Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lanjut usia atau lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas (Kementerian Kesehatan RI, 2017). Pertambahan jumlah lanjut usia akan
menimbulkan berbagai permasalahan kompleks bagi lansia, meliputi aspek fisi,
biologis, mental, maupun sosial ekonomi. Menurut data Susenas tahun 2012
menjelaskan bahwa angka kesakitan pada lansia tahun 2012 di perkotaan adalah
24,77% artinya dari setiap 100 orang lansia di daerah perkotaan 24 orang
mengalami sakit. Di pedesaan didapatkan 28,62% artinya setiap 100 orang lansia
di pedesaan, 28 orang mengalami sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Masalah kesehatan terbanyak yang dialami lansia adalah penyakit degeneratif atau
tidak menular yang terjadi akibat gaya hidup yang tidak sehat.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2013), 1,53% lansia di Indonesia
mengalami masalah pada sistem eliminasi (misalnya konstipasi) yang berkaitan
dengan gangguan pada sistem pencernaan. Masalah pada sistem pencernaan yang
terjadi pada lansia dapat diakibatkan oleh perubahan secara fisiologis ataupun
patologis. Seiring dengan permasalahan tersebut, akan mempengaruhi aktivitas
fisik dan asupan makanan yang pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap
kesejahteraannya. Oleh karena itu dengan mengetahui sistem pencernaan pada
lansia dapat mengetahui kondisi fisiologis dan gambaran patologis sistem
pencernaan pada lansia.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini diharapkan penulis, mahasiswa dan sebagai
perawat mampu:
1. Mengetahui perubahan fisiologis sistem pencernaan yang terjadi pada lansia
2. Mengetahui perubahan pemenuhan kebutuhan nutrisi pada lansia
3. Mengetahui faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi fungsi sistem
pencernaan
4. Mengetahui gangguan patologis pada sistem pencernaan yang sering terjadi
pada lansia
5. Mengetahui anamnesa dan pengkajian fisik terkait gangguan sistem
pencernaan pada lansia
6. Mengetahui cara menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada lansia
7. Mengetahui pengkajian diagnostik, laboratorium, dan Mini Nutritional
Assessment (MNA) pada lansia
8. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada lansia dengan gangguan pencernaan
dan nutrisi.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Peubahan-Perubahan Sistem Pencernaan pada Lansia


Penuaan yang dialami oleh lansia memungkinkan terjadinya fungsi
anatomis maupun fisiologis diberbagai sistem tubuh, salah satunya adalah sistem
Gastrointestinal (GI). Sistem Gastrointestinal (GI) adalah jalur pemasokan nutrisi
untuk pertumbuhan dan perbaikan sel dengan melalui proses ingestion, secretion,
mixing and propulsion, digestion, dan absorption terhadap makanan yang masuk
(Derrickson & Tortora, 2015).
Menurut Ebersole, dkk (2014), pada lansia terdapat penurunan indra perasa
atau sense of taste khususnya manis dan asin serta penurunan sense of smell.
Seseorang dapat merasakan makan dimulut karena memiliki taste bund dan pada
lansia taste bund mengalami penurunan jumlah dan mengalami atropi (Meiner dan
Lueckenotte, 2006). Sehingga lansia mengalami perubahan rasa (disgeusia),
kemampuan untuk merasakan menurun (hypogeusia) dan tidak dapat merasakan
beberapa rasa (ageusia). Mukosa mulut juga mengalami perubahan berupa
kehilangan elastisitas, atrofi sel epitel, dan suplai darah berkurang ke jaringan ikat
(Miller, 2012). Hal ini menjadi penting karena kehilangan atau penurunan indra
perasa dapat mengakibatkan penurunan nafsu makan dari lansia itu sendiri.
Pada lansia mulut yang berfungsi mencerna makanan menjadi bolus juga
mengalami perubahan fisiologis. Perubahan-perubahan tersebut seperti enamel
gigi menjadi lebih keras dan rapuh, dentin menjadi lebih berserabut, dan ruang
saraf menjadi pendek dan sempit menyebabkan gigi menjadi mudah tanggal
(Miller, 2012). Meiner dan Lueckenotte (2006) menambahkan tanggalnya gigi
disebabkan juga karena kerusakan jaringan disekitar gigi, dan resorpsi dan
deposisi tulang yang terjadi secara bersamaan. Menurut Miller (2012), pada lansia
juga mengalami penurunan sekresi saliva. Saliva berfungsi mensekresikan enzim
percernaan, mengatur flora mulut, remineralisasi gigi, meningkatkan nafsu makan,
sebagai pelumas jaringan lunak dan membantu mencerna makanan. Namun,
biasanya penurunan sekresi saliva lebih banyak terjadi akibat kondisi patologis
dan efek dari penggunaan obat seperti analgesik dan antikolinergik. Di dalam
rongga mulut lansia juga mengalami perubahan neuromuskular yaitu adanya
penurunan kemampuan mengunyah dan menelan yang berkaitan dengan kekuatan
otot berkurang dan mengurangi tekanan lidah (Ney, dkk., 2009 dalam Miller,
2012).
Pada esophagus terdapat gelombang peristaltik yang berfungsi
memasukkan makanan ke dalam lambung. Menurut Miller (2012), lansia
mengalami penurunan gelombang peristaltik dan adanya peregangan pada
esophagus. Selain itu, lansia juga mengalami presbyphagia yaitu melambatnya
menelan atau bahkan disphagia yaitu susah menelan (Ebersole, dkk ,2014) Lower
esophageal sphingter mengalami penurunan untuk relaksasi sehingga lansia
rentan mengalami refluks makanan (Mitty, 2008). Hal ini menyebabkan risiko
tinggi terjadi aspirasi pada lansia yang dapat menyebabkan lansia rentan
mengalami penyakit saluran pernapasan seperti pneumonia.
Setelah makanan sampai di lambung, makanan akan mengalami
pencernaan lebih kompleks seperti motilitas, sekresi dan digesti. Ebersole, dkk
(2014) menyatakan bahwa lambung pada lansia banyak mengalami perubahan
fisiologis berupa penurunan motalitas, volume dan penurunan sekresi bikarbonat
serta mukus lambung. Perubahan ini disebabkan karena atropi lambung dan
Hypochlorydria atau ketidakcukupan HCL. Penurunan motilitas lambung
menyebabkan makanan menjadi lama dicerna dilambung sehingga terjadi
peningkatan waktu pengosongan lambung dan lansia menjadi jarang makan.
Di usus halus, makanan telah berbentuk kimus yang siap dicerna
menggunakan enzim-enzim pencernaan dari usus kecil, hati, dan pankreas.
Penuaan yang terjadi pada lansia berpengaruh pada kekuatan otot di usus dalam
gerakan peristaltik. Selain itu, mukosa yang bertugas melicinkan permukaan juga
mengalami penurunan jumlah. Perubahan lain yang terjadi menurut Miller (2012)
adalah adanya atrofi otot, pengurangan jumlah folikel limfatik, pengurangan berat
usus kecil, serta memendek dan melebarnya vili. Perubahan struktur ini memang
tidak berdampak signifikan pada motilitas, permeabilitas, atau waktu pencernaan.
Tetapi yang perlu diwaspadai adalah perubahan ini dapat berdampak pada fungsi
sistem imun dan absorpsi nutrien, seperti folat, kalsium, vitamin B12 dan D
(Ebersole,dkk, 2014). Penuaan dapat mengakibatkan turunnya jumlah enzim
laktase. Hal ini mengakibatkan penguraian nutrien makanan pun lebih lama. Selain
itu, lansia juga berpotensi mudah kembung karena lebih mudah mengalami
peningkatan jumlah bakteri. Hal ini memungkinkan adanya sakit perut, perut
terlihat besar karena kembung. Bakteri dapat berbahaya jika berkembang terus-
menerus karena akan mengurangi absorpsi nutrisi tertentu seperti vitamin B12, zat
besi, dan kalsium (Ebersole, dkk, 2014).
Hati berperan dalam metabolisme protein, lemak dan karbohidrat,
membunuh zat toksik, dan mensekresi empedu. Hati dan kandung empedu sebagai
organ aksesori sistem Gastrointestinal juga mengalami perubahan seperti hati
menjadi lebih kecil, berserat, terakumulasi lipofuscin (pigmen coklat), dan
menurunnya aliran darah (Miller, 2012). Hal ini menyebabkan makanan yang
masuk tidak di metabolisme dengan sempurna untuk menghasilkan ATP untuk
kerja sel tubuh serta zat toksik tidak dibunuh dengan optimal sehingga lansia
rentan terhadap penyakit. Kandung empedu mensekresikan empedu setelah
dirangsang oleh hati yang berfungsi untuk mencerna lemak dalam tubuh. Namun
semakin bertambahkan usia terjadi penurunan jumlah sekresi empedu, pelebaran
saluran empedu, peningkatan sekresi cholecystokinin (Miller, 2012). Hal tersebut
mengakitbatkan lemak tidak dimetabolisme dengan sempurna, meningkatnya
risiko terjadi batu empedu, dan menurunnya nafsu makan (Miller, 2012).
Menurut Miller (2012), pankreas memiliki fungsi yang sangat esensial bagi
pencernaan. Sebagai kelenjar yang multifungsi, pankreas banyak memproduksi
enzim-enzim yang berperan dalam penetralan keasaman di kimus, pemecahan
lemak, protein, dan karbohidrat di usus halus. Peran yang tak kalah pentingnya
yaitu fungsi pankreas dalam pengaturan gula darah. Pankreas memproduksi
hormon insulin dan glikogen yang berfungsi sebagai pengatur kadar gula darah
(Derrickson & Tortora, 2015). Penuaan berpengaruh pada pengurangan berat
pankreas, hiperplasia kelenjar, fibrosis, dan pengurangan kecepatan respon sel B
dalam pengaturan glukosa. Perubahan ini tidak berdampak langsung dalam fungsi
pencernaan. Namun yang cukup berbahaya adalah penurunan kemampuan
pengaturan metabolisme glukosa. Hal ini mengakibatkan lebih rentannya lansia
untuk terkena diabetes tipe 2 (Miller, 2012). Penambahan umur juga
mempengaruhi sekresi eksokrin dari pankreas yang dapat mengakibatkan
menurunnya aliran enzim dan pengurangan produksi bikarbonat dan enzim.
Setelah semua nutrien di absorpsi di usus halus, kimus akan memasuki
usus besar atau kolon. Menurut Miller (2012), pada usus besar terjadilah proses
absorpsi air dan elektrolit, serta pembuangan zat sisa atau sampah metabolisme
pencernaan. Proses penuaan pada lansia berpengaruh pada beberapa hal, seperti
pengurangan sekresi mukus, pengurangan elastisitas dinding rektum, dan
pengurangan kemampuan mempersepsikan distensi dinding rektum. Hal ini lah
yang menjadi faktor predisposisi lansia mengalami konstipasi (Miller, 2012).

B. Perubahan Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi pada Lansia


Menurut Miller (2012), terdapat sebuah standar untuk menentukan jumlah
nutrisi untuk dikonsumsi. Standar tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
gizi orang dewasa dengan kelompok usia tertentu (usia 51-70 tahun dan lebih dari
70 tahun) yang dinamakan Dietary Reference Intakes (DRIs). Metode ini cocok
digunakan sebagai bagian dari promosi kesehatan karena di dalamnya terdapat
indikator pencegahan penyakit kronik dan sisi positif serta negatif yang didapat
dari mengonsumsi sebuah nutrisi. Menurut Tabolski (2014), DRIs berfokus pada
variasi, keseimbangan, dan moderasi dalam memberikan asupan gizi yang
memadai. Terdapat Food Guide Pyramid yang cocok untuk DRIs dalam
melengkapi kebutuhan.
Tabolski, Patricia A. (2014). Gerontological Nursing 3rd Edition. New Jersey: Pearson.

Gambar di atas merupakan salah satu Food Guide Pyramid yang diberi
nama My Plate for Older Adults (Tabolski, 2014). Pada gambar tersebut dijelaskan
bagaimana komposisi yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan gizi lansia.
Umumnya terdapat beberapa jenis nutrisi yang berubah jumlahnya untuk dapat
dikonsumsi oleh lansia, dan juga perlu diperhatikan karena jika jumlahnya tidak
sesuai dapat memberikan masalah bagi lansia itu sendiri misalnya seperti penyakit
pencernaan konstipasi.
Selain itu, menurut Kemenkes RI (2004), pedoman pemenuhan nutrisi bagi
lansia tercangkup dalam “Prinsip Gizi Seimbang”. Prinsip Gizi Seimbang terdiri
dari 4 pilar yang merupakan sebuah rangkaian guna menyeimbangkan antara zat
gizi yang keluar dan zat gizi yang masuk dengan memonitor berat badan secara
teratur. Empat pilar tersebut antara lain mengonsumsi makanan beragam,
membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik, dan
mempertahankan dan memantau berat badan (BB) normal. Berikut merupakan
beberapa jenis nutrisi yang mengalami perubahan jumlah dalam pemenuhan
kebutuhan nutrisi lansia:
1. Protein
Pada lansia terdapat penurunan jumlah albumin dalam tubuh akibat
penurunan massa tubuh dan jaringan otot. Sehingga diperlukan
peningkatan jumlah protein untuk dikonsumsi sekitar 1-1,2 g/kg
protein untuk mengoptimalkan otot dan kesehatan tulang (Gaffney,
Insogna, Rodriguez, & Kerstetter, 2009 dalam Miller, 2012). Sumber
protein yang dapat dikonsumsi adalah protein nabati seperti kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
2. Kalori
Pada umumnya lansia mengalami penurunan aktivitas yang
menyebabkan penurunan massa otot. Hal tersebut menyebabkan
tingkat metabolisme lansia menurun dan terjadi penurunan kebutuhan
kalori. Menurut Tabolski (2014), jumlah kalori yang sesuai untuk
lansia adalah sekitar 1600 cal. Sumber kalori seperti nasi dan roti.

3. Serat
Lansia dianjurkan untuk mengonsumsi serat dengan jumlah 10-15
gram, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 25-38 g/hari. Selain itu,
lansia juga dianjurkan untuk mengonsumsi 5 sampai 9 jenis buah dan
sayur dengan jumlah minimal 55% dari total konsumsi kalori. Diet
serat ini berfungsi untuk pencegahan dan treatment lansia dengan
obesitas, diabetes, cardiovascular disease, dan kanker kolorektal
(Miller, 2012).
4. Kalsium
Kalsium berguna untuk menjaga kesehatan mineral tulang dan tingkat
kalsium plasma. Menurut Tabolski (2014), lansia dianjurkan
mengonsumsi kalsium dengan jumlah lebih dari 1200 mg/hari.
Konsumsi kalsium yang tidak adekuat dapat menyebabkan
osteoporosis dan risiko periodontal disease. Sumber kalsium seperti
susu sapi, susu keledai, margarin, dan yogurt dengan rendah lemak.
5. Air
Mengonsumsi cairan sangat penting bagi tubuh untuk pengaturan
regulasi dan membantu dalam proses metabolisme. Lansia mudah
mengalami dehidrasi akibat rasa haus yang mudah muncul, respon
hormon yang berubah, dan penurunan total air tubuh. Jumlah cairan
yang dianjurkan untuk lansia perempuan sekitar 2,7 L atau 9 gelas dan
3,7 L atau 13 gelas untuk laki-laki (Tabolski, 2014). Biasanya 80%
total air berasal dari oral intake, sedangkan 20% berasal dari makanan
(Buyckx, 2009).
6. Lemak
Lemak berfungsi untuk pengaturan regulasi dan sebagai cadangan
energi bagi tubuh. Namun, karena lemak memiliki banyak dampak
buruk seperti hyperlipidemia, jumlah yang dianjurkan untuk lansia
sekitar 10%-30% dari intake kalori per hari (Miller, 2012). Sumber
lemak nabati lebih baik daripada hewani, misalnya alpukat.

C. Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Pencernaan Pada Lanjut Usia


Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sistem pencernaan pada lansia antara
lain:
1. Kesehatan Oral
Komponen gigi pada lansia lebih keras dan mudah rapuh, serta ruang saraf
yang lebih pendek dan sempit menyebabkan penurunan sensitivitas
terhadap rangsangan yang dapat mengganggu proses mengunyah (Millier,
2012). Penurunan produksi saliva berkurang sehingga mulut kering atau
disebut juga dengan xerostomia, saliva berfungsi sebagai peningkat nafsu
makan (Kozier, 2008). Kemampuan untuk merasakan makanan berada
pada permukaan lidah. Kemampuan untuk mendeteksi rasa manis tetap
sama, namun rasa asin, asam, dan pahit menurun. Kesulitan untuk
merasakan makanan dipengaruhi juga oleh sensitivitas olfactory dan
sekresi saliva (Ebersole, 2013).
2. Masalah Fungsional
Masalah fungsional seperti mobilitas atau gangguan pengelihatan dapat
berdampak pada kemampuan untuk mendapatkan dan menyiapkan
makanan. Disfagia mempengaruhi proses mengunyah, menelan, dan
pemenuhan nutrisi (Miller, 2012).
3. Obat-Obatan
Konsumsi obat-obatan dapat memberikan efek samping terhadap
pencernaan, pola makan, dan pemanfaatan nutrisi. Contohnya seperti
antibiotik spektrum luas dapat mempengaruhi flora usus dan sintesis nutrisi
(Miller, 2012).
4. Kebiasaan atau Gaya Hidup
Kebiasaan merokok atau minum alkohol dapat mempengaruhi fungsi
sistem pencernaan pada lansia. Merokok dapat menggangu sistem sensori
pembau dan perasa, dan mempengaruhi kemampuan mengabsorbsi
vitamin C dan asam folat. Kebiasaan minum alkohol menggangu
penyerapan vitamin B-kompleks dan vitamin C (Miller, 2012).

5. Faktor Psikososial
Perubahan jadwal makan dan partisipasi pasangan dapat mempengaruhi
nafsu makan. Lansia akan sulit untuk menyiapkan makanan sehari-hari
untuk keluarga dan pasangannya setelah kehilangan pasangan atau salah
satu anggota keluarga (Miller, 2012).
6. Masalah Kognitif
Dementia dapat mempengaruhi kemampuan lansia untuk menyiapkan
makanan, mengingat waktu makan, mengunyah dan menelan makanan
(Miller, 2012). Keadaan ini dapat menyebabkan kehilangan berat badan
dan ketidakadekuatan nutrisi (Ebersole, 2013).
7. Faktor Budaya, Lingkungan dan Sosial Ekonomi
Latar belakang budaya, etnis, agama, dan sosial ekonomi mempengaruhi
cara dalam memilih, menyiapkan makanan. Lansia dengan kondisi medis
tertentu memerlukan nutrisi yang spesifik, bila kelompok tidak memenuhi
kebutuhan lansia dengan tepat maka dapat memperburuk kondisi dan
menghambat penyembuhan. Lansia yang berasal dari sosial ekonomi
rendah biasanya memiliki kendala dalam pemenuhan nutrisi (Miller,
2012).
8. Penyakit Kronis
Penyakit kronis dapat mempengaruhi kemampuan lansia untuk berbelanja,
memasak, dan makan secara mandiri. Penyakit Parkinson dan Arthritis
dapat menggangu kemampuan makan, kanker juga dapat mengganggu
nafsu makan dan kemampuan untuk mengkonsumsi nutrisi yang memadai
(Ebersole, 2013).

