada kelainan pada cara berjalan pasien dan terdapat keterlamabatan dalam berpikir dan
merespon sesuatu. Sekitar bulan maret 2019 pasien melakukan MRI di rs wahidin.

Inspeksi :
Saat pasien duduk terkadang mengalami tremor,pasien berjalan jinjit, Tidak mampu berjalan
tanpa bantuan

Pemeriksaan
spesifik

Suhu normalm, Terdapat Tes sensorik Tes kognitif Pasien


1. Panas dingin (+) Kasar dan merespon dengan
atrofi, Pemendekan otot,
halus (+) Tajam dan tumpul baik
Terdapat spastic
(+)
ROM
Pemeriksaan penunjang MMT Keterbataan ROM
Laboratorium,EKG,ST- sendi pada exremitas
5 5
SCAN kepala non kontrasi inferior
4 4

K
a
s
a
r

d
a
n
F. Diagnosa Fisioterapi
Gangguan Aktivitas Fungsional Paraparase et causa Traumatic Brain Injury
G. Problematik Fisioterapi dan Bagan ICF
Buatlah bagan ICF sesuai dengan problemtik yang ditemukan berdasarkan hasil
assesment terhadap kasus yang anda tangani :
Nama pasien : LA
Umur : 7 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki

Kondisi/Penyakit :
Gangguan Aktivitas Fungsional Lengan dan Tungkai Hemiparese Dextra Et Causa
Infection Cerebri

Anatomical/ functional Acivity Limitation Participation Restriction


Impairment
 Tidak dapat berjalan  Pasien tidak dapat
 Kelemahan otot dengan normal bermain dengan teman-
 Terdapat Spastic pada  Tidak dapat berjalan tanpa teman karena adanya
ankle bantuan pegangan keterbatasan
 Ada atropi otot  Pasien tidak dapat
 Terdapat pemendekan otot bersosialisasi dengan
lingkungan

H. Tujuan intervensi
1. Tujuan jangka pendek :
o Memperbaiki pola jalan
o Memperkuat otot-otot tungkai bawah
o Menambah massa otot
o Mengembalikan otot yang mengalami atropi
o Memperbaiki tungkai yang mengalami spastic
2. Tujuan jangka panjang :
o Agar pasien kembali dapat bermain dengan teman-teman tanpa adanya
keterbatasan
o Dan pasien dapat kembali bersosialisai dengan lingkungan
I. Program Intervensi Fisioterapi
1. IR (Infra Red)
Tujuan : Melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan metabolisme jaringan dan
elastisitas jaringan otot.
Teknik : Sinar infra merah adalah pancaran gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang 7.700 – 4.000.000
Prosedur aplikasi :

a. Persiapan alat

Antara lain meliputi kabelnya, jenis lampu, besarnya watt. Jenis lampu yang
digunakan adalah lampu generator luminous, gelombang pendek
(penetrating), tidak memerlukan waktu pemanasan.

b. Persiapan penderita

Posisi pasien diatur secomfortable mungkin dan disesuaikan dengan daerah


yang akan diobati. Pasien tidur terlentang. Daerah tubuh yang akan diobati
harus bebas dari pakaian. Perlu pula diberitahukan kepada penderita
mengenai derajat panas yang semestinya dirasakan, yaitu perasaan hangat
yang nyaman (comfortable) serta dapat ditahannya selama berlangsungnya
pengobatan.

c. Pemasangan lampu pada penderita

Pada dasarnya metode pemasangan lampu diatur sedemikian rupa sehingga


sinar yang berasal dari lampu jatuh tegak lurus terhadap jaringan yang
diobati, baik untuk lampu luminous maupun non-luminous. Pada kondisi post
arthroscopy, pemasangan lampu infra red diletakkan pada area proksimal
lutut dengan sudut aplikasi tegak lurus 900, jarak penyinaran lampu antara
35-45 cm.

d. Teknik pelaksanaan radiasi

Waktu penyinaran berkisar antara 10-20 menit dan ini tergantung pada
toleransi serta kondisi penyakitnya.
2. Electrical Stimulation
Tujuan : Menstimulasi serabut dan jaringan otot.
Teknik : Posisi tidur terlentang kemudian dilakukan pemasangan pad, satu pad
pada fossa poplitea dan satu lagi di bagian lateral musculus tibialis
anterior. ke tengah lagi dengan menghembuskan napas dari mulut
terbuka.

3. Aktif Exercises
Tujuan :Mencegah agar tidak terjadi atropi dan kontraktur pada otot
Teknik :Pasien dalam keadaan tidur terlentang diatas bed kemudian,
menggerakkan setiap persendian pada ke dua tangan dan tungkai
sebelah kiri.

4. Straightening Exercise
Tujuan : Latihan untuk penguatan otot
Teknik :Pasien dalam keadaan tidur terlentang dan intruksikan pasien untuk
melakukan gerakan aktif kemudian fisioterapis memberikan tahanan.

5. Balance Tes
Tujuan : Melatih Keseimbangan tubuh
Teknik :
 Duduk : begitu individu dapat duduk di permukaan yang keras dan
stabil serta mempertahankan keseimbangan saat meraih ke segala
arah dan dengan beban yang bervariasi, tingkatkan menjadi duduk di
permukaan yang tidak stabil.
 Berlutut : aktivitas berlutut dapat dilakukan dalam posisi setengah
berlutut (berlutut dengan satu tungkai sementara kaki yang lain
berada di depan dan menapak pada lantai) atau posisi high-kneeling
(berlutut tinggi) dan disertai meraih ke berbagai arah dengan dan
tanpa pembebanan serta merespons terhadap perturbasi pada
permukaan yang stabil dan tidak stabil
 Menapak unilateral : mulai dengan meminta pasien berlatih
berdiri dengan satu tungkai pada permukaan stabil, tingkatkan ke
permukaan yang tidak stabil dan berikan perturbasi seperti yang
dijelaskan dalam latihan menapak bilateral.
6. Latihan Berjalan
 Initial Contact  Pre-Swing (PSw)
 Loading Response (LR)  Initial Swing (Isw)
 Mid Stance (MSt)  Midswing (MSw)
 Terminal Stance  Terminal Swing (TSw)

H. Evaluasi
Setelah beberapa kali pemeberian terapi pada pasien, hasilnya
 Pola berjalan pasien mulai mengalami perbaikan
 Peningkatan luas gerak sendi
 Massa otot bertambah
 Spastic pada kedua tungkai mulai berkurang
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai