Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrome Piriformis merupakan kondisi neuromuskular dengan ciri khas nyeri pada

hip dan bokong. Sindrome ini seringkali terabaikan dalam penatalaksanaan klinis karena

gambaran klinisnya mirip dengan kondisi radiculopathy lumbar, dysfungsi sacrum primer,

atau disfungsi sacroiliaca joint.

Sindrome piriformis merupakan gangguan neuromuskular yang terjadi ketika saraf

sciatic terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis yang menyebabkan nyeri, kesemutan,

dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah bokong dan sepanjang perjalanan saraf sciatic ke

bawah yaitu kearah paha dan tungkai. Diagnosa kondisi ini sulit ditegakkan karena

memiliki gambaran klinis yang mirip dengan kompresi akar saraf spinal akibat herniasi

diskus..

Prevalensi terjadinya sindrom piriformis masih sangat bervariasi dengan rentang 5-

36% dari kasus nyeri pinggang tergantung dengan kriteria diagnosis yang digunakan.

Sindrom tersebut umumnya terjadi pada rentang usia 40-60 tahun dan didapat pada individu

dengan berbagai macam aktifitas dan pekerjaan. Hopayian dkk (2010) melaporkan usia rata

rata penderita sindrom piriformis pada masing masing penelitiannya adalah 43 tahun.

Namun demikian, beberapa penelitian terbaru menunjukkan pergeseran onset terjadinya

sindrom piriformis pada rentang usia 30–40 tahun seperti yang dilaporkan oleh Mondal dkk

(2017) yang melaporkan rata rata usia penderita sindrom tersebut adalah 32,3 tahun.

Laporan tersebut mendukung penelitian sebelumnya oleh Jawish dkk (2010) dan Danilo

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 1


dkk (2013) yang menyebutkan rata rata usia penderita adalah 35,37 tahun dan 38 tahun.

Dibandingkan beberapa penelitian diatas, terdapat hasil yang berbeda dimana didapatkan

usia penderita >60 tahun menjadi kelompok dengan proporsi terbesar (47%) diikuti oleh

kelompok usia 50-59 tahun (29%) sedangkan pada kelompok usia 20- 39 tahun, sindrom

tersebut hanya diderita oleh 6,2% penderita.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa wanita lebih banyak menderita

sindrom piriformis dibanding pria walaupun dengan perbandingan yang bervariasi, Danilo

dkk (2013) menemukan rasio wanita dibandingkan pria 6:1, Chen dkk (2012) 6 melaporkan

rasio sebesar 3:2. Hasil penelitian inipun menunjukan jenis kelamin wanita lebih banyak

dibandingkan pria dengan rasio 3:1. Predisposisi wanita lebih besar pada sindrom

piriformis diduga terkait dengan struktur anatomi dari sudut otot quadriceps femooris pada

os coxae (pelvis) wanita lebih lebar dibandingkan pria.4 Studi lain menuliskan perubahan

hormonal pada wanita terutama selama kehamilan juga dapat mempengaruhi terjadinya

sindrom piriformis.

Diagnosis sindrom piriformis saat ini sangat mengandalkan pemeriksaan klinis

sementara neuroimaging belum dapat menentukan apakah telah terjadi proses inflamasi

atau kompresi pada otot piriformis selama terjadinya sindrom. Beberapa tes klinis maupun

pemeriksaan penunjang telah digunakan untuk membantu mendiagnosis sindrom

piriformis. Seperti misalnya Pace dan Nagle (1976) menggunakan tes provokatif Pace dan

Freiberg pada pasien yang mengalami nyeri pinggang dan melaporkan 6% dari 750 pasien

tersebut terdiagnosis sindrom piriformis, demikian juga Benson dan Schutzer yang dengan

menggunakan tes FAIR melaporkan 15% dari 93 penderita nyeri skiatika didiagnosis

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 2


sebagai sindrom piriformis. Namun hingga saat ini tidak terdapat satupun kriteria diagnosis

yang baku dalam mendiagnosis sindrom piriformis.

Syndrome periformis pada kasus ini sering kali pasien mengeluhkan adanya nyeri

pada pingga dan nyeri menjalar sampai ketungkai, pasien juga seringkali merasakan rasa

sakit pada saat terulur/tertekan, misalnya pada saat duduk, berdiri tegak dan gerakan shalat.

Pada saat berjalan hanya menumpu dengan ujung jari, saat ankle plantar fleksi, hip dan

knee (pincang) dan timbul rasa sakit atau keram pada saat berjalan.

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 3


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang syndrome piriformis

1. Definisi syndrome piriformis

Piriformis syndrome adalah kondisi sebagai hasil ketika otot piriformis

menekan saraf sciatic dan mengiritasi serabut syaraf. Dan kondisi seperti ini

akan menimbulkan nyeri dimulai dari daerah pantat dan berjalan lurus kebawah

pada area belakang kaki. Faktor – faktor yang menyebabkan piriformis

sindrome antara lain : faktor abnormalitas postur, gangguan saraf, gangguan

sirkulasi darah dan faktor habitual postur yang jelek. Gejala yang sering terjadi

adalah nyeri ketika duduk, menaiki tangga, merangkak, berjalan dan berlari.

Syndrome ini tidak begitu umum dan hanya terjadi karena sciatica.

Sindrome piriformis merupakan sekumpulan gejala-gejala termasuk nyeri

pinggang atau nyeri bokong yang menyebar ke tungkai. Masih ada perbedaan

pendapat dari para ahli, apakah sindrome piriformis merupakan kondisi yang

jelas ada dan menyebabkan nyeri myofascial dari paha, hipertropi, dan nyeri

tekan pada otot piriformis, atau apakah sindrome piriformis merupakan kondisi

kompresi dari saraf sciatic yang menyebabkan nyeri neuropatik (Kelly Redden,

2009).

Sindrome piriformis merupakan gangguan neuromuskular yang terjadi

ketika saraf sciatic terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis yang

menyebabkan nyeri, kesemutan, dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 4


bokong dan sepanjang perjalanan saraf sciatic ke bawah yaitu kearah paha dan

tungkai. Diagnosa kondisi ini sulit ditegakkan karena memiliki gambaran klinis

yang mirip dengan kompresi akar saraf spinal akibat herniasi diskus

(Wikipedia, 2010).

Sindrome piriformis merupakan kompresi yang reversible pada saraf sciatic

oleh otot piriformis. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri yang dalam dan

hebat pada daerah bokong, hip, dan sciatica, dengan radiasi nyeri kearah paha,

tungkai, kaki dan jari-jari kaki. Pada sindrome piriformis, ketegangan atau

spasme otot piriformis dapat menekan saraf sciatic kearah anterior dan inferior.

Kondisi nyeri hebat yang dihasilkan dapat menjadi kronik dan menimbulkan

kelemahan (Loren M. Fishman, 2009).

2. Anatomi biomekanik piriformis

Otot piriformis berperan sebagai eksternal rotator hip, abduktor hip yang

lemah, dan fleksor hip yang lemah, serta memberikan stabilitas postural selama

ambulasi dan berdiri. Otot piriformis berorigo pada permukaan anterior sacrum,

biasanya pada level vertebra S2 – S4, atau mendekati kapsul sacroiliaca joint.

Otot ini berinsersio pada bagian medial superior dari trochanter mayor melalui

tendon yang mengelilinginya dimana pada beberapa individu bersatu dengan

tendon obturator internus dan gemellus. Otot ini dipersarafi oleh saraf spinal S1

dan S2, dan kadang-kadang juga oleh L5 (Lori A. Boyajian et al, 2007)

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 5


.

Otot piriformis termasuk group otot external rotator hip bersama 5 otot

lainnya yaitu obturator externus dan internus, gemellus superior dan inferior,

dan quadratus femoris. Otot piriformis merupakan otot yang paling superior

dari group otot ini dan sedikit diatas dari hip joint (Nancy Hamilton and

Kathryn Luttgens, 2002).

Otot piriformis memiliki variasi hubungan dengan saraf sciatic. Sebanyak

96% populasi, memiliki saraf sciatic yang muncul pada foramen deep sciatic

yang besar sepanjang permukaan inferior dari otot piriformis. Namun terdapat

22% populasi memiliki saraf sciatic yang memotong otot piriformis, split atau

membelah otot piriformis, atau kedua-duanya sehingga dapat menjadi faktor

resiko dari sindrome piriformis. Saraf sciatic berjalan secara sempurna melalui

muscle belly otot, atau saraf tersebut berjalan membelah dengan satu cabang

(biasanya bagian fibular) memotong otot piriformis dan cabang lainnya

(biasanya bagian tibial) berjalan kearah inferior atau superior sepanjang otot

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 6


piriformis. Jarang saraf sciatic muncul pada foramen sciatic yang besar

sepanjang permukaan superior dari otot piriformis (Lori A. Boyajian et al,

2007).

Saraf sciatic merupakan seberkas saraf sensorik dan motorik yang

meninggalkan fleksus lumbosakralis dan menuju ke foramen infrapiriformis,

kemudian keluar pada permukaan belakang tungkai dipertengahan lipatan

pantat. Saraf sciatic mengandung saraf sensorik yang berasal dari radiks

posterior L4 – S3. Pada spasium poplitea, saraf sciatic bercabang dua dan jauh

lebih ke distal tidak lagi menyandang nama saraf sciatic (saraf ischiadikus).

Kedua cabang saraf tersebut adalah saraf peroneus komunis dan saraf tibialis

(Mahar Mardjono dan Priguna Sidharta, 2008).

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 7


Osteokinematika dan Artrokinematika Hip joint memiliki 3 bidang gerak

yaitu : bidang gerak sagital (fleksi–ekstensi), frontal(abduksi–adduksi) & trans-

versal (internal–eksternal rotasi). ROM Gerakan Abduksi 0– 40o, Adduksi 0–

250, Eksorotasi 0–45o, Endorotasi 0–30o, Fleksi 0–120o, Ekstensi 0– 150

Hip joint merupakan triaxial joint, karena memiliki 3 bidang gerak. Hip

joint juga merupakan hubungan proksimal dari extremitas inferior.

Dibandingkan dengan shoulder joint yang konstruksinya untuk mobilitas, hip

joint sangat stabil yang konstruksinya untuk menumpuh berat badan. Selama

berjalan, gaya dari extremitas inferior ditransmisikan keatas melalui hip ke

pelvis & trunk, dan aktivitas extremitas inferior lainnya. Dalam suatu gerak

fungsional, terjadi hubungan antara pelvic girdle dan hip joint pelvic girdle

akan mengalami tilting dan rotasi selama gerakan femur. Hubungan tersebut

hampir sama dengan hubungan scapula dengan shoulder joint, perbedaannya

adalah scapula kiri & kanan dapat bergerak bebas sedangkan pelvic hanya dapat

bergerak sebagai satu unit. Hip joint dibentuk oleh caput femur yang konveks

bersendi dengan acetabulum yang konkaf. Hip joint adalah ball and socket

(spheroidal) triaxial joint. Acetabulum terbentuk dari penyatuan os ilium,

ischium, dan pubis. Seluruh acetabulum dilapisi oleh cartilago hyaline, & pusat

acetabulum terisi oleh suatu massa jaringan lemak yang tertutup oleh membran

synovial.

Jaringan fibrokartilago yang melingkar datar di acetabulum disebut dengan

labrumacetabular, yang melekat disekeliling margo acetabulum. Labrum

acetabular menutupcartilago hyaline & sangat tebal pada sekeliling acetabulum

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 8


dari-pada pusatnya hal ini menambah kedalaman acetabulum. Acetabulum

terletak di bagian lateral pelvis, menghadap ke lateral, anterior & inferior.Caput

femur secara sempurna ditutup oleh cartilago hyaline. Pada pusat caput

femurter dapat lubang kecil yang dinamakan dengan fovea capitis tidak ditutup

oleh cartilage hyaline. Caput femur membentuk sekitar 2/3 dari suatu bola.

Caput femur berbentuk sphericaldan menghadap kearah anterior, medial dan

superior. Hip joint diperkuat oleh kapsul sendi yang kuat, ligamen iliofemoral,

pubofemoral, dan ischiofemoral. Hip joint juga diperkuat olehligamen

transverse acetabular yang kuat & bersambung dengan labrum acetabular.

Ligamenteres femoris merupakan ligamen triangular yang kecil, melekat pada

apex fovea capitis dekat pusat caput femur ke tepi ligamen acetabular. Ligamen

teres femoris berfungsi sebagai pengikat caput femur ke bagian bawah

acetabulum dan memberikan stabilisator yang kuat didalam sendi

(intraartikular). Stabilisator bagian luar dihasilkan oleh 3 liga-men yang

melekat pada collum/neck femur yaitu : ligamen iliofemoral, pubofemoral &

ischiofemoral. Ligamen iliofemoral disebut juga ligamen “Y”, karena arah

serabut mirip huruf Y terbalik.

Ligamen iliofemoral memperkuat kapsul sendi bagian anterior. Ligamen

pubofemoral terdiridari ikatan serabut yang kecil pada kapsul sendi bagian

medial anterior dan bawah. Ligamenischiofemoral merupakan ligamen

triangular yang kuat pada bagian belakang kapsul

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 9


3. Etiologi syndrome piriformis

Sindrome piriformis memiliki dua tipe yaitu primer sindrome piriformis

dan sekunder sindrome piriformis. Primer sindrome piriformis memiliki

penyebab anatomik seperti saraf sciatic yang split terhadap otot piriformis atau

jalur saraf sciatic yang anomali. Sekunder sindrome piriformis terjadi sebagai

akibat dari adanya penyebab yang memicu kondisi ini seperti makrotrauma,

mikrotrauma, efek massa ischemic dan lokal iscemic. Diantara pasien-pasien

sindrome piriformis terdapat sedikitnya 15% kasus yang memiliki penyebab

primer (primer sindrome piriformis) (Lori A. Boyajian et al, 2007).

Sindrome piriformis paling sering disebabkan oleh makrotrauma pada

daerah bokong yang menyebabkan inflamasi pada jaringan lunak, spasme otot,

atau kedua-duanya, yang menghasilkan kompresi saraf sciatic. Mikrotrauma

dapat dihasilkan dari adanya overuse (penggunaan yang berlebihan) dari otot

piriformis seperti berjalan atau berlari jarak jauh atau oleh adanya kompresi

langsung. Sebagai contoh kompresi langsung dapat dihasilkan dari repetitif

trauma akibat duduk diatas permukaan yang keras (Lori A. Boyajian et al,

2007).

Berbeda dengan pendapat Samir Mehta et al (2006), yang menjelaskan

tentang penyebab primer dan sekunder sindrome piriformis. Penyebab primer

terjadi karena adanya kompresi langsung pada saraf seperti trauma atau akibat

faktor intrinsik pada otot piriformis termasuk variasi anomali pada anatomi

otot, hipertropi otot, inflamasi kronik otot, dan perubahan sekunder akibat

trauma seperti adhesion. Penyebab sekunder mencakup gejala-gejala akibat lesi

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 10


massa pelvic, infeksi, dan pembuluh darah yang anomali atau ikatan serabut

yang melintasi saraf, bursitis pada tendon piriformis, inflamasi sacroiliaca joint,

dan kemungkinan myofascial trigger point. Penyebab lainnya mencakup

pseudoaneurysma pada arteri gluteal inferior yang berdekatan dengan otot

piriformis, sindrome bilateral piriformis akibat duduk dalam waktu yang lama,

cerebral palsy yang menyebabkan hipertoni dan kontraktur otot piriformis, total

hip arthroplasty, dan myositis ossificans.

4. Patofisiologi syndrome piriformis

Hiperlordosis lumbal dan kontraktur panggul pada posisi fleksi

meningkatkan regangan musculus piriformis juga cenderung

menyebabkan gejala sindrom piriformis. Pasien dengan kelemahan otot-

otot abductor atau ketimpangan panjang tungkai bawah juga cenderung

mengalami sindrom ini.

Perubahan biomekanika gaya berjalan (gait) sebagai penyebab

hipertrofi musculus piriformis dan inflamasi kronik, juga akan

memunculkan sindrom piriformis. Dalam proses melangkah, saat fase

berdiri (stance phase) musculus piriformis teregang sejalan dengan beban

pada panggul yang dipertahankan dalam posisi rotasi internal. Saat

panggul memasuki fase ayun (swing phase), musculus piriformis

berkontraksi dan membantu rotasi eksternal. Musculus piriformis tetap

dalam kondisi teregang selama proses melangkah dan cenderung lebih

hipertrofi dibanding otot lain di sekitarnya. 8,9 Setiap abnormalitas proses

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 11


melangkah yang melibatkan panggul dengan posisi rotasi internal atau

adduksi yang meningkat dapat semakin meregangkan musculus piriformis.

Trauma tumpul dapat menyebabkan hematom dan fibrosis di antara

nervus ischiadicus dan otot-otot rotator eksternal pendek, salah satu

pemicu gejala sindrom ini. Radikulopati lumbal bagian bawah

mengakibatkan iritasi sekunder musculus piriformis yang nantinya akan

memperumit diagnosis dan memperlambat fisioterapi metode peregangan

punggung bawah dan panggul karena memperberat gejala-gejala sindrom

piriformis.

5. Gambaran klinis syndrome piriformis

Gejala-gejala yang paling sering terjadi pada sindrome piriformis adalah

meningkatnya nyeri setelah duduk dalam waktu 15 – 20 menit. Beberapa pasien

mengeluh nyeri diatas otot piriformis (yaitu didaerah bokong), khususnya diatas

perlekatan otot di sacrum dan trochanter mayor bagian medial. Gejala-gejalanya

dapat bersifat serangan tiba-tiba atau bertahap, biasanya berkaitan dengan

spasme otot piriformis atau kompresi saraf sciatic. Pasien-pasien ini biasanya

mengeluh sulit berjalan dan nyeri saat internal rotasi ipsilateral tungkai/hip,

seperti yang terjadi selama posisi duduk cross-legg atau ambulasi.

Spasme otot piriformis dan disfungsi sacral (seperti torsion) dapat

menyebabkan stress pada ligamen sacrotuberous. Stress ini dapat menyebabkan

kompresi pada saraf pudendal atau meningkatkan stress mekanikal pada tulang

innominate sehingga potensial menyebabkan nyeri pada lipatan paha dan

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 12


pelvic. Kompresi pada cabang fibular dari saraf sciatic seringkali menyebabkan

nyeri atau paresthesia pada posterior paha.

Melalui mekanisme kompensasi atau fasilitasi, sindrome piriformis dapat

memberikan kontribusi terhadap nyeri pada cervical, thoracal, dan lumbosacral,

serta gangguan gastrointestinal dan nyeri kepala.

Tanda-tanda klinis sindrome piriformis berkaitan secara langsung atau

secara tidak langsung terhadap spasme otot, menghasilkan kompresi saraf atau

kedua-duanya. Nyeri tekan saat palpasi ditemukan diatas otot piriformis

khususnya diatas perlekatan otot di trochanter mayor. Beberapa pasien juga

mengalami nyeri tekan saat palpasi di regio sacroiliaca joint, sulcus sciatic yang

besar, dan otot piriformis termasuk nyeri yang menjalar ke knee.

Beberapa pasien akan teraba seperti massa sosis di daerah bokong karena

adanya kontraksi otot piriformis. Kontraksi otot piriformis juga dapat

menyebabkan eksternal rotasi ipsilateral pada hip. Ketika pasien sindrome

piriformis relaks dalam posisi tidur terlentang maka kaki ipsilateral akan

mengalami eksternal rotasi. Hal ini menunjukkan adanya tanda positif sindrome

piriformis. Adanya usaha aktif untuk membawa kaki ke garis tengah tubuh akan

menghasilkan nyeri. Beberapa pasien dengan sindrome piriformis juga

ditemukan positif Lasegue test, Freiberg test, atau Pace sign, dan biasanya

memperlihatkan antalgic gait. Tanda Lasegue adalah nyeri yang terlokalisir

ketika tekanan diaplikasikan diatas otot piriformis dan tendonnya, khususnya

ketika fleksi hip 90o disertai ekstensi knee. Tanda Freiberg adalah nyeri yang

dialami selama gerak pasif internal rotasi hip. Kemudian tanda Pace muncul

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 13


saat FAIR (fleksi, adduksi, dan internal rotasi) yang melibatkan gejala-gejala

sciatic. FAIR test dilakukan dalam posisi tidur miring dengan tungkai yang

terlibat di sisi atas, kemudian fleksikan hip 60o, dan fleksi knee 60o – 90o.

Sambil menstabilisasi hip, pemeriksa melakukan internal rotasi dan adduksi hip

dengan mengaplikasikan tekanan ke bawah pada knee.

Saraf plexus sacral yang menginnervasi otot tensor fascia latae, gluteus

minimus, gluteus maximus, adductor magnus, quadratus femoris, dan obturator

eksternus juga akan teriritasi oleh otot piriformis. Kelemahan otot ipsilateral

juga dapat terjadi jika sindrome piriformis disebabkan oleh anomali anatomik

atau jika sindrome piriformis dalam kondisi kronik. Pada beberapa kasus,

lingkup gerak sendi juga mengalami penurunan pada internal rotasi hip

ipsilateral.

Pada sebagian besar kasus sindrome piriformis, sacrum akan berotasi

kearah anterior dan sisi ipsilateral pada axis oblique kontralateral sehingga

menghasilkan rotasi kompensasi dari vertebra lower lumbar dalam arah yang

berlawanan. Sebagai contoh, sindrome piriformis pada sisi kanan akan

menyebabkan torsion sacral ke depan pada sisi kiri. Rotasi sacral seringkali

menciptakan tungkai pendek fisiologis sisi ipsilateral.

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 14


B. Tinjauan tentang pengukuran fisioterapi

Syndrome piriformis

1. Visual analog scale (VAS)

VAS digunakan untuk mengukur kwantitas dan kwalitas nyeri yang pasien

rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri mulai dari ”tidak nyeri,

ringan, sedang atau berat” .

Secara operasional VAS umumnya berupa garis horizontal atau vertical,

panjang 10 cm seperti yang di ilustrasikan pada gambar. Pasien menandai

garis dengan menandai sebuah titik yang mewakili keadaan nyeri yang di

rasakan pasien saat ini, dalam 24 jam terakhir.

Visiual analog scale (VAS) parameter

 Skala 0 – 4 : Tidak nyeri (tidak ada rasa sakit merasa normal)

 Skala 5 – 44 : Nyeri ringan (masih bisa di tahan, aktifitas tidak

tergaggu)

 Skala 45 – 74 : Nyeri sedang (mengganggu aktifitas fisik)

 Skala 75 – 100 : Nyeri berat (tidak dapat melakukan aktifitas secara

mandiri)

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 15


2. Kekuatan otot dengan MMT

Penilaian kekuatan berbagai otot memerlukan pengetahuan fungsi berbagai

kelompok otot. Suatu corak gerakan volunter terdiri dari kontraksi berbagai

kelompok otot. Bila sekelompok otot terkontraksi, otot-otot antagonisnya

harus ikut berkontraksi, sehingga suatu corak gerakan selalu berarti suatu

gerakan berkombinasi.

Penilaian kekuatan otot pada orang yang kooperatif dilakukan dengan

menilai tenaga pasien secara berbanding dengan tenaga si pemeriksa yang

menahan suatu corak gerakan yang dilakukan oleh pasien. Pada orang-orang

dalam keadaan tidak sadar atau tidak kooperatif penilaian tenaga dilandaskan

atas inspeksi dan observasi terhadap gerakan-gerakan yang diperlihatkan.

Dalam hal ini pengetahuan miologi dan persarafan otot skelatal masing-

masing harus dimiliki, agar mengetahui otot atau saraf motorik mana yang

sedang dinilai fungsinya. Penilaian dan penderajatan kekuatan otot masing-

masing dapat diselenggarakan, dimana pasien yang diperiksa kekuatan

ototnya dapat menguatkan atau mengurangi kekuatan ototnya secara

volunteer. pemeriksaan motorik dapat menilai dan menderajatkan secara tepat.

Dalam latihan ini si pemeriksa harus mampu mengenal perbedaan kekuatan

otot masingmasing. Baik dalam latihan maupun dalam melakukan profesi,

pemeriksaan motorik selalu berarti pemeriksaan terhadap bagian tubuh kedua

sisi. Ini berarti bahwa kekuatan otot pun dinilai secara banding antara kedua

sisi.

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 16


C. Tinjauan tentang intervensi fisioterapi

1. Muscle Energy Technique (MET)

Muscle energy technique dikenal sebagai MET, teknik energi otot adalah

suatu bentuk peregangan yang biasa digunakan oleh terapis pijat olahraga,

terapis olahraga, ahli osteopati dan beberapa ahli fisioterapi, ahli tulang, dan

profesional kebugaran. Tidak ada definisi standar dari teknik ini, yang

melibatkan kontraksi aktif otot oleh klien terhadap kekuatan resistif yang

diberikan oleh pihak kedua (yaitu, terapis). Berasal sebagai teknik osteopathic

pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, ada banyak variasi dan aplikasi metode

peregangan ini.

MET diyakini sangat membantu dalam memperpanjang otot-otot postural,

yang cenderung memendek. Secara teoritis, kontraksi aktif yang dilakukan

oleh klien terhadap resistensi yang dihasilkan oleh terapis adalah kontraksi

isometrik dan karenanya dapat membantu dalam memperkuat otot. Juga,

kontraksi satu kelompok otot mengurangi tonus pada kelompok otot lawan,

dan karena itu MET mungkin bermanfaat dalam membantu mengatasi kram.

Ada beberapa perdebatan tentang tingkat kekuatan yang harus digunakan

klien ketika berkontraksi otot sebelum diregangkan, meskipun tingkat

kontraksi yang rendah dianjurkan, tentu saja tidak lebih dari 25 persen dari

kapasitas kekuatan maksimum klien. Ini sangat penting jika teknik ini

digunakan pada tahap awal rehabilitasi setelah cedera, ketika level serendah 5

persen mungkin paling tepat. MET kadang-kadang digunakan dengan gerakan

berdenyut (dikenal sebagai MET berdenyut ), yang menurut pendukungnya

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 17


membantu mengurangi edema lokal. Oleh karena itu MET digunakan dalam

keadaan berikut:

a. Untuk meregangkan otot, terutama yang dianggap postural daripada

phasic

b. Untuk menguatkan otot

c. Untuk mengendurkan otot, terutama berguna untuk merawat otot kram

d. Untuk membantu mendapatkan kembali fungsi otot yang benar

e. Untuk mengurangi edema yang terlokalisasi

Kelemahan dari teknik ini adalah bahwa teknik ini dapat diterapkan dalam

banyak cara, dan pelatihan diperlukan untuk mempelajari bagaimana dan

kapan menggunakannya. Untuk informasi lebih lanjut, silakan lihat Teknik

Energi Otot (L. Chaitow, Churchill Livingstone 2001), di mana delapan

variasi pada teknik MET dasar dijelaskan, bersama dengan informasi tentang

bagaimana dan kapan mereka dapat digunakan, dan di mana protokol MET

dasar dijelaskan di sini didasarkan. Fasilitasi Peregangan (E. McAtee dan J.

Charland, Human Kinetics 1999) juga merupakan sumber posisi awal yang

baik untuk melakukan peregangan MET.

2. Strain – Counterstrain (SCS)

Jones (1981) telah menunjukkan bahwa titik-titik nyeri hebat sangat

berhubungan dengan strain/sprain pada sendi atau otot, kronik atau akut, dan

dapat digunakan sebagai monitor. Tekanan yang diaplikasikan pada titik-titik

nyeri hebat tersebut diberikan pada saat tubuh atau bagian tubuh diposisikan

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 18


secara hati-hati dalam suatu metode untuk melepaskan atau menurunkan nyeri

yang dirasakan pada titik palpasi.

Ketika posisi yang mengenakkan dapat diperoleh (dikenal sebagai “fine

tuning” dalam SCS), dimana nyeri dapat menghilang dari monitoring palpasi

pada tender point, maka jaringan yang dirasakan terstress akan menjadi paling

relaks. Dalam pengalaman klinis menunjukkan bahwa metode ini dapat

memberikan rasa lebih enak saat palpasi daripada saat terasa tegang.

SCS dapat memberikan manfaat melalui pengaturan kembali secara

automatik pada muscle spindle, yang dapat membantu melaporkan panjang

dan tonus otot. Proses ini hanya terjadi ketika muscle spindle dalam posisi

mengenakkan, dan biasanya menghasilkan penurunan tonus yang berlebihan

dan pelepasan spasme. Ketika memposisikan bagian tubuh maka rasa enak

atau nyaman perlu diperhatikan pada saat jaringan mencapai posisi dimana

nyeri dapat hilang dari titik palpasi.

Pemberian posisi yang nyaman atau enak dipertahankan selama 90 – 120

detik sehingga secara spontan seringkali terjadi penurunan nyeri. Jones (1977)

menjelaskan bahwa teknik ini bergantung pada kemampuan untuk

menghasilkan relaksasi secara refleks pada otot tegang yang membatasi

gerakan sendi. Ketika sendi secara pasif diletakkan dalam posisi tertentu,

maka menghasilkan inhibisi stimulus nyeri hebat yang kemudian akan

meningkatkan lingkup gerak sendi secara signifikan. Ada 2 mekanisme SCS

yang terlibat dalam resolusi spasme atau hipertonus otot yaitu neurologis

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 19


resetting (pengaturan kembali sistem neurologis) yang melibatkan muscle

spindle dan aliran sirkulasi dari jaringan iskemik sebelumnya.

Tujuan akhir SCS pada pasien sindrome piriformis adalah untuk

memulihkan lingkup gerak normal dan menurunkan nyeri. Tujuan ini dapat

dicapai dengan menurunkan spasme otot piriformis.

Ada tiga lokasi tender point dalam aplikasi SCS yaitu bidang tengah

sacrum, otot piriformis, dan trochanter posteromedial. Posisi pasien dalam

aplikasi SCS adalah tidur tengkurap dengan sisi tubuh yang gangguan di

pinggir bed. Pemberian teknik SCS yaitu membawa tungkai yang terganggu

disamping luar bed dengan memposisikan kearah fleksi hip dan knee, disertai

dengan abduksi dan eksternal rotasi. Kemudian, diberikan kompresi melalui

axis longitudinal femur kearah sciatic notch. Gaya kompresi diberikan selama

90 detik pada saat melakukan SCS.

3. Mc. Mecanze

Menurut Thomas (2007) Mc Kenzie Exercise adalah suatu tehnik latihan

dengan menggunakan gerakan badan terutama kebelakang/ekstensi, biasanya

digunakan untuk penguatan dan peregangan otot-otot ekstensor dan fleksor

sendi lumbo sacralis dan dapat mengurangi nyeri. Latihan ini diciptakan oleh

Robin Mc Kenzie Exercise. Prinsip latihan Mc Kenzie adalah memperbaiki

postur untuk mengurangi hiperlordosis lumbal. Sedangkan secara operasional

pemberianlatihan untuk penguatan otot punggung bawah ditujukan untuk otot-

otot fleksor dan untuk peregangan ditujukan untuk otot-otot ektensor

punggung

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 20


Manfaat mc. kenzi exercise yaitu membebaskan kekakuan sendi oleh

kapsulo ligamentar tightness, menurunkan nyeri dan spasme otot melalui efek

rileksasi, dapat memanjangkan otot dengan adanya hda, perbaikan/koreksi

tehadap posture yang buruk dengan memberikan kebiasaan posture baru

dengan aligment yang senormal mungkin. Dalam ekstensi spine secara

intermiten akan mereposisi nucleus ke posisi anterior sebagai akibat dai

penekanan pada discus bagian dorsal dan peregangan discus bagian anterior

(ElBandrawy & Ghareeb, 2016)

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam latihan Mc Kenzie Menurut

Thomas (2007) yang harus diperhatikan dalam latihan Mc Kenzie adalah :

a. Penyusunan latihan dimulai dari gerakan-gerakan yang termudah bagi

pasien, kemudian ditingkatkan sesuai kemampuan pasien.

b. Saat melakukan latihan sedapat mungkin gerakan lurus bungkuk

dilakukan secara hati-hati, berirama, dan terkontrol.

c. Setiap jenis gerakan dikerjakan paling sedikit lima kali dan gerakan

dilakukan sebanyak 15 kali 16

d. Latihan dengan posisi tengkurap sebaiknya dilakukan di lantai dengan

menggunkan matras yang agak keras.

e. Dilakukan semampu pasien Harus memberitahukan kepada yang

bersangkutan apabila latihan yang dilakukan menambah rasa sakit,

bahkan jika perlu latihan yang harus dihentikan

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 21


4. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)

TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) adalah alat yang

digunakan oleh fisioterapis untuk manajemen nyeri. TENS (Transcutaneus

Electrical Nerve Stimulation) mengirimkan arus listrik bertekanan rendah ke

saraf melalui konduktivitas pads yang disebut elektroda ditempatkan pada

area kulit yang spesifik (Spinal outreach team, 2015). TENS (Transcutaneus

Electrical Nerve Stimulation) bekerja dengan menstimulasi serabut saraf α β

yang dapat mengurangi nyeri (Corwin, 2009). Mekanisme kerjanya

diperkirakan melalui penutupan gerbang transmisi nyeri dari serabut saraf

kecil dengan menstimulasi serabut saraf besar, kemudian serabut saraf besar

akan menutup jalur pesan nyeri ke otak dan meningkatkan aliran darah ke area

yang nyeri dan TENS juga menstimulasi produksi anti nyeri alamiah yang ada

dalam tubuh yaitu endorfin (james et al., 2008).

TENS memberikan arus listrik dengan amplitudo sampai dengan 50mA

dengan frekuensi 10-250Hz, banyak digunakan untuk terapi pengurangan rasa

sakit. Banyak teori yang mendukung prinsip kerja TENS, satu diantaranya

adalah teori pain gates yang diajukan oleh Melzack dan Walls. Menurut teori

ini TENS diperkirakan mengaktifkan secara khusus perifer A beta pada daerah

tanduk dorsal sehingga memodulasi serabut A delta dan C yang

menghantarkan rasa nyeri. Hipotesis lain menjelaskan efek TENS dalam

mengurangi nyeri melalui system neurotransmitter lain yaitu perubahan

system serotonin dan substansia P.

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 22


Dengan menggunakan metode TENS, transkutan (yaitu melalui

kulit) Listrik Stimulasi saraf, fungsi saraf penting dapat diaktifkan secara

efektif. Frekuensi impuls, yang sebanding dengan bioelectricity alami,

merangsang menghilangkan rasa sakit. Dengan cara ini, transmisi nyeri oleh

serabut saraf terhambat dan aliran listrik menghilangkan rasa sakit, seperti zat

endorphin, yang dipicu. Selanjutnya, aliran darah melalui zona tubuh

ditingkatkan.

Terapi dengan TENS dilakukan dengan kontak langsung alat

terhadap pasien melalui sepasang elektroda. Demi memenuhi persyaratan

standar keamanan alat medis sebuah sistem keamanan harus dirancang

sehingga cidera pada pasien dapat dicegah. Sistem keamanan yang dirancang

pada dasarnya adalah mencegah terjadinya luka bakar pada kulit akibat

kesalahan penempatan elektroda. Kesalahan penempatan elektroda

memungkinkan elektroda tidak melekat dengan baik pada kulit dan sementara

itu arus dialirkan, dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien.

TENS mengubah persepsi tubuh mengenai rasa sakit. TENS juga diakui

sebagai alternatif akupunktur sebagai non- farmakologis untuk mengobati

dismenorea. Pada impuls rendah (2 Hz) produksi endorphin sebagai

penghilang rasa sakit alami dipacu untuk dikeluarkan (Macnair, 2004). Oleh

karena itu TENS telah digunakan untuk mengobati nyeri yang akut seperti

patah tulang, nyeri sendi, strain otot, pasca operasi dan menstruasi yang

menimbulkan rasa sakit. Efeknya berkurangnya rasa nyeri bisa lambat tapi

dapat mengurangi rasa nyeri yang berlangsung selama beberapa jam. Pada

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 23


impuls tinggi (90-150Hz) 'gerbang ' rasa sakit akan ditutup. Hal ini terjadi

pada sakit kepala, migrain, arthritis, neuralgia pasca-herpes, linu panggul,

sakit pinggang, leher dan punggung nyeri akan segera mereda, tapi efeknya

tidak begitu lama (Kenny dan Kenny, 2002)

Pada penderita yang memakai pacu jantung. Selain itu jangan meletakan

elektroda di area arteri karotis pada region anterolateral leher dan mata,

penderita dengan hilangnya sebagian besar sensasi kulit, kulit yang

mengalami gangguan (luka, infeksi, radang) pada lokasi penempatan TENS,

dan daerah pharyngeal

Umumnya TENS diterapkan pada Frekuensi tinggi (> 50 Hz) dengan

intensitas di bawah kontraksi motor (intensitas sensorik). Pada frekuensi

tinggi, secara selektif merangsang syaraf tertentu 'non-sakit' serat untuk

mengirim sinyal ke otak yang menghalangi sinyal saraf lainnya membawa

pesan rasa sakit. Frekuensi rendah (<10 Hz) dengan intensitas yang

menghasilkan kontraksi motor. Pada frekuensi rendah, dengan merangsang

produksi endorfin, alami menghilangkan rasa sakit-hormon.

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 24


BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas umum pasien

Nama : Tn. N

Umur : 47 Tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Pekerjaan : PNS (Damkar)

Alamat : BTN. Karunrung asri

B. Anamnesis khusus

Keluhan utama : Nyeri dan keram

Letak keluhan : Pinggang bawah hingga tungkai sebelah kiri

RPP (riwayat perjalanan penyakit)

Dialami sejak 1 tahun yang lalu pasien merasakan nyeri dari pinggang sampai

ketungkai kondisi ini di perberat saat pasien duduk lama, saat berjalan dan saat naik

tanggah.

C. Inspeksi/observasi

a. Static

 Pelvic tidak simetris

 nampak ada spasme otot erector spain gluteus maximus

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 25


b. Dinamis

 Pasien bisa melakukan gerakan fleksi, ekstensi, lateral fleksi, dan rotasi

lumbal tetapi tampak terasa sakit di pinggang

 Pada saat berjalan pasien cenderung menumpuh ke tungkai yang sehat

(kanan)

 Pada saat jongkok ke berdiri pasien kesulitan dalam melakukan gerakan

dan terasa nyeri.

D. Palpasi

Fisioterapi meraba dan menekan otot sekitaran panggul

Hasil : Terdapat spasme otot dan nyeri tekan pada daerah otot erector spine kiri dan

kanan , gluteus maximus, piriformis

E. Pemeriksaan fungsi gerak dasar (PFGD)

a. Pemeriksaan aktif pada lumbal dan hip

Lumbal

Fleksi : nyeri dan ROM dalam batas normal

Ekstensi : nyeri dan ROM dalam batas normal

Lateral fleksi kanan/kiri : nyeri dan ROM dalam batas normal

Rotasi kanan/kiri : nyeri dan ROM dalam batas normal

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 26


Hip

Fleksi hip : nyeri dan ROM dalam batas normal

Ekstensi hip : nyeri dan ROM dalam batas normal

Abduksi hip : tidak nyeri dan ROM dalam batas normal

Adduksi hip : tidak nyeri dan ROM dalam batas normal

b. Pemeriksaan pasif pada lumbal dan hip

Lumbal

Fleksi : nyeri, elastis end feel dan ROM normal

Ekstensi : nyeri, elastis end feel dan ROM normal

Lateral fleksi kanan/kiri : nyeri, elastis end feel dan ROM normal

Rotasi kanan/kiri : nyeri, elastis end feel dan ROM normal

Hip

Fleksi hip : nyeri, elastis end feel dan ROM normal

Ekstensi hip : nyeri, elastis end feel dan ROM normal

Abduksi hip : tidak nyeri, elastis end feel dan ROM normal

Adduksi hip : tidak nyeri, elastis end feel dan ROM normal

c. Pemeriksaan TIMT pada lumbal dan hip

Lumbal

Fleksi : nyeri dan kekuatan otot maksimal

Ekstensi : nyeri dan kekuatan otot maksimal

Lateral fleksi kanan/kiri : nyeri dan kekuatan otot maksimal

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 27


Rotasi kanan/kiri : nyeri dan kekuatan otot maksimal

Hip

Fleksi hip : nyeri dan kekuatan otot maksimal

Ekstensi hip : nyeri dan kekuatan otot maksimal

Abduksi hip : nyeri dan kekuatan otot maksimal

Adduksi hip : nyeri dan kekuatan otot maksimal

F. Pemeriksaan spesifik

1. Tes neurologi daerah lumbal

a. Lasegue’s tes ( SLR )

Tujuan: tes untuk mengindetifikasi patologi disc herniation dan /atau

penekanan pada jaringan syaraf.

Prosedur tes: Pasien terlentang dengan posisi kedua hip endorotasi dan

adduksi,serta knee ekstensi,rileks.

Praktikan meletakkan satu tangan pada ankle pasien. praktikan

selanjutnya secara pasif memfleksikan hip pasien hingga pasien

merasakan nyeri atau tightness pada pinggangang atau bagian posterior.

Praktekkan kemudian secara perlahan dan hati hati menurunkan tungkai

pasien sehingga pasien tidak merasakan nyeri atau tightness.

Posisi tes : Jika nyeri terutama di rasakan pada pinggang, maka lebih

kearah disc herniation atau penyebab patologi penekanan pada sisi

sentral. jika nyeri terutama pada tungkai, maka patologi akan

menyebabkan penekanan terhadap jaringan saraf lebih pada sisi lateral.

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 28


Hasil : positif nyeri pada tungkai

b. Bragard’s tes

Tujuan : Tes untuk mengidentifikasi patologi pada durameter atau lesi

pada spinal cord.

Prosedur Test : Prosedur sama seperti Lasegue’s test. Bedanya pada

Bragard’s test, praktikkan menambahkan fleksi cervical pasien secara

pasif, disertai dorsofleksi ankle pasien (tension yang terjadi pada area

cervicothoracic junction adalah normal dan tidak semestinya

menimbulkan gejala. Jika gejalah timbul pada lumbar, tungkai, atau

lengan, berarti jaringan saraf terlibat). Praktikkan kemudian secara

perlahan dan hati-hati menurunkan kepala dan tungkai pasien sehingga

pasien tidak merasakan nyeri atau tightness.

Positif Test : Peningkatan nyeri dengan fleksi cervical, dorsofleksi

ankle, atau keduanya mengindikasikan penguluran pada dura meter dari

spinal cord atau lesi pada spinal cord ( seperti; disc heniation, tumor,

meningitis). Nyeri yang tidak meningkat dengan fleksi servical

mengindikasikan lesi pada area hamstring (tight hamstring) atau pada

lumbosacral atau area sacroiliac joint.

Hasil : positif nyeri meningkat saat di fleksi cervical

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 29


c. Slam test

Tujuan: Untuk meregangkan spinal cord dan dural tube untuk

mereproduksi rasa sakit yang disebabkan oleh akar saraf

Prosedur tes: Pasien duduk dan Pasien secara aktif memfleksikan

kepala hingga ke dada Pasien secara aktif ekstensi knee dextra

kemudian dorso fleksi kaki kanan. Lakukan pada kaki kiri juga

Positif test: Akar saraf Nyeri menjalar ke anggota tubuh.

Hasil : positif

d. FAIR test (flexi, adduksi, internal rotasi)

Tujuan : untuk mendeteksi iritasi nervus sciatik akibat syndrome

piriformis

Prosedur tes : posisi pasien terlentang fisioterapis berdiri di sisi lateral

tungkai yang akan di test. Satu tangan di letakkan di knee pasien dan

satu tngan lagi di pada bagian bawah tumit. Kemudian gerakan tungkai

pasien ke arah fleksi (hip 90 derajat knee 90 derajat) endorotasi dan

adduksi.

Positif test : nyeri pada daerah glutea akibat syndrome piriformis nyeri

yang terjadi di dalam anterior paha akibat femoral acetabular

Interprestasi : lokasi nyeri berkorespondensi terhadap disfungsi pada

area tersebut.

Hasil : positif

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 30


e. Piriformis test

Tujuan : untuk untuk mendeteksi nervus sciatik akibat syndrome

piriformis

Prosedur test : posisi pasien sideline di ujung bed lalu bawa kaki

bagian atas 60 derajat lalu fleksi pinggul dengan knee dan tungkai

tertekuk, tungkai yang satunya di luruskan. Tangan pasien fiksasi

panggul dan tangan satunya beri tekanan kebawah pada knee

positif : jika nyeri dirasakan di daerah priformis atau nyeri menjalar

sampai ketungkai.

Hasil : positif

2. Tes area pelveic/hip

a. Patrik tes

Tujuan : Tes untuk mendeteksi patologi pada hip, lumbar, atau S1 joint

dysfunction.

Prosedur Tes : Pasien telentang dalam posisi comfortable.

Praktikkan selanjutnya secara pasif menggerakkan tungkai pasien yang

di tes kearah flexi knee dengan menempatkan ankle di atas knee pada

tungkai pasien yang satunya Praktekkan kemudian memfiksasi SIAS

pasien pada tungkai yang tidak di tes dengan menggunakan satu tangan

dan tangan satunya pada sisi medial knee pasien yang di tes, lalu

menekan tungkai pasien kearah abduksi. Ulangi prosedur tes yang sama

pada tungkai pasien yang satunya.

Positif Test : Nyeri di bagian dalam hip, lumbal, atau SI..

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 31


Hasil : nyeri daerah belakang

b. Anti patrik tes

Tujuan : Untuk mendeteksi iritasi nervus sciatic akibat syndrome

piriformis.

Prosedur tes : Pasien terlentang dalam posisi confortable

Praktikan meletakan kedua tangan di atas knee, masing-masing pada sisi

lateral dan medial knee untuk menyiapkan stabilisasi. Praktekkan

selanjutnya secara pasif menggerakan tungkai pasien kearah fleksi hip

900, endorotasi, adduksi, dan knee 900

positif tes : nyeri pada dearah glutea/sciatic akibat syndrome piriformis,

nyeri yang terjadi di daerah dalam anterior paha akibat femoral

acetabular impigiment

hasil : negative

3. Visual analoge scale (VAS)

Hasil : 6 nyeri sedang

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 32


Visiual analog scale (VAS) parameter

 Skala 0 - 1 : Tidak nyeri (tidak ada rasa sakit merasa normal)

 Skala 1 - 3 : Nyeri ringan (masih bisa di tahan, aktifitas tidak

tergaggu)

 Skala 3 - 7 : Nyeri sedang (mengganggu aktifitas fisik)

 Skala 7 - 10 : Nyeri berat (tidak dapat melakukan aktifitas secara

mandiri)

4. Pemeriksaan kekuatan otot MMT

Dengan cara melakukan gerakanya secara aktif yaitu dengan kriteria

Nilai Keterangan

Nilai 0 Tidak ada kontraksi

Nilai 1 Ada kontraksi

Nilai 2 Ada kegarakan tidak full ROM

Nilai 3 Full ROM melawan grafitasi tidak ada tahanan

Nilai 4 Full ROM melawan grafitasi tahanan minimal

Nilai 5 Full ROM melawan grafitasi tahanan maksimal

Hasil : 4 (full ROM melawan grafitasi tahanan minimal)

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 33


G. Diagnosa dan problematik fisioterapi

1. Diagnose

Muscle spasme dan radicular pain et causa syndrome piriformis

2. Problematik fisioterapi

a. Impraitment(body structural and fuctional)

Spasme otot erector spine, otot piriformis dan gluteus maximus

Nyeri tekan pada otot erector spine priformis dan gluteus maximus

Nyeri menjalar sampai ketungkai

Kelemahan otot hamstring, quadriceps, gluteus medius, adductor

magnus

b. Activity limitation

Pasien kesulitan dalam melakukan gerakan sholat(khususnya rukuk dan

sujud)

c. Participation restriction

Gangguan dalam aktivitas social dalam tempat-tempat yang

membutuhkan waktu duduk lama

H. Tujuan intervensi fisioterapi

1. Tujuan jangka pendek

Mengurangi spasme otot

Mengurangi nyeri

Meningkatkam kekuatan otot

2. Tujuan jangka panjang

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 34


Mengembalikan kemampuan fungsional pinggang bawah dan tungkai

pada pasien

I. Program intervensi fisioterapi

1. TENS

Tujuan : Mengurangi nyeri dan meransang jaringan saraf

Teknik : Posisi pasien tidur terlentang, pad dipasang pada lumbal dan M.

Piriformis

Dosis :

Frekuensi : 2 x seminggu

Intensitas : 70 MHz

Teknik : coplanar dengan 2 pad

Time : 10 menit

2. Mc. Kenzie

Tujuan : Penguatan dan peregangan otot ekstensor dan fleksor sendi

lumbosacralis. Dapat mengurangi nyeri yang disebabkan oleh spasme otot

sehingga stuktur jaringan spesifik mengalami pemendekan.

Posisi pasien : prone lying

Posisi fisioterapis : berdiri di samping pasien

Mc. Kenzie latihan 2 : Posisikan kedua elbow di bawah shoulder sehingga

bersandar pada kedua lengan bawah. Selama latihan ini lakukan deep

breathing kemudian rileksasikan otot-otot pinggang secara sempurnah.

Lakukan latihan ini selama 5 menit.

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 35


Mc. Kenzie latihan 3 : posisikan kedua tangan di bawah shoulder dalam

posisi press-up. Kemudian luruskan kedua elbow dengan mendorong badan

ke atas sejauh mungkin sehingga nyeri berkurang. Posisi ini penting untuk

merleksasikan pelvis, hip dan tungkai secara sempurnah. Pertahankan posisi

tersebut selama 2 detik sehingga region pinggang terasa lentur dan lakukan

10 kali repetisi.

Dosis :

Frekuensi : 2x/minggu

Intensitas : toleransi pasien

Teknik : aktif

Time : 10 menit

3. Muscle Energy Technique (MET)

Tujuan : bertujuan untuk relaksasi pada otot yang mengalami hipertonus

dan dikombinasi dengan peregangan otot, indikasi dan Kontra Indikasi dari

Muscle Energy Technique (MET) Muscle Energy Technique (MET)

diindikasikan untuk otot yang mengalami hipertonus dengan ciri-ciri seperti

spasme, nyeri tekan, kelemahan,

Prosedur kerja : Otot yang terkena ditempatkan dalam posisi mid-range.

Pasien diminta untuk mendorong kuat tahanan yang diberikan oleh terapis.

Terapis menjaga tahanannya agar terjadi kontraksi isometrik atau bila tidak

memungkinkan gerakan di kombinasi dengan kontraksi isotonik. Beberapa

tingkat gerakan rotasi atau diagonal dapat dimasukkan ke dalam prosedur.

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 36


Pada akhir kontraksi, pasien menghirup dan mengembuskan napas penuh,

pada saat tersebut terapis secara pasif mengulur otot pasien.

Dosis :

Frekuensi : 2x seminggu

Intensitas : 10 – 15 detik

Teknik : aktif pasif

Time : 3 – 5 kali

J. Evaluasi fisioterapi

No Hari/tanggal problematik intervensi Evaluasi

1. Rabu,4  Spasme otot  TENS  Spasme otot

september  Nyeri tekan  Mc.kenze  Nyeri tekan

2019  Nyeri menjalar  MET  Rasa nyeri dengan

 Kelemahan otot nilai 6

hamstring,  Nyeri menjalar

quadriceps, gluteus  Kelemahan otot

medius, adductor dengan nilai 4

magnus

2. Jumat,6  Spasme otot  TENS  Spasme otot

september  Nyeri tekan  MET berkurang

2019  Nyeri menjalar  Nyeri tekan masih

 Kelemahan otot ada

hamstring,  Rasa nyeri dengan

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 37


quadriceps, gluteus nilai 6

medius, adductor  Nyeri masih

magnus menjalar

 Kelemahan otot

nilai 4

3. Kamis,19  Spasme otot  TENS  Spasme otot sudah

september  Nyeri tekan  MET berkurang

2019  Nyeri menjala  nyeri tekan sudah

 Kelemahan otot tidak ada

hamstring,  rasa nyeri dengan

quadriceps, gluteus nilai 1

medius, adductor  nyeri menjlar

magnus masih ada

 kelemahan otot

nilai 5

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 38


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulam

Syndrome piriformis adalah nyeri menjalar sepanjang nervus ischiadicus atau

nyeri yang dirasakan menjalar dari pinggang sampai tungkai bawah sesuai dengan

perjalanan sarafnya.

Spasme yang terjadi pada musculus piriformis, selain mengiritasi dapat pula

menekan nervus ischiadicus. Hal tersebut terjadi karena apabila otot piriformis

memendek, maka n.ischiadicus terjebak. Akibatnya aliran / suplai darah ke .ischiadicus

pun terhambat, sedangkan iritasi terjadi akibat tekanan oleh otot piriformis tersebut.

Penekanan pada serabut N. Ischiadicus ini akan memberikan perangsangan,

sehingga akan menimbulkan nyeri yang bertolak dari daerah otot piriformis menjalar

sampai tungkai dan nyeri ini dirasakan hanya pada satu tungkai saja, karena ada nyeri

kemudian timbul spasme pada otot-otot yang dilewati seperti m.Gluteus, m. Triscep

Surae, m. Hamstring dan otot-otot para vertebra lumbosakra.

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 39


DAFTAR PUSTAKA

1. Shah S. Piriformis Syndrome Clinical Presentation: History, Physical, Causes

[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2018 [cited 5 February 2018]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/87545-clinical?src=ppc_google_rsla_ref_ous

2. Singh US, Meena RK, Arun C, Singh K, Singh AKJ, Singh AM. Original Article

Prevalence of piriformis syndrome among the cases of low back / buttock pain with

sciatica : A prospective study. 2013;27(2)

3. Chaitow, L. 2006. Muscle Energy Technique. Elsevier. UK.

4. Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media.

5. Coutaux, A. 2017. Non-Pharmacological Treatments for Pain Relief: TENS and

Acupuncture. Joint Bone Spine.

6. James, M., Russell, J. M., and Bancroft, L. W. 2008. Piriformis Syndrome:

Correlation of Muscle Morphology with symptoms and signs. Archives of Physical

Medicine and Rehabilitation.

7. Johnson, M. 2007. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation: Mechanism,

Clinical Application and Evidence. British Journal of Pain. Ylinen, J. 2008.

Stretching Therapy for Sport and Manual Therapies. Elsevier Toronto.

8. Parziale JR, Hudgins TH, Fishman LM. The piriformis syndrome. Am J Orthop

1996; 25(12):819–823.

9. Barton PM. Piriformis syndrome: a rational approach to management. Pain

1991;47(3):345–352.

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 40


10. Benson ER, Schutzer SF. Posttraumatic piriformis syndrome: diagnosis and results

of operative treatment. J Bone Joint Surg [Am] 1999; 81(7):941–949.

11. Beatty RA. The piriformis muscle syndrome: a simple diagnostic

maneuver.Neurosurgery 1994; 34(3):512–514; discussion 514.

12. Chen WS. Sciatica due to piriformis pyomyositis. Report of a case. J Bone Joint

Surg [Am] 1992; 74(10):1546–1548.

13. Mehta et al, 2006. Piriformis Syndrome, Article Extra-Spinal Disorders, Slipman.

14. Sara Douglas, 2002. Sciatic Pain and Piriformis

Syndrome, http://Gateway/d/Kalindra/ piri_np.htm, acces at March, 30, 2010.

15. Susan G. Salvo, 1999. Massage Therapy Principles and Practice, W.B. Saunders

Company, Philadelphia.

16. Wikipedia, 2010. Piriformis Syndrome, http://en.wikipedia.org/wiki/Piriformis_

syndrome, acces at March, 30, 2010

Laporan kasus RSAD.PELAMONIA | 41

Anda mungkin juga menyukai