D. Masalah Patologis pada Sistem Gastrointestinal pada Lansia


Seperti yang sudah dipelajari sebelumnya, kita tahu bahwa lansia
mengalami berbagai macam perubahan baik dari segi psikososial maupun fisik.
Perubahan fisik itu sendiri terdiri dari berbagai sistem mulai dari sistem
kardiovaskuler, respirasi, integumen, termoregulasi, khususnya pencernaan atau
gastrointestinal. Perubahan-perubahan pada sistem tubuh tersebut juga dapat
menimbulkan gangguan patologis jika tidak ditangani dengan baik. Gangguan-
gangguan tersebut salah satunya meliputi GERD atau gastroesophageal reflux
disease, kolelitiasis, konstipasi, dan malnutrisi.
1. GERD
Dimulai dari organ pencernaan atas yaitu esophagus. GERD adalah salah
satu keluhan pada esophagus yang sering terjadi pada lansia (Reichel, et
al., 2009). GERD adalah refluks atau kembalinya isi lambung ke dalam
esophagus. (Tabloski, 2014). Angka kejadian GERD pada lansia kurang
lebih sebesar 20% (Reichel, et al., 2009). GERD disebabkan oleh relaksasi
sphincter esophagus sementara yang tidak seharusnya dan akhirnya
menyebabkan asam naik kembali ke esophagus. (Reichel, et al., 2009).
Gejala GERD adalah heartburn, indigesti, sendawa, cegukan, dan
regurgitasi isi lambung ke dalam mulut. (Tabloski, 2014). Dampak
psikososial dari GERD adalah lansia dapat merasa takut untuk makan atau
datan ke acara social karena stress dan makanan tertentu dapat memicu
gejala. (Tabloski, 2014). Komplikasi dari GERD yang tidak ditangani
adalah esophagitis, perdarahan, dan penyempitan bentuk. (Tabloski, 2014).
Lansia lebih berisiko terhadap komplikasi GERD karena paparan asam
esophagus yang berkepanjangan selama bertahun-tahun ditambah
frekuensi hiatal hernia yang lebih tinggi dan penggunaan obat yang
berdampak pada penurunan fungsi sphincter serta meningkatkan
keparahan GERD pada lansia. (Huether & McCance, 2012; Tabloski,
2014). Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah
gaya hidup yaitu melakukan elevasi tempat tidur, minum air putih yang
banyak, serta kurangi makanan yang menyebabkan peningkatan asam
seperti cokelat, bawang putih, bawang Bombay, tomat, dan cuka. Medikasi
yang dapat diberikan adalah proton pump inhibitor dan histamine2 agonist
yang dapat menekan produksi asam. (Tabloski, 2014).
2. Kolelitiasis
Gangguan yang sering terjadi pada kantung empedu yaitu kolelitiasis atau
pembentukan batu empedu karena perubahan fisiologi dengan penuaan
termasuk penurunan produksi asam empedu, peningkatan saturasi
kolesterol empedu, berkurangnya kontraksi kantung empedu, dan
penurunan respon pada kolesistokinin. (Reichel, et al., 2009). Angka
kejadian kolelitiasis pada lansia sejumlah 14% - 27%. (Reichel, et al.,
2009). Gejala yang dapat dirasakan adalah nyeri akut pada kuadran atas
atau epigastrik. (Reichel, et al., 2009). Nyeri dapat menjalar ke tulang
belikat sehingga menyebabkan mual dan muntah, namun seringnya
penderita kolelitiasis tidak menunjukkan gejala. (Reichel, et al., 2009).
Komplikasi yang dapat terjadi pada lansia adalah akut kolesistitis,
kolangitis asenden, atau kerusakan jaundice. (Reichel, et al., 2009).
3. Konstipasi
Konstipasi merupakan penurunan frekuensi defekasi yang normal pada
klien, diikuti dengan kesulitan evakuasi feses yang keras dan kering, serta
sensasi tidak lampias yang klien rasakan. menurut (NANDA, 2014). \
Penyebab dari konstipasi pada lansia yaitu gangguan fungsional, kondisi
patologis, efek pengobatan yang tidak diinginkan, dan kebiasaan diet yang
buruk (Miller, 2012). Gejalanya adalah frekuensi defekasi dari semula 3x
sehari jd 1-2x per minggu serta rasa tidak lampias saat defekasi. (Miller,
2012). Angka kekambuhan konstipasi yang tinggi tidak hanya
menyebabkan penurunan kualitas hidup, tetapi juga dapat menyebabkan
komplikasi seperti impaksi fekal. (Orozco, et al., 2012). Penatalaksanaan
yang dapat dilakukan ada secara farmakologi dan non farmakologi.
Penatalaksanaan farmakologi yang biasa dilakukan adalah dengan
memberikan obat-obatan laksatif. Selain itu, penatalaksanaan non
farmakologi juga dapat dilakukan dengan memberikan suplemen serat,
hidrasi adekuat, serta peningkatan mobilitas. (Miller, 2012).
4. Malnutrisi
Selain ketiga masalah diatas yang terjadi pada organ gastrointestinal
tertentu, terdapat pula masalah yang sering terjadi pada lansia terkait
sistem gastrointestinal yaitu malnutrisi. Malnutrisi pada lansia terbagi
menjadi dua yaitu undernutrition dan overnutrition. Pada populasi
lansia, malnutrisi paling banyak terjadi yaitu kekurangan gizi karena
faktor risiko yang dapat mempengaruhi sistem pencernaan, pola makan
dan pemasukan nutrisi (Miller,2012). Malnutrisi dapat berdampak
serius seperti infeksi, peptik ulser, anemia, hipotensi, gangguan
kognitif, dan peningkatan mortalitas serta morbiditas. (Touhy & Jett,
2010). Protein-energy malnutrition (PEM) adalah bentuk malnutrisi
yang paling sering terjadi pada lansia. PEM dikarakteristikkan dengan
adanya tanda-tanda klinis (lemah otot dan BMI rendah) dan indikator
biochemical (albumin, kolesterol, atau perubahan protein lainnya).
(Touhy & Jett, 2010).

E. Pengkajian pada Sistem Pencernaan Lansia


Pengkajian adalah suatu pengumpulan informasi pasien secara sengaja dan
sistematis untuk menentukan status kesehatan, fungsional, dan pola koping pasien
tersebut saat ini dan di masa lalu (Carpenito-Moyet, 2009 dalam Potter & Perry,
2013). Informasi dapat berasal dari laporan, anamnesis, observasi, pemeriksaan
fisik, rekam medik, dan dari literatur ilmiah yang berhubungan dengan keluhan
pasien, kemudian dianalisis dan dikategorikan berdasarkan sistem tubuh untuk
menentukan masalah apa yang terjadi, di mana, dan mengapa (Potter & Perry,
2013).
Pengkajian pada lansia perlu disertai pertimbangan khusus, seperti ruangan
yang cukup hangat dan dengan pencahayaan yang cukup, jauh dari distraksi, posisi
pemeriksa harus berhadapan dengan lansia, serta kursi dan meja yang empuk dan
dengan tinggi yang tepat. Lansia memerlukan lebih banyak waktu untuk
menjelaskan dan terkadang dapat berbicara di luar topik, karena itu perawat perlu
memberikan waktu yang cukup untuk mendengarkan lansia secara aktif dan dapat
mengembalikan pembicaraan ke topik semula tanpa membuat lansia tersinggung
atau merasa terancam (Wallace, 2008).

1. Anamnesis Sistem Pencernaan pada Lansia


Tabel Daftar Pertanyaan Pengkajian terkait Sistem Pencernaan Lansia

Komponen yang Dikaji Pertanyaan

Kenyamanan oral dan  Apakah Anda memiliki kesulitan yang disertai rasa sakit
kemampuan mengunyah atau pendarahan di mulut?
 Apakah Anda memiliki gigi yang sakit, longgar, atau
sensitif terhadap suhu panas atau dingin?
 Apakah gusi Anda berdarah?
 Apakah Anda memiliki masalah mengunyah atau menelan
makanan atau cairan? Jika iya, apa jenis makanan atau
cairan yang menyebabkan masalah?
 Apakah ada makanan yang Anda hindari karena masalah
mengunyah atau menelan?
 Apakah mulut atau lidah Anda terasa kering?

Kebiasaan dan sikap  Seberapa sering Anda ke dokter gigi?


terhadap perawatan gigi  Kapan terakhir kali Anda ke dokter gigi?
 Dokter gigi mana yang anda kunjungi untuk perawatan
gigi?
 Jika orang tersebut tidak ke dokter gigi minimal setahun
sekali: Apa yang mencegah Anda pergi ke dokter gigi?
 Bagaimana Anda melakukan perawatan gigi?
 Apakah Anda menggunakan dental floss?
̶ Jika iya: seberapa sering?
̶ Jika tidak: apakah Anda pernah diajarkan untuk
menggunakan dental floss?

Kebutuhan nutrisi  Apakah Anda memiliki diabetes, penyakit jantung, atau


kondisi lain yang memerlukan modifikasi diet?
 Apakah Anda memiliki alergi makanan?
 Medikasi apa yang Anda konsumsi?
 Apa pola aktivitas harian Anda biasanya?

Pola memperoleh  Bagaimana Anda melalukan belanja bahan makanan?


makanan  Apakah Anda memiliki bantuan untuk pergi ke toko bahan
makanan?
 Di mana dan seberapa sering Anda berbelanja bahan
makanan?
 Berapa anggaran makanan Anda biasanya?
 Apakah Anda memiliki kesulitan mendapatkan makanan
karena masalah penglihatan, berjalan, atau transportasi?

Pola penyiapan dan  Di mana Anda memakan makanan Anda?


konsumsi makanan  Dengan siapa Anda makan?
 Apakah Anda memakai gigi palsu saat makan? Jika tidak,
mengapa tidak?
 Apakah ada makanan atau minuman selingan di antara
pola makan Anda?
 Apakah minuman nonkafein yang nikmat tersedia untuk
konsumsi selingan?
 Apakah ada yang membantu Anda menyiapkan makanan
Anda?
 Apakah Anda mengalami kesulitan dalam menyiapkan
makanan Anda (mis. kesulitan membuka wadah)?
 Apakah Anda memiliki kesulitan dalam berkeliling dapur
Anda, menggunakan peralatan, atau mencapai lemari?
 Apakah ada perubahan pola makan dan penyiapan
makanan Anda yang baru-baru ini terjadi (mis. kehilangan
teman makan atau perubahan situasi pengasuh)?
 Adakah budaya yang mempengaruhi preferensi dan
persiapan makanan Anda?
Lingkungan saat makan  Apakah Anda lebih menikmati makan bersama orang lain
atau tanpa kehadiran orang lain?
 Apakah kondisi lingkungan atau sosial tertentu
mempengaruhi secara negatif kenikmatan Anda saat
makan (mis. ruang makan yang bising atau teman makan
yang mengganggu)?

Pola eliminasi fekal  Seberapa sering Anda buang air besar?


 Pernahkah Anda melihat adanya perubahan pola BAB
Anda baru-baru ini?
 Apakah Anda mengalami kesulitan dengan buang air
besar? (mis. apakah Anda mengejan saat BAB? atau
apakah tinja keras, kering, atau sulit dikeluarkan?)
 Apakah Anda pernah mengalami tinja longgar atau diare?
 Apakah Anda mengkonsumsi obat pencahar atau produk
lain untuk membantu Anda BAB?
 Apakah Anda pernah merasa sakit atau berdarah saat
BAB?

Daftar tersebut berisikan rincian pertanyaan mengenai sistem pencernaan pada lansia yang
dimulai dari pertanyaan seputar kondisi rongga mulut hingga tentang eliminasi fekal.
2. Pemeriksaan Fisik terkait Sistem Pencernaan pada Lansia
Rincian Pemeriksaan Fisik Terkait Sistem Pencernaan Lansia

Jenis
Organ Hasil Normal Hasil Abnormal
Pemeriksaan

Rambut Bersih, tebal, lebat Kusam, tipis, atau jarang


menunjukkan malnutrisi

Mata Segar, tidak kering, tidak Kering atau kusam


Inspeksi kusam menunjukkan malnutrisi

Kulit Tidak ada ruam dan jamur Terdapat ruam dan jamur pada
pada lipatan lipatan menunjukkan adanya
bakteri
Rongga mulut  Bibir: pink, lembab, simetris  Bibir: kering, retak, pecah di
 Gigi: utuh, tanpa lubang atau sudut menunjukkan kurangnya
karang gigi konsumsi cairan

 Gusi: pink, tidak berdarah  Gigi: busuk atau hilang


mengindikasikan periodontal,
 Membran mukosa: merah
infeksi gigi, atau retensi
muda, lembab
partikel makanan pada gigi
 Lidah: pink, lembab, adanya
 Gusi: merah, bengkak,
banyak urat pada permukaan
tersembunyi, kenyal atau
bawah
rawan berdarah menunjukkan
adanya peradangan pada gusi
 Membran mukosa: kering,
ulserasi, radang, perdarahan,
bercak putih menandakan
adanya peradangan yang
dapat berasal dari infeksi
jamur
 Lidah: kering, bengkak,
memerah, atau sangat halus
menandakan adanya
peradangan

Abdomen dan  Abdomen: simetris, tidak ada  Abdomen: membengkak dan


rektum lesi dan bergerak mengikuti tidak simetris dapat
respirasi menunjukkan adanya asites,
 Rektum: kulit di sekitar halus; adanya lesi menunjukkan
tidak ada wasir, fisura, terjadi infeksi
radang, atau prolaps  Rektum: terdapat wasir, fisura,
 Feses: lunak, berwarna radang, atau prolaps
coklat, dan negatif pada uji menandakan adanya obstruksi
keberadaan darah pada rektum
 Feses: keras menunjukkan
kekurangan cairan, konstipasi,
atau impaksi fekal, dan positif
pada uji keberadaan darah
menunjukkan kanker kolon
atau rektal
Ekstremitas Tidak ada edema Edema mengindikasikan
malnutrisi

Otot Ukuran dan kekuatan tetap Ukuran dan kekuatan


berkurang menunjukkan
malnutrisi

Auskultasi Abdomen  Bising usus: terdengar pada  Bising usus: tidak terdengar
interval tidak teratur (5-15 menunjukkan obstruksi usus,
detik), penurunan bising usus konstipasi, pneumonia, atau
biasa terjadi pada lansia radang usus buntu
akibat adanya penurunan  Bising usus: cepat
motilitas lambung mengindikasikan diare
 Tidak ada friction rubs  Friction rubs mengindikasikan
tumor hepatik atau infark
limfa

Rambut Lembab dan kuat Kering dan rapuh


mengindikasikan kekurangan
nutrisi

Kulit Halus, lemak subkutan Kasar, jaringan tipis


kurang mengindikasikan kekurangan
Palpasi nutrisi

Leher Tidak ada pembesaran Pembesaran kelenjar getah


kelenjar getah bening bening di fosa supraklavikula
kiri menandakan adanya
karsinoma gastrointestinal
metastatik.
Abdomen  Kulit lembut  Dinding abdomen aku
 Tidak ada nyeri mengindikasikan obstruksi
usus atau iritasi peritoneal
 Tidak teraba masa
 Nyeri di kuadran kanan bawah
 Prosesus xifoideus tidak
menunjukkan radang usus
lunak
buntu
 Tidak ada pembesaran hati
 Nyeri di kuadran kiri bawah
 Shifting dullness tidak menunjukkan divertikulitis
bergelombang
 Teraba massa dapat
mengindikasikan divertikulitis,
konstipasi, impaksi fekal,
trombosis mesenterika, atau
kanker
 Prosesus xifoideus yang lunak
mengindikasikan sakit perut,
hernia hiatal, atau nyeri dari
aorta
 Adanya pembesaran hati
menunjukkan inkontinensia
urin atau retensi urin dari
hipertrofi prostat
 Shifting dullness jika terdapat
gelombang menunjukkan
asites

Perkusi Abdomen  Timpani pada sebagian besar  Suara hipertimpani dapat


abdomen menunjukkan gas pada
 Sonor pada kandung kemih abdomen atau adanya
obstruksi usus
 Suara dullness pada sebagian
besar abdomen menunjukkan
asites
 Suara dullness pada kandung
kemih menujukkan adanya
distensi kandung kemih yang
berhubungan dengan
inkontinensia urin atau retensi
urin dari hipertrofi prostat
F. Pemeriksaan Diagnostik terkait Sistem Pencernaan pada Lansia
Tes diagnostik juga digunakan untuk melengkapi keakuratan screening yang
dilakukan. Selain itu tes diagnostic dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang
lebih jelas terkait kondisi tubuh lansia. Berikut ini merupakan beberapa tes
diagnostic terkait pemeriksaan gastrointestinal pada lansia.
1. Endoskopi
Endoskopi merupakan cara untuk melihat visual secara langsung pada sistem
gastrointestinal dengan meggunanakan sebuah selang yang bersifat fleksibel
dengan kamera kecil. Pada lansia endoskopi memiliki beberapa pertimbangan.
Pemberian sedasi untuk endoskopi pada lansia dapat memberikan beberapa
efek yaitu hipotensi, hipoksia, aritmia, dan aspirasi ketika dilakukan prosedur
(Katsinelos, et al, 2011 dalam Travis, Pievsky, Saltzman, 2012). Hal tersebut
dapat menimbulkan efek yang buruk untuk lansia tersebut. Untuk itu lansia
perlu diberikan sedasi dalam jumlah dosis yang rendah untuk mencegah
terjadinya kondisi tersebut. Terdapat beberapa jenis endoskopi, namun dari
beberapa jenis tersebut, rata-rata komplikasi prosedur kolonoskopi meningkat
seiring dengan meningkatnya usia khususnya komplikasi perfosrasi. (Travis,
Pievsky, Saltzman, 2012).
2. X-Ray
X-ray merupakan prosedur diagnostic dengan menggunakan x-ray untuk
mendapatkan gambaran kondisi organ abdomen. X-ray digunakan untuk
mengidentifikasi tumor, obstruksi, iskemi usus, kalsifikasi pankreas,
penumpukan gas abnormal (yang menandakan obstruksi usus), dan
penyempitan.
3. MRI/CT-Scan
CT-Scan dilakukan untuk mendapatkan gambaran tubuh dan organnya secara
horizontal. CT-Scan digunakan untuk mengkaji divertikulitis akut dan
pembentukan abses, mendiagnosis kanker kolorektal dan stadium tumor rektal.
G. Perhitungan Indeks Massa Tubuh pada Lansia
Selain itu, status nutrisi dan cairan pada lansia dapat dikaji dengan menggunakan
perhitungan indeks massa tubuh (IMT). Perhitungan IMT dapat menunjukkan
kategori berat badan saat ini dan berat badan yang ideal dengan menggunakan data
berat badan dan tinggi badan (Miller, 2012).
Untuk menentukan kategori IMT lansia, dapat dilihat pada tabel berikut.

Kategori IMT pada Pasien Lansia


(Sumber: Depkes, 2011)

Kategori Besar IMT (kg/m2)

Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0


Kurus
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4

Normal Berat badan cukup 18,5 – 25,0

Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0


Gemuk
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

Pada tabel tersebut dapat dilihat angka acuan pada kategori kurus, normal, dan
gemuk. Lansia dengan IMT di bawah 18,5 kg/m2 kemungkinan mengalami
kekurangan gizi dan IMT di atas 25,0 kg/m2 kemungkinan mengalami kelebihan
gizi. Menurut Chapman (2011) dalam Tabloski (2014), lansia yang dengan IMT
pada kategori kelebihan berat badan memiliki risiko tinggi terhadap kematian
akibat kelebihan berat badan dan risiko akan menurun setelah berusia 65 tahun
hingga sedikit atau tidak ada hubungan sama sekali antara IMT dan kematian
setelah berusia 75 tahun.

H. Mini Nitrional Assessment


The Mini Nutritional Assessment (MNA) merupakan alat yang sering digunakan
untuk mengkaji status nutrisi lansia karena dapat dilakukan secara cepat dan
mudah. Penilaian MNA terdiri dari 2 bagian yaitu 6 skrining dan 12 pertanyaan
dan sekitar 15 menit untuk dapat menyelesaikannya (Miller, 2012). Pada bagian
pertama pada MNA ialah enam pertanyaan awal yang disebut sebagai fase skrining
meliputi perubahan dalam mengkonsumi makanan, penurunan berat badan,
penurunan mobilitas, kehadiran stress psikologis dan penyakit akut, kehadiran
masalah neuropsikologi dan IMT. Pada fase ini, akan diketahui mengenai lansia
mempunyai status nutrisi yang baik atau kemungkinan malnutrisi (Caselato-Sousa,
et al., 2011). Jka hasil yang didapatkan menunjukkan berisiko dan atau malnutrisi,
evaluasi lebih lanjut harus dilakukan dengan mengajukan 12 pertanyaan. (Miller,
2012)
Pada bagian kedua MNA ialah melakukan pengkajian yang meliputi tempat
tinggal lansia, jumlah obat-obatan yang dikonsumsi, cedera luka (ulkus decubitus),
apakah kebiasaan makan mandiri, persepsi mengenai kesehatan mereka, dan
pengukuran lingkar lengan atas (LLA) dan pengukuran lingkar betis. Setelah
kedua belas pertanyaan sudah selesai diajukan, skor yang sudah didapat
dijumlahkan. Langkah terakhir ialah menjumlahkan hasil dari skor skrining dan
skor pengkajian untuk menentukan status gizi lansia yang meliputi nutrisi baik,
berisiko malnutrisi, dan malnutrisi (Caselato-Sousa, et al., 2011). (Miller, 2012)

Anda mungkin juga menyukai