Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan pengendalian diri dalam menghadapi
stresor di lingkungan sekitar dengan selalu berpikir positif dalam
keselarasan tanpa adanya tekanan fisik dan psikologis, baik secara internal
maupun eksternal yang mengarah pada kestabilan emosional (Nasir dan
Muhith, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatn jiwa
merupakan komponen penting pada definisi sehat mental.
Menurut hasil data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalansi
orang dengan ganguan jiwa berat mencapai 0,17%, sedangkan orang
dengan gangguan jiwa ringan mencapai 6,0% data Riset Kesehatan Dasar
menunjukan daerah Aceh dan Jogya tertinggi yang mengalami orang
dengan gangguan jiwa di Indonesia.
Menurut National institute of mental health gangguan jiwa mencapai
13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang
menjadi 25% di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil
meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai
negara. Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004,
diperkirakan 26,2 % penduduk yang berusia 18 – 30 tahun atau lebih
mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011).
Saat ini pemerintah telah menggalangkan setiap kecamatan
mempunyai 1 dokter umun dan 5 perawat Community Mental Health
Nursing, dengan adanya program tersebut diharapkan angka orang dengan
gangguan jiwa semakin rendah.

1
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran untuk menerapkan asuhan keperawatan pada
pasien gangguan jiwa sesuai dengan masalah utama gangguan
perilaku kekerasan.
2. Tujuan Khusus Dengan penyusunan laporan kasus ini, diharapkan
nantinya dapat:
a. Melakukan pengkajian pada pasien dengan Perilaku Kekerasan.
b. Merumuskan diagnosa keperawatan pasien Perilaku Kekerasan.
c. Membuat perencanaan keperawatan pasien Perilaku Kekerasan.
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pasien Perilaku Kekerasan.
e. Mengevaluasi tindakan pada pasien Perilaku Kekerasan

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Marah adalah perasaan jengkel dan tidak nyaman karena tidak
terpenuhinya / ancaman kebutuhan: fisik, psikologis dan sosial.
Perilaku kekerasaan adalah respon terhadap marah yang dapat
membahayakan diri, orang lain, dan lingkungan.
Perilaku kekerasan adalah perilaku memperlihatkan individu tersebut
dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual kepada orang
lain (Herdman, 2012).
Perilaku Kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasaan
dapat dilakukan secara verbal, dan atau fisik yang diarahka pada diri
sendiri, orang lain dan lingkunga.
Perilaku kekerasan adalah salah satu respon yang diekspresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusak
lingkungan. Respon ini dapat menimbulkan kerugian baik pada diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan. (Keliat dkk, 2011)
Agresi berkaitan dengan trauma pada masa anak pada saat lapar,
kedinginan, basah, atau meras tidak aman. Bila kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi secara terus menerus, maka ia akan menampakkan reaksi berupa
menangis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan ekspresi warna kulit,
bahkan mencoba menahan napasnya.
Setelah anak berkembang dewasa ia menampakkan reaksi yang lebih
keras pada saat kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi. Seperti
tempertantrum, melempar, menjerit, menahan napas, mencakar, merusak,
atau bersikap agresif pada bonekanya. Bila reward and punishment tidak
dilakukan maka ia cenderung menganggap perbuatan tersebut benar.
Bila kontrol lingkungan seputar anak tidak berfungsi, maka reaksi
agresi tersebut bertambah kuat sampai dewasa. Sehingga apabila ia merasa

3
benci atau frustasi dalam mencapai tujuannya ia akan bertindak agresif.
Hal ini akan bertambah apabila ia merasa kehiloangan orang-orang yang
dicintai dan orang yang berarti. Tetapi pelan-pelan ia akan belajar
mengontrol dirinya dengan norma dan etika dari dalam dirinya yang dia
adopsi dari pendidikan dan lingkungan sekitarnya. Ia akan belajar mana
yang baik dan mana yang tidak baik. Sehingga pola asuh dan orang-orang
terdekat sekitar lingkungan akan sangat berarti.
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari
marah atau ketakutan (panik). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu
sendiri sering dipandang sebagai sutu rentang, dimana agresif verbal di
suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain. Suatu
keadaan yang menimbulkan emosi, perasaan frustasi, benci atau marah.
Hal ini akan mempengaruhi perilaku seseorang. Berdasarkan keadaan
emosi secara mendalam tersebut terkadang perilaku menjadi agresif atau
melukai karena penggunaan koping yang kurang bagus. (Kusumawati dan
Hartono, 2011)

B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor biologis
Herdieter, ODGJ, Riwayat penyakit atau trauma kepala dan
riwayat penggunaan Nafza. Neurologi faktor, beragam komponen
dari sistem syaraf mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan
mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam
menstimulus timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif
1) Genetik faktor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui
orang tua, menjadi potensi perilaku agresif.
2) Cyrcardian Rhytm, memegang peranan pada individu.
Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami
peningkatan cortsiol terutama pada jam-jam sibuk seperti
meenjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan

4
sekitar jam 09.00 dan jam 13.00. Pada jam tertentu orang
mudah terstimulus untuk bersikap agresif.
3) Biochemistry factor (faktor biokimia tubuh) seperti
neurotransmiter di otak (epinephrine, norephineprine,
asetikolin dan serotonin) sangat berperan dalam penyampaian
informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh.
4) Brain arean Disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus
temporal, sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak,
penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangaat berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindakan kekerasan.
b. Faktor Psikologis
Pengalaman gagal kehidupan yang mengakibatkan perasaan
frustasi, gagal, dan tidak berguna.
1) Teori Psikonalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat
tumbuh kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa
adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana
anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan
air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif
dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi
ketidakpuasannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembang nya ego dan
membuat komsepp diri yang rendah.
2) Imitation, modeling and information processing theory,
menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam
lingkungan yang menolerir kekerasan.
3) Learning theory, menurut teori ini perilaku kekerasan
merupakan hasil belajar dari individu terhadap lingkungan
terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ibu saat marah.

5
c. Faktor sosial budaya
1) Latar belakang budaya
a) Budaya permissive : kontrol sosial yang tidak pasti
terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
perilaku kekerasan diterima.
2) Agama dan keyakinan
a) Kelurga yang tidak solid antara nilai keyakinan dan
praktek, serta tidak kuat terhadap nilai-nilai baru yang
masuk
b) Keyakinan yang slah terhadap nilai dan kepercayaan
tenatang marah dalam kehidupan. Misal yakin bahwa
penyakit merupakan hukuman dari Tuhan.
3) Keikutsertaan dalam politik
a) Terlibat dalam politik yang tidak sehat
b) Tidak siap menerima kekalahan dalam pertarungan politik
4) Pengalaman sosial
a) Sering mengalami kritikan yang mengarah pada
penghinaan
b) Kehilangan sesuatu yang dicintai (orang atau pekerjaan)
c) Interaksi sosial yang provokatif dan konflik
d) Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
e) Sulit memperlihatkan hubungan interpersonal
5) Peran sosial
a) Jarang beradaptasi dan bersosialisasi
b) Perasaan tidak berarti di masyarakat
c) Perubahan status dari mandiri ketergantungan (pada lansia)
d) Praduga negatif
6) Adanya budaya atau norma yang menerima suatu ekspresi
marah
2. Faktor presipitasi

Faktor presipitasi dapat bersifat faktor eksternal maupun internal dari


individu.

6
Faktor internal : perasaan gagal dan kehilangan

Faktor Exsternal: korban kekerasaan, lingkungan yang stresful( ribut,


padat, dihina)

Yosep (2011) faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku


kekerasan sering kali berkaaitan dengan :
a. Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dsb.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhhan dasar dan kondisi
sosial ekonommi
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang
dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkohol dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi fase frustasi
C. Tanda Dan Gejala

Fitria (2010) mengungkapkan fakta tanda dan gejala risiko perilaku


kekerasan adalah sebagai berikut :

 Fisik : mata melotot/paandangan tajam, tangan mengepal, rahang


mengatup, wajah memerah dan tegang, serta posturr tubuh kaku.
 Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor,
berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus.
 Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain,
merusak lingkungan, amuk/agresif.

7
 Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan dan menuntut
 Intelektual : mendominasi cerewet, kasar, berdebaat, meremehkan
dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
 Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan,
tidak bermoral dan kreativitas terhambat
 Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,
dan sindiran.
 Perhatain : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan
sosial.

Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukan adanya (Kartika Sari, 2015:
138) : Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam, Klien
menguungkapkan perasaan tidak berguna, klien mengungkapkan perasaan
jengkel, klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebardebar,
rasa tercekik dan bingung, klien mengatakan mendengar suara-suara yang
menyuruh melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan f. Klien mengatakan
semua orang ingin menyerangnya.

D. Proses Terjadinya Masalah


1. Faktor Predisposisi
Ada bebrapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekrasan
a. Faktor Psikologis
Psychoanalytical Theory ; Teori ini mendukung bahwa
perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud
berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting.
Kesatu insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas; dan
kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-aggresion Theory ; Teori yang dikembangkan
oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha
seseorang untuk mencapai suatau tujuan mengalami hambatan
maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan

8
memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau
objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang
melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif,
mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau
pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia
mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak.
Beberapa contoh dari pengalaman tersebut :
- Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak
mampu untuk menyelesaikan secara efektif.
- Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada
masa kanak-kanak, atau seduction parental, yang mungkin
telah merusak hubungan saling percaya (trust) dan harga diri.
- Terpapar kekerasan selama mas perkembangan, termasuk child
abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga
membentuk pola pertahanan atau koping.
b. Faktor Sosial Budaya
Social-Learning Theory ; Teori yang dikembangakan oleh
Bandura (1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda
dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui
observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapat penguatan
maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang
akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini
bisa eksternal atau internal.
Contoh internal : orang yang mengalami keterbangkitan seksual
karna menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan
mereka yang tidak menonton film tersebut ; seorang anak yang
tidak boleh membeli es kemudian ibunya memberinya es agar si
anak merhenti marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia
marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan.

9
Contoh eksternal : seorang anak menunjukan perilaku agresif
setelah melihat seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk
perilaku agresif terhadap sebuah boneka.
Kultur dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya
norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang
dapat diterima atau tidak dapat ditereima. Sehingga dapat
membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara
yang asertif.
c. Faktor Biologis
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi
atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori.
Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya
gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu
membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak
sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi
dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine,
dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat
konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye
dalam teorinya tentang respons terhadap stress.

10
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya
yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma
otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit
seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal,
terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.

E. Rentang Respon Marah

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk/PK

Gambar 1 Rentang Respon Marah

Keterangan :
1. Respons adaptif
Respons yang bisa diterima norma-norma sosial dan kebudayaan
secara umum yang berlaku, diantaranya :
a. Asertif (pernyataan) adalah respons marah dimana individu
mampu menyatakan atau mengungkapkan perilaku kekerasan
rasa marah (tidak setuju tanpa menyalahkan orang lain)
b. Frustasi adalah respons yang terjadi akibat individu gagal
mencapai tujuan kepuasan, rsa aman yang biasanya dalam
keadaan tersebut individu tidak menemukan alternative.
2. Respons maladaptif
Respons yang diberikan individu dalam menyelesaikan masalah yang
sudah menyimpang dari norma sosial dan kebudayaan , diantaranya :

11
a. Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk
mengungkapkan prilaku kekerasan perasaan yang sedang dialami
untuk menghindari suatu tuntutan nyata.
b. Agresif adalah prilaku yang menyertai marah dan merupakan
dorongan induvidu untuk menuntut sesuatu yang dianggap benar
dalam bentuk destruktif tetapi masih terkontrol.
c. Kekerasan (amuk) adalah respon atau perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat disertai hilang kontrol dimana individu
dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkugan.

12
F. Proses Terjadinya Marah

Ancaman atau kebutuhan

Stres

Cemas

Marah

Merasa kuat Mengungkapkan secara vertikal Merasa tidak


adekuat

Menentang Menjaga keutuhan Menentang


orang lain

Masalah tidak selesai Lega Mengingkari marah

Marah berkepanjangan Ketegangan menurun Marahtidak terungkap

Rasa marah teratasi

Muncul rasa bermusuhan

Rasa bermusuhan menahun

Marah pada diri sendiri Marah pada orang lain/lingkungan

Depresi psikosomati Agresif/mengamuk

Gambar 2 Konsep Marah (Beck, Rawlins, Williams, 1986: 447 dikutip oleh keliat dan sinaga, 1991:8)

13
G. Mekanisme Koping
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena
adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998)
1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di
mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.
3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci
pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran
atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga
perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya
seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang
pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy
berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari
ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain
perang-perangan dengan temannya.

14
H. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang
berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat
bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine,
bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko
Prabowo, 2014: hal 145).
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan
media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak
berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu
bagi dirinya. Terapi ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan
oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan
ditentukan program kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan
keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada
masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi
masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan
primer), menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder)

15
dan memulihkan perilaku maladaptif ke perilakuadaptif (pencegahan
tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat
ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
4. Terapi somatik
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic
terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif
dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik
pasien,terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014: hal 146).
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan
adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014:
hal 146).
I. Manajemen Marah

Strategi Preventif Strategi Antisipasi Strategi Penahanan

- Kesadaran diri
- Komunikasi - Manajemen krisisi
- Pebdidikan pasien
- Perubahan lingkungan - Pengasingan
- Latihan asertif - Perilaku - Pengendalian/pengek
- Psikofarmakologi angan

Gambar 3 Rangkaian Intervensi Keperawatan dalam Menjemen Perilaku


Kekerasan

1. Manajemen Krisis
1) Identifikasi pemimpin tim krisis

16
2) Susunatau kumpulkan tim krisis
3) Beritahu petugas keamanan yang diperlukan.
4) Pindahkan semua pasien dari area tersebut.
5) Siapkan atau dapatkan alat pengekang (restrains).
6) Susun strategi dan beritahu anggota lain.
7) Tugas penanganan pasien secara fisik
8) Jelaskan semua tindakan pada pasien “Kami harus mengontrol
Tono, karena perilaku Tono berbahaya pada Tono dan orang lain.
Jika Tono sudah dapat mengontrol perilakunya, kami akan
lepaskan”.
9) Ikat/kekang pasien sesuai instruksi pemimpin (posisi yang nyaman).
10) Berikan obat psikofarmaka sesuai instruksi.
11) Jaga tetap kalem dan konsisten.
12) Evaluasi tindakan dengan tim.
13) Jelaskan kejadian pada pasien lain dan staf seperlunya.
14) Secara bertahap integrasikan pasien pada lingkunga

J. Pohon Masalah

Resiko mencederai
diri sendiri, orang
lain dan lingkungan

Perilaku kekerasan

Gangguan konsep
diri : harga diri
rendah

Koping keluarga
tidak efektif

17
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian perilaku kekerasan merupakan salah satu respon
terhadap stressor yang di hadapi oleh seseorang. Respons ini dapat
menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan. Melihat dampak dari kerugian yang di timbulkan, penanganan
pasien perilaku kekerasan perlu di lakukan secara tepat dan cepat oleh
tenaga yang professional (Wati, 2010).
Kaji Faktor predisposisi dan presipitasi, serta kondisi klien
sekarang. Kaji riwayat keluarga dan masalah yang dihadapi klien.
Berikan pertanyaan sebga berikut kepada pasien:
 Apa Penyebab perasaan marah?
 Apa yang dirasakan saat terjadi marah/penyebab marah?
 Apa yang dilakukan saat marah?
 Apa akibat dari cara marah yang dilakukan?
 Apakah dengan cara yang digunaan marah hilang?
Observasi
 Wajah merah dan tegang
 Pandangan tajam
 Mengantupkan rahang dengan kuat
 Mengepalkan tangan
 Bicara kasar
 Mondar mandir
 Nada suara tinggi, menjerit atau berteriak
 Melempar atau memukul benda/ orang lain.
Fokus pengkajian pada pasien dengan perilaku kekerasan meliputi :
1. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan
psiritual.

18
a. Factor predisposisi
1) Aspek biologis
Respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan
darah meningkat, taki kardi, muka merah, pupil menebal,
pengeluaran urine meningkat.
Bagian-bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya
agresitivitas sebagai berikut
a) System limbik
Meruoakan organ yang mengatur dorongan dasar dan
ekspresi emosi serta perilaku seperti makan, agresif, dan
respon seksual. Selain itu, mengatur system informasi dan
memori.
b) Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai penyimpan memori dan
melakukan interpretasi pendengaran.
c) Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis,
serta pengelolaan emosi dan alasan berpikir.
d) Neurotransmitter
Beberaa neurotransmitter yang berdampak pada
agresitivitas adalah serotonin (5-HT), Dopamin,
Norepineprin, Acetylcholine, dan GABA.
2) Aspek emosional
Individu yang marah karena tidak nyaman, merasa tidak
berdaya, jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain,
ngamuk, bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan
menuntut.
3) Perilaku (behavioural)
a) Kerusakan organ otak, retardaasi mental, dan gangguan
belajar mengakibatkan kegagalan kemampuan dalam
berespons positif terhadap frustasi.

19
b) Penekanan emosi yang berlebihan (over rejection) pada
anak-anak atau godaan (seduction) orang tua memengaruhi
kepercayaan (trust) dan percaya diri (self esteem) individu.
c) Perilaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan
pada anak (child abuse) atau mengobservasi kekerasan
dalam keluarga memengaruhi penggunaan kekerasan
sebagai koping.
Teori belajar social mengatakan bahwa perilaku kekerasan
adalah hasil belajar dari proses sosialisasi dari internal dan
eksternal, yakni sebagaiberikut.
 Internal : Penguatan yang diterima ketika melakukan
kekerasan
 Eksternal : Observasi panutan (role mode), seperti
orang tua, kelompok, saudara, figure olahragawan atau
artis, serta media elektronik (berita kekerasan, perang,
olahraga keras).
4) Social kultural
a) Norma
Merupakan control masyarakat pada kekerasan. Hal ini
mendefinisikan ekspresi perilaku kekerasan yang diterima
atau tidak diterima akan menimbulkan sanksi. Kadang
control social yang sangat ketat (strict) dapat menghambat
ekspresi marah yang sehat dan menyebabkan individu
memilih cara yang maladaptive lainnya.
b) Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk
berespons terhadap marah yang sehat.
Factor social yang dapat menyebabkan timbulnya
agresitivitas atau perilaku kekerasan yang maladaptive
anatara lain sebagai berikut.
 Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup
 Status dalam perkawinan
 Hasil dari orangtua tunggal (single parent).

20
 Pengangguran
 Ketidakmampuan mempertahankan hubungan
interpersonal dan struktur keluarga dalam social
kultural.
5) Aspek spiritual
Kepercayaan nilai moral mempengaruhi hubungan individu
dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang
dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang
di manifestasikan dengan moral dan rasa tidak berdosa.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perilaku kekerasan
2. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
4. Berduka disfungsional
5. Koping keluarga inefektif

21
Diagnosa Keperawatan : Resiko Perilaku Kekerasan

Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Tujuan Umum : a) TUK 1 TUK 1  Memberikan salam
kepada psien dapat
Klien dapat melanjutkan  Klien mau membalas  Beri salam dan panggil nama klien
membina tras
hubungan peran sesuai salam  Sebutkan nama perawat sambil berjabat  Menyebutkan nama
sebgai tanda pengenalan
denga tanggung jawab  Kien mau berjabat tangan
 Memberikan rasa aman
tangan  Jelaskan maksud hubungan interaksi kepada pasien dapat
meningkatkan kenyaman
Tujuan Khusus  Klien mau  Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
pada pasien.
a. TUK I : Klien dapat menyebutkan nama  Beri rasa aman dan sikap empati
membina hubungan  Klien mau kontak  Lakukan kontak singkat tapi sering.
saling percaya mata
 Klien mau
mengetahui nama
perawat
 Klien mau
menyediakan waktu
untuk kontak

22
TUK II : TUK II
TUK II
Klien dapat
 Klien dapat
mengidentifikasi  Beri kesempatan mengungkapkan  Memberikan kesempatan
mengungkapkan untuk mengungkap
penyebab perilaku perasaannya
perasaan pasien dapat
perasaannya
kekerasan  Bantu klien mengungkap perasaannya meningkatkan
 Klien dapat kenyaman.
 Memberikan ungkapan
mengungkapkan
perasaan untuk lebih
penyebab perasaan nyaman pada pasien
jengkel/jengkel (dari
diri sendiri, orang
lain dan lingkungan)

TUK III : TUK III :


TUK III :
Kien dapat  Anjurkan klien mengungkapkan yang
mengidentifikasi tanda-  Klien dapat dialami saat marah/jengkel
tanda perilaku kekerasan mengungkapkan  Observasi tanda-tanda perilaku kekerasan  Dengan
perasaan saat marah pada klien menguungkapkan rasa
marah pasien akan
atau jengkel  Simpulkan bersama klien tanda-tanda klien merasa lebih tenang.

23
 Klien dapat saat jengkel/marah yang dialami  Dengan observasi tanda
perilaku kekerasan
menyimpulkan tanda-
dihrapkan pasien dapat
tanda jengkel/kesal mengontrol PK
 Melakukan bersama
yang dialam
sama tanda kemarahan
dapat meningkatkan
kewaspadaan pasien

TUK IV :
TUK IV :
 Klien dapat TUK IV :
Klien dapat
mengungkapkan
mengidentifikasi
perilaku kekerasan  Anjurkan klien mengungkapkan perilaku
perilakuk kekerasan
yang dilakukan kekerasan yang biasa dilakukan klien
yang biasa dilakukan.
 Klien dapat bermain  Bantu klien dapat bermain peran dengan

peran dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan


 Bicarakan dengan klien apakah dengan cara  Dengan
perilaku kekerasan
memngungkapkan
yang dilakukan yang klien lakukan masalahnya selesai. kemarahan pasien akan
merasa lebih nyaman
 Klien dapat
mengetahui cara yang
biasa dapat

24
menyelesaikan
masalah atau tidak

TUK V:

TUK V: TUK V:
Klien dapat
mengidentifikasi akibat  Bicarakan akibat kerugian dari cara yang
 Klien dapat
perilaku kekerasan dilakukan klien
mengungkapkan
a) Bersama klien
akibat dari cara yang
menyimpulkan akibat cara
dilakukan klien
yang dilakukan oleh klien
b) Tanyakan pada klien apakah  Melakukan diskusi
mengenai akibat marah
ingin mempelajari cara baru
pasien akan lebih
TUK VI : yang sehat mengerti apa akiba dari
TUK VI : marah
Klien dapat TUK VI :
 Klien dapat 
mengidentifikasi cara  Tanyakan pada klien apakah ingin
melakukan cara
konstruktif dalam mempelajari cara baru
berespn terhadap
berespon terhadap  Beri pujian jika klien menemukan cara yang

25
kemarahan secara kemarahan secara sehat
konstruktif konstruktif  Diskusikan dengan klien mengenai cara lain

TUK VII :

TUK VII : TUK VII :


 Bantu klien memilih cara yang tepat untuk
Klien dapat mengontrol
 Kriteria Evaluasi klien
perilaku kekerasan
Klien dapat  Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara
mengontrol perilaku yang dipilih
kekerasan  Bantu klien menstimulasi cara tersebut
 Fisik : olahragadan  Berikan reinforcement positif atas
menyiram tanaman keberhasilan klien menstimulasi cara
 Verbal : mengatakan tersebut
 Membantu
secra langsung dan  Anjurkan klien menggunakan cara yang mengidentifikasi manfaat
tidak menyakiti dari cara yag dipilih
telah dipilihnya jiak ia sedang kesal/jengkel
 Denagn cara yang dipih
 Spiritual : pasien akan merasa lebih
sembahyang, nyaman.

berdoa/ibdah yang
lain

26
TUK VIII : Klien TUK VIII
mendapat dukungan
keluarga dalam
 Identifikasi kemampuan keluarga merawat
mengontrol perilaku TUK VIII
klien dari sikap apa yang telah dilakukan  Menganalisa
kekerasan kemampuan keluarga
keluarga terhadap klien selam ini
merawat pasien agar
 Jelaskan peran serta keluarga dalam keluarga dapat merawat
 Keluarga klien dapat pasien
perawatan klien
 Menjelaskan peran
menyebutkan cara  Jelaskan cara merawat klien keluarga agar keluarga
TUK IX : mampu merawat
merawat klien yang  Bantu keluarga mendemonstrasikan cara
keluarga
berperikalu merawat kien
kekerasan  Bantu keluarga mengungkapkan
Klien dapat
 Keluarga klien meras perasaannya setelah melakukan demonstrasi
menggunakan obat
puas dalam merawat
dengan benar (sesuai
klien
program pengobatan)
TUK IX :
 Menjelaskan jenis obat
 Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum agar psaien paham.
klien
 Diskusikan manfaat minum obat dan

27
TUK IX : kerugian berhenti minum obat tanpa izin
 Klien dapat dokter
meyebutkan obat-
batan yang diminum
dan kegunaannya
 Klien dapat minum
obat sesuai dengan
program pengobatan

28
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang
ekstrim dari marah atau ketakutan (panic). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
itu sendiri dipandang sebagai suatu rentang, dimana agresif verbal di suatu sisi
dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain. Perilaku yang berkaitan
dengan perilaku kekerasan antara lain : menyerang atau menghindar (fight of f
menyatakan secara asertif (assertiveness), memberontak (acting out),perilaku
kekerasan. Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan.
B. Saran
Perawat hendaknya menguasai asuhan keperawatan pada klien dengan
masalah perilaku kekerasan sehingga bisa membantu klien dan keluarga dalam
mengatasi masalahnya. Kemampuan perawat dalam menangani klien dengan
masalah perilaku kekerasan meliputi keterampilan dalam pengkajian, diagnose,
perencanaan, intervensi dan evaluasi. Salah satu contoh intervensi keperawatan
yang dapat dilakukan pada klien dengan masalah perilaku kekerasan adalah
dengan mengajarkan teknik napas dalam atau memukul kasur/bantal agar klien
dapat meredam kemarahannya.

29
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T.H. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses Definition &


Classification, 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell

Keliat, B.A., dkk. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (CMHN -


Basic Course). Jakarta: EGC

Stuart, G.W. & Laraia, M.T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric
Nursing. 8th edition. Missouri: Mosby

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Kelliat. Budi. A. (2009). Model Keperawatan Profesional Jiwa. Edisi 1. Jakarta :


EGC

Kusumawati, F. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika

Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka


Aditama.

Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta:


Trans Info Media.

Towsend, Marry. (2006). Diagnosa Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta: EGC

Yosep, I. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Edisi 4. Jakarta : Refika Aditama.

Yusuf Ah, Fitryasari Rizky, Endang Hanik. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

30

Anda mungkin juga menyukai